Anda di halaman 1dari 7

Media merupakan alat atau saluran penghubung komunikasi seseorang kepada orang lain.

Dengan
adanya media, maka terjadilah sebuah komunikasi, karena komunikasi ialah suatu proses penyampaian
pesan dari satu individu kepada individu lainnya.

Media cetak merupakan salah satu saluran komunikasi yang cukup efektif dalam penyampaian
informasi. Menurut indonews.com tahun 2018, karya jurnalistik berbentuk cetak adalah yang tertua di
dunia. Media cetak pertama di dunia adalah yang dituliskan diatas papan bernama Acta diurna, pertama
kali muncul pada 131 SM pada masa Republik Romawi. Media cetak memiliki berbagai bentuk,
contohnya berupa koran, majalah, tabloid, dan lain-lain.

Kini media tersebut banyak digantikan perannya dengan media online. Media cetak sekarang banyak
ditinggalkan para pembacanya akibat perkembangan teknologi digital. Perkembangan teknologi
informasi ini telah mengubah bentuk media dari singlemedia menjadi multimedia. Sekarang, pembaca
lebih memilih budaya watching dibandingkan reading.

Melihat fenomena ini, bagaimana cara media cetak mengambil perannya kembali untuk tetap
memposisikan dirinya sebagai saluran penyampaian informasi? Bagaimana cara mempertahankan
media cetak agar tetap menjadi perhatian konsumen

Menurut Kusuma (2016) menjelaskan media cetak dari segi jumlah bertambah tetapi dari segi pembaca
telah mengalami penurunan yang cukup signifikan. Data dari BPS menunjukkan masyarakat berumur 10
tahun ke atas yang membaca surat kabar sebesar 23,0 %. Tahun 2006 berkurang menjadi 0,3%.
Kemudian turun drastis tahun 2009 menjadi 18,4% dan pada tahun 2012 turun lagi sampai sebesar 17 %.
Hal ini jelas dalam konteks pembaca dan pasar maka media cetak makin berkurang dan tentu saja lama-
kelamaan media cetak ini bisa mengalami gulung tikar

Eksistensi media cetak di tengah media online

Masyarakat Indonesia saat ini tetap bertahan dengan media cetak, sementara masyarakat luar sudah
berpindah ke arah digital. Adanya jaringan internet telah mengubah cara orang menggunakan media
bahkan di seluruh dunia. Perubahan bentuk penyampaian pesan dari cetak menjadi online berdampak
pada masa depan media itu sendiri.

Bergesernya kebiasaan pembaca untuk mengonsumsi media dengan menggunakan koneksi internet dan
mulai meninggalkan media cetak menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensi media cetak. Penerbitan
tabloid, koran dan semacamnya itu menjadi semakin sulit karena kebiasaan membaca orang yang sudah
berubah.

Andoko (dalam Kusuma, 2016) menjelaskan apalagi ketika harga kertas semakin mahal dan industri
media cetak menjadi semakin sulit untuk bertahan, pilihan bagi media cetak mau tak mau harus
mentransformasi diri untuk ikut menguasai dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital
yang ada.
Keunggulan media cetak dari perspektif psikologi

Jika membandingkan koran atau surat kabar dengan media online maka berita yang disajikan dari koran
bisa terbilang masih bisa dipertanggungjawabkan karena pembuatannya pun melalui proses editing
kepada tim redaksi. Sedangkan media online, agak sulit dipertanggung jawabkan karena masih banyak
juga yang belum memahami kode etik jurnalistik, sehingga dapat memungkinkan terjadinya kesalahan
penyedia informasi. Media cetak dianggap lebih mampu mencegah informasi yang tidak layak serta
menyajikan berita secara lebih akurat.

Menurut Gumelar dan Maulana (2013), media cetak masih menjadi menarik karena informasi yang
diterbitkan bisa disimpan tanpa harus melakukan "recording" seperti dalam media siaran, dan informasi
tersebut masih bisa didapatkan kembali jika suatu saat diperlukan.

Langkah media cetak mengambil perannya kembali

Resmadi dan Yuliar (dalam Kusuma, 2016) mengungkapkan bahwa konvergensi media adalah salah satu
perkembangan media massa yang melibatkan banyak faktor, teknologi dalam penggunaanya. Media
cetak kini dapat beradaptasi dengan media online. Kehadiran internet membuat media cetak
menerapkan konsep konvergensi media seperti media online, e-paper, e-books, radio streaming, dan
media sosial.

Menurut Khadziq (2016) hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa keputusan untuk melakukan
konvergensi media adalah salah satu langkah yang tepat untuk membantu media cetak jika ingin terus
eksis dan berjuang memberikan pelayanan kepada konsumennya. Untuk dapat tetap bertahan, media
konvensional harus mempertahankan mutu dan kepercayaan atas informasi yang disajikan. Mutu dan
kepercayaan konsumen dapat dibangun dengan membentuk jiwa profesionalisme pencari berita yang
menerapkan etika jurnalisme.

logo-kompasianalogin

DAFTAR

savira ramadhanti

savira ramadhanti

Bekasi

Langkah media cetak mengambil perannya kembali

Resmadi dan Yuliar (dalam Kusuma, 2016) mengungkapkan bahwa konvergensi media adalah salah satu
perkembangan media massa yang melibatkan banyak faktor, teknologi dalam penggunaanya. Media
cetak kini dapat beradaptasi dengan media online. Kehadiran internet membuat media cetak
menerapkan konsep konvergensi media seperti media online, e-paper, e-books, radio streaming, dan
media sosial.

Menurut Khadziq (2016) hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa keputusan untuk melakukan
konvergensi media adalah salah satu langkah yang tepat untuk membantu media cetak jika ingin terus
eksis dan berjuang memberikan pelayanan kepada konsumennya. Untuk dapat tetap bertahan, media
konvensional harus mempertahankan mutu dan kepercayaan atas informasi yang disajikan. Mutu dan
kepercayaan konsumen dapat dibangun dengan membentuk jiwa profesionalisme pencari berita yang
menerapkan etika jurnalisme.

Perkembangan teknologi internet kini yang mendorong masyarakat untuk menggunakan media online.
Jika tidak ada langkah yang signifikan maka media cetak akan sangat terancam keberadaanya sehingga
akan terjadi penurunan drastis pengguna saluran tersebut. Media online sudah jauh perkembangannya
mengikuti perkembangan masa kini. Pemberitaan media online lebih cepat, aktual dan berkelanjutan
sehingga pengguna yang terkoneksi internet dapat langsung mengakses media online dimana saja dan
kapan saja.

Media online kini sudah sangat merambah dunia digital. Mereka dapat menarik masyarakat untuk dapat
mengaksesnya kapan saja. Lalu bagaimana dengan nasib media cetak? Apakah kehadiran media online
dapat menggantikan posisi saluran ini? Lalu apa mungkin dengan berkembangnya teknologi, kita malah
mematikan sesuatu yang seharusnya dapat didukung oleh perkembangan teknologi itu sendiri?

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Industri media, khususnya media cetak, tengah mengalami fase
turbulensi yang sangat luar biasa, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital. Dampak
dari perkembangan teknologi digital pada industri media cetak bisa dilihat dalam beberapa dekade
terakhir, di mana jumlah pembaca koran menurun secara signifikan.

Bahkan tahun 2008 disebut- sebut menjadi gelombang pertama matinya industri media cetak di
sejumlah negara besar seperti di Amerika Serikat maupun di Eropa, tak terkecuali di Indonesia yang
ditandai dengan ‘tumbangnya’ tabloid Bola yang menjadi salah satu legenda tabloid olahraga di
tanah air.
Hal ini terungkap dalam Talkshow Jurnalistik berajuk 'Industri Media dan Praktik Jurnalistik di Era Digital'
yang digelar Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), di Gedung
Bersama lantai 10 kompleks kampus Unissula, Kaligawe, Kota Semarang, Kamis (14/3).

Redaktur Pelaksana Republika Online, Elba Damhuri dalam talkshow ini mengungkapkan, satu dekade
lalu, jumlah pembaca Koran di tanah air masih mencapai 9,5 juta orang. Memasuki tahun 2017, jumlah
pembaca koran tinggal 4,5 juta jiwa dari penduduk di negeri ini.

Sebaliknya, lima tahun lalu jumlah pembaca media online di tanah air masih berada di kisaran 2 juta
jiwa. Pada tahu 2017 jumlah pembaca media online sudah mencapai 6 hingga 7 juta.

Artinya dalam kurun wktu lima tahun terakhir pertumbuhan pembaca media online di Indonesia
mencapai 500 persen dan didominasi usia 18 hingga 29 tahun.

Turbulensi jilid kedua, masih jelasnya adalah pesatnya perkembangan pengguna teknologi informasi di
negeri ini. Tercatat sebanyak 100 juta orang Indonesia pengguna smartphone aktif dan ada 400 juta
nama pengguna simcard yang ini menempatkan Indonesia merupakan pengguna simcard terbesar ke
empat.

Pada tahun 2017, sebanyak 143,3 juta pengguna intrrnet di Indonesia tahun 2017. 150 juta pengguna
media social (medsos). “Maka kemudian muncul pertanyaan apakah suatu saat koran akan mati?,
apakah media online akan membunuh Koran? atau apakah media online akan menjadi ‘raja’ dalam
penyebarluasan informasi di negeri ini?, jawabnya tidak.

Elba meyakini industri media cetak tidak akan mati, namun masih akan tetap bertahan dengan gaya baru
yang lebih sesuai dengan kebutuhan milenial. Misalnya menggunakan perspektif jurnalisme yang
membawa pengetahuan.

Saat ini harus era kolaborasi media online, koran, medsos dan komunitas. Pun demikian bagi para
pelaku, sekarang merupakan eranya jurnalis video, televisi, visual dan foto sehingga para jurnalis di era
sekarang penting kuasai kemampuan yang lebih lengkap, seperti menulis, video, forografi, grafik dan
mampu berperan sebagai host.

Hanya saja, junalis di era modern seperti ekarang menjadi sebuah profesi yang tidak lagi menjanjikan.
Namuan seiring dengan perkembangan ilmu dan pemanfaatan teknologi digital masih ada peluang
dengan pendapatan jauh lebih besar dari pendapatan jurnalis. “Misalnya, bisa menjadi tenaga data
analis,” tandasnya.

Sementara itu Keua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jawa Tengah, Teguh Hadi Prayitno
menyampaikan, jurnalis moderen termasuk profesi soft kompetensi. Karena jurnalis belum tentu berasal
dari background pendidikan komunikasi namun bisa berasal dari latar belakang keilmuan lainnya.

Ia juga tak menampik di era milenial atau yang disebutnya sebagai era konfergensi media seperti
sekarang ini media sudah tidak memiliki sekat lagi. “Sekarg era konfergensi media, ssehingga tipis
batasan antara media cetak, elektronik dan online,” jelasnya.

Menurutnya, ada empat kuadran media di era modern seperti sekarang ini. Yakni meliputi media yang
sudah terverifikasi oleh Dewan Pers, media yang belum terverifikasi Dewan Pers tetapi masih dalam
tataran proses, media tak terverifikasi Dewan Pers dan tak memenuhi kode etik jurnalistik serta media
terverifikasi Dewan Pers tetapi merupakan partisan.

Ia juga menyebut, medsos bukan media massa, jika jurnalis menulis –walaupun secara kaidah
jurnalistik terpenuhi-- tetapi diunggah melalui medsos, hal itu juga tidak diakui sebagai sebuah karya
jurnalistik. “Tak sedikit kasus yang akhirnya berujung pada pengenaan pasal UU ITE,” tandas Teguh.

Jakarta – Media cetak masih mampu mempertahankan pembacanya di tengah-tengah pergeseran


minat baca dari cetak ke digital. Koran masih menjadi pilihan utama pembaca dan pandapatan iklan
koran relatif tetap dari tahun ke tahun.

Menurut survey Nielsen Consumer & Media View (CMV) kuartal III 2017 yang dilakukan di 11 kota dan
mewawancara 17.000 responden, saat ini media cetak (termasuk koran, majalah dan tabloid) memiliki
penetrasi sebesar 8 persen dan dibaca oleh 4,5 juta orang. Dari jumlah tersebut, 83 persennya membaca
koran. Televisi masih merajai dengan penetrasi 96 persen atau dilihat 52,8 juta orang sementara radio
37 persen atau 11,9 juta orang.

Alasan utama para pembaca masih memilih koran adalah karena nilai beritanya yang dapat dipercaya.
“Elemen trust terhadap konten tentu berpengaruh terhadap iklan yang ada di dalamnya. Sehingga
keberadaan koran sebagai media beriklan sangat penting untuk produk yang mengutamakan unsur trust
misalnya produk perbankan dan asuransi,” ujar Hellen Katherina, Direktur Eksekutif Nielsen Media,
dalam siaran persnya.

Sedangkan untuk tabloid atau majalah lebih kepada kisah nyata yang diulas. Jika dilihat dari profil
pembaca, media cetak di Indonesia cenderung dikonsumsi oleh konsumen dari rentang usia 20-49 tahun
(74 persen), memilki pekerjaan sebagai karyawan (32 persen) dan mayoritas pembacanya berasal dari
kelas atas (54 persen).

Ini menunjukkan bahwa pembaca media cetak masih produktif dan dari kalangan yang mapan. Pembaca
media cetak juga merupakan pembuat keputusan dalam rumah tangga untuk membeli sebuah produk
(36 persen). Membaca buku adalah salah satu hobi dari konsumen media cetak. Selain membaca,
mereka juga lebih cenderung menyukai traveling. Sebanyak tiga dari empat pembaca media cetak
mengakui tidak keberatan saat melihat iklan karena iklan adalah salah satu cara untuk mengetahui
produk baru.

Dengan semakin berkembangnya teknologi, pembaca media cetak juga menggunakan internet dalam
kehidupan sehari-hari.

Tingginya frekuensi penggunaan internet di antara pembaca media cetak yang mencapai 86 persen,
yaitu di atas rata-rata yang sebesar 61 persen semakin memperkuat fakta bahwa pembaca media cetak
berasal dari kalangan yang lebih affluent,” ujar Hellen.

Sebanyak 65 persen pembaca media cetak mengakses internet melalui smartphone dan menghabiskan
waktu dengan internet hampir 3 jam setiap harinya.

Kepembacaan melalui internet atau digital juga cukup tinggi. Menurut data Nielsen Consumer and
Media View, sampai dengan kuartal ketiga 2017, jumlah pembaca versi digital mencapai 6 juta orang
dengan penetrasi sebesar 11 persen. “Ini membuktikan bahwa minat membaca tidak turun, tapi hanya
berganti platform saja,” tambah Hellen.

Hal ini juga terlihat dari tingginya penetrasi kepembacaan digital di beberapa kota di pulau Jawa seperti,
area Bandung dan sekitarnya (25 persen), Surakarta (22 persen), Yogyakarta dan sekitarnya (19 persen),
Semarang dan sekitarnya (12 persen) serta Jakarta dan sekitarnya (11 persen). Sementara itu, di luar
pulau Jawa, kebanyakan pembaca masih lebih banyak membaca dalam bentuk cetak.
Hal menarik lainnya adalah, versi digital mampu menjangkau pembaca dari Generasi Z dengan rentang
usia 10-19 tahun (17 persen). Mereka adalah konsumen media masa depan.

Berbicara tentang konten media, pada kenyataannya konten muatan lokal masih menarik perhatian para
pembaca di beberapa kota di Indonesia, baik yang dibaca melalui media cetak ataupun yang diakses di
media online. Seperti di Makassar, sebanyak 80 persen konsumen membaca konten lokal melalui koran
dan 60 persen mengakses konten lokal melalui internet. Di Surakarta, 54 persen konsumen membaca
konten lokal melalui koran dan 36 persen mengaksesnya melalui Internet.

Dilihat dari sisi belanja iklan, meskipun jumlah pendapatan belanja iklan turun 11 persen dari tahun
2013 ke tahun 2017, namun total pendapatan iklan koran yang masih tetap berada di angka Rp 21 triliun
adalah gambaran bahwa media cetak masih memiliki peluang mendapatkan kue iklan yang signifikan.

Jika dibandingkan porsi belanja iklan di media cetak dan media televisi, kategori hotel dan restoran
masih banyak beriklan di media cetak dengan share 97 persen, lalu kategori kesehatan dan pengobatan
serta kategori toko/toko spesialis masing-masing memiliki share iklan yang tinggi di media cetak dengan
95 persen, disusul oleh kategori institusi pendidikan formal (89 persen). Sementara share iklan di media
cetak untuk kategori multivitamin dan suplemen adalah 18 persen, dan kategori perangkat dan layanan
komunikasi masih di angka 12 persen, artinya pelaku media cetak masih memiliki peluang untuk
memikat pengiklan dari kedua kategori ini

Survey CMV adalah survey sindikasi yang dilakukan Nielsen terhadap + 17,000 orang usia 10 tahun ke
atas di 11 kota di Indonesia (Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Semarang, Surakarta, Surabaya, Denpasar,
Medan, Palembang, Makassar dan Banjarmasin). Informasi yang ada di dalamnya termasuk data-data
demografi, psikografi, penggunaan media, sampai dengan penggunaan produk.

Informasi belanja iklan diambil dari data Ad Intel yang memonitor aktivitas periklanan Indonesia.
Monitoring iklan mencakup 15 stasiun TV nasional, 99 surat kabar dan 123 majalah dan tabloid. Angka
belanja iklan didasarkan pada gross rate card, tanpa menghitung diskon, bonus, promo, dll.

Anda mungkin juga menyukai