Anda di halaman 1dari 60

KECUBUNG PENGASIHAN

Karya Danarto

KEMBANG-KEMBANG di taman bunga yang indah


harum semerbak itu jauh-jauh sudah menyambut
bersama-sama dengan senyum mesra kepada perempuan
bunting yang berjalan gontai seolah olah beban di dalam
perutnya lebih besar dari keseluruhan tubuhnya hingga
orang yang melihatnya terkesan bahwa ia lebih tampak
menggelinding daripada berjalan dengan kedua belah
kakinya, yang tertulah merupakan pemandangan yang
jenaka, manapula pakaiannya compang-camping hingga
kerepotan sekali untuk menutupi perutnya yang bundar
buncit itu dengan selayaknya, hingga ia di jalan-jalan
raya, di resturan-restoran, di pasar, di stasiun, di tong-tong
sampah, membangkitkan gairah orang-orang untuk
meletuskan hasrat hati yang peka seperti senar-senar
lembut: laki-laki perempuan kurang ajar, anak-anak
tgertawa mengejek, wanita-wanita melengos. Dan
kembang-kembang di taman bunga yang menyambut
perempuan bunting dengan senyum mesranya itu pun
tentulah di hatinya terselip perasaan geli juga.

Taman bunga itu harum semerbak. Banyak orang


beristirahat di sana. Orang-orang tua, laki-laki dan
perempuan, anak-anak muda yang berpasangan dan
sendirian, bocah-bocah cilik yang bermain kejar-kejaran
atau yang tenang duduk-duduk di bangku. Para
pensiunan, para pegawai, para buruh, para petani yang
habis berbelanja di kota dan mau pulang lagi ke desanya,
para professor dan kaum cerdik pandai, para mahasiswa,
para seniman yang lusush, para pedagang, para tukang
jual obat, para tukang catut, para tukah becak, para
gelandangan dan pengemis yang kotor, kelaparan dan
compang-camping. Yah, semuanya perlu duduk-duduk di
taman itu. Tidak perlu menggagas apa yang mau
diperbuat. Ya, pokoknya ke taman bunga itu dulu dan
lantas mau apa: Ngomong? Ngelamun? Menikmati bunga
yang jelita-jelita? Melihat yang melihat? Cuci mata (kotor
hati?)enghitung keuntungan? Menemukan rumus?
Mencari ilham? Ngobrol cabul? Menggapai-gapai Tuhan
di mana adanya? Ya, segalanya diperbuat orang di taman
itu. Perempuan bunting itu sudah memasuki bagian taman
bungan yang dikenalnya. Ia tiap hari ke situ. Ia makan
kembang-kembang itu. Sebagai orang gelandangan ia
paling sengsara. Ia kalah rebutan sisa-sisa makanan di
tong-tong sampah, sebab pengemis-pengemis lain lebih
cekatan. Ia tidak pernah mendapatkan apa-apa dalam bak
sampah. Kemudian diputuskannya u ntuk memakan
kembang. Berhari-hari ia memakan kembang-kembang di
taman itu. Mula-mula ia tak tahan. Tapi lama-lama biasa
juga. Tiap hari ia makan bertangkai-tangkai kembang. Di
sana ada kelompok mawar,” kelompok melati, sedap
malam, anggrek dan sebagainya.
“Selamat siang, perempuan bunting,” sambut
kelompok-kelompok kembang itu bersama-sama, seperti
anak sekolah kepada ibu gurunya.

“Selamat siang, Sayangku,” sahut perempuan bunting


itu sambil mendekati mereka. Ia berkeliling mengitari
kelompok-kelompok itu dan tersenyum.

“Kandunganmu semakin besar rupanya, “ /kata


Mawar.

“Awas-awas, kau bisa terjungkir,” kata Melati.

“rasain kalau nanti meledak, wahai perempuan ayu!”


sambung Sedap Malam.

Perempuan itu terkekeh-kekeh keras hinngga buah


dadanya terpental-pental dan perut buncitnya bergetar
seperti ada gempa bumi. Sekalian kelompok-kelompok
kembang itu pun ikut tertawa.

“Bentuknu tampak semakin lucu kalau kau tertawa


keras. Saya ingat Rangda,” sela Anggrek.
“Ah, orang-orang baik pun akan tertawa geli
melihatmu,” kata Melati.

“Hayo! Macam apa lagi kiranya?” tukas Kamboja.

“Bongkahan batu!” teriak Kenanga.

“Ah, terlalu biasa. Tidak kena.”

“Terasi bau!”

“Ah! Lumayan saja.”

“Tong yang mbludag!”

“Hampir!”

“Padas Gempaal!”

“Bukan main! Kena! Kena!”

Perempuan bunting itu terkekeh-kekeh terus,


kelompok-kelompok kembang mengikutinya dengan
tertawa dan bergoyang.
“Ah, kalian putrid-putri jelita yang manja-manja.
Suka mencemoohkan orang dengan sewenang-
wenang,”kata perempuan itu.

“Mana suka kia, “ sahut mereka dengan genit.

Lalu perempuan itu terduduk di bangki. Terbujur


menelentang dan napasnya turun naik, tersengal-sengal
seolah-olah habis dikejar harimau.

“Aduh, kalian membuatku sesak napas,” kata


perempuan itu sambil tersenyum.

“Salahmu sendiri. Kami juga terpingkal-pingkal, tapi


tetap longgar napas.”balas sedap Malam.

Kemudian suasana tenang. Siang itu banyak bangku


kosong. Hanya satu dua yang lewat. Rupanya, orang-
orang sedang giat mencari rezeki.

“Ada cerita baru buat kami?” Tanya Mawar.

“Ya, cobalah cerita tentang perjalananmu tadi


sebelum sampai di sini, “ Kata Melati.
“tentulah menarik sekali. Ayo mulailah,” kata
Anggrek. Perempuan itu masih mengatur napasnya.

“Ah, Cuma seperti biasanya saja. Cerita yang itu-itu


juga. Hari ini di jalan aku tidak menemui kejadian baru,”
kata perempuan itu.

“Biarlah. Karena tiap hari itu selalu hari baru, maka


biarpun ceritamu yang itu-itu juga, tetaplah ia baru,” kata
kamboja.

“Lagi pula, anak kembar sesungguhnya tidaklah


kembar,” kata Kenanga.

“Memang, memang,” tukas perempuan itu. “Ada


seorang nabi yang membelah bulan. Persis jadi dua. Persis
benar. Sama besar dan sama irisannya. Tapi tidaklah
persis bongkahan-bongkahannya, jurangnya, gunungnya,
lembahnya,”

“Benar! Benar! Bukan Main! Tidaklah persis


bongkahan-bongkahannya!”
“Ya, ya, bongkahan-bongkahannya lain. Ceritakan!”

“Betul! Ceritakanlah bongkahan-bongkahannya


kepada kami, Ceritakanlah.”

Perempuan itu tetap duduk telentang, sedang


kembang itu bergoyang-goyang. Awan di atas berarak-
arak, hingga berganti-ganti bentuknya. Semuanya
kelihatan diam menantikan perempuan itu.

“Dini hari itu aku merasakan kesyahduan yang


sangat. Hingga terasa olehku kolong jembatan itu adalah
gereja-masjidku yang penuh ketentraman.”

“Ya, ya, kami tahu,” tukas Kenanga. “pasti dengan


telentang atau jalan-jalan dan tanpa cuci muka,”

Mendengar itu semuanya tertawa.

“Perutku sudah terlalu besar dan berat untuk turun ke


kali yang curam itu,” balas perempuan itu. “Aku kira
dalam beberapa hari lagi akan lahir bayiku. O, hari yang
mendebarkan,” ia mengatur napasnya lagi.
“Dini hari itu aku merasakan kesyahduan yang
sangat. Hingga terasa olehku kolong jembatan itu adalah
gereja-masjidku yang penuh harapan di masa depan
Hingga t`erasa olehku kolong jembatan itu adalah gereja-
masjidku yang penuh. Walau tiang-tiangnya telah rapu
Hingga terasa olehku kolong jembatan itu adalah gereja-
masjidku yang penuhh hingga aku selalu bila mulai tidur
di bawahnya, ia merupakan rumah Tuhan yang kucintai
dengan kekalnya. ”

Ia terdiam. Kembang-kembang juga terdiam.

“Lantas aku bangkit Hingga terasa olehku kolong


jembatan itu adalah gereja-masjidku yang penuh dan
berjalan-jalan ke tong-tong sampah. Di sana kudapati
sekalian kawan-kawanku. Mereka mendapatkan sisa
makanan yang lumayan. Mereka beramai-ramai
memakannya. Aku berusaha mencari potongan-potongan
kain. Seperti biasanya mereka ngomong kepadaku dengan
nada mengejek.”
“Engkau mau bakmi, Manis?”

“Ah, kagak usah ditawari. Ia kagak doyan bakmi. Itu


makanan kere. Ia toh sudah punya makanan luks.
Kembang-kembang taman itu.”

Lantas mereka tertawa terbahak-bahak sambil


melahap makanannya.

“Sayang, aku kagak gila. Padahal, aku kepingin


makan kembang. Begitu kata yang lain sambil diiringi
ledekan-ledekan ketawa. Aku tersenyum saja sambil
mengorek-ngorek sampah. Mereka tahu bahwa hanya
orang-orang gila yang makan kembang. Tapi biarlah. Itu
tak mengapa. Mereka tak tahu. Hanya akulah yang paling
tahu mengenai diriku. Selama aku tak merugikan orang
lain, aku berani mengatakan bahwa aku tidak gila.

Ia tersenyum. Dan kembang-kembang yang


mendengarkan dengan baik itupun tersenyum.
“Kemudian aku jalan lagi ke emper-emper toko. Aku
tetap mencoba mencari potongan-potongan kain. Tapi sia-
sia. Yang ada hanya potongan-potongan kertas.

“Manusia memang aneh. Pakaiannya mentereng tapi


perutnya lapar.” Tukas Sedap Malam.

Sekaliannya tertawa.

“Lalu apa cemoohan mereka? Cerita perempuan itu


selanjutnya.” Wah macam-macam. Mula-mula mereka
mengerutkan keningnya. Menelitiku dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki dengan pandangan jijik.

“Wah, ni die nih, akibat dari maen-maen.”

“Rasain sekarang menanggung akibatnya”

Aku diem saja sambil pura-pura tak mendengar. Tapi


hatiku terasa diiris-iris. Ingin aku berteriak keras-keras
menceritakan riwayat hidupku ke tilinga mereka yang
memandangku dengan curiga besar itu”
“Aduh, betapa tidak enaknya jadi manusia” tukas
Kamboja.

“Yah rasanya mereka sangat kejam, saling


mendengki” sambung Melati.

“Mudah-mudahan aku tidak akan pernah jadi


manusia. Kata Melati.

Matahari sudah condong ke barat. Sudah banyak


orang yang tidur di bangku-bangku. Ada yang
mendengkur keras-keras. Tentulah mereka lelah sehabis
bekerja. Ada yan g tidur dengan duduk. Dibawah pohon
yang rindang, orang yang tidur dengan duduk itu
kelihatan seperti patung hiasan taman. Beberapa
pengemis dan gelandangan laki-laki dan perempuan
berdatangan sambil membawa bungkusan. Mereka
berkumpul dibawah pohon trembesi. Isi bungkusan dibagi
dan mereka makan dengan bernafsu.
“ Tapi sekarang,” kata perempuan itu kepada
kelompok kembang-kembang. “ Datanglah laparku.
Maka, sekianlah ceritaku. Aku harus makan sekarang.
Maafkan. “

“ Demikianlah tiap hari yang berlaku, “ Selah


kemboja.

Sekalian terdiam dan menundukkan kepala. Sunyi


senyap sejenak, kayak ada setan lewat.

“ Ambillah kami, “ kata Mawar.

“ Pilihlah sesukamu, “ kata Melati.

“ Petik yang paling segar, “ kata Sedap Malam.

“ Kembang kematian tak pernah meneteskan air


mata. Ambillah kami sebanyak-banyaknya, “ kata
Kemboja.

“ Aku kembang termahal namun sengsara. Petiklah


aku duluan, “ kata Anggrek.
“ Engkau membantu mempercepat reinkarnasi.
Petiklah kamu yang pertama, “ kata Kenanga.

Perempuan bunting itu tunduk terpaku. Air matanya


meleleh. Semuanya diam. Awan diatas juga diam.

“ Tiap hari aku selalu diiring tangisan bila aku mulai


makan. Apakah itu air matamu atau air mataku sendiri.
Mestikah kejadian brgini akan berlangsung terus ?
Sepanjang hayat dikandung badanku ? Aku merasa sedih
dan bosan, " kata perempuan itu dengan mata yang
berkaca-kaca.

“ Aku mencoba mengelakkan tapi aku tak mampu.


Aku benar- benar tak mampu. Hampir aku tak percaya
pada mataku bahwa memang tak ada sisa makana sedikit
pun di tong-tong sampah ataupun di restoran. Aku tak
malu mengemis. Tapi aku ditolak. Aku mau bekerja, tapi
tak ada lapangan bagiku. Semuanya menolakku. Hampir-
hampir aku percaya bahwa aku hidup tidak bersama
manusia. O, negaraku yang miskin. Rakyatku yang
miskin. Presidenku yang miskin. Menteri-menteriku yang
miskin. Orang-orang cendekiaku yang miskin. Orang-
orang kayaku yang miskin. Miskin jiwa miskin harta. O,
dunia terlalu miskin untuk memberiku sisa-sisa makanan.

Ia berhenti. Sejenak terisak-isak. Juga kelompok


kembang-kembang juga terisak.

“Dulu aku mengira bahwa tumbuhan-tumbuhan


adalah benda mati dan kalian tak kuindahkan. Kalian
makhluk rendah. Tapi ternyata kalian juga mengenal tawa
dan tangis. Musik dan puisi. Ah !! Manusia juga berasal
dari batu dulu-dulunya. Dan batu-batu, kerikil-kerikil,
pasir-pasir makhluk yang paling rendah itu yang terhantar
dibawah kakiku ini, adalah nenek moyangku. “

Ia berhenti. Disekanya matanya. Diaturnya nafasnya.

“Wahai, kembang-kembang yang jelita. Mengenal


kalian suatu mengenal semesta. Suatu kebahagiaan. Dan
lantas kita ngomong-ngomong dan berkelakar. Hingga
orang-orang curiga dan lantas bilang bahwa aku gila,
karena ngomong dan ketawa sendiri dihadapan kalian.
Biarlah. Mereka toh tidak tahu. Buat apa memaksanya
supaya mau kalau tidak mau ?”

Perempuan itu berhenti. Dan disekanya matanya.


Kembang-kembang juga menyeka matanya. Hening
sejenak.

“Batu-batu menyanyi dan esoknya menjelma menjadi


tumbuhan. Ia lahir dalam dunia baru. Syahdu. Nafas baru,
pandangan baru. Pada saat kematian tiba, tumbuhan
berlagu. Dendang sayang akan hidup lantas dibuang.
Esoknya ia menjelma jadi binatang. Ia berlari dan
mengembik. Ia menerkam dan meraung atau ia melompat
dan meringkik. Lalu embik hilang, raung hilang dan
ringkik hilang. Dalam jelmaan yang lebih
menggemparkan dengan bekal pemikiran diotak dan di
perasaan dihati. Dengan keperkasaan tanggung jawab dan
aliran dahsyat nafsu, melompatlah jelmaan baru:
Manusia ! ....O, perjalanan yang jauh dan pedih. Kita ini
apa? Darimana? Mau kemana? “

Perempuan itu sendu. Kembang termangu-mangu.

“Wahai, kembang-kembang jelita, Mengenal kalian


suatu mengenal semesta. Suatu kebahagiaan. Dan lantas
kita ngomong-ngomong dan berkelakar. Tetapi sekarang
aku lapar. Kalian makananku satu-satunya dan itu berarti
itu pembunuhan.”

“Bukan! Tidak benar! Justru kau menolong


mempercepat reinkarnasi. Petiklah aku! Kusambut maut
dengan karangan bunga yang paling panjang,” kata
Kenanga.

“O, kematian yang kurindukan. Maut dan reinkarnasi


yang kerja sam, mendekatlah! Cabutlah nyawaku! Cukup
engkau sentil saja dan kau mendapatkan jiwa yang paling
bagus,” KATA Melati.
“Ayo! Inilah aku. Aku kepanasan. Tollonglah aku,
wahai, Sang Maut! Air! Air! Air kematian yang sejuk !
Bawalah kemari! Kemari!” kata Mawar.

Perempuan bunting itu diliputi oleh perasaan


keharuan yang sangat. Sedang kelompok-kelompok
kembang itu melonjak-lonjak kegirangan seperti kanak-
kanak menyongsong ibunya yang pulanng dari pasar,
untuk minta oleh-olehnya,

“ Reinkarnasi macam apa yang kalian bayangkan?”


tanya perempuan itu sambil menatap satu persatu wajah
kembang itu. ”Tak seorang makhluk pun mengetahui
dengan pasti macam apa kehidupan sehabis kematian.”

“Itu tidak penting!Itu tidak penting! Reinkarnasi


macam apa, itu tidak penting! Apa-apa mau! Pokoknya
maut, datang dulu!” teriak kembang-kembang itu.

“Dari kembang jadi debu?”


“Setuju dan mau! Memangnya kembang lebih bagus
dari debu ?”

“Wahai, perempuan manis, bukankah engkau pernah


bercerita Siddharta Gautama Budha sebelum mencapai
Penerangan yang Mulia, beliau telah hidup
berulang=ulang lebih dari 530 kali. Sebanyak 42 kali
terlahir sebagai orang yang dipuja-puja. Lalu 85 kali
menjadi raja. Terus 24 kali menjadi pangeran. Kemudian
22 kali menjadi orang terpelajar. Lalu 2 kali menjadi
maling. Lalu 1 kali menjadi budak. Lalu 1 kali menjadi
penjudi. Kemudian berkali-kali menjadi singa,rusa, kuda,
burung, rajawali, banteng, ular, dan juga katak .... Bukan
main!

Mungkin kita nanti jadi kerikil atau cacing atau manusia


atau kembali jadi kembang dan jadi kembang lagi, tapi
lebih buruk! Bunga Bangkai! .... Bukan Main! Aduhai,
sebuah bayangan yang menyenangkan. Ayolah,
perempuan manis, cabutlah nyawaku terlebih dahulu.
Aduhai, sebuah bayangan yang menggairahkan,
mendekatlah Manisku, mendekatlah! Kata Sedap Malam.

Suasana sejenak lengang.

“O, kadang-kadang kutemukan diriku adalah seorang


pembunuh yang menipu,” kata perempuan itu sembari
mengusap air matanya yang meleleh. “Kurayu kalian
dengan segala bayangan kesengan tentang kehidupan
yang indah sehabis kematian, hanya supaya kalian mau
kumakan. Tapi benar-benar indahkah? Aku menipumu.
Dari mana aku mengetahui segala tetek-bengek itu?
Kenapa aku yakin benar akan kelahiran kembali? Kenapa
kalian juga yakin?. O, terbekatilah semoga kalian, yang
percaya walaupun belum pernah mengalaminya.”

Kemudian semuanya terdiam. Masing-masing


terharu. Masing-masing dilipat oleh pikirannya sendiri-
sendiri.

“Kenapa kalian suka reinkarnasi?”


“Karena ia semacam dunia baru.”

“Hanya makhluk bbodoh yang suka kepadanya. Aneh


sekali, kenapa tidak bercita-cita langsung di sisi Tuhan
saja sehabis mati?”

“Siapa yang tahu timbangan kita? Mana yang lebih


berat? Dosa atau kebaikan?” kata Melati. “Tidak seorang
makhluk pun tahu tentang timbangannya. Pada suatu
ketika seorang makhluk mau mati. Ia membayangkan
nantinya akan di sisi Tuhan. Bahkan ia akan menyatu di
jantung-Nya. Tapi demikiankah kematiannya?
Menyedihkan. Menyedihkan. Ternyata, ia harus direbus
dalam air yang paling menggelakkan sebelum ia
diturunkun lagi jadi anjing.”

“Ya, perempuan manis,” kata Mawar. “Tidak seorang


makhluk pun tahu tentang sesuatu. Restui saja kami yang
sudah bosan jadi kembang. Mau lewat tanganmu,
renggutlah kami. Renggut! Dan jangan hiraukan
terjadinya setelah itu. Setidaknya ia sesuatu yang baru,”
kata Kemboja.

“Tapi itu bunuh diri namanya. Dan itu dosa,” balas


perempuan itu.

“Engkau yang sudah mengerjakn setiap hari,


sekarang sangsi?” kata Anggrek. “Wahai, perempuan
manis. Tidak dengarkah banyak pertapa yang melakukan
kematian berencana? Mereka membersihkan jasmani dan
rohani dalam waktu yang lama. Kemudian duduk
bertenang-tenang menyambut datngnya maut! Dan
mereka yakin bahwa kematian itu tidak berdosa.”

Perempuan bunting itu diam saja.

“Kalau kita bicara perkara dosa, kita semunya


berdosa,” kata Kenanga. “Tiap hari kita kepingin mati
saja. Itu dosa! Tiap hari engkau kepingin makan saja
dengan melakukan pembunuhan. Itu dosa juga! Padahal,
itu sudah berlangsung berpuluh-puluh hari dengan restu
dihati kami masing-masing. O, betapa tololnya otak kita!”

“Aku sekarang telah melihat. Seolah-olah aku


melihat segalanya. Kini aku sangsi. Ya, hari ini aku
sangsi. O, betapa tidak enaknya hidup ini di dunia.
Hingga aku juga kepingin mati. Sejak sekarang aku tidak
akan menggangu kalian?,” kata perempuan itu.

“Itu benar!” teriak Kemuning, sebuah kelompok


kembang yang tadinya diam saja. Benar! Jangan jamah
lagi, perempuan! Engkau telah bergelimang dosa dengan
melakukan pembunuhan-pembunuhan walaupun itu
dikehendaki oleh korbanmu sendiri .... Dan kalian
kembang-kembang yang putus asa! Kalian dosa besar!
Kalian bunuh diri! Bagaimanapun muaknya akan
kehidupan, makhluk akan berdosa jika melakukan bunuh
diri!”

“Bohong besr! Rumus darimana itu?! Melanjutkan


hidupm lebih baik daripada mengakhiri hidup? Manakah
yang lebih luhur? Siapakah yang tahu? ... Biarlah rumus
melawan rumus. Kontradiksi melawan kontradiksi.
Paradoks melawan paradoks.... Kita lebih baik berbuat
mana suka kita!” kata Sedap Malam.

“Tapi kenapa kalian tidak melakukan bunuh diri


dengan tangan kalian sendiri? Kenapa harus menyuruh-
nyuruh perempuan itu?” kata Kemuning.

“Dia lapar. Kita butuh mati. Kita makanan dia. Klop!


Kenapa kau ributkan?” kata Melati.

“Perempuan itu sudah tidak mau lagi. Kenpa kalian


paksa-paksa?” kata Kemuning lagi.

“Ia cuma sangsi. Dan kesangsian bisa disadarkan


kembali. Jenis perempuan harus selalu disadarkan. Lama-
lama rayuan mesra kita akan menjirat dia dan lantas dia
mau menjuluskan tangannya yang lembut bagaikan sutera
untuk mencekik kita,” balas Melati kembali.
“Horreee!” teriak kembang-kembang lain
menyambut.

“Rayu dia”

“Horreee!”

“Cumbu dia”

“Horreee!”

Kemudian kelompok kembang-kembang itu


berjingkrak-jingkrak sambil berputar-putar.

“Ayo. Si Jelaga Busung! Bunuh kami!”

“O, ... Maut dan Reinkarnasi!”

“Horreee!”

“Ayo Si Gendut Bobrok! Cekik kami!”

“Oh.... Kelaparan. Kehidupan dan Kematian!”

“Horreee!”
“Kemarilah manis. Kenapa datangnya kesangsian
begitu mendadak? Aku butuh, kau butuh. Klop! Seperti
belanga dengan tutupnya.”

“Horreee!”

“Kau senang, aku senang. Aku enak, kau enak. Oh,


dewi sri. Wabah lapar. Anggur hidup. Dewa Maut. Yang
jalin-jalin dengan mesranya bagi koperasi konsumsi.”

“Horreee!”

“Bohong besar! Tolol besar! Celaka besar!” teriak


Kemuning. “ Kalian bermain-main dengan kebenaran.
Kalian jenguk jurang yang paling dalam. Kalian berlagak
sebagai ahli sihir yang bisa terbang ke angkasa. Terus
kalian terjun kedalamnya. Nista. Kalian lebur berkepinh-
keping menempel-nempel batu karang.”

“Apa salahnya?”

“Horreee!”
Kembang-kembang bertambah semangat.
Berlompatan sejadinya. Sorak sorai semakin keras.

“Wahai perempuan bunting!” teriak Kemuning.


“Jangaan berbuat dosa lagi. Lepas menjauh! Jangan sudi
dirayu! Jangan sudi dicumbu! Lari! Lari! Lari cepat,
seperti kilat?”

Perempuan itu cepat-cepat maninggalkan kembang-


kembang sahabatnya. Jalannya gontai dan sedikit-sedikit
menoleh ke belakang.

Melihat ini, kembang-kembang yang tadinya


bergoyanggoyang, disertai satu kesatuan yang besar, telah
berubah menjadi lautan kemarahan yang dahsyat dengan
semangat kekuatan yang besar. Kembang-kembang itu
sudah tidak tahan lagi menahan gejolak keinginan yang
terpendam hingga berlompat-lompatan setinggi-tingginya
dan jatuh kembali sedalam-dalamnya. Suasana sudah
tidak terkendali. Otak-otak kembang itu sudah mulai
memanas. Jantung berdebar lebih keras. Aliran-aliran
darah ke kelopak, benang sari, kepala putik, sudah berlari
bagai anak panah yang melompat dari busurnya. Dan
mereka lalu bergayutan satu sama lain. Tinju diacung-
acungkan dan kaki direntang-rentangkan.

“Wahai Kemuning!” teriak Melati. “Kau pembual


yang kecil mulut. Kenapa kau ganggu hubungan mesra
kami dengan si Bunting?”

“Karena hubungan itu penuh darah dan dosa!” jawab


Kemuning.

“Pembual kecil mulut memang berbahaya!” teriak


Mawar. “Tidak bisakah kami kau biarkan saja? Kami
suka dengan cara-cara kami. Sedang kami tidak perna
memaksa engkau. Kalau kau tak mau dimakn oleh si
Bunting tidak bisakah engaku tutup mulut saja?”

“Mana mungkin orang bisa tutup mulut melihat


pembunuhan dan bunuh diri terus-menerus?” jawab
Kemuning.
Kemudian mereka merunduk dan diam semuanya.
Mereka sedang berunding an mengatur siasat. Akhirnya
mereka seperti disentakkan oleh getaran yang dahsyat,
mereka berteriak, “Perang!”

Dan mereka lantas berlompat-lompatan, berjingkrak-


jingkrak, berteriak-teriak, jerit tantangan, raung
permusuhan, susul-menyusul. Aliran-aliran nafsu,
kebencian, dendam kemarahan, yang tadi ditahan
sebentar, kini meledak kembalim sebagai kereta ekspress
yang dilepas dari stasiun.

“Asah kelopak setajam-tajamnya! Pilih urat darah


setegang-tegangnya!” teriak Melati dengan marahnya,
hingga benag-benang sarinya bergetar-getar.

“Pilih yang tegang! Itulah kepekaan!” teriak Mawar


dengan kepala putik yang memerah.

“Serbu!”

“Inilah kematian bagimu, wahai, Kemuning!”


“Mampus kau tukang penggangu!”

“Tidak dengarkah telingamu? Kami menyatakan


perang terhadapmu!”

Kemuning, yang tidak menyangka segala


pertengkaran itu akan berakibat peperangan, merasa ngeri
di hati melihat serbuan yang sekonyong-konyong ini.
Badannya gemetaran. Ia berpikir, saat inilah tumpas
kelompoknya. Siapa yang mampu melawan
kelompoknya. Siapa yang mampu melawan kelompok
yang begitu dahsyat dengan dendam yang beitu besar?

Mawar, Melati, Kenanga, Anggrek, Kemboja, Sedap


Malam, dan lain-lainnya berbindong-bondong melingkar-
lingkar dengan keganasan yang luar biasa.

Kemuning takut, bimbang, ngeri, dan bingung. Tetapi


ia rupanya sadar bahwa tidak ada waktu berpikir
berkepanjangan dalam menghadapi situasi seperti ini dan
tiada gunanya. Ia sambut tantangan itu dengan jawaban
yang berani juga. Kelompok Kemuning mengasah
kelopaknya cepat-cepat dan menghadapi meeka dengan
keberanian dan kegansan yang luar biasa pula.

Maka, peperangan pun pecahlah. Dahsyat. Gempar


dan mengerikan. Senjata-senjata diasah untuk memenggal
kepala. Siasat-siasat diatur unutuk memenggal kepala.
Kelompok Kemuning yang sendirian itu dikerubut oleh
kelompok yang jauh lebih besar dan teentulah bukan
peperangan yang seimbang. Tetapi perang adalah perang,
ia menyeret dengan ganasnya kedua belah pihak untuk
mempersembahkan korban-korban kepadanya.

Suasana di bagian kelompok kembang-kembang


tersebut semakin ribut. Seolah-olah ada angin puyuh.
Batang-batang kembang bergayutan satu sama lain.
Berpuar-pusar seperti diputar-putarkan angin. Kemudian
membelit sejadi-jadinya. Batang memukul batang, tangkai
memukul tangkai. Kembang memukul kembang.
Kelihatan kelompok kecil diserang kelompok besar.
Banyak kembang berguguran di tanah. Ada yang
terpelanting jauh ke seberang hingga seperti berlangsung
suatu pembabatan besar-besarn. Orang-orang yang duduk
di bangku-bangku merasa ngeri melihat pemandangan
ajaib ini. Mereka lantas pergi dengan rasa gaib yang
menyelinap di masing-masing sanubarinya.

Pagi hari. Matahari cerah. Langit cerah. Udara segar.


Suasana segar. Kembali kota menjadi hiruk-piku dan
menggairahkan. Dan kembali taman bunga menjadi
gelanggang pertumpahan perasaan-perasaan yang
memberat hati dari segala jenis manusia. Dari jauh
perempuan buntibg yang compang-camping itu berjalan
gontai dan pelan memasuki daerah kelompok kembang-
kembang. Sudah beberapa hari sejak peristiwa itu, ia tak
muncul ke taman. Baru sekarang ia datang lagi, mungkin
ada perasaan rindu yang harus dituruti.

“Selamat pagi, perempuan bunting,” sambut


Kemuning.
“Selamay pagi, Sayang,” balasnya.

“Kemana saja engkau beberapa hari ini?”

“Ah, tidak kemana-mana. Aku di rumah saja. Tapi di


rumah pun aku tak kerasan.”

“Kenapa?”

“Jembatan itu sudah rapuh benar. Aku makin mawas


saja bila aku memejamkan mata dan dia atas kendaraan-
kendaraan berat lewat. Terasa rumahku bergoyang.
Peluhnya bercucuran menyangga beban yang
berseliweran itu dan kukira dengan tenaganya yang
kehabisan itu.”

“Ah, kasihan jembatan.”

“Terbekatilah yang masih bisa ngomong begitu” kata


perempuan itu.

Lalu ia duduk terlentang di bangku dan napasnya


turun naik. Tiba-tiba ia bangkit lagi dan dengan kekagetan
yang sangat, berteriaklah ia, “He Kemuning! Apa yang
telah terjadi dengan ini semua ? Segalanya telah
berantakan!”

Ia keheranan. Lari kesan kemari, mengitari tanaman-


tanaman yang telah mengering dan tinggal cabang-
cabangnya saja dengan daun satu dua. “Apa yang telah
terjadi? Kemuning! Dimanakah sahabat-sahabatku? Di
mana? Di mana mereka? Telah hancur? Layu? Kering?
Telah terjadi keganasan? Mereka hancur semua?”
Perempuan itu memandang takjub pemandangan yang
ganjil itu dan Kemuning diam saja.

“Mereka hancur semua dan engkau tetap utuh sendiri,


Kemuning? Dewa Keganasan rupanya memilih-milih
korban juga. Di mana jasad mereka? Benar-benar hancur
lumat dan menguap?”

“Benar! Hancur lumat dan menguap,” kata


Kemuning.
Laul perempuan itu mengambil sekuntum yang telah
lusuh oleh balutan tanah dan hampir-hampir tak di kenali
lagi.

“O, Mawarku ....”

“Mawarku juga,” sambung Kemuning.

“O, Melatiku...”

“Melatiku juga,”

“O,segalanya. Segalanya. O, sahabatku dan


korbanku.”

“Ya, mereka-mereka sahabatku dan korban-korbanku


juga,” sambung Kemuning sambil tertunduk.

“Demikiankah?”

“Memang demikian.”

“Apa yang telah terjadi sesunggguhnya?”

“Perang”
“Perang?”

“Ya, perang. Perang antara kami dan mereka.”

“Kalian dikerubut. Maksudmu?”

“Demikianlah”

“Dan kalian menang?”

“Dan kami menang. Satu kemenangan yang nista.”


Kemuning tertunduk.

“Sepeninggalmu mereka marah-marah kepada kami,


karena kami turut campur urusan mereka. Lalu mereka
menyatakan perang terhadap kami, segampang
mengundang makan, hingga hampir-hampir kami tidak
percaya akan mata, mulut, dan telinga kami. Lalu mereka
asah peralatan perang mereak,. Pedang, tombak, pisau,
kemarahan, siasat, keganasan, dan semangat. Mereka
menyerang kami, mengerubut kami. Keringat=keringat
bercucuran. Pengap. Kacau balau. Tunggang langgang . ...
Dan apa yang telah kami saksikan, tak akan mau kami
saksikan lagi. ... Mereka menyerang membabi buta tanpa
mempergunakan pikiran. Apa selanjutnya? Setelah dekat
benar, Setelah berhadap-hadapan benar. Setelah ganas
mata bertemu ganas mata. Dengus hidung bertemu dengus
hidung. Busa mulut bertemu busa mulut. .. Allah!!!
Mereka jatuhkan pedang mereka, lembing mereka, pisau
mereka, perisai mereka, dan kebengisan mereka. Mereka
ganti dengan senyum dan dibiarkannya kepalanya
dipenggal, ditusuk perutnya, dadanya dibelah. Mereka
licik. O, musuhku pemberani yang pengecut, Meereka
telah melakukan bunuh diri masal!,”

Kemudian semua kemuning terisak-isak. Perempuan


bunting itu terharu.

“Ya, mereka adalah sahabat-sahabat kami dan


korban-korban kami. Di puncak kemarahan kami, kepala
mereka seolah-olah buah jeruk ditangan kami yang
dengan mudah kami petiki. Siapakah yang mengira bakal
demikian kejadiannya? Mungkinkah kami bisa cuci
tangan terhadap ini semua? Mungkinkah kami mampu
melarikan diri dari bayangan raksaasa yang membayangi
kami sepanjang hayat kami? O, betapa berdosanya
kami . ... !

Suasana sejenak lengang. Kemuning termangu.

Perempuan itu juga termangu.

“Tumpas-tampis,” kata perempuan itu. “Mereka


akhirnya mencapai cita-citanya.”

“Di mana gerangan mereka sekarang ? “ kata


Kemuning hampa.

“Di mana?” sahut perempuan itu. “Di mana-mana


mungkin? Di sini? Di sana? Di sisinya? Di jantungnya?”

Suasana jadi termangu-mangu.

“Apa yang didapatkan di dunia ini kecuali tidak


ada?” kata Kemuning. “Semuanya mendapatkan tidak
mendapatkan apa-apa. Keyakinan yang di tempa di dada
hanya untuk memusnahkan keyakinan tentang dunia.
Seperti keluarga yang mula-mula dibangun dengan baik.
Dan anggota-anggota keluarga yang baik itu kemudian
menghancurkan dirinya sendiri dengan tangan-tangannya
yang lembut. Sang bapak pergi sendiri dengan urusannya
sendiri. Sang ibu pergi sendiri dengan urusannya sendiri.
Sang anak pergi sendiri dengan urusannya sendiri. Pada
pintu rumah yang satu, tempat keluar masuk, mereka
sudah saling tidak mengenal. Mereka berpapasan seperti
angin lalu. Seperti pembeli-pembeli toko yang
berpapasan, pundak-pundak bersinggungan, tangan-
tangan bersinggungan, paha-paha bersinggungan,. Tapi
mereka tak mengenal satu sama lain.”

Kuntum-kuntuk Kemuning itu menatap berkeliling.


Perempuan itu melihat kepadanya.

“Lihatlah yang bergerombol di bawah pohon


trembesi itu. Kawan-kawanmu! Pengemis dan
gelandangan. Mereka isi perut mereka. Mereka isi.
Mereka isi terus. Kalau kepenuhan, mereka menangis,
takut kalau-kalau meletus perutnya. Kalau kosong,
mereka juga menangis, takut kalau-kalau mati kelaparan.
Tidak ada satu rumus pun yang mampu menentramkan
mereka. Dan lihatlah yang ada di bawah pohon jambu.
Pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi berpasang-
pasangan. Mereka kaya-kaya. Tetapi mereka berlagak
seperti orang-orang miskin. Mereka robek-robek baju
mereka yang bagus-bagus. Mereka berpakaian lusuh,
kotor, dan compang-camping. Mereka berpura-pura
menderita, susah, sengsara. Tetapi setelah datang
kesusahan benar-benar : sang pacar diri, lantas dia
meronta-ronta. Benar-benar meronta dan memohon
jangan sampai peristiwa patah hati benar-benar terjadi. ..
Tidak ada satu rumus pun yang mampu menentramkan
mereka. Dan kemudian yang disan itu, di tepi kolam.
Mereka duduk dan berbincang : seorang komponis,
penyair, pelukis, seorang ahli kimia, seorang doktor,
seorang filofof, seorang profesor, seorang politikus.
Mereka orang-orang kelaparan juga. Mereka sudah
kesepian sesungguhnya, sebelum mereka sempat berkata,
‘ aku tidak kawin, karena aku takut kesepian’. Rupanya,
mereka akan beramai-ramai dengan dunia. Tidak ada satu
rumus pun yang mampu menentramkan mereka. Tapi
malang, kepedihan dan kebahagiaan terlalu dalam,
bintang-bintang di angkasa terlalu tinggi. Mereka jajaki
dengan jangkar dalamnya laut, tapi musik mereka, puisi,
lukisan, segal rumus dan teori mereka, tiada mampu
menggapai dasarnya.

Laboratorium-laboratorium meledak: kertas-kertas


terbakar: dan kota-kota bertabrakan, karena meteran tidak
tepat. Meraeka tiba-tiba menengok keatas. Seolah-olah
ada barang yang hilang di langit. Mereka tersedu-sedu.
Mereka lihat bintang-bintang menjauhi mereka. Bahkan
meteor dan awan panas yang paling kejam pun menjauhi
mereka. Semesta yang mengembang itu pun menjauhi dan
meninggalkan mereka. Betapa kreatifnya semesta
permainkan kita.”
Kemudian Kemuning menghentikan bicaranya dan
perempuan itu membuang nafasnya jauh-jauh.

“Orang-orang meninggalkan orang-orang. Tumbuh-


tumbuhan meninggalkan tumbuh-tumbuhan. Masyarakat
meninggalkan masyarakat. Binatang meninggalkan
binatang. Kerikil meninggalkan kerikil.”

Tiba-tiba Kemuning itu terisak-isak,” O, aku sangat


kesepian . . . .”

Dan perempuan bunting itu tiba-tiba memeluk


kuntum-kuntum Kemuning itu ke dadanya, “O, aku
sangat kesepian juga”

......................................................................................
....................................................

“Tuhan telah meninggalkan kita,” kata Kemuning.

“Benarkah?” kata perempuan itu.

“Demikiankanlah,”
“Akan kususul Dia,”

“Buat apa? Dia terlau kencang lari-Nya,”

“Laparku akan mampu mengejar-Nya,” kata


perempuan itu.

......................................................................................
...............................................

Sore hari perempuan itu sampai di jembatan,


rumahnya. Didapatinya orang berkerumun banyak sekali.
Seperti orang menonton tukang obat. Orang-orang yang
baru datang juga banyak sekali. Mereka berdesak-
desakan. Perempuan itu ikut mendesak ke dalam,
menyusup diantara orang-orang. Mereka yang tahu bahwa
ada bau busuk menyusup pada buyar. Tiba-tiba mata
perempuan tiu terbelalak. Mulutnya menganga. Ia kaget.
Di lihatnya jembatan runtuh. Kendaraan-kendaraan berat
berkaparan di kali. Orang-orang pada kerja keras untuk
menaikkan para korban. Perempuan itu tertegun dan tidak
disadarinya jarinya dimasukkan ke dalam mulutnya yang
masih menganga itu, kemudian digigitnya. Wajahnya
menyeringai dan air matanya meleleh. Ia hampir-hampir
tak percaya akan matanya. Jembatan itu benar-benar
hancur lebur. Dan kendaraan-kendaraan yang celaka itu
itu sudah kehilangan sebagai barang rongsokan di gudang
besi-besi tua. Ia menarik nafas panjang dan dibuannya
jauh-jauh, dan dalam pikirannya ia bersyukur kepada
tuhan bahwa waktu jembatan itu runtuh, ia tak ada di
bawahnya. Tersa jantungnya keras-keras memukul
dadanya untuk menyatakan syukur itu. Kemudian ia
teringat akan harta bendanya yang pastilah terkubur
hidup-hidup: rongsokan tikar, rongsokan kain, rongsokan
keranjang. Tiba-tiba ia kaget ketika orang-orang banyak
menaikkan para korban ke atas yang kelihatan hancur
lumpur dan darah merah. Ia teringat akan kawan-
kwannya. Tapi dimana? Orang sebegitu banyak! Ia
menoleh ke kiri dan ke kanan tapi tak di lihatnya barang
seorang pun kawannya.
“He, Si Buncit-Buncit! Engkau selamat?!” teriak
seseorang.

Perempuan bunting itu cepat-cepat menoleh kepada


suara itu.

Tapi ia tak mengenalnya. Bukan kawannya. Tentulah


ia seorang biasa yang menggangunya.

“Wah, Si Karung Arang! Engkau Selamat?!” teriak


yang lain dan perempuan itu menoleh lagi kepada suara
itu. Orang lain pula.

“Wo! Si Pantat Belanga! Engkau Selamat?!”

“Engkaulah satu-satunya yang selamat! Semua


kawanmu terkubur hidup-hidup!” teriak seseorang.

“Benar! Ohh, kasihan,” keluh perempuan itu. “Oh,


kawan-kawanku yang baik-baik, akhirnya kita berpisah,
seperti sebelumnya kita tak pernah bertemu walau satu
kolong jembatan.”

Perempuan itu tertunduk dan menangis.


“Apa yang kautangiskan, ge, Si Bisul Hitam?”

“Kawan-kawanku . . . . O, kawan-kawanku.

“Cup . . . cup . . . sudah,sudah. Lahirkan dulu


kandunganmu. Nanti sehabis itu cari kawan lagi.” Kata
seseorang dan disambut ketawa orana-orang.

“Cup . . . cup . . . sudah,sudah. Nanti Bapak


Gubernur akan membikinkan jembatan lagi untukmu.
Jangan khawatir. Lebih bagus dari ini dan khusus di dekat
tempat tidurmu, tiang-tiangnya akan dipelitur,” kata yang
lain di sambut keataw oleh orang-orang.

Jauh malam hari, ketika sudah tidak ada orang-orang


yang melihat jembatan yang roboh itu, perempuan
bunting itu masih terisak-isak di situ sendiri. Hatinya
pedih sekali.

“O, Rumah Tuhanku. Akhirnya engkau roboh, karena


semuanya lengah tidak memeliharamu. Juga aku. Tapi
apa dayaku. Aku seorang permpuan yang lemah. Tak
mampu aku memeliharamu. Seandainya suamiku masih
setia di sisi-sisiku, tentulah ia sedikit-sedikit menjaga
tiangmu, papan-papanmu,. O, gereja-masjidku, tambatan
kenanganku yang indah dan akan kutangisi sepanjang
masa.”

Perempuan itu terisak-isak lebih keras. Ia teringat


suaminya yang meninggalkanya begitu saja dalam
keadaan mengandung. Ia rindu suaminya. Ia rindu
pelukannya yang hangat dan mendebarkan. Ia rindu
mempermain-mainkan telinganya. Ia membayangkan
dengan heran apakah seorang suami, walaupun dengan
tega meninggalkan, tidak rindu dengan istrinya biarpun
hanya sekilas? Lebih-lebih dalam keadaan mengandung
dan apakah tidak pingin melihat anaknya lahir? Ia ingat
perutnya yang sudah membesar. Ia tahu, tidak lama lagi
akan melahirkan bayinya. Ia sedih. Di mana gerangan ia
harus melahirkan? Harus mencari kolong jembatan?
Emper toko? Siapa yang akan menolongnya?
Kemudian ia teringat kembali akan kolong
jembatannya, dia bisa menangis sepuas-puasnya mengadu
kepada Tuhan tentang kesengsaraannya. Tempat dia bisa
sembahyang sepuas-puasnya untuk mencari dan
mencintai Tuhan dan pasrah kepada-Nya.

Malam itu ia dibalut oleh kesediaan yang luar biasa.


Kelaparannya. Perutnya yang makin besar. Jembatan
roboh. Kawan-kawannya yang mati semua. Cemohan
orang-orang. Ia tengadah dan diremas-remas tangannya.
Nyanyi sendunya disapu angin malam :

Ya, Allah

undanglah daku

dalam satu meja makan

di mana terhidang segala makanan,

kasih sayang

dan gurau bersahut-sahutan


Lalu Engkau berkata dengan senyum merekah

“Marilah bicara tentang segalanya”

Sejenak tangan kiri kita masing-masing berpegangan


pada bibir meja.

Engkau julurkan secangkir teh kepadaku,

Dan ketika jari-jari-Mu menggeser jari-jariku

Aduhai, perasaan yang bahagia menyelinap

Di hati kita masing-masing tanpa kita sadari

Kemudian ia jatuh terkulai. Wajahnya menelungkup


ke tanah. Ia tersedu-sedu. Tanganya meremas-remas
tanah. Kandungannya berguling pada pahanya dan
mengganjal tubuhnya. Air matanya meleleh ke ujung
hidungnya dan jatuh diisap tanah. Ia kelihatan sengsara
benar. Bulan di atas tambah membumbung tinggi seperti
bidadari terbang dengan selendang-selendangnya.
Bintang-bintang dengan sesukanyadi angkasa biru.
Segumpal awan pun tak ada, hingga langit kelihatan amat
cerah. Udara dingin membangunkan gairah yang mesra.
Suatu perpaduan yang gilang-gemilang antara bulan
penuh emas, bintang-bintang berkedip-kedip, langit cerah
biru lazuardi dan udara dingin akan melahirkan rasa
bahagia yang dalam.

Angin silir-silir menyelimuti perempuan itu dan


tersentaklah ia oleh perasaan yang aneh. Semacam bau
yang aneh atau semacam sesuatu yang aneh. Hingga
gaiblah sekujur tubuhnya. Ia merasa seolah melayang.
Rohnya serasa melayang meninggalkan jasadnya ke alam
astaral. Ajaib! Ia merasa angota-anggota badannya,
tangan-tangannya, kaki-kakinya, bahkan seluruh
tubuhnya, rontok. Ia buka matanya lebar-lebar tetapi ia
masih ditempat. Ia tidak beranjak sedikit pun. Ia
tanggalkan tubuhnya sekaligus dengan cekatan, seolah-
olah perempuan yang lelah habis melakukan perjalanan
yang jaug dan lantas kegerahan lau ia tanggalkan semua
pakaiannya. Kemudian ia jinjing sendiri kulit rahimnya
dan tersentaklah kulit rahimnya seperti balon mainan
anak-anak yang mengembang ditiup. Dan kulit rahim itu
mengembang besar sekali. Besar sekali! Ya, mahabesar
sekali hingga ia menjadi semesta.

“O, rahik semesta. Demikian agungkah engkau?


Rahimku mengandung diriku sendiri, tempat aku
bermain-main di dalamnya dengan tentramnya.”
Perempuan itu merasa lebur jiwanya dan melayang-
layang dalamnya angkasa hampa udara. Perasaan yang
campur baur dan tak keruan antara sendu, haru, dan
bahagia dengan cinta kasih yang luluh lantak habis-
habisan, hingga membuat perempuan itu lumpuh tak
berdaya sedikit pun. Air matanya berlelehan di udara.
Hingga seperti benang-benang kapas yang lembut,
berpancang-pancang panjang sekali, dari mata ke
seberang jauh, seolah-olah mau mengikat bintang-bintang
yang bertebaran itu, hingga perempuan itu persis laba-
laba yang sedang membikin jaring-jaringnya. Kemudian
perempuan itu sampai kepada sebuah tabir lendir yang
dingin besar lebar seolah pintu raksasa yang tegang
kukuh. Kemudian dengan jari telunjukknya ditusuknya
tabir lendir itu hingga terbelalah pintu itu.

“Terbuka!” teriak perempuan itu kegirangan. “ Aku


telah membuka tabir. Tabir menyibak!” Dengan
girangnya ia lari masuk dan menoleh lagi ke belakang,
tapi tabir itu sudah tidak ada lagi. Ia tercengang.

“O, tabir itu sesungguhnya tidak ada, gumam


perempuan itu. “Perasaanku dan mataku saja yang
menipuku.”

Ketika ia berbalik lagi mau lari kegirangan, ia kaget


sekali, seba di hadapannya sudah berdiri banyak sekali
laki-laki perkasa dan cemerlang menghadangnya. Mereka
ada yang berjenggot dan berkumis lebat. Ada pula yang
bersih klimis. Ia termangu-mangu. Heran campur takut. Ia
undur perlahan-lahan. Tapi ketika semua laki-laki itu
tersenyum padanya, mendadak hilang ketakutannya. Ia
sambut senyum senyum itu dengan senyumnya pula.

“Siapakah gerangan kalian?” tanya perempuan itu.


Mereka tersenyum mesra sambil menyebut nama-
namanya sendiri. Perempuan itu terbelalak.

“Benarkah?O, benarkah?” perempuan itu hatinya


girang bukan kepalang.

“Apa yang kaulihat benar semata,” kata seorang


diantaranya.

“O, hampir aku tak percaya.”

“Percayalah. Disini ‘daerah kepercayaan yang


dimimpikan tiap-tiap orang.”

“Benarkah?O, benarkah?” perempuan itu menganga


mulut dan matanya dan air matanya berderai bagai
butiran-butiran mutiara. Wajahnya lembut cerah menatap
satu persatu laki-laki yang dihadapannya itu, berderet-
deret separuh lingkaran.Perempuan itu mendekap
tangannya ke dadanya dan kepalanya menggeleng-eleng
tanda kekaguman.

“Tuankah yang berlayar dengan bahtera raksasa


karena banjir besar?” tanya perempuan itu sambil
mengguncang-guncangkan tubuh laki-laki yang ditanyai
itu.

Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum.

Lalu perempuan itu lari ke arah yang lain dengan


senangnya.

“Tuankah yang membelah lautan untuk


menyelamatkan kawan-kawan Tuan yang sedang dikejar
oleh musuh-musuhnya?” Laki-laki yang ditanya itu pun
mengangguk sambil tersenyum. Perempuan itu merasa
lega dan lari ke arah yang lainnya.

“Tuankah yang tabah menyembelih anak Tuan


sebagai ujian dan Tuan lulus? Tanpa tuan tahu, ternyata
Tuan hanya menyembelih seekor kambing?” ?” Laki-laki
yang ditanya itu pun mengangguk sambil tersenyum.
Perempuan itu merasa lega dan lari ke arah yang lainnya.

“Tuankah yang berjuang dengan cinta kasih?” Laki-


laki yang ditanya itu pun mengangguk sambil tersenyum.
Perempuan itu amat seng hatinya. Ia pun lari ke arah yang
lain pula.

“Tuankah yang membakar sahara dengan perjuangan


tuan lebih dari dua puluh tahun?” Laki-laki yang ditanya
itu pun mengangguk sambil tersenyum. Perempuan itu
tambah kegirangan dan lari kesana kemari.
Mengguncang-guncangkan tubuh laki-laki yang ditanyai
itu, menjabat tangannya menatapi wajahnya satu per satu.

“O, Tuankah yang membunuh raksasa dengan ketapel


Tuan ? Tuankah yang sakti dan kaya raya? Tuankah yang
menjadi korban keisengan perjamuan? O, Tuankah
yang ... O, Tuankah yang... “ Belum habis perkataan
perempuan itu, semua laki-laki tersebut bersama-sama
mengangguk dengan senyuman. Kemudian perempuan itu
kembali ke tempatnya dengan wajah kegirangan.
Tangannya tergenggam di dadanya.

“Apakah keperluan Tuan-tuan sesungguhnya, kalau


saya boleh bertanya?”

“Meminangmu,” kata mereka bersama-sama.

“Meminangku?,” terbelalak perempuan itu.

“Ya, kami semua masing-masing meminangmu.”

“Tuan-tuan masing-masing meminangku?” Tambah


keras gengaman keras didadanya. Ia tetap kaget girang.

“Ya , siapa diantara kami yang engkau terima,


sehingga selekasnya bisa memboyongmu ke rumah untuk
didudukkan di kursi pengantin?”

“Benarkah!O, benarkah? Aku dipinang dan segera


diboyong dan segera didudukkan di kursi pengantin?”

“Demikianlah, engkau tak salah dengar.”


Perempuan itu menatap benar-benar wajah laki itu
satu per satu. Ia tetap kaget girang.

“O, sungguh mulia Tuan-tuan semuanya. Adakah


orang yang lebih bahagia dari saya? O, hari yang penuh
rahmat. O, peristiwa yang cemerlang. Tuan-tuan sungguh
mulia. Saya cinta kepada tuan-tuan semuanya. Cinta
kasihku melebihi sebuah pinangan. Tetapi maafkan
perempuan bunting ini, ia sesungguhnya telah dipinang.”

“Demikiankah?” kata mereka bersama-sama.

Demikianlah. O, sayang. Sayang sekali. Pinangan


telah datang pagi-pagi benar sebelum saya bertemu
dengan Tuan-tuan semuanya. Perjalananku tidak lain
hendak bertemu dengannya. Rindu dendamku sudah tidak
bisa ditangguhkan kembali. Izinkan aku melanjutkan
perjalananku kepadanya. Inilah akhir masa rinduku yang
lama. Tinggal sejenggal lagi! Tinggal sejengkal . . .
Lihatlah!Lihatlah! ...” Tiba-tiba perempuan itu lari
menyibak semua laki-laki yang ada dihadapannya.
Mereka menyingkir. Sebagai seorang gadis yang telah
lama berpisah dengan kekasihnya, saat-saat perempuan
yang telah mengetahui akan rindu dendamnya yang sudah
memuncak dan saat pertemuan yang mendebarkan akan
segera terjadi, Perempuan itu tertawa dan menangis penuh
rasa haru dan bahagia.

O, kenistaan. Selamat berpisah. O, kesengsaraan.


Selamat tinggal denganmu. Pada perjalananku yang
terakhir, engkau beban pedih, dapat juga akhirnya
kutanggalkan dari pundakku.

Berbareng dengan musik semesta dan nyanian yang


bertalu-talu, tersembunyilah dari bawah, sebatang pohon
yang hijau rindang, gilang-gemilang, bercahaya-cahaya
dengan cemerlang. Lalu semesta alam diliputi dengan
kebahagiaan. Syahdu. Tentram. Sekalian orang laki-laki
yang meminang perempuan bunting tadi pada sujud di
hadapan pohon itu. Bergetar-getar pohon hijau rindang itu
dengan penuh cinta kasih menyambut perempuan bunting
tersebut yang berlari ke arahnya.

“O, Pohon Hayatku!O, Permata Cahayaku!” hati


perempuan itu menyanyi. “Lihatlah! Lihatlah! Aku lari ke
haribaan-Mu! Aku memenuhi undangan-Mu! Aku terima
pinangan-Mu! Sambutlah! Sambutlah!”

Serta-merta perempuan itu terjatuh ke pangkuan-Nya


sudah tidak tertahankan lagi. Ia menangis dengan hati
menyanyi. Ia haru dengan rasa kebahagiaan yang tiada
tara.

“O, Kekasihku. Berakhirlah sudah laparku yang


panjang dan pedih. Marilah kupeluk Engkau. Kucium
bibir-Mu. Kupermainkan rambut-Mu. O, Lautan
kebenaranku . . . di mana orang-orang yang sujud disana
itu tertegun dan jatuh pingsan melihat-Mu . . . . Dan
Engkau biarkan dadaku tetap tegak, karena rasa
kepasrahanku yang dalam pada-Mu . . . Benarkah? O,
Junjunganku. Gaib sekali. Kita sepasang merpati yang
sedang bercinta di dalam Rahim Semesta-Ku. O, Engkau
mengedipkan mata-Mu yang sejuk itu . . . O, aku tahu.
Aku tahu. Biarlah . . . biarlah . . . Biarlah laki-laki
mencemoohkan aku. Anak-anak menertawai aku dan
wanita melongos terhadapku. Biarlah . . .biarlah. Mereka
toh tidak tahu bahwa aku sedang mengandung.
Tuhan . . .”

Anda mungkin juga menyukai