Anda di halaman 1dari 3

METATEORI

Paradigma yang dimiliki oleh peneliti, atau cara pandang terhadap dunia , berperan
penting dalam membentuk proses penelitian. Komunikasi mengembangkan teori. Ketika
seorang peneliti berusaha untuk menciptakan teori mereka dituntun oleh metateori
(methatheory) atau teori mengenai teori (Craig,1999). Metateori merupakan filsafat yang ada
dibalik sebuah teori, berkaitan erat dengan pengertian paradigma. Dalam hal ini maka
metateori dapat dikatakan sebagai bagian dari proses pengembangan pemikiran seorang
peneliti yang kemudian menentukan tahap-tahap berikutnya dalam kegiatan ilmiah, termasuk
tahap pemilihan teori yang akan digunakan. Begitu pula Rioux (2010) mengartikan bahwa
metateori memang lebih luas dari teori, tetapi juga lebih sempit dari paradigma, sebab sebuah
paradigma merupakan kesepakatan yang melibatkan seluruh komunitas ilmuwan dibidang
ilmu tertentu. Sementara metateori lebih merupakan asumsi-asumsi spesifik yang diambil
seorang peneliti terhadap fenomena yang hendak ditelitinya.

Sesuai dengan namanya, imbuhan “meta” merujuk pada spekulasi yang menyertai
sebuah teori. Metateori mengajukan sejumlah pertanyaan menyangkut sebuah teori, yakni
apa yang dibahas, bagaimana pengamatan dilakukan dan bagaimana suatu teori terbentuk.
Dengan kata lain, metateori adalah teori dari sebuah teori. Metateori, sebagai istilah
menyatakan secara tidak langsung, teori tentang teori. Itu adalah, perbandingan metateoritis
melibatkan komitmen-komitmen filosofis pada isu-isu seperti aspek apa dari dunia sosial
yang dapat dan harus kita teorikan, bagaimana peneorian harus diproses, apa yang harus kita
hitung sebagai pengetahuan tentang dunia sosial, dan bagaimana teori harus digunakan untuk
membimbing tindakan sosial.

Dalam hal ini, Bradac dan Bowers telah mengadakan satu analisis metateori atas ilmu
komunikasi. Metateori adalah satu bidang yang mendiskripsikan dan menjelaskan persamaan-
persamaan serta perbedaan-perbedaan yang ada diantara teori-teori dengan memakai tiga
tema besar yaitu epistemologi (tentang pengetahuan yang benar dan cara mendapatkannya),
ontologi, dan aksiologi (tentang nilai-nilai).

a. Epistemologi (Hakikat Pengetahuan)

Studi epistemologi dengan filsafat meliputi pertanyaan-pertanyaan tentang penciptaan


dan pertumbuhan dari pengetahuan. Fondasi-fondasi epistomologis meliputi sebuah ide teoris
tentang apa pengetahuan dan bagaimana pengetahuan dapat disusun dalam dunia sosial.
Menurut objektivis, pengetahuan harus terdiri dari pernyataan kausal tentang dunia sosial dan
harus dihasilkan melalui usaha dari sebuah komunitas ilmuwan menggunakan metode-
metode ilmiah yang ditetapkan.

Sedangkan menurut subjektivis, pengetahuan disituasikan dengan keadaan lokal dan


dengan demikian harus diperoleh melalui pengalaman atau melalui interaksi yang
dikembangkan dengan orang-orang yang mengerti.
b. Ontologi (Hakikat Realitas)

Studi ontologi dengan filsafat meliputi penyelidikan-penyelidikan menuju hakikat


keberadaan. Dalam diskusi-diskusi dengan penelitian sosial, pertanyaan-pertanyaan dari
ontologi meliputi isu-isu seperti “Apa hakikat dari realitas?” dan “Apa hakikat dari hal yang
dapat diketahui?” Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan dari ontologi mencari hakikat dari
fenomena yang kita cari dalam ilmu pengetahuan dan apa yang kita teorikan.

Sebuah isu metateoritis sentral adalah satu pendirian ontologi diambil dengan
memperhatikan dunia sosial. Sebuah ontologi teoris sosial bisa menjadi realistis dengan
memposisikan sebuah realitas yang sukar dan solid dari objek-objek ilmu alam dan sosial.
Atau sebuah pendirian teoris bisa menjadi nominalist dalam mengusulkan bahwa realitas
entitas sosial hanya dalam nama dan label yang kita sediakan untuk mereka. Atau sebuah
pendirian teoris bisa menjadi konstruksi sosial dalam menekankan jalan-jalan/cara-cara
dalam pengertian-pengertian/arti-arti sosial diciptakan melalui interaksi historis dan
kontemporer dan tata cara dalam pengkonstruksian sosial memungkinkan dan memaksa
kelakuan kita yang selanjutnya.

c. Aksiologi (Peran Nilai)

Ada tiga posisi pada aksiologi :

Pertama, nilai-nilai mempunyai peran dalam penelitian, tetapi peran tersebut dipaksa dalam
istilah ketika nilai-nilai dari bermacam-macam jenis mempengaruhi ilmu pengetahuan.

Kedua, itu tidak mungkin untuk menghilangkan pengaruh nilai-nilai dari sesuatu bagian
usaha penelitian.

Ketiga, nilai-nilai tidak hanya membimbing/memimpin pilihan-pilihan topik-topik penilitian


dan mempengaruhi praktek penelitian tapi juga bahwa ilmu pengetahuan melibatkan
partisipasi aktif dalam pergerakan perubahan sosial.

Pandangan metateoris pada aksiologi membahas peran nilai dalam proses


pengembangan teoritis dan pengujian. Meskipun beberapa penelitian bisa jadi proses yang
bebas nilai, banyak yang berpendapat peran nilai yang sangat terbatas. Namun, ilmuwan lain
yakin bahwa kita tidak bisa menghindari rembesan nilai dalam pandangan kita tentang dunia
dalam penelitian ini. Terakhir, banyak ilmuwan yakin bahwa nilai harus memegang nilai yang
sangat aktif dalam penelitian, mengarahkan keilmuwan pada jalur perubahan sosial. Teori
mengemukakan dalam konteks yang dibatasi dan dipengaruhi oleh anggapan para peneliti
sosial.

Pengertian dari Dervin yang dikutip Rioux membawa kita kembali ke bagian awal
tulisan tentang perlunya memperhatikan elemen ontologi dan epistemologi di dalam sebuah
teori. Dalam konteks ini, baik Dervin maupun Best sebenarnya berbicara tentang hal-hal yang
mendasari sebuah keputusan untuk melakukan penelitian dengan menggunakan teori tertentu.
Kita tahu bahwa ontologi dan epistemologi adalah dua istilah yang dipakai dalam filsafat
ilmu, ontologi untuk membahas aspek apa yang diteliti, sementara epistemologi membahas
bagaimana manusia (dalam hal ini peneliti) memperoleh pengetahuan dari penelitian terhadap
apa yang diteliti. Setiap ilmuwan menggunakan keduanya sebagai semacam argumentasi
dasar untuk membenarkan keputusan mereka meneliti suatu fenomena, sekaligus menegaskan
batas-batas fenomena itu serta cara atau metode yang akan mereka gunakan untuk
menelitinya. Seringkali argumentasi dasar ini tidak muncul secara eksplisit atau menonjol
dalam laporan penelitian, sebab yang lebih kentara terlihat adalah teori-teori yang digunakan
dalam penelitian. Namun semua ilmuwan pada dasarnya memiliki pandangan spesifik tentang
objek yang mereka teliti dan bagaimana mereka akan menelitinya.

Dervin dan Best juga menyebut aspek tujuan penelitian, solusi yang ingin dihasilkan,
dan nilai-nilai di masyarakat yang mungkin memengaruhi jalannya sebuah penelitian. Dalam
sebuah laporan penelitian, baik di lingkungan akademik maupun di lingkungan yang lebih
luas, hal-hal ini biasanya muncul di bagian latar belakang atau di bagian awal yang
merupakan pengantar (introduksi) ke bagian-bagian selanjutnya. Ini semata memperlihatkan
bahwa sebuah penelitian memang bukan hanya persoalan penggunaan teori, tetapi juga alasan
mengapa sebuah teori digunakan dan apa sumbangannya pada pencapaian tujuan penelitian.
Sekaligus juga terlihat bahwa sebuah penelitian pada akhirnya tak dapat dilepaskan dari
situasi dan kondisi di mana penelitian itu diadakan; untuk memastikan bahwa sebuah ilmu
tidak mengawang-awang atau tetap kontekstual dengan realita dan kebutuhan masyarakatnya.
Inilah yang juga menjadi bagian dari meta-teori.

Secara lebih praktis, Mittroff dan Betz (1972) pernah mengatakan bahwa sebuah
meta-teori memberikan tiga tuntunan kepada peneliti, yaitu :

(1) membantu peneliti memilih sebuah masalah yang cocok untuk penelitiannya,
(2) membantu peneliti menguraikan berbagai elemen yang berkaitan dengan masalah
penelitian tersebut, dan
(3) menyediakan kriteria yang dapat digunakan untuk membuat kesimpulan atau
menawarkan solusi pemecahan terhadap masalah.

Anda mungkin juga menyukai