Anda di halaman 1dari 7

ULASAN #1 PARADIGMA ILMU SOSIAL-BUDAYA: SEBUAH PANDANGAN

DIYANAH NISA HALIMATUSSA’DIAH

22/509781/PSA/20309

PROGRAM STUDI MAGISTER ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2023
Ulasan Makalah Paradigma Ilmu Sosial-Budaya : Sebuah Pandangan

Ulasan ini akan saya bagi menjadi 3 bahasan utama, yaitu ringkasan makalah, teori,
dan tanggapan.

Ringkasan makalah

Sebagai awalan, Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra membuka makalah ini dengan
menjabarkan mengenai apa itu ‘paradigma’ yang disebutnya memiliki makna yang
kurang lebih sama dengan kerangka teoretis, kerangka konseptual, kerangka
pemikiran, orientasi teoritis, sudut pandang dan pendekatan (Ahimsa-Putra 2009, 1).
Rujukan utama dalam pembahasan Ahimsa-Putra mengenai paradigma adalah
konsep paradigma menurut Thomas Kuhn yang kemudian dia sebutkan sebagai
paradigma Kuhn (2009, 1). Pembahasan ini, tentunya tidak hanya menjabarkan
mengenai paradigma Kuhn saja, namun juga menjelaskan mengenai kekurangan dari
konsepsi tersebut. Satu hal yang paling saya garisbawahi dalam pemaparan
mengenai paradigma Kuhn ini bagaimana Ahimsa-Putra memaparkan kemungkinan
mengapa Kuhn tidak menyinggung secara rinci mengenai paradigma ilmu sosial
budaya dan menggeneralisir pemaparannya mengenai paradigma untuk umum, yang
Ahimsa-Putra tuliskan sebagai ‘ada kemungkimam pula karena dia menganggap ilmu
sosial-budaya belum merupakan ilmu pengetahuan (2009, 1). Pernyataan itu yang
kemudian dia tuliskan sebagai satu kelalaian Kuhn dalam menjabarkan paradigma.

Pembacaan dan pemahamannya mengenai paradigma dari berbagai ahli kemudian


mengantarkan Ahimsa-Putra untuk mendefinisikan paradigma menurutnya sendiri
yang didasarkan dari pengertian ahli sebelumnya, yaitu

Sebagai seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis
membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami,
menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/ atau masalah yang dihadapi
(2009, 2).

Dalam pembahasannya mengenai paradigma, Ahimsa-Putra menjabarkan bahwa


paradigma memiliki unsur-unsur atau komponen-komponen yang menjadikannya
sesuatu yang utuh, mereka adalah asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, masalah-masalah
yang diteliti, model, konsep-konsep, metode penelitian, metode analisis, hasil análisis

1
atau teori dan etnografi atau representasi (2009, 3). Komponen itu didasarkannya dari
pendapat Cuff dan Payne mengenai unsur-unsur perspektif yang berisi asumsi dasar,
konsep, metode, pertanyaan dan jawaban-jawaban yang diberikan (2009, 3) yang
kemudian dikembangkannya menjadi apa yang telah disebutkan sebelumnya dengan
menambahkan pemahaman mengenai paradigma oleh Kuhn.

Pertama kali membaca asumsi dasar, saya awalnya berpikiran itu merupakan sebuah
anggapan ‘liar’ seseorang terhadap sesuatu, namun dituliskan Ahimsa-Putra,
anggapan dasar ini merupakan sebuah pandangan yang sudah tidak dipertanyakan
lagi kebenarannya (2009, 4) yang menganulir pemikiran awal saya sebelumnya.
Seolah menjawab pertanyaan saya, Ahimsa-Putra menegaskan kenapa nomenklatur
ini harus disebut asumsi dasar ─alih-alih sesuatu yang memang terdengar pasti
seperti ‘hukum’ ataupun ‘dalil’─ dikarenakan tindakan ‘tidak lagi mempertanyakan
kebenaran’ ini tidak berlaku untuk semua orang yang kemudian menjadikan
‘kebenaran’ dari asumsi dasar ini sebagai sesuatu yang bersifat ‘relatif’ yang
menjadikan ini sebuah keharusan untuk menamainya sebagai asumsi (2009, 5).

Pembahasan selanjutnya adalah mengenai nilai-nilai, sesuatu yang disebut Ahimsa-


Putra sebagai sejumlah kriteria atau patokan yang digunakan untuk menentukan
apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, bermanfaat atau tidak (2009,
5). Setelah menjabarkan mengenai pentingnya nilai-nilai dalam komponen paradigma,
Ahimsa-Putra kemudian menjelaskan mengenai model-model yang ada dalam
paradigma, yaitu sebagai perumpaan, analogi, atau kiasan tentang gejala yang
dipelajari (2009, 7). Model ini, yang dijelaskannya selanjutnya, merupakan sesuatu
yang bisa jadi membimbing maupun menyesatkan ilmuwan yang meneliti suatu
fenomena sosial-budaya (2009, 7). Pembahasan selanjutnya adalah mengenai
masalah yang diteliti yang berisi hipotesa yang ingin diuji kebenarannya yang sesuai
dengan paradigma apa yang ingin digunakan karena setiap paradigma memiliki
permasalahannya tersendiri (2009, 8). Lebih lanjut, Ahimsa-Putra menjelaskan
mengenai konsep-konsep pokok, yang ia sebutkan sebagai satu hal yang biasa
diketahui namun tidak selalu dapat mendefinisikannya dengan baik (2009, 9). Untuk
menjawab rasa penasaran kita mengenai pendefinisian konsep-konsep pokok,
Ahimsa-Putra menjabarkan bahwa konsep adalah

2
… istilah-istilah atau kata-kata yang diberi makna tertentu sehingga
membuatnya dapat digunakan untuk menganalisis, memahami, menafsirkan
dan menjelaskan peristiwa atau gejala sosial-budaya yang dipelajari (2009, 9).

Bahasan lebih lanjut mencakup penjabaran mengenai seluruh komponen dari


paradigma yang telah disebutkan diawal. Perbedaan yang terasa adalah
pemahamannya mengenai metode penelitian yang mencakup realita, fakta dan data
yang seringkali tertukar oleh saya khususnya. Selain itu, beliau juga membahas
mengenai kualitatif dan kuantitatif yang menurutnya adalah sebuah metode dan/ atau
metodologi penelitian saja dan bukan merupakan suatu pendekatan (2009, 14) yang
juga kembali disinggung dalam pembahasan mengenai metode-metode análisis
(2009, 15–16). Penjelasan selanjutnya adalah mengenai hasil análisis atau teori yang
menurutnya harus menyatakan relasi-relasi antarvariabel, antar- unsur atau
antargejala yang kita teliti (2009, 16). Terakhir dari komponen adalah representasi
(etnografi) yang dia artikan sebagai

… tulisan yang dihasilkan oleh seorang peneliti setelah dia melakukan


penelitian atas satu atau beberapa masalah dengan menggunakan paradigma
tertentu (2009, 16).

Selain komponen, Ahimsa-Putra juga memaparkan mengenai skema dari paradigma


yang mana disana beliau menyebutkan mengenai urutan atau jenjang dari unsur-
unsur tersebut (2009, 18). Terakhir, beliau menyebutkan mengenai paradigma-
paradigma yang ada dalam ilmu sosial-budaya yang disebutkannya dalam 15
paradigma, yaitu Paradigma Evolusionisme (Evolutionism), Paradigma Diffusionisme
(Diffusionism), Paradigma (Partikularisme) Historis (Historical Particularism),
Paradigma Fungsionalisme (Functionalism), Paradigma Fungsionalisme-Struktural
(Structural-Functionalism), Paradigma Analisis Variabel (Variable Analysis),
Paradigma Perbandingan Kebudayaan (Cross-Cultural Comparison), Paradigma
Kepribadian dan Kebudayaan (Culture and Personality), Paradigma Strukturalisme
(Structuralism), Paradigma Tafsir Kebudayaan (Interpretive), Paradigma Materialisme
Budaya (Cultural Materialism), Paradigma Materialisme Historis (Historical
Materialism), Paradigma Aktor (Actor-Oriented Approach), Paradigma Etnosains

3
(Ethnoscience/Phenomenological), dan Paradigma Post-Modernisme (Post-
Modernism); yang masing-masingnya memiliki sub-paradigma lagi (2009, 21).

Teori

Teori yang muncul dalam makalah ini sedikit banyak telah dibahas sebelumnya, untuk
mengartikan paradigma yang telah disesuaikan dalam ilmu sosial-budaya, Ahimsa-
Putra mendefinisikannya menjadi

… sebagai seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara


logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk
memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/ atau masalah yang
dihadapi (2009, 2).

Selain itu, Ahimsa-Putra juga berteori bahwa paradigma dalam ilmu social-budaya
memiliki 9 komponen yang mana sebelumnya dinyatakan Cuff dan Payne dalam
pembahasan perspektif memiliki 5 komponen (2009, 3). Kemudian, Ahimsa-Putra juga
berteori bahwa paradigma sebagai kerangka berfikir tidak sama dengan prosedur
penelitian ataupun format proposal karena komponen paradigma tidak harus
kronologis namun harus tetap berkaitan (2009, 23). Tambahan yang fenomenal
menurut saya adalah teorinya yang menyatakan bahwa sebaiknya pemakaian
nomenklatur pendekatan kuantitatif dan kualitatif itu lebih baik tidak lagi diterapkan
karena menurutnya pendefinisiannya kurang memuaskan (2009, 23).

Tanggapan

Membaca makalah ini mengantarkan saya pada ingatan mengenai perbincangan


saya dengan seorang kawan beberapa tahun yang lalu. Kawan itu melontarkan
pertanyaan, ada ga sih teori feminis yang beneran berasal dari Indonesia pakai
perspektif ahli Indonesia yang sesuai dengan fenomena yang terjadi di Indonesia?
Begitu kiranya pertanyaannya yang memantik keingintahuan kami dan cukup
membuat kami tertegun lama mencari jawabannya yang hingga pembicaraan itu
berakhir pun belum bisa terjawab. Perlahan, jawaban akan diskusi kami saat itu
muncul di pertemuan pertama mata kuliah Paradigma dan Teori Antropologi yang
diampu oleh Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra itu sendiri. Disana, dia menyebutkan
bahwa, tidak begitu banyak ilmuwan Indonesia yang membahas mengenai ilmu

4
pengetahuan hingga tataran paradigmanya, begitu singkatnya. Oleh karenanya, saya
rasa makalah ini sangat penting untuk memberi sumbangsih ilmu pengetahuan yang
mendasar bagi akademis.

Tidak seperti kawan saya di kelas lainnya, yang berasal dari jurusan Antropologi
ataupun yang memang sudah dari awal memiliki ketertarikan terhadap Ilmu
Antropologi, makalah ini merupakan bacaan pertama saya dari karya Prof. Heddy.
Bacaan yang membuat saya takjub karena pembawaan bahasannya yang tidak terlalu
berbelit, ringkas dan tepat sasaran untuk sesuatu yang membahas satu hal yang
cukup rumit seperti paradigma. Bahkan, ketika dirasa satu pembahasan memantik
keingintahuan pembacanya, Ahimsa-Putra memulai pembahasannya menggunakan
pertanyaan sehingga menjadikan kita sebagai pembaca seolah diajak untuk
berdiskusi dan berkomunikasi yang mana menjadikan bacaan ini terasa dua arah. Di
beberapa bagian yang dirasa cukup rumit, Ahimsa-Putra memperkaya penjelasannya
dengan bantuan diagram untuk menggambarkan penjelasannya agar lebih mudah
dipahami (2009, 13, 15, 18). Sayangnya, ekspektasi saya ketika membaca judul
Paradigma Ilmu Sosial-Budaya, saya sedikit mengharapkan dijelaskan pula mengenai
keseluruhan paradigma yang dituliskannya di halaman 21, namun yang disajikan
hanyalah judul saja tanpa penjelasan lebih lanjut walaupun sebatas penjelasan
ringkas pun. Memang, kondisi ini disesuaikan dengan jenis karyanya yang disebutkan
sebagai makalah, bukan buku mengenai paradigma-paradigma secara keseluruhan.
Ringkasnya, makalah ini sudah sangat mumpuni untuk menjelaskan paradigma
secara umum dan mengapa itu harus diperbaharui dan disesuaikan dengan konteks
ilmu sosial-budaya. Akan tetapi, bagi calon pembaca yang memang tertarik pada
konsepsi paradigma ilmu sosial-budaya dan mengharapkan penjelasan terperinci dari
paradigma tertentu dari perspektif ilmuwan Indonesia, anda harus mencari lebih lanjut
tulisan yang lebih mendalam tentang paradigma tersebut.

Penjelasan Ahimsa-Putra mengenai paradigma ilmu sosial-budaya juga membantu


saya untuk sedikit memahami mengenai perspektif ilmuwan Indonesia mengenai
suatu konsepsi yang biasanya dituliskan oleh orang luar negeri. Sehingga, hal
tersebut terasa lebih relevan dikaitkan dengan fenomena yang ada di Indonesia. Akan
tetapi, karena seperti yang saya sebutkan sebelumnya, penjelasan mengenai setiap
paradigma yang dituliskan belum ada, mau tidak mau sumber yang bisa dipakai masih

5
berasal dari ilmuwan luar. Satu alasan yang mengantarkan saya dalam pemilihan
universitas di dalam negeri alih-alih di luar negeri adalah untuk lebih memahami
fenomena yang terjadi di Indonesia menggunakan pisau asah yang berasal dari
pemikir Indonesia hasil refleksi dari kejadian-kejadian lokal. Hal yang sama juga
dirasakan oleh salah satu teman saya yang berkewarganegaraan asing yang ingin
memahami pemikiran ilmuwan Indonesia sehingga memilih jurusan ini. Kami sama-
sama sedikit kurang puas dengan beberapa perspektif yang digunakan dimana
seringnya menggunakan perspektif dari hasil pemikir luar negeri yang terkadang
dirasa kurang cocok untuk menganalisis kejadian di Indonesia. Karenanya, muncul
pertanyaan dalam benak saya, kerangka berfikir siapa yang paling sesuai untuk
menganalisis fenomena lokal? Atau ‘sesuaikan saja kerangka berfikir yang ada
dengan fenomena lokal? Atau seperti yang dilakukan oleh Ahimsa-Putra, perlukah kita
membuat pemahaman mengenai suatu paradigma (dari paradigma-paradigma ilmu
sosial-budaya yang ditulis di halaman 21) baru yang dihasilkan dari refleksi peneliti
sebelumnya? Entahlah, mungkin jawabannya akan saya dapatkan seiring berjalannya
mata kuliah ini.

Catatan yang kemudian saya garisbawahi setelah membaca bagian paradigma ilmu
sosial-budaya (2009, 21), adalah saya tidak menemukan paradigma independen
mengenai feminisme. Muncul berbagai pertanyaan dalam benak saya, kenapa
feminisme tidak masuk dalam paradigma ilmu sosial-budaya? apakah feminisme
hanyalah salah satu turunan dari paradigma-paradigma tersebut (seperti cukup bisa
dibahas menggunakan paradigma post-modernisme atau fungsionalisme)? Apakah
‘feminisme’ tidak masuk dalam ilmu sosial-budaya? Atau apakah ‘feminisme’ tidak
cukup atau kurang memenuhi komponen-komponen dari paradigma sehingga tidak
ditulis disana? Atau mungkin makalah ini yang sedikit perlu diperbaharui? Sepertinya,
memang pemahaman saya mengenai paradigma belum cukup mumpuni sehingga
harus membaca lebih dalam mengenai hal ini.

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2009. PARADIGMA ILMU SOSIAL-BUDAYA : sebuah


pandangan. Kuliah Umum Paradigma Penelitian Ilmu-Ilmu Humaniora. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai