Anda di halaman 1dari 31

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

3.1 Paradigma Kajian


Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan paradigma
sebagai kerangka berpikir dan suatu model dalam ilmu pengetahuan.
Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu
distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian
berfungsi (perilaku yang di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi
waktu). Paradigma, menurut Bogdan dan Biklen, adalah kumpulan longgar
dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang
mengarahkan cara berpikir dan penelitian (Moleong. 2005: 49).
Paradigma, menurut Pujileksono, adalah satu set konsumsi,
konsep, nilai-nilai dan praktek dan cara pandang realitas dalam disiplin
ilmu. Paradigma merupakan cara pandang atau pola pikir komunitas ilmu
pengetahun atas peristiwa/ realitas/ ilmu pengetahuan yang dikaji, diteliti,
dipelajari, dipersoalkan, dipahami dan untuk dicarikan pemecahan
persoalannya. Dijelaskan lebih lanjut oleh Pujileksono, paradigma
penelitian merupakan perspektif penelitian yang digunakan oleh peneliti
tentang bagaimana peneliti: (a) melihat realita (world views), (b)
bagaimana mempelajari fenomena, (c) cara-cara yang digunakan dalam
penelitian dan (d) cara-cara yang digunakan dalam menginterpretasikan
temuan (Pujileksono, 2015: 26).
Ada beberapa alasan mengapa peneliti perlu memilih paradigma
sebelum melakukan penelitian, yaitu:
1. Paradigma penelitin menggambarkan pilihan suatu kepercayaan yang
akan mendasri dan memberi pedoman seluruh proses penelitian.
2. Paradigma penelitian menentukan rumusan masalah, tujuan penelitian
dan tipe penjelasan yang digunakan.
3. Pemilihan paradigma memiliki implikasi terhadap pemilihan metode,
teknik penentuan subyek penelitian/sampling, teknik pengumpulan

Universitas Sumatera Utara


data, teknik uji keabsahan data dan analisis data (Pujileksono, 2015:
26).

2.1.1 Paradigma Post-Positivis


Terdapat beberapa jenis paradigma yang dapat digunakan dalam
melakukan penelitian. Paradigma dalam melakukan penelitian komunikasi
memiliki tiga paradigma, yaitu paradigma klasik, paradigma kritis, dan
paradigma konstruktivisme. Namun menurut Sendjaja, dalam
perkembangan ilmu saat ini terdapat paradigma klasik yang merupakan
gabungan dari paradigma positivis dan post-positivis (Bungin, 2008: 237).
Sedangkan menurut Neuman terdapat paradigma postivistik, pos-
positivistik, konstruktivistik dan kritis yang dapat digunakan dalam
penelitian. Hebermas berpendapat lain, bahwa paradigma yang dapat
digunakan dalam penelitian antara lain instrumental knowledge,
hermenetic knowledge dan critical/emancipatory knowledge (Pujileksono,
2015: 27).
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
paradigma post-positivis. Paradigma post-positivis merupakan paradigma
penelitian yang berusaha melakukan kritik pada paradigma positivis.
Muncul sekitar tahun 1970/1980-an, pemikiran ini muncul dengan
sejumlah tokoh seperti Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf
Frankfurt School, Feyerabend, dan Richard Rotry. Paradigma ini
menganggap bahwa penelitian tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai
pribadi peneliti sendiri. Peneliti perlu memasukkan nilai-nilai sebagai
pendapatnya sendiri dalam menilai realita yang diteliti. Dengan begitu
maka peneliti dapat lebih memandang suatu realita secara kritis
(Pujileksono, 2015: 28).
Berikut ini dikemukakan beberapa asumsi dasar post-positivisme
(Ardianto, 2007: 100):
(1) Fakta tidak bebas melainkan bermuatan teori.

Universitas Sumatera Utara


(2) Falibilitas teori. Tidak ada satu teori pun yang dapat sepenuhnya
dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki
kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
(3) Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
(4) Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah
reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang
penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.
Secara ontologis, post-positivisme bersifat critical realism. Critical
realism memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai
dengan hukum alam, tetapi suatu hal yang mustahil bila manusia (peneliti)
dapat melihat realitas tersebut secara benar (apa adanya). Oleh karena itu
secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah
cukup tetapi harus menggunakan metode triangulasi yaitu penggunaan
bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori. Dengan kata
lain dapat ditekankan bahwa pandangan post-positivisme mirip dengan
pandangan konstruksionisme sosial, terutama dalam dua cara. Pertama,
kaum post-positivis meyakini bahwa proses konstruksi sosial terjadi dalam
berbagai cara dan terpola secara relatif pada kerja penelitian. Kedua,
banyak kalangan post-positivis meyakini bahwa konstruksi sosial tersebut
dapat ditemukan secara objektif pada para pelaku dunia sosial (Ardianto,
2007: 101-103).
Secara epistemologi dan aksiologinya, terdapat asumsi yang
melandasi post-positivis dimana asumsi tersebut mengenai landasan ilmu-
ilmu sosial dan aturan nilai dalam produksi pengetahuan sosial yang pada
dasarnya didasarkan pada prinsip-prinsip objektivisme. Asumsi-asumsi ini
mencakup tiga gagasan yang saling terkait bahwa: (a) ilmu pengetahuan
bisa diperoleh melalui pencarian akan relasi kausal dan keteraturan antara
pelbagai komponen dunia sosial; (b) relasi kausal dan keteraturan tersebut
bisa ditemukan bila ada pemisahan total antara penyelidik dan subjek yang
ditelitinya; serta (c) pemisahan ini dapat terjamin melalui penggunaan
metode ilmiah (Ardianto, 2007: 104).

Universitas Sumatera Utara


Post-positivis mengacu pada prinsip-prinsip epistemologis dan
aksiologis yang diistilahkan oleh Guba (1990) sebagai objektivisme yang
dimodifikasi. Terdapat dua asumsi objektivisme. Pertama, pencarian atas
pengetahuan dilakukan dengan bersandar pada penjelasan kausal yang
bergantung pada keteraturan yang ditemukan dalam dunia fisik dan sosial.
Kedua, adanya pemisahan antara objek yang diamati dan subjek yang
mengamati (Ardianto, 2007: 104).
Selain itu, paradigma pos-positivistik ini lebih cocok apabila
digunakan dalam penelitian kualitatif, karena dalam bukunya Metode
Penelitian Komunikasi Kualitatif, Pujileksono menjelaskan bahwa
paradigma ini lebih bersifat kualitatif. Selanjutnya, dijelaskan bahwa
realita yang diteliti berada di luar dan peneliti berinteraksi dengan objek
penelitian tersebut sehingga jarak hubungan antara peneliti dengan objek
yang diteliti lebih dekat. Tujuan akhir dari penelitian ini tidak berbeda dari
paradigma positivis, yaitu untuk mengetahui pola umum yang ada dalam
masyarakat (Pujileksono, 2015: 28).
Paradigma ini sangat sesuai dengan masalah pada penelitian ini
yaitu melihat seberapa penting rubrik selebritas pada surat kabar dan
bagimana keputusan dalam pengadaan rubrik selebritas di surat kabar lokal
di Kota Medan. Rubrik selebritas dalam media cetak sudah sangat lumrah,
hal ini merupakan fakta dan realitas sosial yang benar adanya. Namun,
kebenaran tersebut tidak akan didapat apabila peneliti mengambil jarak
atau tidak terlibat langsung dengan realitas yang ada. Rubrik selebritas
tidak hadir begitu saja, tentunya memiliki proses yang melatarbelakangi
pengadaannya.

2.2 Kajian Pustaka


Dalam melakukan penelitian ilmiah, teori sangat berperan dalam
menentukan landasan berpikir untuk mendukung pemecahan suatu
masalah dengan sistematis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teori
merupakan pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan,
didukung oleh data dan argumentasi. Selain itu Snelbecker menyatakan

Universitas Sumatera Utara


ada empat fungsi suatu teori, yaitu (1) mensistematiskan penemuan-
penemuan penelitian, (2) menjadi pendorong untuk menyusun hipotesis
dan dengan hipotesis membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban, (3)
membuat ramalan atas dasar penemuan, dan (4) menyajikan penjelasan
untuk menjawab pertanyaan mengapa (Moleong, 2005: 57-58). Dalam
penelitian ini, teori-teori yang dianggap relevan adalah sebagai berikut:

2.2.1 Komunikasi Massa


Istilah komunikasi atau dalam Bahasa Inggris communication
berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis
yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna (Effendy,
2009: 9). Pentingnya komunikasi bagi kehidupan sosial, budaya,
pendidikan, dan politik sudah disadari oleh para cendikiawan sejak
Aristoteles yang hidup ratusan tahun sebelum masehi. Komunikasi
merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia dalam kaitannya
dengan hubungan antar individu. Komunikasi merupakan saran untuk
mengerti diri sendiri, orang lain dan memahami apa yang dibutuhkan
individu tersebut maupun yang dibutuhkan orang lain serta untuk
mencapai pemahaman tentang diri individu tersebut dan sesamanya.
Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat
dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi sering kali mengutip
paradigma yang dikemukakan Harold Lasswell. Lasswell mengatakan
bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab
pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom
With What Effect?
Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi
meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,
yaitu:
a. Komunikator (communicator, source, sender)
b. Pesan (message)
c. Media (channel, media)

Universitas Sumatera Utara


d. Komunikan (communicant, communicate, receiver,
recipient)
e. Efek (effect, impact, influence)

Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses


penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media
yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2009: 10).

Menurut pengertian yang dikemukakan Lasswell, media


merupakan salah satu aspek penting dalam melakukan komunikasi. Media
massa adalah jenis media yang menjadikan komunikasi berperan sebagai
penghubung sistem sosial atau yang biasa dikenal sebagi komunikasi
massa.

Menurut para ahli komunikasi, yang dimaksudkan dengan


komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, jelasnya
merupakan singkatan dari komunikasi media massa (mass media
communication) (Effendy, 2009: 20). Joseph A. Devito dalam bukunya,
Communicology: An Introduction to the Study of Communication,
memberikan definisinya mengenai komunikasi massa, yaitu:

“First, mass communication is communication addressed to the


masses, to an extremely large audience. This does not mean that the
audience includes all people or everyone who reads or everyone who
watches television, rather it means an audience that is large and generally
rather poorly defined. Second, mass communication is communication
mediated by audio and/or visual transmitters. Mass communication is
perhaps most easily and most logically defined by its forms: television,
radio, newspaper, magazines, films, books, and tapes. (Pertama,
komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa,
kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa
khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca atau
semua orang yang menonton televisi, agaknya ini berarti bahwa khalayak
itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan. Kedua,
komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-
pemancar yang audio dan atau visual. Komunikasi massa barangkali akan
lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya: televisi,
radio, surat kabar, majalah, film, buku, dan pita) (Effendy, 2009: 21).”

Universitas Sumatera Utara


Seperti hal lainnya, komunikasi massa memiliki fungsinya bagi
masyarakat. Terdapat banyak pendapat dari para ilmuwan mengenai
komunikasi massa. Namun, dalam bukunya, Onong Uchjana
menyimpulkan fungsi-fungsi komunikasi massa menjadi 4 hal, yaitu
menyampaikan informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur
(to entertain), dan untuk mempengaruhi (to influence) (Effendy, 2009: 31).
Fungsi komunikasi massa secara lengkap juga disampaikan oleh
Dominick, yaitu fungsi komunikasi massa terdiri dari surveillance
(pengawasan), interpretation (penafsiran), linkage (keterkaitan),
transmission of values (penyebaran nilai) dan entertainment (hiburan)
(Ardianto, 2004: 16 – 18).

2.2.2 Media Massa


Komunikasi akan lebih efektif bila unsur-unsurnya terpenuhi
dengan lengkap, salah satu unsurnya adalah media. Media adalah alat atau
saran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator
kepada khalayak. Ada beberapa pakar psikologi memandang bahwa dalam
komunikasi antarmanusia, media yang paling dominan dalam
berkomunikasi adalah pancaindra manusia. Akan tetapi, disini dijelaskan
bahwa media yang dimaksudkan ialah media yang digolongkan atas empat
macam, yakni media antarpribadi, media kelompok, media publik, dan
media massa.
Sampai saat ini, media massa merupakan salah satu media yang
paling sering digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
mereka akan informasi. Media massa sendiri adalah alat yang digunakan
dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima)
dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar,
film, radio dan televisi (Cangara, 2012: 137).
Karakteristik media massa adalah sebagai berikut (Cangara, 2012:
140 – 141):

Universitas Sumatera Utara


1) Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media
terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan,
pengelolaan sampai pada penyajian informasi.
2) Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang
memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan
penerima. Jika memang terjadi reaksi atau umpan balik,
biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
3) Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu
dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas
dan simultan, di mana informasi yang disampaikan diterima
oleh banyak orang pada saat yang sama.
4) Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi,
surat kabar dan semacamnya.
5) Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa
saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin dan
suku bangsa.

2.2.2.1 Surat Kabar


Surat kabar boleh dikata sebagai media massa tertua
sebelum ditemukan film, radio, dan TV. Surat kabar memiliki
keterbatasan karena hanya dapat diminati oleh khalayak yang dapat
membaca. Secara umum, surat kabar juga lebih disenangi oleh
kalangan orangtua daripada remaja atau anak-anak. Namun,
kelebihan dari surat kabar adalah surat kabar mampu memberi
informasi yang lengkap, bisa dibawa ke mana-mana,
terdokumentasi sehingga mudah diperoleh bila diperlukan.
Pengertian surat kabar menurut New Universal Dictionary
adalah “Newspaper is a paper printed and distributed use daily or
weekly and containing news, articles of opinion, features and
advertising (Surat kabar adalah kertas yang dicetak dan disebarkan
secara harian atau mingguan dan berisi tentang berita, opini dalam
bentuk artikel, karangan khas dan periklanan)”. Hampir dua ratus

Universitas Sumatera Utara


tahun setelah ditemukannya percetakan barulah surat kabar prototif
dapat dibedakan dengan surat edaran dan pamflet. Munculnya surat
kabar merupakan pengembangan suatu kegiatan yang sudah lama
berlangsung dalam dunia diplomasi dan di lingkungan dunia usaha.
Surat kabar pada masa awal ditandai oleh: wujud yang tetap;
bersifat komersial (dijual secara bebas); bertujuan banyak
(memberi informasi, mencatat, menyajikan, hiburan, dan desas-
desus); bersifat umum dan terbuka (McQuail, 1996: 9).
Menurut Hoogerwerf (1990) di Indonesia sendiri, aktivitas
jurnalistik dapat dilacak jauh ke belakang sejak zaman penjajahan
Belanda. Awalnya adalah dengan beredarnya surat kabar bernama
Bataviasche Nouvelles pada tahun 1744. Pada 1776, di Jakarta,
juga terbit surat kabar Vendu Niews yang mengutamakan diri pada
berita pelelangan. Kelahiran pers bumiputera, yaitu pers yang
dikelola, dimodali dan dimiliki oleh orang Indonesia sendiri,
sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh perkembangan pers
yang dikelola oleh orang-orang Belanda dan Cina di Indonesia.
Adalah Medan Prijaji yang menjadi surat kabar pertama yang
dimiliki oleh orang Indonesia. Salah seorang dari elite terdidik
yang sadar akan hal itu adalah Raden Mas Djokomono alias Raden
Mas Tirto Hadisurjo, seorang keturunan priyayi dan bekas pelajar
STOVIA. Pada tahun 1906 ia memprakarsai didirikannya Sarekat
Priyayi yang salah satu tujuannya adalah untuk memajukan
penduduk bumiputera dengan cara memberikan pendidikan dan
beasiswa kepada mereka yang kurang mampu. Agar terjadi
komunikasi di antara anggota sarekat itu, maka pada tahun 1907 ia
menerbitkan surat kabar Medan Prijaji di Bandung, yang dianggap
sebagai pers pribumi pertama di Indonesia. Pada mulanya
berbentuk surat kabar mingguan, baru tiga tahun kemudian, 1910,
berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap
sebagai pelopor yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik modern di

Universitas Sumatera Utara


Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara
pemuatan karangan dan iklan (Sumadiria, 2008: 19-20).
Sampai sekarang, surat kabar di Indonesia sudah
berkembang dengan sangat pesat. Terdapat surat kabar nasional
maupun lokal, yang kerap mewartakan informasi, sesuai dengan
kebutuhan masyarakat di lingkungan mereka. Di Sumatera Utara,
khususnya Kota Medan, surat kabar menjadi sumber informasi
yang masih digandrungi oleh setiap elemen masyarakat. Menurut
Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi Sumatera Utara,
terdapat 38 surat kabar di Kota Medan yang tersebar luas di
seluruh Sumatera Utara dan beberapa surat kabar yang sebarannya
hingga ke Aceh. Hal ini membuktikan bahwa surat kabar masih
bertahan hidup ditengah gempuran media elektronik yang semakin
beragam.

2.2.3 Jurnalistik
Jurnalistik atau journalisme berasal dari perkataan journal, artinya
catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga
berarti surat kabar. MacDougal (1972) dalam Kusumaningrat
menyebutkan bahwa journalisme adalah kegiatan menghimpun berita,
mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat penting
dimana pun dan kapan pun dan sangat diperlukan dalam suatu negara
demokratis (Kusumaningrat, 2014: 15).
Keperluan untuk mengetahui apa yang terjadi merupakan kunci
lahirnya jurnalisme selama berabad-abad. Tetapi jurnalisme itu sendiri
baru benar-benar dimulai digunakan ketika huruf-huruf lepas untuk
percetakan mulai digunakan. Dengan mesin cetak, lembaran-lembaran
berita dan pamflet dapat dicetak dengan kecepatan yang lebih tinggi,
dalam jumlah yang lebih banyak, dan dengan ongkos yang lebih rendah
(Kusumaningrat, 2015: 16).
Ilmu jurnalistik adalah suatu Ilmu Komunikasi Praktika, karena
ilmu jurnalistik mempelajari penerapan dari pengertian-pengertian Ilmu

Universitas Sumatera Utara


Komunikasi Teoritika dalam kehidupan manusia, yaitu cara penyampaian
isi pernyataan dengan menggunakan media massa periodik. Yang
termasuk media massa periodik adalah pers (surat kabar, majalah, buletin
kantor berita), radio, televisi, dan film (Soehoet, 2003: 5-6).
Orang yang bertugas mengatur cara penyampaian isi pernyataan
manusia dengan menggunakan surat kabar adalah wartawan. Di Indonesia,
istilah wartawan mulai digunakan sesudah Indonesia merdeka. Wartawan
adalah karyawan yang melakukan kegiatan/pekerjaan/usaha yang sah yang
berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan, dan penyiaran dalam
bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar dan sebagainya untuk
perusahaan pers. Jadi, semua manusia yang bekerja dalam bidang redaksi
adalah wartawan (Soehoet, 2003: 6). Hal tersebut dikuatkan oleh UU No.
40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 1 ayat 4 yang mengatakan, wartawan
adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Berbicara mengenai jurnalistik, maka berbicara pula mengenai
pers. Pers berasal dari perkataan Belanda pers yang artinya menekan. Kata
pers juga merupakan padanan kata Bahasa Inggris press yang juga berarti
menekan. Jadi, secara harfiah kata pers atau press mengacu pada
pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantara barang cetakan.
Namun sekarang pers digunakan untuk merujuk semua kegiatan
jurnalistik, terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun
berita, baik oleh wartawan media elektronik maupun wartawan media
cetak. Dengan kata lain, pers adalah suatu hal yang menyangkut kegiatan
komunikasi baik yang dilakukan oleh media cetak maupun media
elektronik (Kusumaningrat, 2015: 17).
Bernard C. Cohen dalam Advanced Newsgathering karangan Bryce
T. McIntyre menyebutkan beberapa peran umum yang dijalankan pers
diantaranya sebagai pelapor (informer). Di sini pers bertindak sebagai
mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa yang di luar
pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. Pers juga
berperan sebagai pengkritik terhadap pemerintah atau watchdog. Namun,
saat ini sudah banyak lembaga pemerintahan yang mencoba ‘menjinakkan’

Universitas Sumatera Utara


watchdog. Terakhir, Cohen menyebutkan bahwa pers sering berperan
sebagai pembuat kebijaksanaan dan advokasi. Peran ini tampak pada
penulisan editorial dan artikel, selain juga tercermin dari jenis berita yang
dipilih untuk ditulis oleh para wartawan dan cara menyajikannya (Ishwara,
2015: 18).

2.2.4 Berita
Sebenarnya, sangat sulit untuk mendefinisikan arti berita. Berita
lebih mudah diketahui daripada didefinisikan. Namun secara sederhana
berita dapat didefinisikan sebagai keterangan mengenai peristiwa atau isi
pernyataan manusia (Soehoet, 2003: 23). Menurut Koesworo (1994) berita
adalah sebuah bentuk laporan tentang suatu kejadian yang baru terjadi atau
keterangan terbaru tentang suatu peristiwa. Dengan kata lain berita
merupakan suatu fakta yang menarik atau sesuatu hal yang penting untuk
diketahui oleh khalayak. Doug Newsom dan James A. Wollert dalam
Media Writing: News for the Mass Media mengemukakan, dalam definisi
sederhana, berita adalah apa saja yang ingin dan perlu diketahui oleh orang
atau lebih luas lagi oleh masyarakat. Dengan melaporkan berita, media
massa memberikan informasi kepada masyarakat mengenai apa yang
mereka butuhkan (Sumadiria, 2008: 64).
Suatu peristiwa tidak akan menjadi berita bila tidak memiliki nilai
berita dan layak berita. Dalam berita ada karakteristik instrik yang dikenal
sebagai nilai berita (news value). Nilai berita ini menjadi ukuran yang
berguna, atau yang biasa diterapkan untuk menentukan layak berita
(newsworthy) (Ishwara, 2015: 77).
Nilai berita dianggap sebagai panutan terpilihnya suatu berita atau
tidak dalam sebuah media massa. Beberapa nilai berita yang selalu
dijadikan panutan bagi media massa pada umumnya adalah aktualitas
(timeliness), kedekatan (proximity), dampak (consequence), keterkenalan
(prominence), dan human interest (Kusumaningrat, 2014: 61-64).

Universitas Sumatera Utara


2.2.4.1 Bentuk Berita
Berdasarkan bentuknya berita terbagi menjadi dua, yaitu
berita lugas dan berita halus. Wartawan menyampaikan pesan dan
gagasannya kepada audience-nya dalam bentuk sebuah cerita yang
mereka sebut “news story”. Praktik jurnalisme dalam bercerita ini
dibedakan antara jurnalisme yang menginformasikan (sesuatu yang
penting) dan jurnalisme yang menceritakan (sesuatu yang menarik)
(Ishwara, 2015: 82).
Jack Hart, dalam A Writer’s Coach, mengatakan bila tujuan
utama seorang wartawan adalah menyampaikan informasi,
wartawan tersebut mungkin akan menulis sebuah laporan. Sebuah
laporan hanya mencatat penemuan-penemuan penelitian seseorang.
Laporan biasanya disusun menurut topik. Mereka mulai dengan
semacam pandangan umum (overview) yang kemudian dilanjutkan,
secara metodik, dengan topik A, topik B, dan seterusnya. Dalam
jurnalisme, laporan seperti ini disebut berita lugas atau hard news.
Bentuk laporan ini sangat cocok untuk diterapkan pada peristiwa
besar yang baru pecah, seperti pecah perang antara kedua negara,
bom bunuh diri, gunung meletus, tsunami, pembunuhan, dan
sebagai. Sebuat peristiwa yang membuat wartawan ingin
secepatnya melaporkan peristiwa ini kepada pembaca. Dalam
berita lugas ini tidak diterapkan teknik naratif, tidak ada gaya
bercerita. Tujuan utamanya adalah untuk menarik perhatian
secepatnya pada berita tersebut (Ishwara, 2015: 82 – 83).
Ada kalanya, berita lugas ini berisi kejadian-kejadian rutin
seperti kegiatan pemerintahan, politik, ekonomi, pengadilan dan
lainnya, yang isinya tidak terlalu menarik bagi pembaca bila hanya
berupa laporan. Berita-berita rutin yang bila dilihat sepintas tidak
menarik ini terkadang ada memiliki bagian-bagian yang penting,
atau setidaknya bisa dikembangkan menjadi cerita yang menarik.
Hal ini sangat bergantung pada ketajaman insting, pengetahuan dan
pengelihatan berita seorang wartawan atau editor. Misalnya

Universitas Sumatera Utara


penandatanganan perjanjian perdagangan antara dua negara.
Kejadian formal seperti ini berlangsung hanya dalam beberapa
menit mungkin tidak menarik bagi sebagian pembaca. Namun,
akan menarik bagi pembaca apabila wartawan dapat melihat dari
sisi yang berbeda. Wartawan yang kreatif dan skeptis, ia bisa
melihat, misalnya, bahwa di belakang upacara formal tersebut
terdapat berbagai permasalah yang terkait dengan hubungan
perdagangan antara kedua negara tersebut. Wartawan akan
menggali hal-hal menarik yang dapat disajikan untuk pembaca.
Berita tersebut kemudia ditulis dengan cara diperhalus (soft news)
dalam bentuk cerita dengan memberikan sentuhan feature
(Ishwara, 2015: 83).
Bila sebuah laporan (report) disusun terutama untuk
menyampaikan informasi, maka sebuah cerita (story) disusun
terutama untuk mereproduksi pengalaman. Untuk alasan ini maka
elemen struktur dasarnya bukanlah topiknya, tetapi adegan. Karena
prosesnya adalah pengalaman (experiential) daripada sekedar
informasi, bercerita (storytelling) bisa mempunyai dampak
emosional yang sangat kuat pada pembacanya. Wartawan
mengenal tulisan semacam ini sebagai bentuk berita halus (soft
news), yang menggunakan teknik naratif untuk menghasilkan cerita
yang dramatik.
Seorang penulis profesional, Daniel R. Williamson,
merumuskan bahwa reportase dalam bentuk berita halus, seperti
feature, sebagai penulisan cerita yang kreatif, subyektif, yang
dirancang untuk menyampaikan informasi dan hiburan kepada
pembaca. Feature yang baik adalah karya seni yang kreatif, namun
faktual. Feature bukanlah fiksi. Feature menggali suatu peristiwa
atau situasi dengan menata informasi ke dalam suatu cerita yang
menarik dan logis. Tulisan kreatif nonfiksi sering disebut literatur
yang berlandaskan fakta. Pembaca menginginkan fakta, tetapi fakta
tersebut disajikan secara kreatif, menarik dan menghibur. Tulisan

Universitas Sumatera Utara


semacam ini mensyaratkan seorang sebagai pencerita dan
kemampuan riset seorang wartawan (Ishwara, 2015: 85).
Tulisan feature kini semakin mendapat tempat dalam surat
kabar, dimuat dalam berbagai rubrik khusus seperti rubrik gaya
hidup, rubrik selebritas, rubrik tentang manusia (people), rubrik
kuliner dan lain-lain.
Entertainment atau hiburan adalah segala hal baik yang
berbentuk kata-kata, tempat, benda maupun perilaku yang dapat
menjadi penghibur. Hiburan bersifat subjektif, bergantung pada
penikmatnya. Berdasarkan pengertian di atas entertainment atau
hiburan mencakup banyak hal, di antaranya berita, musik,
permainan, film dan lain sebagainya. Sebagai contoh entertainment
dalam bentuk berita adalah pemberitaan mengenai selebritas yang
selalu ada di surat kabar. Surat kabar selalu menyediakan rubrik
khusus pemberitaan selebritas tanah air maupun luar negeri.
Pemberitaan mengenai selebriti biasanya memiliki gaya penulisan
soft news atau feature karena tidak cocok apabila dimasukkan
dalam kategori berita lugas (hard news). Pemberitaan mengenai
selebriti biasanya berupa informasi berupa cerita yang menarik
pembaca ke dalam cerita tersebut. Pembaca membaca jalan
ceritanya melalui serangkaian adegan untuk nilai hiburannya.

2.2.4.2 Sumber Berita


Detak jantung dari jurnalisme terletak pada sumber berita.
Menjadi wartawan berarti mengembangkan sumber. Wartawan
harus mengetahui ke mana mencari informasi, siapa yang harus
ditanya. Sehingga untuk pengembangan karier seorang wartawan,
kontak adalah sangat penting.
Mark Potter, wartawan televisi ABC, menamakan data
mengenai sumber berita ini sebagai “kitab suci.” Ia memiliki
sebuah buku lusuh yang berisi nama, profesi, alamat, nomor
telepon dan keterangan penting lainnya dari sumber berita.

Universitas Sumatera Utara


Sekarang, di zaman yang serba canggih, kitab suci ala Mark sudah
lebih mudah, lebih lengkap, dan lebih banyak lagi menyimpan data
yang dibutuhkan. Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Mark
Potter di atas adalah wartawan yang baik harus selalu siap dengan
data yang lengkap dan akurat mengenai sumber berita yang dapat
digunakan setiap saat dan di mana pun.
Ada beberapa petunjuk yang dapat membantu wartawan
dalam mengumpulkan informasi seperti yang dikemukakan Eugene
J. Webb dan Jerry R. Salancik,“The Interview or The Only Wheel
in Town, dalam Journalism Monograph (Ishwara, 2015:92), yaitu:
(1) observasi langsung dan tidak langsung dari situasi berita;
(2) proses wawancara;
(3) pencarian atau penelitian bahan-bahan melalui dokumen
publik, dan
(4) partisipasi dalam peristiwa.
Dalam melakukan peliputan pada sumber berita, meskipun
dari sumber terpercaya, seorang wartawan atau pers harus memetik
pelajaran berharga dari Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan
dalam menghadapi sumber-sumber yang tidak jujur. Reagan harus
berkomunikasi, bernegosiasi dan malah makan malam dengan
pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev. Tetapi ketika
pembicaraan sampai pada kekuatan persenjataan, Reagan akan
mengucapkan kata-kata yang kini menjadi terkenal: “Trust, but
verify.” Maksudnya, “Saya tidak hanya akan percaya Anda, saya
akan mengecek segala sesuatu yang Anda katakan” (Ishwara, 2015:
94).
2.2.4.3 Narasumber
Sumber merupakan suatu hal yang penting untuk
mengembangkan suatu cerita dalam memberikan makna dan
kedalaman suatu peristiwa atau keadaan. Mutu tulisan dari
wartawan sangat bergantung dengan mutu dari sumber beritanya.
Semua sumber, baik itu orang (human sources) maupun informasi

Universitas Sumatera Utara


seperti dari catatan, dokumen, referensi, buku, kliping, dan
sebagainya (physical sources), yang akan digunakan oleh wartawan
haruslah disebutkan asalnya (attributed) karena apabila tidak
melakukan hal tersebut maka itu adalah sebuah tindakan plagiat.
Namun, seorang wartawan haruslah memiliki sifat skeptis
dimana seorang wartawan tetap mempertanyakan kebenaran dari
sesuatu hal yang ia liput. Sumber manusia terkadang kurang bisa
begitu dipercaya bila dibandingkan dengan sumber-sumber seperti
dokumen, referensi dan buku. Biasanya orang atau pejabat yang
terlibat dalam peristiwa bisa mempunyai kepentingan untuk
melindungi. Bila ingin menggunakan orang sebagai sumber berita,
carilah seseorang yang layak atau memenuhi syarat untuk bicara.
Sebaliknya, bila menggunakan catatan atau kliping, wartawan tetap
harus berhati-hati karena mungkin saja sudah ada perkembangan
baru, sementara berita kelanjutannya itu tidak pernah disiarkan
(Ishwara, 2015: 102)
Selain itu, sering pula wartawan mendapatkan sumber yang
anonim yang artinya adalah sumber tersebut tidak ingin diketahui
nama dan identitasnya. Sesekali, memakai sumber anonim memang
tidak bermasalah, namun terdapat beberapa hal yang dapat
merugikan dan membahayakan serta merugikan bagi wartawan
atau media, seperti:
(1) Bahaya dimanfaatkan. Ada kemungkinan bahwa media
dimanfaatkan oleh sumber rahasia itu atau oleh wartawannya
sendiri yang membuat cerita dengan menyebutkan dalam
tulisannya sebagai sumber yang dirahasiakan padahal sumber
tersebut sama sekali tidak ada. Wartawan atau media tersebut
pada akhirnya membuat berita bohong (Ishwara, 2015: 104)
(2) Kredibilitas hilang. Kemungkinan hilangnya kredibilitas jika
pembaca tidak diberi tahu sumber yang menyampaikan
informasi penting tersebut. Semakin wartawan mengandalkan

Universitas Sumatera Utara


pada sumber tanpa nama, semakin berkurang kepercayaan
orang terhadap ceritanya (Ishwara, 2015: 105)
(3) Tuntutan hukum. Kesulitan membela dalam tuntutan hukum
bila hakim menolak pembuktian akurasi dari berita yang
didasarkan pada sumber yang tidak mau disebutkan
identitasnya. Joe Lelyveld, editor pelaksana New York Times
seperti yang dikutip dalam The Elements of Journalism
karangan B. Kovach & T. Rosenstiel, mensyaratkan wartawan
dan editor NYT untuk bertanya pada diri mereka sendiri
sebelum memakai sumber anonim:
a. Sejauh mana sumber anonim itu memiliki pengetahuan
langsung tentang peristiwa tersebut?
b. Motif apa, jika ada, yang mungkin dimiliki sumber
yang bisa menyesatkan kita, berbohong, atau
menyembunyikan fakta penting yang mungkin bisa
mengubah kesan kita tentang informasi tersebut?
(Ishwara, 2015: 105).
Deborah Howell, editor di Washington untuk surat kabar
Newhouse, menambahkan dua pegangan lain yang melengkapi apa
yang sudah dibuat Lelyved:
(1) Jangan pernah memakai sumber anonim untuk
menyampaikan suatu opini tentang orang lain.
(2) Jangan pernah memakai sumber anonim sebagai kutipan
pertama dalam sebuah berita (Ishwara, 2015: 106).

2.2.5 Selebriti

Selebriti atau artis merupakan sosok yang dikenal oleh banyak


orang. Menurut KBBI, selebriti adalah orang terkenal atau masyhur.
Selebriti adalah orang-orang yang mendapat ketenaran publik dari
sebagian besar lapisan kelompok masyarakat, dimana faktor-faktor seperti
keramahan, gaya hidup, dan keahlian khusus tertentu dari karakteristik

Universitas Sumatera Utara


pribadi selebriti yang membuat masyarakat menyukai mereka dan
mengidolakan mereka.
Selebriti tidak harus seseorang yang bekerja di dunia entertainment
seperti penyanyi dan pemain film. Pelawak, atlit olahraga, eksekutif dan
politikus pun dapat dikategorikan sebagai selebriti karena memiliki
kepopuleran di tengah masyarakat. Setiap lapisan usia di masyarakat
memiliki idolanya masing-masing misalnya seperti anak-anak yang
mengidolakan penyanyi anak-anak, remaja yang mengidolakan penyanyi
remaja, selebriti yang tampan dan atlit-atlit muda yang sekarang banyak
masuk dalam pemberitaan media massa. Tak hanya kaum muda saja,
bapak-bapak serta ibu-ibu juga tak jarang mengidolakan selebriti yang
naik daun pada masanya. Selebriti seakan-akan sudah memiliki tempat
khusus dalam kehidupan bermasyarakat khususnya masyarakat Indonesia.
Khalayak tentu selalu ingin mengetahui berita terbaru mengenai
selebriti, dari selebriti senior maupun yang baru saja tenar. Gaya hidup
yang dianggap selalu mewah, pendapat mereka, film kesukaan mereka,
seolah-olah adalah sabda yang harus diikuti oleh masyarakat. Cerita-cerita
tentang selebriti seakan menarik untuk terus dikuliti dan diketahui oleh
khalayak luas. Tak hanya cerita yang mengandung nilai positif, terkadang
informasi mengenai selebritis yang banyak mengandung nilai negatif lebih
digandrungi oleh masyarakat Indonesia.
Di Indonesia, apa saja yang dikatakan dan dilakukan bintang film,
bintang sinetron, penyanyi, penari, pembawa acara, pejabat dan bahkan
koruptor sekalipun, selalu dikutip pers. Ucapan mereka dibuat judul
mencolok dan kadang-kadang asosiatif, konotatif, imajinatif. Hal inilah
yang menyebabkan pemberitaan tentang selebriti seperti tidak ada
habisnya.

2.2.6 Prominence
Media adalah sarana yang kuat untuk memperluas jangkauan
entertainment. Entertainment (dunia hiburan) telah ada sejak zaman
sebelum ada tulisan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya lukisan di

Universitas Sumatera Utara


gua-gua purba. Entertainment sampai saat ini masih bertahan, terutama
musik, literatur (sastra), sport, film dan seks (Vivian: 2008, 397). Selain
itu, sekarang, teknologi juga membantu penyebaran entertainment
sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Setelah teknologi media
masuk ke bentuk fotografi dan elektronik, literatur dapat beradaptasi
dengan media baru. Film-film memperluas jangkauan dan bentuk artistik
buku. Demikian pula radio dan televisi. Musik juga termasuk barang
langka sebelum ada teknologi rekaman, kini masyarakat sudah dapat
menikmatinya dimana saja.
News is about people. Semua entertainment tersebut tentu ada yang
melakoninya. Semakin besar nama si pelakon, semakin besar pula
entertainment tersebut diberitakan oleh media massa. Berita adalah tentang
orang-orang penting, orang-orang terkemuka, di mana pun selalu membuat
berita. Jangankan ucapan dan tingkah lakunya, namanya saja sudah
membuat berita (Sumadiria, 2008: 88).
Nilai prominence memiliki andil dalam pemberitaan entertainment.
Umumnya disetujui bahwa nama membuat berita dan nama besar
membuat berita yang lebih besar. Ada aura berita di sekeliling orang-orang
terkenal tersebut. Apa yang mereka lakukan dan katakan sering
membuatnya sebagai berita karena ada konsekuensinya. Prediksi seorang
pengamat film nasional bisa mempengaruhi rating film tersebut, demikian
pula pemimpin politik nasional yang berjabat tangan dengan seorang calon
politik lokal akan meningkatkan derajat sang kandidat.
Prominence sangat mempengaruhi sebuah pemberitaan yang
melibatkan orang-orang atau daerah atau tempat-tempat terkenal. Kejadian
yang menyangkut tokoh terkenal memang banyak menarik pembaca.
Dalam ungkapan jurnalistiknya dapat diungkapkan dengan “personages
make news,” dan “news about prominent persons make copy” (“Tokoh
membuat berita” atau “tokoh-tokoh terkenal membuat berita.”)
(Kusumaningrat, 2014: 63).

Universitas Sumatera Utara


Seorang wartawan Amerika, George C. Sebastian, bahkan
membuat definisi yang menarik yang disebutnya sebagai “News
Arithmatic”, sebagai berikut (Kusumaningrat, 2014: 33):
1 ordinary man + 1 ordinary life = 0 (bukan berita)
1 ordinary man + 1 extra-ordinary adventure = NEWS
1 ordinary husband + 1 ordinary wife = 0
1 husband + 3 wives = NEWS (dimana poligami dilarang)
1 bank cashier + 1 wife + 7 children = 0
1 bank cashier - $10.000 = NEWS
1 chorus girl + 1 bank president - $10.000 = NEWS
1 man + 1 auto + 1 gun + 1 quart = NEWS
1 man + 1 achievement = NEWS
1 ordinary man + 1 ordinary life of 79 years = 0
1 ordinary man + 1 ordinary life of 100 years = NEWS.

Kehidupan public figure, memang dijadikan ladang emas bagi pers


dan media massa terutama televisi. Mereka menabur perkataan dan
mengukuhkan perbuatan, sedangkan pers melaporkan dan
menyebarluaskannya. Simbiosis mutualisme. Semuanya dikemas lewat
sajian paduan informasi dan hiburan. Masyarakat sangat menyukai acara-
acara ringan semacam ini.

2.2.7 Teori Shoemaker dan Reese


Shoemaker dan Reese (1996) dalam bukunya yang berjudul
Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content,
mengemukakan terdapat perbedaan dalam memaknai suatu peristiwa
dalam institusi media. Terdapat 5 level faktor yang memengaruhi isi
sebuah media massa, antara lain faktor individual, rutinitas media,
organisasi, ekstra media, dan ideologi.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.1 Model hierarki pengaruh isi media
(Dalam Shoemaker, Pamela J and Stephen D Reese, “Mediating The Messages: Theories of
Influences on Mass Media Content”, Second Edition, 1996 hlm. 64)

a. Faktor Individual (wartawan, editor, kamerawan, dan lainnya)


Faktor individu menjadi tahap pertama dalam menentukan
isi berita. Wartawanlah yang melakukan peliputan langsung ke
lapangan. Wartawan pula yang memutuskan realitas mana yang
akan ditulis dalam beritanya. Realitas yang dipilihnya akan sangat
bergantung pada pemaknaan peristiwa yang dipilihnya. Pemaknaan
tersebut dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, kesukaan,
agama, gender dan sikap wartawan tersebut kepada peristiwa yang
akan diberitakannya (Shoemaker & Reese, 1996: 63-64).
Dalam level ini dijelaskan bahwa peran dari seorang
jurnalis yang memiliki pengaruh dalam proses pemberitaan.
Seorang wartawan, misalnya, ia meliput suatu berita mengenai
toko kelontong yang terbakar dan si pemilik toko selamat.
Baginya, kehidupan si pemilik toko pasca terjadinya kebakaran
merupakan berita yang lebih menarik ketimbang hanya meliput
peristiwa terbakarnya sebuah toko. Hal ini memengaruhi isi berita
yang ia tulis.
Begitu pula halnya dengan editor. Dalam komunikasi massa
dengan salah satu elemennya adalah informasi, mereka yang
bertugas untuk memengaruhi informasi tersebut (dalam media
massa) bisa disebut dengan gatekeeper. Dapat dikatakan pula,

Universitas Sumatera Utara


gatekeeper-lah yang memberi ijin bagi tersebarnya sebuah berita.
John R Bittner (1996) mengistilahkan gatekeeper sebagai
“individu-individu atau kelompok orang-orang yang memantau
arus informasi dalam sebuah saluran komunikasi (massa)”. Jika
diperluas maknanya, yang disebut sebagai gatekeeper adalah orang
yang berperan penting dalam media massa (Nurudin, 2004: 109).
Secara umum, peran gatekeeper sering dihubungkan dengan berita.
Khususnya surat kabar. Editor sering melaksanakan fungsinya
sebagai gatekeeper ini. Mereka ini menentukan apa yang khalayak
butuhkan atau sedikitnya menyediakan bahan bacaan untuk
pembacanya.
Terdapat tiga faktor intrinsik individu yang turut
memengaruhi isi media. Pertama, karakteristik pekerja, personaliti
dan latar belakang pekerja. Kedua, sikap, nilai dan keyakinan
pekerja. Ketiga, orientasi dan peran konsep profesi yang
disosialisasikan kepada mereka. Sebagai contoh, apakah seorang
jurnalis berpikir bahwa ia adalah penyampai peristiwa yang netral,
berdasarkan fakta dan aktual atau seorang jurnalis yang hanya akan
menyampaikan peristiwa untuk membangun citra dari laporan yang
ia buat (Shoemaker & Reese, 1996: 98).

b. Rutinitas Media
Rutinitas media merupakan poin penting untuk dipahami
karena rutinitas media dalam hal proses produksi berita
memengaruhi isi berita. Rutinitas media berarti suatu yang sudah
terpola, terinstitusi, sesuatu bentuk yang diulang-ulang. Sehingga
membentuk suatu rutinitas yang dilakukan oleh pekerja media
setiap hari. Manusia adalah makhluk sosial dan mereka
berpatisipasi dalam pola tindakan yang tidak mereka ciptakan
sendiri. Mereka berbicara bahasa yang digunakan kelompok
mereka, mereka berpikir dengan cara kelompok mereka berpikir.
(Shoemaker & Reese, 1996: 100).

Universitas Sumatera Utara


Faktor ini berhubungan dengan kegiatan redaksional sebuah
media massa dalam hal memproduksi berita. Setiap kantor berita
pasti memiliki kriteria sendiri dalam menentukan sebuah berita
untuk rubrik A, rubrik B, atau rubrik C. Kriteria yang menyatakan
bagaimana suatu berita dianggap layak naik. Tentunya setiap
kantor berita memiliki ukuran masing-masing dalam menentukan
kegiatan redaksionalnya. Ukuran tersebut yang dinamakan sebuah
rutinitas media. Dengan kata lain, rutinitas media ini merupakan
prosedur standar yang harus dikerjakan oleh setiap pekerja media.
Hal penting yang harus diingat dalam faktor ini adalah
rutinitas sebuah media dalam memproduksi berita dapat
memengaruhi isi berita tersebut. Rutinitas media berarti suatu yang
sudah terpola, terinstitusi, sesuatu bentuk yang diulang-ulang. Pada
akhirnya membentuk suatu rutinitas yang dilakukan oleh pekerja
media setiap hari (Shoemaker & Reese, 1996: 103).
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa faktor ini
sangat memengaruhi kegiatan redaksional sebuah kantor berita.
Dimulai dari pemilihan berita mana yang akan diliput, penulisan
berita, pengolahan berita di meja editor sampai berita tersebut naik
cetak, setia kantor berita pasti memiliki standarnya masing-masing
sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara satu kantor berita
dengan kantor berita lainnya.

Rutinitas telah menciptakan pola yang sedemikian rupa dan


terus diulang oleh para pekerjanya. Rutinitas juga menciptakan
sistem dalam media sehingga media tersebut bekerja dengan cara
yang dapat diprediksi dan tidak mudah untuk dikacauan. Hal-hal
yang memengaruhi media adalah organisasi media itu sendiri
(processor), sumber (supplier), dan target khalayak (consumer)
(Shoemaker dan Reese, 1996: 104-105).

Universitas Sumatera Utara


c. Struktur Organisasi
Pada level ini dijelaskan bahwa struktur organisasi secara
langsung juga dapat mempengaruhi isi media. Pengelola media,
pemilik media atau pekerja media yang bekerja di meja redaksi
bukan satu-satunya penentu dari isi sebuah media. Setiap
organisasi berita tentunya memiliki struktur organisasi atau dengan
kata lain komponen-komponen yang menjadikan organisasi berita
tersebut menjadi sempurna. Setiap komponen dari organisasi berita
tersebut tentunya memiliki target-target yang ingin dicapai.
Komponen-komponen yang dimaksudnya adalah dalam kantor
berita tentu ada bagian redaksi, bagian iklan, bagian sirkulasi dan
beberapa bagian lainnya yang turut menyempurnakan organisasi
berita tersebut namun tidak selalu selaras dalam bekerja. Hal
tersebut dikarenakan setiap bagian memiliki target dan mempunyai
cara untuk mencapai target tersebut.
Sebagai contoh, bagian redaksi sudah memiliki
perencanaan liputan yang matang untuk edisi besok, namun bagian
iklan menelepon bahwa ada sebuah perusahaan yang telah
bekerjasama dengan organisasi tersebut yang ingin acara mereka
diliput dan ditaruh di halaman yang banyak dilihat oleh pembaca.
Bisa pula dari bagian sirkulasi yang meminta menaikkan berita
tertentu karena sudah jelas penjualan akan naik bila berita tersebut
dinaikkan. Hal seperti inilah yang dimaksudkan bahwa struktur
organisasi mempengaruhi isi dari pemberitaan organisasi berita.

Menurut Turow (1984), sebuah organisasi media dapat


didefinisikan sebagai entitas sosial, formal atau ekonomi yang
mempekerjakan awak media dalam usaha untuk memproduksi isi
media. Organisasi tersebut memiliki ikatan yang jelas dan dapat
diketahui dengan mudah mana yang menjadi anggotanya dan
mana yang bukan. Terdapat tujuan jelas yang menciptakan
saling ketergantungan antara bagian-bagiannya dan struktur secara
birokratis. Anggota-anggotanya memiliki spesialisasi fungsi yang

Universitas Sumatera Utara


jelas dan peran yang standardisasi. Bagan struktur organisasi yang
dimiliki sebuah organisasi media massa membantu menjelaskan
empat pertanyaan penting, yaitu: apa peran organisasi; bagaimana
organisasi terstruktur; apa saja kebijakan yang ada dan bagaimana
kebijakan tersebut diimplementasikan; serta bagaimana kebijakan
tersebut dijalankan (Shoemaker & Reese, 1996: 142-144).

Dalam organisasi media terdapat tingkatan posisi


(Shoemaker & Reese, 1996: 136-137).
1. Tingkat bawah atau pekerja lapangan seperti penulis, reporter,
staf kreatif dan fotografer yang bertugas mengumpulkan dan
mengemas bahan mentah.
2. Tingkatan menengah seperti manajer, editor, produser dan
lainnya yang bertugas mengkoordinasikan proses dan
menjembatani proses antara posisi atas dan bawah dalam
organisasi.
3. Tingkat atas yang bertugas membuat kebijakan organisasi,
membuat anggaran, mengambil keputusan-keputusan penting,
melindungi perusahaan dari kepentingan politik dan komersial,
dan saat dibutuhkan melindungi pekerjanya dari tekanan luar.
Sebuah institusi media terdiri dari beberapa orang yang
mempunyai job description yang berbeda-beda, tujuan medianya
pun berbeda-beda. Pekerja media yang langsung turun ke lapangan
bukanlah satu-satunya pihak yang menentukan isi berita. Pekerja
media tetap harus tunduk dan patuh pada perusahaan media. Sering
kali terjadi pertentangan antara idealisme awak media dengan
kepentingan perusahaan. Kekuatan pemilik media, tujuan dari
media dan kebijakan media memengaruhi pesan yang disampaikan
media tersebut. (Shoemaker & Reese, 1996: 144)

d. Kekuatan Ekstra Media


Apakah pekerja media dan organisasi adalah yang paling
memiliki pengaruh pada isi media? Level ini menjawab pertanyaan

Universitas Sumatera Utara


tersebut, dimana pada level ini dijelaskan bahwa tidak hanya
internal dari organisasi berita saja yang dapat memengaruhi isi
media, namun pihak eksternal juga memiliki andil dalam
memengaruhi isi media.
Shoemaker menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor
eksternal yang memengaruhi isi media. Faktor-faktor tersebut
antara lain sumber berita, kelompok-kelompok diluar organisasi,
kampanye public relations, pengiklan, pembaca, institusi sosial
(bisnis, pemerintahan dan politik), lingkungan media secara
ekonomi, dan teknologi (Shoemaker & Reese, 1996: 166).
Sesuai dengan penjelasan Shoemaker, secara lebih lanjut
dijelaskan beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar
media:
a) Sumber berita
Seorang jurnalis hampir tidak pernah menjadi saksi mata
sebuah kecelakaan pesawat. Mereka belajar mengenai kecelakaan
tersebut dari jurnlis lainnya (melalui berita atau media), dari orang-
orang yang ada di TKP, dari pemerintahan dan polisi dan dari
perwakilan maskapai pesawat, dimana setiap individu memiliki
sudut pandangnya masing-masing dari kejadian tersebut. Setiap
sumber memberikan keterangan yang berbeda-beda. Ini adalah
tugas jurnalis dimana harus menyeleksi informasi tersebut agar
menjadi laporan yang lengkap dan akurat (Shoemaker & Reese,
1996: 169).
Sumber berita disini dipandang bukanlah sebagai pihak
yang netral yang memberikan informasi apa adanya, tentunya
masing-masing individu mempunyai kepentingan untuk
memengaruhi media, untuk memenangkan opini publik, atau
memberi serta membangun citra tertentu.

Universitas Sumatera Utara


b) Sumber penghasilan media
Altschull (1984) reminds us, “The content of the press is
directly correlated with the interests of those who finance the press.
The press is the piper, and the tune the piper plays is composed by
those who pay the piper” (Shoemaker & Reese, 1996: 181).
Penjelasan halus dari Altschull bahwa isi media
dipengaruhi oleh siapa yang berkontribusi secara finansial di
organisasi berita tersebut. Sumber penghasilan media bisa berupa
iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli dari media tersebut.
Agar dapat bertahan hidup di antara semakin banyaknya ragam dan
jenis media, media tertentu pasti akan membutuhkan pengiklan dan
konsumen agar media mereka tetap hidup. Mereka harus mau
berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka.
Pengiklan misalnya, mereka tentu mempunyai strategi tertentu
untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin
kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di antaranya dengan cara
memaksa media agar tidak menerbitkan berita yang buruk bagi
mereka. Pelanggan juga turut memengaruhi ini media. Tema
tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan
terus-menerus diliput oleh media. Tentunya, media tidak akan
menyia-nyiakan momentum sebuah peristiwa yang disenang oleh
khalayak.
Keterkaitan antara pengiklan-media-audiens dijelaskan oleh
Shoemaker sebagai berikut:
“Advertisers recognized that not all audience are equally
important – that segment of the mass audience most likely to buy
advertiser’s product is called the target audience or market. Target
audiences are defined in terms of demographics (such as age,
gender, income and education) or pshycographics (attitudes and
lifestyle). Advertisers buy space or time from media that have the
best target audience for their product” (Pengiklan mengaku bahwa
tidak semua penonton semua penting untuk mereka - bahwa
segmen khalayak massa yang paling mungkin untuk membeli
produk pengiklan disebut target audiens atau pasar. Khalayak
sasaran didefinisikan dalam hal demografi (seperti usia, jenis
kelamin, pendapatan dan pendidikan) atau pshycographics

Universitas Sumatera Utara


(perilaku dan gaya hidup). Pengiklan membeli ruang atau waktu
dari media yang memiliki target pemirsa terbaik untuk produk
mereka) (Shoemaker & Reese, 1996: 182).

c) Pihak eksternal
Pihak eskternal seperti pemerintahan dan lingkungan bisnis
juga dapat memengaruhi isi media. Meskipun beberapa negara
memiliki pemerintah yang tidak banyak mengontrol pers, namun
tetap memiliki batasan-batasan tertentu, sehingga isi media
terkadang tetap bergantung pada pihak-pihak tertentu di lingkungan
pemerintahan dan bisnis. Bagi negara yang menganut sistem
otoriter, tentu saja segala isi media akan dikontrol oleh pemerintah.
Meskipun lebih mendapat kelonggaran dari kontrol pemerintah,
negara yang demokratis dan menganut liberalisme tetap
medapatkan sedikit campur tangan dari pemerintahan, namun
pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.

e. Ideologi
Samuel Becker berpendapat bahwa ideologi mengatur cara
kita memandang dunia kita dan diri kita sendiri; ia mengendalikan
apa yang kita sebagai sesuatu yang ‘alami’ atau sesuatu yang
‘jelas’. Sebuah ideologi adalah seperangkat kerangka berpikir yang
menentukan cara pandang kita terhadap dunia dan bagaimana kita
bertindak. Level ini merupakan level paling besar dalam model
hierarki pengaruh isi media (Shoemaker & Reese, 1996: 213).
Setiap lembaga pemberitaan (media) tentu memiliki
seperangkat pengetahuan yang diwarisi dan dijalankan atau
ideologi. Pengetahuan yang dimaksud adalah aturan-aturan
perilaku yang sesuai dengan lembaga media tersebut. Bagaimana
suatu media menggambarkan realitas akan menjadi subjektif
karena setiap media mempunyai proses konstruksi yang berbeda-
beda pula.

Universitas Sumatera Utara


Raymond William (dalam Eriyanto, 2001)
mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah.
1) Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau
kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan
psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang
dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren.
Contohnya, seseorang mungkin mempunyai seperangkat sikap
tertentu mengenai demonstrasi buruh. Ia percaya bahwa buruh
yang berdemontrasi mengganggu kelangsungan produksi.
Oleh sebab itu, demontrasi tidak boleh ada, karena hanya akan
menyusahkan orang lain, membuat keresahan, mengganggu
kemacetan lalu lintas, dan membuat perusahaan mengalami
kerugian besar. Jika bisa memprediksikan sikap seseorang
semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa orang itu
mempunyai ideologi kapitalis atau borjuis. Meskipun ideologi
di sini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi ideologi di sini
tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu
sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.
2) Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat biasa dilawankan
dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini
adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu
dimana kelompok yang berkuasa atau dominan
menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain.
Kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan
menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam
masyarakat. Mereka akan membuat kelompok yang didominasi
melihat hubungan itu nampak natural, dan diterima sebagai
kebenaran. Ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari
pendidikan, politik, hingga media massa.
3) Proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah
istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi

Universitas Sumatera Utara


makna. Ideologi menjadi proses dalam menghasilkan sebuah
makna dan ide.

2.3 Model Teoritis


Kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam
menguraikan rumusan hipotesis, yang sebenarnya merupakan jawaban
sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Adapun variabel dalam
konsep yang diteliti dalam penelitian ini adalah:

Harian Waspada
Unsur Prominence
Medan Bisnis pada Rubrik Selebritas

1. Mengetahui seberapa penting rubrik


selebritas dalam sebuah surat kabar
khususnya surat kabar lokal. Analisis Teori
Shoemaker &
2. Mengetahui keputusan seperti apa yang
Reese
dibuat oleh Harian Waspada dan Medan
Bisnis dalam mendapatkan berita
mengenai selebriti.

Gambar 2.2 Model Teoritis

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai