Anda di halaman 1dari 14

YANG MENCERAHKAN,

YANG MENGGELISAHKAN

REVIEW
terhadap Makalah Kuliah Umum 2009
“PARADIGMA ILMU SOSIAL-BUDAYA: SEBUAH PANDANGAN
OLEH HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA”

Heru S.P. Saputra


S3 SASTRA-KTL
NIM 12/338398/SSA/00861

Review ditulis untuk memenuhi tugas ke-1


Matakuliah Filsafat dan Paradigma Ilmu Budaya
Pengampu: Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A.,M.Phil.

PROGRAM PASCASARJANA, FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVESITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA, OKTOBER 2012

YANG MENCERAHKAN,
YANG MENCERAHKAN, YANG MENGGELISAHKAN

1. Pengantar
Dalam konteks kerja ilmiah atau penulisan karya ilmiah, di antaranya
dalam penelitian, poin-poin penting yang menjadi standar dan selama ini banyak
dibicarakan serta sering muncul, di antaranya adalah tinjauan pustaka, kerangka
teori, metode penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
Selain itu, ada beberapa poin lain, tetapi tampaknya kurang begitu penting.
Bertolak dari poin-poin yang telah disebutkan, yang notabene menjadi semacam
ukuran standar, tampak bahwa ilmuwan atau peneliti telah cukup untuk
melaksanakan kerja ilmiah dengan berlandaskan pada poin-poin atau kisi-kisi
tersebut. Namun, belakangan baru diketahui, ternyata, tidak cukup hanya dengan
bekal itu.
Poin yang lebih mendasar daripada sekadar poin-poin yang telah
disebutkan itu, adalah paradigma. Saya sendiri selama ini kurang memahami
betapa penting dan mendasarnya sebuah paradigma, sebagai fondasi dalam
melaksanakan kerja ilmiah atau kerja akademis. Paradigma, ternyata,
merupakan kerangka atau fondasi yang menjadi desain, sekaligus “karakteristik”
yang menjadi warna dari seluruh rangkaian suatu kerja ilmiah. Dengan menyimak
makalah untuk Kuliah Umum yang disampaikan Ahimsa-Putra (2009),
“Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan”, saya merasa tersentak,
betapa urgennya untuk memahami sekaligus mengimplementasikan sebuah
paradigma dalam melaksanakan kerja ilmiah. Dari makalah tersebut banyak
kontribusi akademis yang bisa diserap. Untuk itu, berikut ini dipaparkan –sebatas
pemahaman saya– tentang substansi sekaligus implikasinya, baik yang besifat
mencerahkan, menggelisahkan, maupun yang bersifat mengingatkan.

2. Substansi
Makalah berjudul “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan”
yang disampaikan Ahimsa-Putra dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan oleh
Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan
Indonesia, di Bandung, 7 Desember 2009, berisi paparan tentang arti penting
sebuah paradigma dalam “mengkerangkai” suatu kerja akademis, yang
bermanfaat untuk memahami dan menjelaskan berbagai fenomena empiris.
Paparan tersebut sangat urgen untuk segera disebarluaskan, mengingat bahwa

1
masih banyak ilmuwan atau calon ilmuwan, termasuk juga para peneliti, yang
disinyalir oleh Ahimsa-Putra belum memahami/menguasai tentang paradigma
dalam melaksanakan kerja ilmiah. Saya sangat setuju dengan pendapat tersebut,
mengingat saya sendiri sebelum membaca makalah Ahimsa-Putra belum
memahami secara benar apa dan bagaimana paradigma.
Wacana yang digaungkan Ahimsa-Putra tentang paradigma bukanlah
langkah yang tiba-tiba atau dadakan, melainkan dimulai melalui proses
pembacaan atas wacana yang telah disuarakan oleh ilmuwan yang lain tetapi
perlu dikritisi. Ilmuwan yang kemudian dikritisi tersebut adalah Thomas Kuhn
(1970) serta Cuff dan Payne (1980). Kuhn merupakan salah satu ilmuwan yang
mempopulerkan konsep paradigma, khususnya tentang pergantian paradigma,
tetapi dinilai oleh Ahimsa-Putra sebagai “tidak konsisten dalam menggunakan
konsep tersebut pada tulisan-tulisannya”. Sementara itu, kontribusi Cuff dan
Payne berupa paparan tentang sejumlah unsur yang menjadi substansi-integral
dalam sebuah perspektif atau pendekatan –yang kemudian diparalelkan dengan
paradigma– dinilai oleh Ahimsa-Putra sebagai “belum lengkap, belum rinci,
belum jelas urutannya, dan tidak selalu jelas maknanya”.
Bertolak dari pembacaan kritis tersebut, sekaligus atas dasar fenomena di
lapangan yang notabene masih banyak ilmuwan/calon ilmuwan dan para peneliti
yang membutuhkan pencerahan, maka Ahimsa-Putra melalui makalah untuk
Kuliah Umum –dan pada beberapa forum lain, di antaranya forum
seminar/pelatihan, dan pidato pengukuhan guru besar– menggaungkan arti
penting paradigma dalam mekanisme ilmiah. Pemahaman yang komprehensif
terhadap paradigma menjadi begitu urgen karena ia merupakan kerangka
pemikiran yang menjadi fondasi dalam rangkaian kerja ilmiah sekaligus
mewarnai seluruh mekanisme ilmiah tersebut. Atau, sebagaimana dijelaskan
Ahimsa-Putra bahwa paradigma merupakan seperangkat konsep yang
berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka
pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan
kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi.
Untuk mendukung dan melengkapi konsep paradigma yang telah
dipaparkan tersebut, Ahimsa-Putra memformulasikan sejumlah unsur pemikiran
atau komponen konseptual dengan dilengkapi mekanisme relasi-relasinya.
Komponen konseptual yang terdiri atas sembilan unsur pemikiran tersebut
adalah: (1) asumsi-asumsi dasar (basic assumptions), (2) nilai-nilai (value), (3)

2
masalah-masalah yang diteliti, (4) model-model (models), (5) konsep-konsep
pokok (main concepts/key words), (6) metode-metode penelitian (methods of
research), (7) metode-metode analisis (methods of analysis), (8) hasil
analisis/teori (results of analysis/theory), dan (9) representasi (etnografi). Dari
sembilan unsur tersebut, unsur 1-3 tidak selalu eksplisit, sedangkan unsur 4-9
selalu eksplisit.
Pada unsur ke-6 (metode-metode penelitian), Ahimsa-Putra memaparkan
secara lebih rinci hal-hal yang seringkali masih kurang dipahami secara baik oleh
para peneliti, yakni tentang (a) realita, fakta, dan data, (b) data kualitatif dan
kuantitatif, dan (c) metode penelitian kualitatif dan kuantitatif.
Untuk membantu pemahaman secara lebih mudah, Ahimsa-Putra juga
memformulasikan sembilan unsur paradigma tersebut dalam bentuk skema,
lengkap dengan hubungan relasionalnya. Pada bagian tersebut juga ditegaskan
bahwa skema paradigma tidak sama dengan prosedur penelitian ataupun format
proposal.
Sebelum mengakhiri makalah, dipaparkan pula tentang contoh paradigma
yang ada dalam lingkup ilmu-ilmu sosial-budaya, yang diidentifikasi berjumlah 15
paradigma, yakni mulai dari paradigma evolusionisme hingga paradigma post-
modernisme. Masing-masing paradigma masih memiliki sub-paradigma,
sedangkan masing-masing sub-paradigma memiliki teori-teori tentang berbagai
gejala sosial-budaya.
Pada akhir makalah digarisbawahi bahwa dalam asumsi-asumsi dasar,
nilai-nilai, dan model terkandung pandangan-pandangan filosofis dari suatu
paradigma. Hal itulah yang kemudian populer dengan sebutan epistemologi.

3. Mencerahkan
Substansi makalah yang ditulis Ahimsa-Putra sangat mencerahkan,
karena –setidak-tidaknya bagi saya– membawa informasi yang baru, baik bagi
ilmuwan/calon ilmuwan maupun bagi para peneliti, utamanya di Indonesia.
Selama ini, dalam konteks penelitian, poin penting yang menjadi kata kunci tidak
lain adalah teori dan metode atau pendekatan. Padahal, sebagaimana spirit
makalah tersebut, semua itu merupakan bagian dari paradigma, dan paradigma
menjadi sumber dan tumpuan bagi yang lain. “Roh” dari rangkaian kerja suatu
penelitian adalah paradigma. Pencerahan tentang paradigma diperkuat oleh

3
penyebutan unsur-unsur pokok yang spesifik dan penjelasan tentang relasi
antarunsur yang gamblang dan integralistik.
Pencerahan lain yang saya rasakan adalah pada penjelasan tentang
metode penelitian kualitatif dan kuantitatif untuk dipahami sebagai metode
pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif. Penjelasan tersebut mampu
menguak kerancuan frasa yang selama ini telah menjadi informasi umum, tetapi
kurang mendapat kritisi sehingga terkesan yang kualitatif dan/atau kuantitatif
adalah metodenya (bukan semata-mata datanya).
Selain itu, dalam skema paradigma, posisi metode analisis yang berdiri
sendiri dan bukan menjadi bagian atau sub dari metode penelitian, juga menjadi
informasi yang mencerahkan. Selama ini, yang saya ketahui dari buku-buku
tentang penelitian, istilah umum yang sering digunakan adalah teknik analisis
yang disejajarkan dengan teknik pengumpulan data, yang keduanya merupakan
bagian dari metode penelitian. Penjelasan lain yang juga mencerahkan –
meskipun ada sedikit yang menggelisahkan, yang akan dipaparkan pada bagian
lain dalam review ini– adalah deskripsi tentang realita, fakta, dan data yang
komprehensif, sekaligus disertai dengan skema.
Pencerahan-pencerahan tersebut didukung oleh paparan/uraian yang
sistematis, runtut, dan dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami.
Seakan pembaca/publik diajak melangkah setahap demi setahap, dan
selanjutnya digiring untuk menuju ke inti persoalan. Setiap kata, frasa, atau
istilah/konsep yang diperkirakan akan menimbulkan keragu-raguan bagi
pembaca, dijelaskan secara detail dan gamblang. Bahkan, pola sistematis yang
dipaparkan Ahimsa-Putra tidak hanya tercermin dari logika/substansi tulisan,
tetapi juga penggunaan bahasa, dan bahkan jumlah kalimat dalam setiap
paragrafnya (sebagaimana kita ketahui, panjang-pendek setiap paragraf dalam
makalah tersebut hampir sama, sehingga terkesan tertata dengan rapi dan
indah). Hal tersebut merepresentasikan kemahiran berbahasa atau berolah kata
oleh penulisnya. Style paparan yang ditunjukkan oleh penulisnya juga besifat
khas dan terkesan “menghayati” semua implikasi yang terkait dengan pokok
persoalan yang disodorkannya.
Meskipun mencerahkan, tetapi ada sedikit yang menggelisahkan. Hal
tersebut bisa jadi karena tuntutan saya yang terlalu jauh, atau bisa juga karena
cara pandang saya yang relatif sempit. Kegelisahan tersebut saya tuangkan
dalam paparkan berikut.

4
4. Menggelisahkan
Kegelisahan saya setidak-tidaknya dipicu oleh tiga hal yang tercermin dari
makalah tersebut, yakni pembahasan yang kurang seimbang, pernyataan yang
menimbulkan pertanyaan, dan kemungkinan repertoar yang berbeda.

a. Pembahasan yang Kurang Seimbang?


Pemahaman saya secara umum terhadap substansi makalah cenderung
mengarah pada kesimpulan bahwa makalah lebih berorientasi pada ilmu budaya,
sedangkan sisi ilmu sosialnya kurang mendapat perhatian yang seimbang,
padahal judulnya mencakup ilmu sosial-budaya. Pemahaman semacam itu
dipertegas oleh skema paradigma yang berujung/berpuncak pada etnografi (atau
representasi). Skema tersebut memang diambil dari pidato pengukuhan guru
besar Ahimsa-Putra (2008), yang menekankan pada konteks antropologi budaya.
Dengan demikian, etnografi memang menjadi puncak paradigma. Sementara itu,
dalam makalah, penyeimbangan penjelasan –dalam konteks budaya/antropologi
dan dalam konteks sosial/sosiologi(?)– perlu dijaga agar tetap proporsional.
Sebenarnya ada sedikit informasi komparatif yang membantu –yakni
representasi dalam antropologi disebut etnografi, dalam sejarah disebut
historiografi, dalam arkeologi disebut paleoetnografi– namun kurang mencukupi
karena tidak menyinggung secara eksplisit tentang ilmu sosial (atau sosiologi(?)).
Dengan demikian, jika makalah ini hendak dikembangkan, misalnya menjadi
buku (yang tetap mencantumkan konteks ilmu sosial dan budaya), maka
penjelasan yang terkait dengan ilmu sosial (sosiologi) perlu diberi porsi yang
lebih mencukupi, sehingga keseimbangan antara judul dan isi tetap proporsional.
Dengan cara itu, maka kegelisahan saya akan terjawab.
Kegelisahan yang dipicu oleh kesan kurang seimbang juga muncul dalam
penyebutan paradigma-paradigma ilmu sosial-budaya. Sebagaimana diketahui,
dalam makalah telah disebutkan dengan rinci bahwa dalam ilmu-ilmu sosial-
budaya di masa kini setidak-tidaknya terdapat 15 paradigma, yakni: (1)
evolusionisme, (2) diffusionisme, (3) (partikularisme) historis, (4) fungsionalisme,
(5) fungsionalisme-struktural, (6) analisis variabel, (7) perbandingan kebudayaan,
(8) kepribadian dan kebudayaan, (9) strukturalisme, (10) tafsir kebudayaan, (11)
materialisme budaya, (12) materialisme historis, (13) aktor, (14) etnosains, dan
(15) post-modernisme. Terus terang, saya belum memahami peta/pemetaan
paradigma yang ada dalam ilmu sosial dan ilmu budaya. Untuk itu, saya tidak

5
tahu secara persis rinciannya. Meskipun demikian, muncul kegelisahan –yang
barangkali bersifat subjektif– hingga sampai pada pemahaman bahwa poin-poin
dalam rincian tersebut masih lekat dengan ilmu budaya, sementara yang
berorientasi pada ilmu sosial kurang tampak. Sekali lagi, kegelisahan ini dipicu
oleh kekurangpahaman saya terhadap persoalan tersebut, sehingga muncul
pemikiran misalnya apakah Marxisme, Feminisme, atau Postkolonialisme masuk
sebagai paradigma atau bukan? Sebagaimana pada bagian sebelumnya, jika
makalah ini akan dikembangkan dalam tulisan yang lebih luas, kegelisahan
tersebut perlu untuk “diobati” secara proporsional.

b. Pernyataan yang Menimbulkan Pertanyaan?


Bahasa yang digunakan Ahimsa-Putra dalam memaparkan pemikirannya
relatif mudah diikuti, di samping karena runtut dan detail. Meskipun demikian,
ada beberapa bagian yang menimbulkan pertanyaan. Dalam pembahasan yang
terkait dengan fakta disebutkan bahwa “suatu fakta selalu bersifat
“subyektif”[sic]”(hlm. 12), sedangkan di bagian lain juga dijelaskan, “suatu fakta
juga dapat dikatakan sebagai “obyektif” [sic]” (hlm. 13). Dalam konteks alinea
yang menjelaskan pernyataan tersebut, saya dapat menangkap maksud dan
makna kata “subyektif” (seharusnya ”subjektif” [selanjutnya digunakan kata
tersebut]) dan “obyektif” (seharusnya “objektif” [selanjutnya digunakan kata
tersebut]) –dengan tanda petik– tersebut.
Jika kita perbandingkan, frasa selalu bersifat (yang mendahului kata
“subjektif”) dan frasa juga dapat dikatakan sebagai (yang mendahului kata
“objektif”), memiliki kadar yang berbeda, yakni frasa yang pertama lebih
memastikan/meyakinkan (mendapat penekanan), sedangkan frasa yang kedua
terkesan hanya melengkapi (tidak mendapat penekanan). Artinya, dalam konteks
tersebut, saya memaknainya bahwa Ahimsa-Putra lebih memberi penekanan
pada kata “subjektif” dibandingkan kata “objektif”. Saya memahami bahwa arah
yang dituju terkait dengan kata “subjektif” adalah sudut pandang, sehingga sudut
pandang yang berbeda akan menghasilkan fakta yang berbeda.
Saya sependapat bahwa sudut pandang yang berbeda akan
menghasilkan fakta yang berbeda. Akan tetapi, saya khawatir terhadap
pemahaman bahwa fakta-nya yang subjektif, padahal yang subjektif adalah sudut
pandangnya. Dengan demikian, menurut pemahaman saya, dengan
menggunakan sudut pandang yang mana pun –sesuai dengan kepentingan

6
masing-masing– fakta yang diungkap –jika sesuai dengan kenyataan– tetap
merupakan fakta yang substansinya bersifat objektif. Artinya, fakta tersebut tetap
bersumber dan sekaligus sesuai dengan kenyataan yang ada. Ia bukan hasil
rekayasa atau imajinasi. Hanya saja, karena sudut pandang dan tujuannya
berbeda, maka fakta yang diungkap bisa saja hanya terbatas pada fakta yang
relevan atau sesuai dengan tujuannya, sehingga tidak bersifat komprehensif atau
holistik. Dengan demikian, fakta tersebut bersifat parsial atau hanya sebatas
bagian-bagian saja.*)
Sementara itu, istilah “objektif” (dengan tanda petik), menurut
pemahaman saya lebih tepat jika dituliskan objektif (tanpa menggunakan tanda
petik). Tanda petik pada kata objektif membawa konsekuensi bahwa kata
tersebut bukan dalam arti yang sebenarnya, atau bukan benar-benar objektif,
tetapi lebih dalam konteks kiasan. Hal tersebut paralel dengan tanda petik pada
kata subjektif, yang membawa konsekuensi bahwa yang dimaksud bukanlah
yang benar-benar subjektif, tetapi lebih pada sudut padang yang digunakan.
Dengan demikian, penulisan “objektif” menurut pemahaman saya lebih tepat jika
dituliskan objektif, mengingat bahwa yang dimaksudkan adalah fakta yang
didasarkan atas kenyataan.
Pada bagian lain dalam makalah yang sempat memunculkan pertanyaan
adalah pada pembahasan tentang metode analisis. Sebagaimana tertulis pada
halaman 16, “Berkenaan dengan metode analisis ini yang paling perlu
diperhatikan adalah tujuan akhir dari suatu kerja analisis.” Dalam penjelasan

*)
Dalam konteks ini, saya menjadi teringat kisah seorang raja yang menginginkan bawahannya
untuk melukis wajahnya secara natural. Pelukis pertama melukis wajah sang raja sangat bagus,
bahkan terlalu bagus, sehingga tidak sesuai dengan kenyataan. Pelukis kedua melukis wajah
sang raja secara apa adanya, lengkap dengan bagian bopengnya, sehingga aib sang raja dapat
diketahui oleh rakyatnya. Pelukis pertama dan kedua akhirnya sama-sama dibunuh oleh utusan
sang raja, karena pelukis pertama tidak melukis sesuai dengan kenyataan, sedangkan pelukis
kedua melukis apa adanya sehingga tidak mampu menyembunyikan aib sang raja. Pelukis
ketiga, dengan belajar dari kedua pelukis sebelumnya, akhirnya dapat memenuhi keinginan sang
raja, yakni melukis wajah sang raja secara apa adanya, tetapi menggunakan sudut pandang yang
“tepat” (sehingga bopeng sang raja menjadi tidak tampak). Jadi, pelukis ketiga tetap melukis
sesuai kenyataan, tetapi tidak semua kenyataan ditampilkan, hanya kenyataan tertentu yang
sesuai dengan tujuannya yang ditampilkan, dengan cara menggunakan sudut pandang tertentu.
Persoalan yang paralel dengan itu juga sering dilakukan jurnalis. Sebagaimana diilustrasikan
Ahimsa-Putra, bahwa meskipun peristiwanya sama, namun berita mengenai peristiwa ini tidak
akan pernah persis bisa sama. Menurut pemahaman saya, hal tersebut di antaranya dipengaruhi
oleh sudut pandang yang berbeda, atau dalam dunia jurnalistik populer dengan istilah angel.
Informasi yang diungkapkan oleh jurnalis tetap didasarkan pada kenyataan, hanya saja
penekanan yang ditonjolkan oleh masing-masing jurnalis (yang menjadi representasi dari
koran/majalah tempatnya bekerja) berbeda sesuai karakteristik atau misi yang dimiliki media yang
bersangkutan. Dengan demikian, menurut pemahaman saya, perbedaan informasi yang
ditampilkan oleh masing-masing media bukan lantaran informasi/fakta yang disampaikan bersifat
subjektif, tetapi tetap objektif, hanya saja didasarkan atas sudut pandang dari masing-masing
media.

7
terhadap pernyataan tersebut dipaparkan bahwa hasil merupakan jawaban atas
pertanyaan penelitian, sedangkan analisis ditujukan untuk memberikan hasil
tersebut.
Saya dapat memahami konteks penjelasan tersebut. Namun, dari kutipan
itu tampak bahwa tujuan akhir merupakan sesuatu yang paling perlu
diperhatikan. Padahal, sebagaimana yang saya pahami, bahwa dalam penelitian
sosial-budaya, proses analisis telah dilakukan sejak peneliti menentukan
informan, memilih wilayah penelitian, memilah-milah data kualitatif, dan
seterusnya. Artinya, bukankah dalam proses atau tahapan semacam itu juga
menjadi bagian penting yang mampu mempengaruhi (atau bahkan menentukan)
hasil akhir penelitian? Dengan demikian, menurut pemahaman saya, bekenaan
dengan metode analisis, barangkali bukan yang paling perlu, melainkan
merupakan langkah awal. Artinya, langkah awal untuk menentukan metode
analisis adalah memahami tujuan akhir, setelah itu proses atau tahapan analisis
sejak awal hingga akhir penelitian tetap memiliki urgensi yang sama. Dengan
demikian, proses merupakan tahapan yang juga urgen, dan bukan hanya
mementingkan hasil akhir semata.
Sekali lagi, barangkali argumentasi yang saya sampaikan belum tepat,
atau bahkan pemahaman saya yang belum baik, sehingga uraian di atas dapat
dikatakan sebagai media untuk sharing. Namun, itulah yang menjadi kegelisahan
sekaligus pertanyaan yang pelu mendapatkan jawaban.

c. Repertoar yang Berbeda?


Repertoar atau bekal/persediaan khazanah pengetahuan yang berbeda
berpengaruh terhadap pemahaman yang berbeda pula. Repertoar saya yang
belum mencukupi berimplikasi pada pemahaman saya yang barangkali kurang
komprehensif. Bertolak dari hal semacam itu, justru mempengaruhi penafsiran
saya secara berbeda terhadap suatu fenomena, termasuk terhadap penjelasan
tentang realita, fakta, dan data. Pada bagian sebelumnya telah saya sampaikan
bahwa saya mendapat pencerahan tentang realita, fakta, dan data. Penjelasan
yang gamblang terkait ketiga konsep tersebut, mampu menjawab keraguan
banyak pihak. Namun, di balik itu, saya juga mendapat efek berupa kegelisahan.
Kegelisahan yang saya rasakan merupakan dampak dari repertoar yang
saya miliki, yang ternyata tidak sama dengan yang telah dipaparkan dalam
makalah Ahimsa-Putra. Saya mendapat pengetahuan tentang realita, fakta, dan

8
data pada suatu pelatihan penelitian di Lembaga Penelitian Universitas Jember
(Lemlit UNEJ). Dalam forum tersebut dijelaskan bahwa realita adalah kenyataan
yang ada di hadapan kita atau yang secara langsung kita lihat, sedangkan fakta
adalah kenyataan yang sudah termediasi. Sebagai ilustrasi, ketika saya melihat
secara langsung suatu kecelakaan, maka saya sedang menyaksikan realita.
Akan tetapi, ketika saya mengetahui peristiwa tersebut dari media tertentu (bisa
koran, TV, radio, atau bahkan teman yang bercerita) maka saya sedang
berhadapan dengan fakta. Sementara itu, data adalah fakta yang telah dipilih,
dan pilihan tersebut disesuaikan dengan tujuan. Artinya, kalau kita akan
melakukan penelitian tertentu maka data yang akan kita analisis adalah fakta
yang sudah kita pilih atas dasar/disesuaikan dengan tujuan penelitian tersebut.
Dari pengetahuan yang saya dapatkan tersebut tampaknya ada sedikit
perbedaan dengan paparan yang disampaikan oleh Ahimsa-Putra. Dalam
paparannya, Ahimsa-Putra menyebutkan bahwa realita adalah “segala sesuatu
yang dianggap ada”. Menurutnya, ada dalam konteks ini tidak harus bersifat
empiris, bahkan bisa juga hanya dalam pikiran kita. Jadi, penekanannya adalah
pada yang dianggap ada.
Pertanyaan yang menggelisahkan saya, bagaimana dengan pandangan
dari ilmu eksakta (yang cenderung tidak menggunakan faktor penafsiran), yang
notabene pada umumnya lebih mengedepankan aspek material-empiris yang
kasat mata? Sebaliknya, bagaimana pula dengan halusinasi, mimpi, skizofrenia,
dan hal-hal semacamnya, yang notebene menganggap sesuatu sebagai ada,
tetapi menurut pandangan umum merupakan sesuatu yang tidak ada? Di sisi
lain, pengetahuan yang saya dapatkan di Lemlit UNEJ juga membahayakan, jika
realita hanya terbatas pada sesuatu yang bisa kita lihat/hadapi, bagaimana
dengan hal-hal gaib yang pada umumnya tidak bisa kita lihat, termasuk juga
Tuhan, yang tidak dapat diraba, tetapi dipercayai keberadaannya? Hal-hal
semacam itu merupakan kegelisahan yang belum mendapatkan titik terang.
Sementara itu, penjelasan tentang fakta dan data, antara yan dipaparkan
oleh Ahimsa-Putra dengan pengetahuan yang saya miliki, tampaknya
substansinya sama. Ahimsa-Putra menyatakan bahwa fakta merupakan
pernyataan tentang realita, sedangkan pengetahuan yang saya dapatkan di
Lemlit UNEJ menyebutkan bahwa fakta adalah realita yang sudah termediasi
atau disampaikan oleh media tertentu. Namun, dalam skema, realita akan
menjadi fakta dengan melalui individu, sedangkan dalam pemahaman saya,

9
realita akan menjadi fakta dengan melalui mediasi/mediator (bisa berupa
individu, institusi koran, majalah, dan sebagainya). Dengan menggunakan
mediator, maka realita ketika telah menjadi fakta tidak selalu melalui individu,
tetapi bisa juga melalui institusi atau kelompok sosial.
Adapun untuk data, menurut Ahimsa-Putra, merupakan fakta yang telah
diseleksi didasarkan atas relevansinya. Sementara itu, pemahaman yang saya
miliki, data adalah fakta yang telah diseleksi atas dasar tujuan tertentu (tujuan
penelitian). Kedua pengertian tersebut substansinya sama. Fakta yang tidak ada
relevansinya atau yang tidak sesuai dengan tujuan, bukanlah data.
Selain terkait dengan realita, fakta, dan data, bagian lain yang juga
memunculkan pertanyaan adalah pada bagian penyebutan tentang contoh-
contoh metode pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif. Dalam makalah telah
dijelaskan tiga contoh metode penelitian kuantitatif, yakni (a) metode kajian
pustaka, (b) metode survei, dan (c) metode angket. Hal yang menimbulkan
pertanyaan, apakah ketiga metode penelitian tersebut telah merepresentasikan
seluruh metode penelitian kuantitatif? Ataukah masih ada yang lain? Misalnya,
metode pooling, apakah sama dengan metode angket?
Hal yang sama barangkali juga terjadi pada metode kualitatif.
Sebagaimana diketahui, Ahimsa-Putra telah memaparkan enam metode
kualitatif, yakni (a) metode kajian pustaka, (b) metode pengamatan, (c) metode
pengamatan berpartisipasi, (d) metode wawancara sambil lalu, (e) metode
wawancara mendalam, dan (f) metode mendengarkan. Pertanyaan yang
kemudian muncul, sudahkah semua metode penelitian kualitatif terwakili oleh
enam metode tersebut? Bagaimana dengan metode lain yang belum tercakup
dalam enam metode tersebut? Misalnya, dalam ilmu linguistik dikenal adanya
metode simak dan metode cakap. Metode simak dilakukan dengan cara
menyimak, sedangkan metode cakap dilakukan dengan cara bercakap-cakap,
untuk mendapatkan data tentang pola komunikasi atau pilihan bahasa (yang
berbeda dari data yang diperoleh dengan metode wawancara). Apakah kedua
metode tersebut dapat ditambahkan kedalam enam metode yang telah
dipaparkan? Atau sudah terwakili oleh yang lain?

5. Mengingatkan
Selain terdapat hal-hal yang menggelisahkan, paparan dalam makalah
juga menimbulkan sikap akademis saya untuk sekadar sharing informasi guna

10
saling mengingatkan. Informasi yang dapat di-sharing-kan meliputi diksi yang
baku, kalimat yang cermat, dan pustaka yang konsisten. Informasi tersebut
dipaparkan dalam uraian berikut.

a. Diksi yang Baku?


Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa salah satu kekuatan
tulisan Ahimsa-Putra adalah pada style atau gaya dalam memaparkan informasi.
Dengan menyelami tulisannya, terbayang kemahiran berbahasa atau berolah
kata dari penulisnya. Selain itu, style yang ditunjukkan oleh penulisnya juga
besifat khas dan penuh penghayatan.
Potensi semacam itu perlu disayangkan ketika harus terkurangi oleh
penggunaan diksi atau pilihan kata yang tidak baku. Diksi yang dipergunakan
sebenarnya tidak mengurangi makna dari keseluruhan informasi, namun ketika
dicermati secara jeli dan kemudian ditemukan ada sekian diksi yang tidak baku,
tentu hal tersebut akan mengurangi kesempurnaan tulisan. Beberapa diksi yang
dapat diidentifikasi sebagai kata tidak baku adalah: teoritis, hipotesa, kongkrit,
obyek, subyek, obyektivitas, dan rituil. Sederet kata tersebut seharusnya ditulis
dengan versi baku, yakni: teoretis, hipotesis, konkret, objek, subjek, objektivitas,
dan ritual (lihat, Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008).
Selain diksi yang tidak baku, pemenggalan kata yang kurang tepat juga
terasa mengganggu kesempurnaan tulisan. Beberapa contoh pemenggalan kata
yang kurang tepat, dapat disebutkan, misalnya: situa-si (hlm. 3) yang seharusnya
tidak dipenggal, mengingat kata tersebut tetap tetulis dalam satu baris,
sedangkan pemenggalan kata seper-angkat (hlm. 3) seharusnya dituliskan sepe-
rangkat. Bagian lain yang sebenarnya menunjukkan kesalahan sepele tetapi
tetap mengganggu adalah pemenggalan kata pi-hal [sic!] (hlm. 6), yang
seharusnya ditulis pihak dan tidak perlu dipenggal, mengingat kata tersebut
tertulis dalam satu baris.

b. Kalimat yang Cermat?


Selain persoalan diksi, yang perlu mendapat perhatian yang ketat adalah
kalimat yang kurang cermat alias ada kata-kata yang melompat atau terlewatkan.
Meskipun hal semacam itu tidak banyak, tetapi jika tetap muncul maka akan
mengurangi kesempurnaan tulisan.

11
Contoh kalimat yang kurang cermat terjadi pada halaman 2, dengan
kutipan: “Meskipun demikian, hal itu berarti bahwa setiap orang menyadari
kerangka pemikirannya sendiri.” Kalimat tersebut diteruskan dengan kalimat,
“Bahkan sebagian besar orang sebenarnya tidak menyadari betul atau tidak
mengetahui ….” Dalam konteks tersebut, jika dicermati secara jeli, pernyataan
“hal itu berarti”, seharusnya “hal itu tidak berarti”.
Hal yang hampir sama juga terjadi pada halaman 16, 18, 19, dan 20.
Pada halaman 16 bisa dikutip: “kita sudah dapat menentukan sejak awal metode
analisis seperti apa yang akan lakukan atau kita perlukan.” Frasa “akan lakukan”
seharusnya ditulis “akan kita lakukan”. Sementara itu, penyataan/frasa pada
skema (halaman 18), “masalah yang ingin diteliti”, jika boleh diusulkan, menurut
saya lebih tepat/cermat jika menggunakan frasa “masalah yang akan diteliti”.
Kalimat yang masih terkait (halaman 19), yakni “Masalah-masalah ingin diteliti
…”, seharusnya ditulis “Masalah-masalah yang akan diteliti ….”
Pada bagian lain, yakni halaman 19, bisa dikutip kalimat: “Oleh karena itu
berada ditempatkan di paling bawah”. Kalimat tersebut seharusnya tidak perlu
menggunakan kata “berada”. Sementara itu, pada halaman 20, kalimat “Salah
satu salah pertanyaan …”, seharusnya “Salah satu pertanyaan ….”
Persoalan yang agak berbeda juga muncul, misalnya tentang urutan
rincian yang tidak konsisten. Hal tersebut tampak pada halaman 3, yakni urutan
rincian antara lain ditulis (3) masalah-masalah yang diteliti, (4) model. Terkait
dengan rincian tersebut, pada halaman 7 tertulis rincian seperti berikut: (3)
Model-model (Models), sedangkan pada halaman 8 tertulis rincian: (4) Masalah
Yang Diteliti/Yang Ingin Dijawab [sic!] (huruf “Y” pada kata “Yang” seharusnya
huruf kecil). Urutan isi nomor (3) dan (4) pada halaman 7 dan 8, serharusnya
mengacu dan konsisten dengan urutan pada halaman 3. Persoalan tersebut
dapat dikatakan sepele, tetapi dari segi kecermatan tetap mengganggu.

c. Pustaka yang Konsisten?


Referensi dan daftar pustaka merupakan bagian penting dari suatu karya
ilmiah, karena dari sana dapat diketahui posisi suatu karya ilmiah di antara karya-
karya ilmiah lain dalam tema pembahasan yang relevan. Sebagaimana diketahui,
rambu-rambu penulisan karya ilmiah menyebutkan bahwa semua referensi yang
diacu harus dicantumkan dalam daftar pustaka, dan sebaliknya, semua sumber

12
informasi yang ada dalam daftar pustaka harus diacu secara eksplisit dalam
naskah/teks. Hal tersebut harus dilakukan secara konsisten.
Bertolak dari rambu-rambu tersebut, ada beberapa penulisan referensi
dan daftar pustaka yang perlu dicermati/diingatkan agar tetap terjaga
konsistensinya. Di antaranya, di dalam naskah tertulis Reynolds (1971), tetapi di
dalam daftar pustaka tertulis Reynolds (1980). Pustaka tersebut juga perlu
dilengkapi dengan mencantumkan nama tempat/kota terbit dan nama
penerbitnya. Pada bagian lain, di dalam naskah tertulis Cuff dan Payne (1980),
sedangkan di dalam daftar pustaka tertulis Cuff dan Payne (1978). Pada bagian
berikutnya, di dalam naskah tertulis Merton (19…), sedangkan di dalam daftar
pustaka tidak tercantum/tidak ada pustaka tersebut. Sementara itu, dua referensi
yang ada di dalam daftar pustaka tetapi tidak diacu secara eksplisit, yakni
Masterman (1970) dan Nagel (1961). Agar tidak mengurangi kesempurnaan
makalah, ketertiban dalam mengkonsistenkan antara referensi dan daftar
pustaka perlu dijaga dengan ketat.

6. Penutup
Review terhadap paparan tentang paradigma ilmu sosial-budaya
menunjukkan bahwa informasi dalam makalah tersebut cukup mencerahkan,
baik bagi ilmuwan/calon ilmuwan maupun para peneliti di Indonesia. Meskipun
ada sedikit bagian yang menggelisahkan, diharapkan tulisan pendek tersebut
dapat dikembangkan menjadi buku yang komprehensif sehingga peran
akademisnya sebagai media pencerahan dapat terpenuhi untuk kalangan yang
lebih luas.

Daftar Bacaan

Ahimsa-Putra, H.S. 2008. “Paradigma dan Revolusi Ilmu dalam Antropologi


Budaya: Sketsa Beberapa Episode.” Pidato Pengukuhan Guru Besar.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ahimsa-Putra, H.S. 2009. “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan.”
Makalah, disampaikan pada Kuliah Umum di Program Studi Linguistik,
Sekolah Pascasarjana, Univesitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 7
Desember 2009.
Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa.

13

Anda mungkin juga menyukai