Anda di halaman 1dari 5

Teori Kesenjangan Pengetahuan

Information Gaps (celah/kesenjangan informasi) yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
perbedaan pemilikan informasi oleh masyarakat, baik pada tingkat makro (sebuah negara, atau
masyarakat), maupun pada tingkat mikro (individu). Dalam berbagai literatur ilmu
komunikasi, ada yang menyebut kesenjangan informasi sebagai knowleedge gap
(kesenjangan pengetahuan) yang lebih merujuk kepada kesenjangan informasi pada tingkat
mikro, ada juga yang menyebutnya dengan information imbalance (ketidakseimbangan
informasi) yang menekankan kesenjangan informasi pada tingkat makro.

Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Phillip Tichenor, George Donohue, dan Clarice Olien.
Yang melatarbekangi lahirnya Teori Information Gaps atau Knowledge Gaps adalah akibat
adanya arus informasi yang terus meningkat. Sebagian besar information gaps itu
disebabkan oleh media massa. Secara teoritis peningkatan ini akan menguntungkan setiap
orang dalam masyarakat karena setiap individu memiliki kemungkinan untuk mengetahui
apa yang terjadi di sekelilingnya atau di dunia. Hal ini tentunya akan membantu diri
seseorang dalam memperluas wawasan.
Meskipun demikian, sejumlah peneliti menunjukkan bahwa peningkatan arus
informasi seringkali menghasilkan efek negatif. Peningkatan pengetahuan pada kelompok
tertentu akan jauh meninggalkan/melebihi kelompok lainnya. Dalam hal ini information
gaps atau knowledge gaps akan terus terjadi dan terus meningkat sehingga menimbulkan
jarak antara mereka yang mengetahui lebih banyak dan mereka yang mengetahui lebih sedikit
tentang pengetahuan berkenaan topik tertentu.
Teori kesenjangan pengetahuan dapat membantu menjelaskan berbagai penelitian yang
menitikberatkan pada opini publik. Kesenjangan pengetahuan dapat menghasilkan bertambahnya
kesenjangan antara orang-orang yang memiliki status sosioekonomi yang rendah dan orang-
orang yang memiliki startus sosioekonomi yang tinggi.
Ketika arus informasi dalam suatu sistem sosial meningkat, maka mereka yang
berpendidikan tinggi dan yang status sosial ekonominya lebih baik, akan lebih mudah, cepat,
dan lebih baik dalam menyerap informasi dibandingkan mereka yang kurang pendidikan
dengan status sosial ekonominya lebih rendah. Mareka manyatakan bahwa meningkatnya
informasi akan menghasilkan melebarnya jurang/celah pengetahuan daripada
mempersempitnya. Asumsi Tichernor dan kawan-kawannya diperkuat lagi oleh tokoh lain
yaitu Everett M. Rogers (1976) yang mengatakan bahwa informasi bukan hanya
menghasilkan melebarnya knowledge gaps, tetapi juga gaps yang berkaitan dengan sikap
dan perilaku. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa komunikasi massa bukan satu-satunya
penyebab terjadinya gaps tersebut, karena komunikasi langsung antar individu dapat
memiliki efek yang serupa.
Pada dasarnya memperbaiki kehidupan orang-orang dengan informasi melalui media
massa tidak selalu berjalan lancar sesuai dengan yang telah direncanakan karena menemui
berbagai hambatan-hambatan komunikasi. Media massa mungkin saja memberikan efek
memperbesar perbedaan kesenjangan diantara anggota kelas social.

Kekuatan Teori Information Gaps

Kekuatan teori ini hampir tidak ditemukan karena banyak peneliti lain setelah teori ini
dikemukakan mempunyai pendapat berbeda dengan pelopor teori ini. Setidaknya kekuatan
teori ini ada karena bisa dijadikan sebagai dasar pengembangan Teori Information Gaps seperti
yang dilakukan oleh banyak peneliti setelah Tichenor, Donohue dan Olien sebagai pelopor teori
tersebut. Mengkritik dan mengembangkan apa yang sudah diciptakan oleh lebih mudah dari
membuat yang baru. Lebih lanjut Teori Information Gaps ini sudah sangat cocok untuk melihat
tingkat kesenjangan informasi dalam masyarakat yang terkait dengan tingkat pendidikan dan
perekonomian (sisi penerima informasi saja).
Dalam hal kekuatan Teoti Information Gaps ini, Baran dengan sangat optimis
mengungkapkan 4 (empat) kekuatan teori ini yaitu:
1. Mengidentifikasikan celah yang berpotensi mengganggu di antara kelompk;
2. Memberikan ide untuk mengatasi celah;
3. Mendorong timbal-balik dan aktivitas khalayak dalam komunikasi; dan
4. Dibangun dalam teori sistem97
F. Kelemahan Teori Information Gaps

Dervin (1980) mengkritik teori kesenjangan informasi karena didasarkan pada paradigma
komunikasi tradisional yaitu sumber-mengirimkan-pesan-ke-penerima. Dervin mengatakan
bahwa pendekatan ini menyebabkan sindrom “menyalahkan korban”. Dia menyatakan agar
kampanye komunikasi (dan riset komunikasi) lebih didasarkan pada pengguna.

Dalam hal kelemahan, Baran juga mengungkapkan beberapa kelemahan Teori Information Gaps
sebagai berikut:
1. Mengasumsikan celah sebagai sebuah disfungsi; tidak semua setuju;

2. Membatasi fokus terhadap celah yang melibatkan koflik sosial dan berita; dan
3. Tidak dapat menunjukkan alasan mendasar dari celah (misalnya sekolah yang jelek atau akses
kepada sumber inforrmasi yang terbatas).

Kelemahan Teori Information Gaps ini adalah hanya melihat tingkat kesenjangan informasi
berkaitan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi saja, tapi tidak melihat banyak faktor lain
seperti biologis, geografis, agama, profesi, kelompok dan lain-lain. Analisis tingkat pendidikan
dan ekonomi penerima informasi serta beberapa faktor tambahan di atas perlu diperhatikan
dan sangat cocok dengan Analisis tentang masyarakat yang ditulis oleh Lathief Rousydiy. Secara
geografis, seseorang yang kaya dan pendidikannya tinggi kemudian tinggal di wilayah
pegunungan yang sulit terjangkau media massa pasti juga merupakan sebab terjadinya
kesenjangan informasi. Dari segi agama, seseorang yang kaya dan pendidikannya tinggi serta
beragama Islam tidak akan menonton serta tidak membiarkan anak-anaknya menonton televisi
sekiranya ada informasi tentang ilmu pengetahuan tertentu tapi diselipkan misi kristen,
begitulah seterusnya berkaitan dengan faktor-faktor yang lain di atas serta kemungkinan ada
faktor lain yang lebih banyak lagi. Teori Information Gaps ini lebih menyudutkan masyarakat
penerima informasi karena tingkat kesenjangan yang dilihat hanya sepihak yaitu sisi penerima
informasi tapi tidak dilihat dari sisi penyedia informasi seperti disebutkan Dervin di atas.

Mengapa Kasus HIV/AIDS Masih Tinggi di Papua?

Liputan6.com, Jakarta Kasus HIV/AIDS di Papua memang masih tinggi dan memprihatinkan.
Selain edukasi yang lemah, ternyata ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi tingginya
angka penderita HIV/AIDS seperti banyaknya Pekerja Seks Komersial (PSK) asal daerah lain
yang berdomisili di Papua.

Begitu disampaikan Executive Director Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA)


Ramdani Sirait saat diwawancarai Liputan6.com di bilangan Kuningan, Jakarta, Rabu
(28/1/2018).

"Selain edukasi yang lemah tentang seks yang aman, banyak orang non papua yang ketahuan dan
tes darah dan positif mereka tercartata papua. Salah satunya adalah PSK yang ternyata berasal
dari daerah lain seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan sebagainya," kata Dani.

Selain Jakarta, kota-kota besar lain seperti Riau, Batam dan sekitarnya juga tinggi. Tapi bedanya,
lanjut Dani, kasus HIV/AIDS di Papua dengan daerah lain adalaah kesadaran tes HIV begitu
rendah, seperti gunung es.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan hingga September 2014, jumlah kumulatif HIV dan AIDS di
Papua masing-maisng 16.051 dan 10.184 kasus. Sedangkan data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
menyebutkan, prevalensi penularan HIV AIDS di Papua turun menjadi 2,3 persen pada 2017 dari
pendataan terakhir 2015 yang mencapai 2,4 persen.
*

Penderita HIV/AIDS di Papua Tercatat 38.874 Orang

JAYAPURA, KOMPAS.com - Dinas Kesehatan Provinsi Papua mengungkapkan jumlah


penderita HIV/AIDS di Papua hingga 30 September 2018 tercatat 38.874 orang.

Dari jumlah tersebut, Kabupaten Nabire menduduki posisi tertinggi dari 28 kabupaten dan 2 kota
di Papua, yakni 7.240 orang. Peringkat kedua Kota Jayapura, yaitu 6.189 orang, disusul
Kabupaten Mimika dan Jayawijaya serta daerah lainnnya.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, drg. Aloysius Giay mengungkapkan, adanya
peningkatan jumlah kasus yang diketahui Dinas Kesehatan itu tak lepas dari program yang
dilakukan pemerintah untuk mengajak masyarakat secara sukarela mengikuti tes.

“Tingginya angka ini tak lepas dari kerja para jejaring dan pelayanan di daerah yang secara
intens memberikan penyuluhan hingga ke pelosok daerah. Kami akui juga kalau yang kami
lakukan belum maksimal,” kata Giay kepada wartawan di Jayapura, Sabtu (1/12/2018).

Tingginya kasus di Nabire dan kota lainnya, kata Giay, selain faktor seks bebas juga karena
faktor lainnya, salah satunya minuman keras.

“Contohnya ada daerah penambangan liar yang barter emas dengan PSK, termasuk tingginya
penikmat miras, aibon (penghirup lem aibon), dan seks bebas di komunitas anak-anak aibon
dengan barter seks,” kata dia.

Dari berbagai persoalan tersebut, Giay meminta semua pihak terlibat untuk menekan penyebaran
virus HIV-AIDS.

“Bukan hanya Dinkes tapi peranan Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan keterlibatan peranan
tokoh agama serta kepedulian orang tua untuk dapat menekan virus ini. Saya akui tugas kami
berat dan sampai saat ini kami belum maksimal, apalagi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
baru ada 9 kabupaten di tanah ini,” kata dia.

Dari 9 KPA yang ada di Papua, kata dia, hanya 5 kabupaten yang aktif. “Faktanya ada 9 daerah
di kabupaten memiliki KPA. Tetapi, hanya 5 diantaranya yang aktif,” tambah dia.

Analisis

Faktor utama yang menyebabkan meningkatnya kasus HIV/Aids di daerah ini adalah faktor pendidikan.
Sebagian besar penduduk di dalamnya sangat mementingkan pendikikan, dimana beberapa orang tua
bahkan merelakan mengeluarkan uang lebih demi pendidikan anaknya, karena mereka menyadari
bahwa pendidikan merupakan penyumbang terbesar untuk mencapai sebuah kesuksesan, dan pada
akhirnya merekapun juga akan ikut merasakan kesuksesan tersebut. Namun disisi lain, beberapa orang
tua mengabaikan pendidikan, karena menurut mereka pendidikan kurang begitu penting. Mereka
memiliki pemikiran yang sangat sempit, dimana mereka berpendapat bahwa ‘Dia berpendidikan tapi
juga masih pengangguran’ atau ‘apa pentingnya pendidikan? Hanya akan membuang-buang uang saja,
lebih baik bekerja langsung akan lebih cepat mendapatkan uang’. Tanpa mereka memikirkan pendidikan
sangat menentukan dimana posisi mereka bisa bekerja.

Adanya perbedaan tingkat pendidikan, tidak dapat dipungkiri muncullah perbedaan dalam proses
pencarian lapangan pekerjaan. Di Papua sebagian besar penduduknya bekerja sebagai penambang liar.
Mereka menerima secara lapang upah dari hasil kerjanya yang hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan pangannya saja.

Tidak berhenti disitu, karena faktor pendidikan dan faktor tenaga kerja yang telah dijelaskan diatas
menyebabkan buruknya pemenuhan kesehatan yang layak pada kalangan masyarakat yang kurang
mampu. Hal ini membuat mereka mengabaikan pentingnya sebuah kesehatan. Di lingkungan mereka
masih menggunakan sungai sebagai tempat mecari air minum, mandi, mencuci dan buang air baik kecil
maupun besar. Dengan mencampuradukkan semua kegiatan tersebut pada tempat yang sama, tentu air
yang ada akan tercemar. Sedangkan air minum yang mereka konsumsi setiap harianya juga
terkontaminasi. Sehingga mereka rentan terserang penyakit. Mulai dari diare, muntaber, hingga DBD.
Setelah mereka terserang penyakit-penyakit tersebut, mereka sulit untuk mendapatkan perawatan yang
memadai karena kurangnya biaya pengobatan yang mereka miliki. Alhasil mereka hanya mampu untuk
merawat keluarga mereka yang sakit dirumah saja.

Selain itu juga berimbas pada tingginya kasus HIV/ AIDS karena rendahnya edukasi tentang seks
terhadap masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya penambang liar yang barter emas dengan PSK.

Anda mungkin juga menyukai