Anda di halaman 1dari 5

TUGAS KULIAH 2

MATA KULIAH FILSAFAT ILMU DAN METODOLOGI

Disusun Oleh:
Rasvan Windhi
NPM 2006509781

PROGRAM STUDI KAJIAN KETAHANAN NASIONAL


SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL

UNIVERSITAS INDONESIA

Jakarta, 10 Maret 2021


PARADIGMA DAN POST-POSITIVISME
(Pemikiran Thomas Kuhn dan Karl R. Popper)

A. Paradigma
Menurut Thomas Kuhn, paradigma adalah pandangan dasar tentang pokok bahasan ilmu.
Mendefinisikan apa yang harus diteliti dan dibahas, pertanyaan apa yang harus dimunculkan,
bagaimana merumuskan pertanyaan, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam
mengintepretasikan jawaban. Paradigma adalah konsensus terluas dalam dunia ilmiah yang
berfungsi membedakan satu komunitas ilmiah dengan komunitas lainnya. Paradigma
berkaitan dengan pendefinisian, eksemplar ilmiah, teori, metode, serta instrumen yang
tercakup di dalamnya.
Pengertian paradigma menurut Kuhn terdapat dua puluh satu, yang kemudian oleh
Masterman (1970) direduksi pada tiga tipe paradigma, yaitu:
1. Paradigma Metafisik
Paradigma ini mengandung keyakinan, nilai-nilai, teknik-teknik, metode dan unsur Kuhn
eksemplar (pengetahuan yang diterima secara umum) yang digunakan oleh kemunitas ilmuwa
tertentu. Paradigma ini memeliki fungsi untuk menentukan masalah ontologi, menemukan
realitas atau objek, dan menemukan teori serta penjelasan tentang objek.
2. Paradigma Sosiologi
Paradigma ini seperti eksemplar yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan, keputusan
keputusan dan aturan yang diterima dari hasil penelitian yang diterima secara umum.
Misalnya penelitian Frued, Skinner, dan Maslow dalam psikologi yang kemudian dijadikan
contoh penelitian oleh pendukung paradigma tersebut.
3. Paradigma Konstruk
Paradigma yang paling sempit diantara paradigma lainnya, misalnya pembangunan
reaktor nuklir (konstruk fisika nuklir) dan mendirikan laboratorium (konstruk psikologi
eksperimental).

B. Pergeseran Paradigma
Pergeseran paradigma (ilmiah) mengandung beberapa unsur/pengertian yang diantaranya
adalah adalah munculnya cara berfikir baru mengenai masalah-masalah baru karena di dalam
paradigma ada prinsip (asumsi) yang selalu hadir. Pergeseran paradigma (shifting paradigm)
juga dapat diartikan sebagai komunitas ilmiah yang telah menyusun kembali paradigma baru
dengan memilih norma, bahasa, nilai, asumsi, dan cara baru dalam memahami dan
mengamati alam ilmiahnya, atau juga disebut proses dari keadaan normal science ke
revolutionary science. Penerapan paradigma baru dapat dilakukan apabila paradigma lama
sudah ditinggalkan, dan penerapan paradigma baru ini akan menemukan banyak kecurigaan
dan permusuhan seperti halnya tantangan terhadap Giordano Bruno dan Galileo Galilei
sewaktu mengajukan teori heliosentris yang menggeser teori geosentris yang didukung oleh
tokoh-tokoh gereja.

C. Paradigma Post-Positivisme
Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya
dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab
Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak
mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan
manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu
berubah.
Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki kelemahan-
kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap
objek yang diteliti. Sejumlah asumsi post-positivisme dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Asumsi Ontologis (asumsi mengenai obyek atau realitas sosial yang diteliti)
Aliran post-positivisme bersifat critical realism, dimana observasi yang didewakan
positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena observasi dianggap bisa saja dipengaruhi
oleh persepsi masing-masing orang. Atas dasar pandangan seperti ini, Popper misalnya
menyebut teori selalu bersifat tentatif dan dengan demikian, kebenaran teori tidak bersifat
absolut, tetapi semakin lama semakin mendekati kebenaran (verisimilitude). Sedangkan
kebenaran objektif, kebenaran absolut atau kebenaran finalnya mungkin saja tidak terjangkau.
2. Asumsi Epistemologis (asumsi mengenai hubungan antara peneliti dan yang diteliti dalam
proses untuk memeroleh pengetahuan mengenai obyek uang diteliti)
Secara epistomologis: modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan realitas
yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas seminimal
mungkin. Paradigma post-positivisme menolak prinsip verifikasi sebagai satu-satunya kriteria
keilmiahan dengan menggantinya misalnya dengan prinsip falsifikasi.
3. Asumsi metodoligis (asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara memeroleh pengetahuan
mengenai suatu obyek pengetahuan)
Secara metodologis adalah modified experimental, yaitu memodifikasi metode
eksperimental manipulatif dengan “pengembangan kritik” (critical mult-multiplism) sebagai
upaya memfalsifikasi hipotesis. Paradigma ini juga melengkapi metode kuantitatif dengan
kualitatif, namun tetap menempatkan prediksi dan kontrol atas fenomena alam/manusia
sebagai tujuan utama ilmu pengetahuan.

D. Manfaat Model Berfikir Post-Positivisme dalam Pekerjaan

Model berfikir positivisme walaupun memberikan banyak manfaat dalam bidang


pekerjaan saya, namun juga memiliki kelemahan. Tidak semua bidang pekerjaan/keputusan
di dalam pekerjaan saya harus diputuskan hanya dengan perhitungan kuantitatif, yang mana
merupakan ciri positivisme. Misalnya dalam pengambilan keputusan kepada seorang calon
Talent apakah layak untuk ditetapkan sebagai Talent yang kemudian akan ditempatkan pada
jabatan setingkat lebih tinggi dan/atau lebih strategis. Pertimbangan dalam menentukan
jenjang karier pegawai ke depannya ini tidak hanya ditentukan oleh penilaian yang objektif
seperti hasil Uji Kompetensi Teknis (UKT) dan assessment/soft competency yang berwujud
angka-angka saja, tetapi juga memerlukan pertimbangan kualitatif berupa pendapat dari
pejabat-pejabat eselon di Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) yang merupakan
pertimbangan yang bersifat subjektif. Pegawai tidak hanya layak dipromosikan berdasarkan
kemampuan teori dan teknisnya saja, tetapi juga kemampuan lain di luar itu yang hanya dapat
dinilai dengan melihat langsung performa dari pegawai dalam suatu sesi wawancara yang
disebut Uji Kelayakan dan Kepatutan (UKK). Di dalam sesi wawancara ini, calon Talent
akan terlihat kemampuannya dalam menyampaikan pendapat, track record pekerjaan
sebelumnya, dan kemampuan memimpinnya sehingga pada akhirnya yang bersangkutan
dianggap layak untuk dipromosikan. Untuk itulah model berpikir post-positivisme yang
memperbaiki kelemahan pada model berpikir positivisme ini sangat relevan untuk
diaktualisasikan di dalam bidang pekerjaan saya.

Kemudian, asumsi ontologis dalam model berfikir post-posivisme yang bersifat critical
realism sangat relevan juga untuk diterapkan di dalam lingkungan kerja. Ada kalanya suatu
peraturan/kebijakan yang telah ditetapkan oleh organisasi tidak 100% benar dan tepat. Pasti
ada kekurangan di sana-sini yang memerlukan penyempurnaan. Oleh karena itu segenap
unsur di dalam organisasi dituntut untuk bersikap kritis terhadap peraturan yang akan dan
telah ditetapkan, dalam artian bukan melanggar aturan yang telah ditetapkan jika memang di
rasa tidak sesuai dengan pendapat pribadi, tetapi dengan seksama menganalisis kekurangan
dan ketidaksempurnaannya untuk ke depannya bisa dikoreksi dan menjadi lebih baik lagi.
Dengan menerapkan model berfikir post-positivisme ini, setiap pegawai di dalam
organisasi tidak hanya dituntut untuk memandang suatu hal di dalam pekerjaan berdasarkan
penilaian yang bersifat objektif saja, tetapi juga membuka cakrawala pemikiran subjektif
yang akan menumbuhkan semangat untuk berkembang dan berinovasi.

REFERENSI

Almas, Afiq Fikri (2018). “Sumbangan Paradigma Thomas S. Kuhn dalam Ilmu dan
Pendidikan (Penerapan Metode Problem Based Learning dan Discovery Learning)”. At-
Tarbawi, Vol. 3, No. 1, Januari – Juni, pp. 89-106.
Asrudin, Azwar (2014). “Thomas Kuhn dan Teori Hubungan Internasional: Realisme sebagai
Paradigma”. Indonesian Journal of International Studies (IJIS), Vol. 1, No. 2, Desember,
pp. 107-122.
Lubis, A. Y. (2014). Filsafat Ilmu: Klasik hingga Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sabila, Nur Akhda (2019). “Paradigma dan Revolusi Ilmiah Thomas S. Kuhn (Aspek
Sosiologis, Antropologis, dan Historis dari Ilmu Pengetahuan)”. Zawiyah- Jurnal
Pemikiran Islam, Vol. 5, No. 1, Juli, pp. 80-97.

Anda mungkin juga menyukai