Ada yang seketika pergi, dengan raut pucat, seakan melihat mayat. Ada
yang dengan sesopan mungkin menghindar, selalu beralasan sedang sibuk
bila ia menghubungi mengajak bertemu atau sekadar menyapa kabar,
kemudian memblokir kontaknya.
Namun, ia tahu, pada akhirnya mereka tak akan pernah bisa bersama:
seseorang yang tak pernah bisa menerimamu apa adanya, tak akan pernah
bisa menerimamu sepenuhnya. Mereka pun pisah.
Tentu saja ia tak pernah punya keinginan menjadi perias mayat. Bu Tundri,
pemilik salon tempatnya bekerja, suatu sore mengabarkan bahwa salah
seorang pelanggan salon meninggal dunia. Lalu Tundri menjelaskan soal
pesan Bu Hen.
“Merias agar orang tampak cantik itu gampang, tetapi merias agar orang
merasa nyaman dengan kecantikannya, itu tidak mudah. Saya bisa dandan
sendiri di rumah, tetapi beda kalau kamu yang merias saya, Fit. Saya jadi
nyaman bila melihat wajah saya di cermin,” ujar Bu Hen suatu kali.
“Nah, kamu perias yang tak hanya membuat orang jadi cantik. Kalau nanti
aku mati, aku ingin kamu yang merias jenazahku. Saya pengin mati dalam
keadaan cantik. Saya yakin, malaikat pasti akan mempersilakan perempuan
cantik masuk surga lebih dulu.” Ia tersenyum mendengar kelakar itu.
***
Sejak itu ia menjadi sering diminta merias mayat. Bu Tundri bilang ia lebih
cocok untuk pekerjaan itu. “Membuat cantik orang yang masih hidup pasti
bisa dilakukan oleh setiap penata rias. Orang yang mati kehilangan pesona,
tampak dingin, kosong, karena kecantikan di wajahnya padam. Riasanmu
bisa memunculkan kembali kecantikannya itu. Kamu, seperti bisa
membangkitkan kembali kecantikan terakhir yang masih ada di wajah
jenazah itu,” Menurut Bu Tundri, itu bakat alamiah yang tak dimiliki semua
perias.
Dulu ketika orang-orang suka saling bertukar kartu nama ketika bertemu, ia
sering melihat ekspresi kaget, ngeri tapi juga tak memercayai, ketika ia
menyodorkan kartu namanya. Fitri Andayani. Perias Mayat. Ia terbiasa
mendengar kelakar setelahnya: kau pasti senang bila ada orang mati. Bila
rezeki dokter dari orang sakit, kamu dapat rezeki dari orang mati. Mereka
tertawa, seolah kematian adalah hal yang lucu. Bila lagi sebal, ia akan
membalas: kamu bisa membuat lelucon soal kematian, tetapi kamu tak akan
bisa tertawa ketika kematian mendatangimu.
Tentu saja tak hanya kenangan buruk. Ia sering merasakan terima kasih
yang tulus dari keluarga yang ditinggalkan, karena ia merias wajah mayat itu
menjadi terlihat begitu cantik atau gagah, bahkan lebih cantik dan cakep
dibanding saat masih hidup. Ia pernah merias seorang nenek, meninggal
pada usia 106 tahun, dan membuatnya terlihat begitu muda dan segar.
Sampai ada yang meminta alat dan kosmetik yang dipakainya karena
percaya alat rias yang dipakainya bisa membuat awet muda. Ia tak
memberikannya. Ia selalu membuang spon, kuas, alis, lipstick, dan semua
alat riasnya. Semua digunakan sekali pakai.
Jangan pernah menggunakan alat rias orang mati pada yang hidup. Bisa jadi
ada bakteri pada kulit itu. Kematian menyimpan rahasia dan misterinya
sendiri.
***
Laki-laki itu mulai bersikap sinis. “Jangan-jangan karena kamu terlalu sering
dekat orang mati hingga menjadi dingin pada yang masih hidup.” Ia ingin
menangis. Ia ingin bercerita apa yang membuatnya takut. Ia takut
kehilangan laki-laki itu. Sambil menahan tangis ia membiarkan laki-laki itu
menidurinya
***
Di antara semua orang mati yang mesti diriasnya, inilah yang paling
membuatnya gemetar. Ia memandangi wajah pucat mayat itu.
Sudah lebih dari dua jam ia hanya termangu. Ada tangis perempuan,
percakapan yang bagai terdengar di kejauhan, kasak-kusuk tentang
kematiannya setelah berbulan-bulan tergolek di rumah sakit. “Sebelum
mengembuskan napas terakhir, ia berpesan, bila ia mati ia ingin kamu yang
meriasnya,” kata anaknya, pelan. Dan ia masih saja terdiam.
Bukan karena ia tak tahu bagaimana caranya agar jenazah menjadi terlihat
mati dalam damai. Ia tahu, dari pengalaman bertahun-tahun, kulit orang mati
tak lagi memproduksi minyak, hingga bedak dasar akan sulit menempel,
apalagi bila mayat itu sudah diformalin, kulit akan mengeras hingga ia mesti
mengoleskan pelembab lebih dulu—kadang ia memakai baby oil—agar
riasan pada wajah mayat bisa bertahan lama. Bila tak dibuat lembab, riasan
pada wajah mayat bisa cepat pudar ketika udara terlalu panas.
Bila meninggal karena serangan jantung, wajah jenazah akan lebih legam,
bila mati tenggelam, kulit akan lembek busuk dan banyak terkelupas. Perlu
teknik berbeda-beda untuk membuatnya terlihat indah. Ia pernah merias
mayat yang wajahnya rusak, kulitnya terkelupas, hingga ia perlu mengambil
kulit dari bagian tubuh yang tersembunyi dan menempelkannya pada kulit
wajah yang terkelupas itu.
Di matanya, wajah orang yang mati ini lebih mengerikan. Bayangan buruk
yang berkecamuk dalam pikirannya bercampur dengan kesedihan dan
kemarahan. Sungguh tak pernah ia duga bahwa ia akan merias mayat orang
yang paling dibencinya. Pamannya sendiri. Yang setelah ayahnya
meninggal, memintanya untuk tinggal bersamanya. Yang begitu
memperhatikannya. Yang membuatnya kembali bahagia karena memiliki
seorang ayah. Yang suatu malam mengendap masuk ke dalam kamarnya,
dan memaksanya menyimpan aib mengerikan itu sepanjang hidupnya.
Ia bahkan tak berani menatap wajah mayat itu. Ingin ia mengeluarkan pisau
dari dalam tas riasnya, dan menyayat wajah itu: membuat sayatan bersilang
di wajahnya. Masih didengarnya suara isak tangis, gumam percakapan, dan
suara langkah kaki lalu lalang, bahkan ia bisa merasakan tatapan heran
orang-orang yang memandanginya karena tak kunjung mulai merias wajah
mayat di hadapannya.