Anda di halaman 1dari 3

GRIMURTI

Grimurti memaksa seluruh sendinya masuk ke dalam Liang Kegundahan. Liang yang
tiada seorang pun ingin masuk ke dalamnya, kecuali saat benar-benar putus asa dan ingin mati
dalam keadaan gila. Tepat seperti itulah yang akan dilakukan grimurti. Dibiarkannya dirinya
dibelenggu pikiran-pikiran yang menghukum jiwanya agar perlahan-lahan keistimewaan
menjadi gila itu menjadi miliknya.

Liang itu serupa badai emas yang sedingin salju. Segalanya kuning berkilau
memabukkan, tapi sengatan dinginnya menusuk kesadaran sehingga kau tak bisa lagi
merasakan kepalamu ada di tempatnya. Andai sebulir padi dilemparkan masuk ke dalam liang
itu maka tiada lagi sang padi. Ia akan menjadi kerlip kecil harapan yang dimusnahkan dan
keluar hanya sebagai sebutir cangkang kering kosong tak bernama. Begitu pun grimurti, segala
catatan mengenai dirinya tidak akan berarti lagi karena setiap serpihan dirinya tidak akan lagi
saling mengenali, terencah hancur, musnah yang sesungguh-sungguhnya.

“Tetapi, apakah kelak aku masih bisa mengenali wajah-wajah yang memandangiku?” tanya
Brinduti kepada si Pembawa Geragai. Jari-jemarinya saling bertaut erat, bahkan saling
menyakiti.

Si Pembawa Geragai menyeringai prihatin. Tak banyak orang putus asa yang
sedemikian mantap memilih gila daripada mati. Biasanya mereka mencari jalan pintas yang
mudah dan sekejap, tapi lelaki ini memilih jalan nestapa berliku yang panjang dan tak
berkesudahan hingga saat kelak segalanya disudahi. Ia terheran-heran dengan pilihan yang
diambil lelaki berbedak dan bergincu ini. Di antara empat liang menuju kematian akal, lelaki
malang ini memilih Liang Kegundahan, liang yang paling tak diminati.

Sebagian besar manusia putus asa akan memilih Liang Kepandaian yang gelap tapi
melenakan atau Liang Kemustahilan yang dipenuhi derai tawa. Tapi yang paling disukai tak
lain adalah Liang Kesendirian karena begitu lembut dan sederhana.“Mengapa kau tidak
memilih Liang Kesendirian saja, wahai manusia kacau?” tanya si Pembawa Geragai
penasaran.“Kau tak menjawab pertanyaanku! Kini kau malah bertanya kepadaku. Kau ingin
kutampar?” ancam grimurti kesal.

Bayangkan, menyesali setiap langkah kehidupan yang sudah diambilnya dalam tiga
puluh lima tahun terakhir ini saja sudah cukup menjengkelkan. Baginya, mengetahui
bagaimana ia bisa mengakhirinya saja sudah menjadi jalan keluar melegakan. Itulah ketetapan
jiwa yang diidamkan di dalam setiap mimpi indahnya.Ah, mimpi indah itu ..Mimpi-mimpi
indah! Seperti laut menjadi daratan, seperti langit menjadi bumi, setiap tidur adalah kehidupan
cinta yang sesungguhnya bagi grimurti. Tak usah di tanyakan grimurti telah menghujamkan
segenap piasau ke jantung orang tuanya dan keganjilan dalam hidupnya dengan mengakui
wanita munafik

Ayahnya seorang warga masyarakat terpandang yang tak boleh bercacat; seorang
pengajar bagi calon-calon guru. Ibunya lambang perempuan bijak yang serba hebat, hebat
berdandan, hebat berbicara di depan umum, hebat berbelanja, dan hebat cari muka.Saat genap
berusia tiga dasawarsa, Brinduti menghadiahkan nisan untuk sang ibu yang mencengkeram ajal
sambil mendustakan keberadaan anaknya. Grimurti bahkan tak diizinkan menengok jasad
ibunya.“Kamu bukan anaknya! Ibumu mati karena tidak pernah tahu di mana kini anak
lelakinya! Anak lelaki yang sudah kau bunuh dengan kejam!” hujat ayahnya.

Itu hujatan terakhir yang didengarnya dari lelaki angkuh itu karena tiga purnama setelah
kematian sang ibu, ayahnya menyusul dengan penyakit jantung yang sama meski dengan
penyebab berbeda. Sang ayah mencengkeram ajal ketika batinnya tak tahan lagi menerima
gunjingan khalayak tentang anak lelaki semata wayangnya yang banci dan kini malah menjadi
semacam dukun yang bisa meramal nasib buruk orang lain. Wasiat terakhir sang ayah adalah,
“Jangan berikan apa pun kepada grimurti , kecuali ia kembali menjadi laki-laki dan berhenti
bersikap seperti orang gila!”

Sejak remaja sesuatu dalam dirinya memuncak ingin keluar,perempuan dalam tubuh
laki-lakinya ingin keluar,darah berdesir denyut nadi tak beraturan.Cermin dikamarnya benda
jahat yang tak lain diakrabpinya,tempak menumpahkan kebencian terhadap tubuhnya.Oleh
karena itu, berbedak, mengoleskan pelembut raga ke sekujur kulit tubuhnya, dan mengenakan
pemulas bibir adalah bentuk protes grimurti kepada Tuhan dan tubuh yang memenjarakannya.
Grimurti menahan amarahnya dengan meremas rambunya sambi tertawa dan menyayi, menari
meninggalakan rumah megahnya.

Tak ayal, kerumunan pelayat yang sudah sekuat tenaga memasang wajah dukacita jadi
serba salah menahan geli dan tawa di kerongkongan mereka. Grimurti sempat melirik ke arah
ayahnya yang jatuh terduduk sambil menangis seperti anak kecil yang dipukuli, tapi ia tetap
melanjutkan tarian dan nyanyian kematiannya yang menggelikan. Tepat setelah nyanyiannya
berakhir, grimurti mulai merasakan kehadiran makhluk itu. Ia merasakan sesuatu bergerak-
gerak lembut di dalam kepalanya. Rasanya begitu menggetarkan. Bagaikan belaian cinta
seorang pangeran. Bukan di bagian luar batok kepalanya, melainkan dari dalam.

Grimurti jatuh cinta denganya,getaran-getaran di hatinya membuat saraf-saraf tak


berguna. Pekik tawa penuh kepuasan.Grimurti jatuh cinta dan teringat film india yang di
tontonya,saling menempelkan kening dan ujung hidung sambil terus bernyanyi hingga hujan
jatuh dan kuyup meratai tubuh. Grimurti melalui hari dengannya sesosok laki-laki yang berada
di samping dengan pangilan “Vico” setiap hari selalu ada buaia cinta mereka. Mereka jantuh
cinta merauhi bak rumah tangga.

Suatu ketika sesutu dalam dirinya mencuat, detak jantung tak beraturan pikiran
memikirkan kembali apa yang dilalui. Grimurti menghadap ke cermin suatu bayangan lain di
hadapanya. Seakan ada kepala lain di belakang kepalanya. Kepala lain berwarna emas dengan
juraian rambut bak lidah api yang sedang menari, berkibar-kibar menakutkan. Kepala tanpa
leher itu tidak berdaging dan tidak berkulit. Tengkorak kemilau dengan rahang terpentang lebar
seakan sedang terbahak. Rambutnya! Rambut emasnya! Tengkorak berambut emas! Setan!

Mengapa kau terdiam, Sayang? Mengapa kau seperti takut kepadaku?“Kau setan!”Tapi
aku Vico. Kekasihmu!“Tapi kau setan!” ia tertunduk lesu,meski mata yang bolong melompong
itu tak berhias apa pun selain kegelapan yang pedih, grimurti bisa melihat tatapan pilu Vico,
lalu bulir-bulir air matanya membuat perasaan grimurti seperti tercabik-cabik angin topan.Tak
bisakah kau lupakan rupaku? Tak bisakah kau tak takut kepadaku? Tak bisakah kau hanya
mencintaiku sebagai kekasihmu seperti kemarin?“Kau menipuku! Kau tak mengatakan
kepadaku bahwa kau sesungguhnya setan!”kau tak adil,kita siling mencintai tanpa memandang
parasku.

“Kau telah memperkosaku dari dalam tubuhku”Kau perempuan, padahal laki-laki. Aku
tak keberatan,grimurti. Aku mencintaimu karena kau mencintaiku dan kita sama-sama
menyenangi percintaan ini. Aku yang kau benci itu sama saja dengan dirimu yang kau ingkari
sendiri!“Aku tak mungkin bercinta dengan setan!” jerit Brinduti kesetanan.Vico menegakkan
kepalanya demi melihat reaksi kekasihnya. Ia menancapkan pandangan cinta untuk terakhir
kalinya ke mata Brinduti lalu sirna seperti embun disengat siang.Batin Brinduti menangis. Kini
dia bukan saja tak bermuasal, tetapi juga tanpa siapa pun yang mendampingi dan mencintai.

“Jadi, kau sudah mantap masuk ke liang itu, manusia celaka?” tanya si Pembawa Geragai.

Brinduti mengangguk pilu

Anda mungkin juga menyukai