Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN MEDAN MAKNA DALAM CERPEN " DINDING WAKTU " KARYA

DANARTO ( ANALISIS SEMANTIK)


Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS Penulisan Karya Ilmiah
Dosen pengampu : Rina Susanti, M.A.

Di susun oleh :
Zuli kurniawati (53040190033)

PROGAM STUDI BAHASA & SASTRA ARAB


FAKULTAS USLUHUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan hidayahNya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan guna memenuhi tugas UAS Mata kuliah penulisan karya
ilmiah. sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang
kita nantikan syafaat kelak di yaumil akhir nanti.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
terdapat banyak kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
dan sarannya dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Ibu Rina
Susanti, M.A. yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini. Demikian semoga
makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Demak, 29 juni 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
BAB I 3
PENDAHULUAN 3
A. Latar belakang 3
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan penulis 4
BAB II 5
PEMBAHASAN 5
A. Pengertian Medan Makna 5
B. Golongan Medan makna 6
C. Kajian Medan makna dalam cerpen " dinding waktu " 7
BAB III 9
PENUTUP 9
A. Kesimpulan 9
B. Saran 10
Daftar pustaka 10
Lampiran 11

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Semantik merupakan cabang ilmu yang mengkaji makna yang berkaitan dengan
bahasa sebagai alat komunikasi verbal (chaer). Salah satu aspek yang termasuk kedalam
semantik adalah medan makna. Untuk memahami bahwa pembendaharaan kata dalam
suatu bahasa memiliki medan makna, yaitu suatu bagian dari sistem semantik bahasa yang
menggambarkan bagian dari kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan
direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan, memahami
bahwa setiap kata atau unsur leksikal suatu bahasa terdiri atas satu atau beberapa unsur
yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut,
memahami bahwa diantara kata atau unsur leksikal yang satu dengan kata atau unsur
leksikal lainnya terdapat kecocokan atau kesesuaian ciri-ciri semantik.1
Kata-kata atau leksem-leksem dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan dalam
kelompok-kelompok tertentu yang maknanya saling berkaitan atau berdekatan karena
sama-sama berada dalam satu bidang kegiatan atau keilmuan. Tetapi disamping itu setiap
kata atau leksem dapat juga dianalisis maknanya atas komponen-komponen makna tertentu
sehingga akan tampak perbedaan dan persamaan makna antara kata yang satu dengan kata
yang lain.2

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Medan makna?
2. Apa saja golongan Medan makna?
3. Bagaimana kajian Medan makna dalam cerpen " dinding waktu "?

C. Tujuan penulis
1. Mengetahui pengertian Medan makna

1
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. ( Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2009 ).
2
Sitaresmi, Nunung, dan Mahmud Fasya, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. ( Bandung: UPI Press, 2011).

2
2. Mengetahui golongan Medan makna
3. Mengetahui kajian Medan makna dalam cerpen " dinding waktu "

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Medan Makna


Medan makna adalah salah satu kajian utama dalam semantik. Medan makna
merupakan bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang
kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat
unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Di dalam medan makna, suatu kata terbentuk
oleh relasi makna kata tersebut dengan kata lain yang terdapat dalam medan makna itu.
Sebuah medan makna, menurut Trier (1934), dapat diibaratkan sebagai mosaik. Jika makna
satu kata bergeser, makna katalain dalam medan makna tersebut juga akan berubah.3
Menurut KBBI, Medan makna adalah seperangkat unsur leksikal yang memiliki
makna saling berhubungan dan dapat dikelompokkan berdasarkan kesamaan ciri semantik
yang dimiliki kata tersebut.
Sedangkan Menurut Harimurti,1 medan makna (semantic field, semantic domain)
adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang
kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh
seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Misalnya, nama-nama warna,
perabot rumah tangga, istilah pelayaran, istilah olahraga, istilah perkerabatan, istilah alat
pertukangan membentuk medan makna tertentu.4
Kridalaksana (1993) menyatakan bahwa medan makna (semantic field, semantic
domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari
bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh
seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Kata-kata atau leksem-leksem
dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan atas kelompok-kelompok tertentu berdasarkan
kesamaan ciri semantik yang dimiliki kata-kata itu. Umpamanya, kata-kata kuning, merah,
hijau, biru, dan ungu berada dalam satu kelompok, yaitu kelompok warna.5

3
Trier, dalam Lehrer,1974, hlm.16
4
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, (Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 1993).
5
Ibid, Harimurti

4
B. Golongan Medan makna
Kata-kata yang berada dalam satu medan makna dapat digolongkan menjadi 2, yaitu :
A. Golongan kolokasi
Kolokasi (berasal dari bahasa latin collolco yang berarti ada ditempat yang sama
dengan) menunjuk kepada hubungan sintagmatik yang terjadi antara kata atau
unsur lesikal itu. Kolokasi menunjuk pada hubungan sintagmatik karena karena
sifatnya yang linear.
Misalnya pada kalimat : " tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu
perahu itu digulung ombak, dan tenggelam beserta isinya "
Kita dapati kata-kata layar, perahu, nelayan, badai, ombak,dan tenggelam yang
merupakan kata-kata dalam satu kolokasi ; satuan tempat atau lingkungan. Jadi,
kata-kata kolokasi ditemukan bersama atau berada bersama dalam satu tempat atau
satu lingkungan.
B. Golongan set
Suatu set biasanya berupa sekelompok unsur leksikal dari kelas yang sama yang
tampaknya merupakan satu kesatuan. Setiap unsur lesikal dalam suatu set dibatasi
oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota dalam set tersebut. Set
menunjuk pada hubungan paragdimatik karena kata-kata atau unsur- unsur yang
berada dalam suatu set dapat saling menggantikan.
Misalnya : Kata remaja merupakan tahap pertumbuhan antara kanak² dengan
dewasa,
Sejuk adalah suhu di antara dingin dengan hangat.
Pengelompokan kata berdasarkan kolokasi dan set dapat memberikan gambaran
yang jelas mengenai teori medan makna, meskipun makna unsur-unsur leksikal itu
sering bertumpang tindih dan batas-batasnya juga seringkali menjadi kabur.
misalnya, kata polisi bisa masuk ke medan makna lalu lintas dan juga medan makna
keamanan,

5
Selain itu, pengelompokan ini juga kurang memperhatikan perbedaan antara yang
disebut makna denotasi dan makna konotasi, antara makna dasar dari suatu kata
atau leksem dengan makna tambahan dari kata itu.6

C. Kajian Medan makna dalam cerpen " dinding waktu "


Cerpen dinding waktu karya Danarto , tampaknya memiliki gaya yang khas dalam
memanipulasi atau memanfaatkan sarana bahasa sebagai media ekspresinya. Pilihan kata
(diksi, pilihan leksikal), kelompok kata (frase), dan kalimat-kalimatnya terasa sangat sesuai
dengan tema-tema besar.
Seperti contoh berikut pada paragraf pertama7 :
" Dalam peperangan yang sudah berlangsung selama seribu tahun itulah saya menjumpai
seonggok batu besar di tengah- tengah medan pertempuran. Saya yang telah memfosil,
tua renta, dengan sisa-sisa tenaga dalam usia 1350 tahun, berlindung dibalik batu besar
itu dari tembakan, semburan api, maupun ledakan bom " .
Analisis:
Dari kutipan teks di atas dapat ditemukan kata kata seonggok batu besar, tembakan,
semburan api, ledakan bom. Dan itu semua menunjukkan ada didalam satu kalokasi/ satu
tempat Medan makna yaitu mengenai peperangan.
Dapat kita temui juga pada paragraf ketiga, seperti kutipan berikut ini:
" Peserta penonton ini terdiri dari berbagai lapisan sosial. Kebanyakan para jutawan. Di
antaranya para pedagang, pengusaha, konglomerat, para pangeran, raja, bahkan ada
juga ratu "
Analisis:
Dari kutipan teks di atas dapat di temui kata kata pedagang, pengusaha, konglomerat, para
pangeran, raja, ratu dalam satu lokasi, atau dalam satu lingkungan yaitu mengenai peserta
penonton. Jadi kata kata pedagang, pengusaha, konglomerat, dll itu mempunyai makna
yang berhubungan ditempat yang sama.

6
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia ( Jakarta : Rineka Cipta, 2009 ).
7
Danarto. “Dinding Waktu”. Dalam Kompas, 21 Januari 1990.

6
Yang terakhir ada pada kalimat berikut:
" Ledakan-ledakan pun susul-menyusul di sisi-sisi wawan- cara itu. Lumpur-lumpur
berhamburan ke mana-mana, menghajar tubuh dan kamera para wartawan. Serta-merta
stasiun pusat mem- peringatkan wartawannya supaya menghindarkan kamera dan
mikrofon dari lumpur yang bercuatan ke udara "
Analisis:
Dari kutipan teks di atas juga dapat di temui kata kata lumpur, berhamburan, wartawan,
kemera, stasiun pusat, mikrofon yang ada dalam satu lingkungan atau satu tempat yaitu
pada saat wawancara.
Dari beberapa kutipan teks cerpen diatas itu termasuk contoh dari golongan Medan makna
(kolokasi) yang masih berada ditempat yang sama. Dan maknanya juga masih
berhubungan.

Selanjutnya perhatikan contoh dari golongan Medan makna ( set ) dari paragraf ke-11,
berikut kutipan teks dari cerpen tersebut:
“Siapa Anda dan kenapa teronggok di sini?” Kamera- kamera pun berebut tempat.
“Sesungguhnya saya seorang ibu …” jawab batu itu.
“Seorang ibu yang batu?” potong seorang wartawan.
Kamera-kamera makin sibuk mencari posisi yang paling baik
untuk pengambilan gambar.
Analisis
Dari percakapan wartawan dan seorang ibu saya memilih Kata "ibu", mengapa demikian?
Karena kata ibu adalah masih umum, dan juga mudah di pahami. sebagai contoh dari
medan makna (set) dapat kita ketahui bahwa makna :
Ibu = seorang wanita yang melahirkan
Ibu = sebutan untuk wanita yang sudah bersuami
Ibu = wanita cantik
Jadi dapat simpulkan bahwa kata ibu memiliki makna yang saling berhubungan yaitu
melahirkan, sudah bersuami, cantik semua itu masuk dalam satu set yaitu ibu.
Contoh kalimat berikut ini:

7
" Serta-merta stasiun pusat mem- peringatkan wartawannya supaya menghindarkan
kamera dan mikrofon dari lumpur yang bercuatan ke udara "
Dari kutipan teks di atas saya mengambil kata udara, Jadi
Udara = campuran berbagai gas yg tidak berwarna dan tidak berbau (spt oksigen dan
nitrogen) yg memenuhi ruang di atas bumi spt yg kita hirup apabila kita bernapas; hawa
(nomina)
Contoh:
berjalan-jalan menghirup udara segar
Udara : keadaan hawa (cuaca, hari) (nomina)
Contoh:
Udara dalam bulan ini sangat panas
Udara = suasana
contoh: udara desa itu sedang tegang menjelang pemilihan lurah
Analisis:
dapat disimpulkan bahwa kata udara itu mempunyai makna yang saling berhubungan, yaitu
udara : segar, panas, tegang. Itu semua masuk dalam satu set udara.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Oleh karena itu, secara semantik diakui bahwa pengelompokan kata atau unsur-
unsur leksikal secara kolokasi dan set hanya menyangkut satu segi makna, yaitu makna
dasarnya saja. Sedangkan makna setiap kata atau unsur leksikal itu perlu dilihat dan dikaji
secara terpisah dalam kaitannya dengan penggunaan kata atau unsur leksikal tersebut di
dalam pertuturan. Setiap unsur leksial memiliki komponen makna masing-masing yang
mungkin ada persamaannya dan ada perbedaannya dengan unsur leksikal lainnya.
Dan dalam cerpen itu Danarto memiliki gaya yang unik dalam membangun situasi
dan suasana perang. Ketegangan dan keseriusan yang diciptakannya akhirnya dicair-
kannya sendiri dengan gaya humor sehingga terkesan bahwa cerita ini hanya main-main.
Namun, memang itulah ciri khas Danarto sebagai pengarang cerpen. Ia lebih suka
“bercerita tentang hal yang serius dengan santai (main-main) daripada bercerita secara
serius mengenai hal yang main-main”. Akhirnya,dapat dikatakan bahwa nyata sekali
cerpen-cerpen Danarto, termasuk cerpen yang berjudul “Dinding Waktu” ini, merangsang
pembaca untuk menggali makna lebih dalam yang lebih dari sekedar apa yang tersurat
didalam konvensi bahasanya.
B. Saran
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karenanya makalah ini masih perlu perbaikan dan penyermpurnaan melalui kritikan dan
masukan bermanfaat dari para pembaca sekalian. Semoga makalah yang sederhana ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamin.

9
DAFTAR PUSTAKA

Chaer,Abdul.2009.Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta


Kridalaksana,Harimurti.1993. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka
utama
Danarto. 1990. “Dinding Waktu”. Dalam Kompas, 21 Januari
1990.
Kamus Lingustik. 1997. Kuala Lumpur: Bahasa dan Pustaka.

10
Lampiran

Dinding Waktu
Cerpen Danarto
Dalam peperangan yang sudah berlangsung selama seribu tahun itulah saya menjumpai
seonggok batu besar di tengah-tengah medan pertempuran. Saya yang telah memfosil, tua
renta,dengan sisa-sisa tenaga dalam usia 1350 tahun, berlindung dibalik batu besar itu dari
tembakan, semburan api, maupun ledakan bom. Saya bukan tentara, bukan pula wartawan,
melainkan penonton biasa. Penonton perang. Ya, sayalah penonton perang yang fanatik dari zaman
ke zaman. Sejak berabad-abad yang silam ketika untuk menikmati tontonan pertandingan sepak
bola yang indah memerlukan kekejaman, ini dalam runtun waktu yang ditata pasti oleh mesin-
mesin peradaban yang piawai, melahirkan tradisi cara menonton yang keji, dan brutal.
Jutaan mayat tentara bertumpuk makin mempertinggi dataran pertempuran. Onggokan
rongsokan mesin-mesin perang telah menjadi gunung. Lembah dan danau dibentuk oleh ledakan-
ledakan bom. Dan bukit-bukit patung berbagai bentuk diciptakan oleh pesawat-pesawat yang
menghunjam bumi, ratusan ribu jumlahnya. Dan sepasang mata yang tak lelah-lelahnya ini
menikmati dengan rasa kekudusan yang dalam seluruh palagan, medan pertempuran, yang amat
sangat haus darah itu. Lewat mata, pikiran ini telah merekam segala emosi tradisi perang yang
sangat panjang, menjalar-jalar di saraf-saraf zaman. Mengakibatkan tiap bangsa memperpanjang
waktu, memperpanjang ruang.
Sebagai penonton, kami punya tradisi yang unik. Kami tidak menjagoi salah satu atau salah
dua angkatan perang sejumlah bala tentara perang, memang berlaga bersamaan kami menjagoi diri
kami sendiri. Siapa di antara kami dalam waktu yang ditentukan menurut perjanjian, yang selamat
keluar dari medan perang, inilah yang menggaet hadiah berupa uang, perusahaan, manusia,
binatang, atau apa saja yang diperju-dikan. Peserta penonton ini terdiri dari berbagai lapisan sosial.
Kebanyakan para jutawan. Di antaranya para pedagang, pengusaha, konglomerat, para pangeran,
raja, bahkan ada juga ratu. Jika sepi perang, kami
penonton,menyelenggarakannya,mengongkosinya, dan mengakhirinya. Tragedi dan kebahagiaan
cumalah bikin-bikinan belaka.
Sepanjang siang, sepanjang malam pertempuran berkobar. Satu dua penonton lawan-
lawan saya di antaranya seorang konglomerat, merangkak berlepotan lumpur, ikut berlindung di

11
samping saya. Sejumlah wartawan dengan tustel dan kamera videonya yang dibalut lumpur
menggapai dinding batu, berlindung di sisi yang lain. Angkasa penuh peluru berseliweran, bumi
kejatuhan bom berledakan. Betapa eloknya kekejaman, betapa nikmatnya keporakporandaan.
Geledek sekali-kali mengisyaratkan adanya kekuasaan tertinggi, menggelegar di langit, menikahi
dentuman peperangan. Di balik batu besar ini kami teronggok bersatu dengan lumpur, diam rapat-
rapat menutup mulut untuk meresapi suara-suara simfoni perang yang menggairahkan.
“Sudah puaskah kalian menonton?” Tiba-tiba satu suara terdengar. Kami terkejut. Kami
bertolehan ke semua penjuru mencari sumber suara. Tapi tak ada seorang pun, kecuali kami yang
diam terpaku.
“Saya belum puas menonton, sebelum ribuan tahun menonton,” jawab saya sekenanya
sambil mendongak, kalau sumber suara ada di atas.
“Suara ini datang dari bongkahan yang sedang melindungimu.” Mendengar suara ini, kami
jadi ribut. Naluri wartawan perang yang senantiasa siap dalam keadaan jaga maupun tidur, mereka
berloncatan ke depan batu mengambil jarak. Mereka sangat terkesiap oleh batu yang bisa
berbicara. Dengan sigap kamera-kamera video mulai bekerja, diarahkan ke batu besar itu.
“Hallo! Inilah wartawan perang Anda di garis depan!" seorang penyiar mulai berbicara di
depan kamera video sejawatnya, yang langsung berhubungan dengan stasiun pusat, dan
menyiarkannya ke seluruh pelosok negeri.
“Ya, hallo! Inilah penyiar pandangan mata perang Anda yang gigih!” seorang wartawan
perang lain mulai bekerja.
“Hei! Jangan lupa, medan perang masih berkobar! Inilah berita tentang batu. Wartawan
perang Anda siap mewawancarainya,” celetuk wartawan yang lain sambil mengarahkan mikenya
ke arah bongkahan batu besar di depannya itu.
“Siapa Anda dan kenapa teronggok di sini?” Kamera kamera pun berebut tempat.
“Sesungguhnya saya seorang ibu …” jawab batu itu. “Seorang ibu yang batu?” potong
seorang wartawan. Kamera-kamera makin sibuk mencari posisi yang paling baik untuk
pengambilan gambar.
“Saya seorang ibu dari tujuh puluh anak. Laki-laki lima puluh dan perempuan dua puluh.
Semuanya sudah musnah dalam peperangan seribu tahun ini. Yang laki-laki gugur satu per satu
sebagai pejuang. Yang perempuan gugur sebagai perawat, satu per
satu di garsis paling depan.”

12
Ledakan-ledakan pun susul-menyusul di sisi-sisi wawancara itu. Lumpur-lumpur
berhamburan ke mana-mana, menghajar tubuh dan kamera para wartawan. Serta-merta stasiun
pusat memperingatkan wartawannya supaya menghindarkan kamera dan mikrofon dari lumpur
yang bercuatan ke udara. Saya dan satu dua penonton lainnya terperangah menyaksikan hiburan
yang paling menakjubkan dalam sejarah panjang tontonan perang.
“Bagaimana datangnya keputusan ibu untuk menjelma batu?”
“Kesedihan susul-menyusul dengan penderitaan. Saya tak mungkin dapat menanggung
penderitaan atas musnahnya puluhan anak saya. Pada puncak kesedihan dan derasnya air mata,
lalu saya menginginkan menjelma batu. Maka jadilah saya batu.”
“Lalu ibu sekarang jadi lebih bahagia?”
“Rasanya saya menjadi lebih baik.”
“Aneh sekali. Sebagaimana perang ini cuma bikin-bikinan, penderitaan tidak lebih jauh daripada
itu. Kenapa masih ada juga kesedihan?
“Tadinya saya pikir juga demikian. Seorang ibu bisa mengawani anak-anaknya ke medan
perang dengan gembira. Tapi ketika anak-anaknya tertelungkup di lumpur dan tidak bangun-
bangun, kesedihan itu benar-benar ada. Hanya dengan menjelma batu, saya jadi beku terhadap apa
saja yang pernah saya kenal. Senjata apa saja sekarang ini sudah tidak mampu lagi membuat saya
jatuh sedih. Suasana, ruang, waktu sudah musnah. Semuanya menjadi tidak ada.”
Para wartawan itu tertegun. Lalu beramai-ramai mereka berteriak:
“Ibu, jadikan kami batu.”
“Jadilah!” Seru ibu batu itu.
Dan mendadak para wartawan itu menjelma batu, teronggok dingin dan diam. Melihat
pemandangan ini, kami para penonton, meronta seketika. Kami berlarian menghindari batu-batu
itu dengan kecut.
“Ibu batu itu tidak sportif!” teriak salah satu penonton.
“Dia harus dikenai kartu merah!”
“Dia penonton berbahaya. Dia memusnahkan tubuhnya supaya mudah menuju kekekalan,
untuk menjadi pemenang abadi,” teriak yang lain. Kami berlarian terus menghindari batu-batu itu,
di antara gelegar dan desingan.

13
Jakarta, 16 Desember 1989
(Kompas, Minggu, 21 Januari 1990)

14

Anda mungkin juga menyukai