Anda di halaman 1dari 6

Kisah Cinta Perempuan Perias Mayat

Agus Noor, Cerpen, Kompas

Enam laki-laki yang menyatakan cinta seketika menjauhinya begitu tahu ia


perias mayat. Sepertinya kematian dan cinta bukan jodoh yang baik.

Ada yang seketika pergi, dengan raut pucat, seakan melihat mayat. Ada
yang dengan sesopan mungkin menghindar, selalu beralasan sedang sibuk
bila ia menghubungi mengajak bertemu atau sekadar menyapa kabar,
kemudian memblokir kontaknya.

Pernah ia berhubungan lumayan lama dengan seorang lelaki, duda beranak


satu. Lelaki itu tak mempersoalkan pekerjaannya. Ia merasa lega bahwa
pada akhirnya ada juga yang memahami. Namun, begitu mulai serius
membicarakan perkawinan, lelaki itu mengatakan bahwa anaknya langsung
ketakutan ketika ia menjelaskan soal pekerjaan merias mayat itu. “Aku akan
senang kalau kamu mencari pekerjaan lain, yang tak membuat anakku
takut,” katanya.

Namun, ia tahu, pada akhirnya mereka tak akan pernah bisa bersama:
seseorang yang tak pernah bisa menerimamu apa adanya, tak akan pernah
bisa menerimamu sepenuhnya. Mereka pun pisah.

Beberapa kawan menyalahkannya, menganggapnya membuang


kesempatan menikah dengan laki-laki yang baik. “Laki-laki yang baik tak
melarang, tetapi mendukung,” jawabnya. Ah, kamu saja yang rumit, seloroh
kawan-kawannya. Mengingat itu semua, ia sering tersenyum sendiri:
berurusan dengan orang mati ternyata lebih mudah ketimbang menghadapi
yang masih hidup. Kematian membuat semua orang menjadi tenang, tak
rewel, dan tak banyak menuntut.

Tentu saja ia tak pernah punya keinginan menjadi perias mayat. Bu Tundri,
pemilik salon tempatnya bekerja, suatu sore mengabarkan bahwa salah
seorang pelanggan salon meninggal dunia. Lalu Tundri menjelaskan soal
pesan Bu Hen.

Tak mungkin ia melupakan Bu Hen. Tiap ke salon, perempuan 60 tahun itu


tak pernah mau dilayani kapster lain. Dari cuci rambut, menyanggul rambut,
perawatan wajah, sampai manikur pedikur, selalu minta agar ia yang
melayani. Bahkan rela menunggu bila ia sedang sibuk dengan pelanggan
lain. Orangnya memang banyak menuntut, cerewet dengan gosip-gosip
televisi, dan selalu ingin riasan yang sempurna.

“Merias agar orang tampak cantik itu gampang, tetapi merias agar orang
merasa nyaman dengan kecantikannya, itu tidak mudah. Saya bisa dandan
sendiri di rumah, tetapi beda kalau kamu yang merias saya, Fit. Saya jadi
nyaman bila melihat wajah saya di cermin,” ujar Bu Hen suatu kali.

“Nah, kamu perias yang tak hanya membuat orang jadi cantik. Kalau nanti
aku mati, aku ingin kamu yang merias jenazahku. Saya pengin mati dalam
keadaan cantik. Saya yakin, malaikat pasti akan mempersilakan perempuan
cantik masuk surga lebih dulu.” Ia tersenyum mendengar kelakar itu.

Bu Tundri memintanya merias jenazah Bu Hen.

***

Sejak itu ia menjadi sering diminta merias mayat. Bu Tundri bilang ia lebih
cocok untuk pekerjaan itu. “Membuat cantik orang yang masih hidup pasti
bisa dilakukan oleh setiap penata rias. Orang yang mati kehilangan pesona,
tampak dingin, kosong, karena kecantikan di wajahnya padam. Riasanmu
bisa memunculkan kembali kecantikannya itu. Kamu, seperti bisa
membangkitkan kembali kecantikan terakhir yang masih ada di wajah
jenazah itu,” Menurut Bu Tundri, itu bakat alamiah yang tak dimiliki semua
perias.

Setelah bertahun-tahun menjadi perias mayat, ia tetap merasa gamang tiap


mengingat Bu Tundri. Ketika Bu Tundri meninggal karena kanker kulit, ia
juga yang merias mayatnya. Kulit wajahnya yang gampang rontok bila
tersentuh dan penuh bintik hitam ia lamur dengan bedak dasar agar kembali
bersih mulus. Ketika merias mayat Bu Tundri, ia termenung menatap wajah
perempuan yang terbaring dalam peti mati itu: apakah harus kesal karena
merasa telah dijerumuskan pada pekerjaan ini, atau ia harus berterima kasih
karena berkat Bu Tundri, ia bisa punya pekerjaan. Ketika banyak orang sulit
mendapatkan pekerjaan, punya pekerjaan sebagai perias mayat tentu saja
masih jauh lebih beruntung daripada menjadi pengangguran.

Dulu ketika orang-orang suka saling bertukar kartu nama ketika bertemu, ia
sering melihat ekspresi kaget, ngeri tapi juga tak memercayai, ketika ia
menyodorkan kartu namanya. Fitri Andayani. Perias Mayat. Ia terbiasa
mendengar kelakar setelahnya: kau pasti senang bila ada orang mati. Bila
rezeki dokter dari orang sakit, kamu dapat rezeki dari orang mati. Mereka
tertawa, seolah kematian adalah hal yang lucu. Bila lagi sebal, ia akan
membalas: kamu bisa membuat lelucon soal kematian, tetapi kamu tak akan
bisa tertawa ketika kematian mendatangimu.

Kerap ia disangka punya semacam jimat atau mantra-mantra yang bisa


mengusir arwah orang mati agar tak terus-menerus menghantui. Pastilah tak
mudah melupakan begitu saja wajah orang-orang yang mati itu. Apalagi bila
keadaan jenazah mengerikan, semisal wajah berdarah akibat kecelakaan.
Ia pernah merias jenazah orang yang kepalanya remuk terlindas mobil.
Leher orang mati ditebas pedang. Mayat dengan mata tercongkel. Ia
menyumpal liang mata itu dengan kapas basah, memulas kelopak matanya
agar terlihat tengah memejam tenang dan nyaman dalam kematiannya

Berbulan-bulan ia tak bisa melupakan wajah itu. Kerap wajah-wajah yang


mati itu muncul dalam mimpinya. Seindah apa pun wajah orang mati,
tetaplah membuat kita cemas saat mengingatnya.

Tentu saja tak hanya kenangan buruk. Ia sering merasakan terima kasih
yang tulus dari keluarga yang ditinggalkan, karena ia merias wajah mayat itu
menjadi terlihat begitu cantik atau gagah, bahkan lebih cantik dan cakep
dibanding saat masih hidup. Ia pernah merias seorang nenek, meninggal
pada usia 106 tahun, dan membuatnya terlihat begitu muda dan segar.
Sampai ada yang meminta alat dan kosmetik yang dipakainya karena
percaya alat rias yang dipakainya bisa membuat awet muda. Ia tak
memberikannya. Ia selalu membuang spon, kuas, alis, lipstick, dan semua
alat riasnya. Semua digunakan sekali pakai.

Jangan pernah menggunakan alat rias orang mati pada yang hidup. Bisa jadi
ada bakteri pada kulit itu. Kematian menyimpan rahasia dan misterinya
sendiri.

***

Ketika usianya melewati 42 tahun, ibunya mengajaknya bicara tentang


perkawinan. Ibu hendak mengenalkannya pada seorang lelaki, yang
menurut ibu “sudah mapan dan siap menikah”, anak kenalan ibu saat
mereka kuliah. Ibu telah lebih dari 21 tahun hidup sendiri. Ayah meninggal.
Andai saat itu ia sudah menjadi perias mayat, ia pasti akan membuat
ayahnya tampak begitu gagah.
Ia bisa memahami keinginan ibunya. Ia tak keberatan dikenalkan dengan
laki-laki itu. Memang santun, meski terlalu pendiam. Bagaimanapun, lelaki
itu tak terlalu mempersoalkan pekerjaannya. Bila berbuat baik pada orang-
orang yang masih hidup itu baik, berbuat baik pada yang sudah mati
pastinya lebih baik, katanya. Kadang bertanya, bagaimana rasanya merias
mayat? “Pasti lebih mudah dibanding merias orang hidup. Setidaknya, orang
mati tak akan protes kalau riasannya jelek.” Kadang laki-laki itu mau
mengantarnya saat ia dipanggil untuk merias mayat, meski ketika pulang
lelaki itu langsung muntah-muntah.

Hubungan mereka jadi penuh pertengkaran, ketika ia merasa laki-laki itu


selalu ingin mengajaknya tidur, dan ia dengan halus menolak. Ia tak
menentang hubungan sebelum pernikahan. Namun, ada yang membuatnya
langsung gemetar berkeringat dingin saat tubuhnya mulai digerayangi.
Sesuatu yang menakutkan muncul dan membuat tubuhnya menolak.

Laki-laki itu mulai bersikap sinis. “Jangan-jangan karena kamu terlalu sering
dekat orang mati hingga menjadi dingin pada yang masih hidup.” Ia ingin
menangis. Ia ingin bercerita apa yang membuatnya takut. Ia takut
kehilangan laki-laki itu. Sambil menahan tangis ia membiarkan laki-laki itu
menidurinya

Setelahnya pertengkaran tak termaafkan. Lelaki itu kecewa karena ia bukan


orang pertama yang menjamah kuntum mawar Fitri dan dia tidak ia tak mau
menjelaskansiapa pelakunya.

“Jangan-jangan kamu tidur dengan orang mati!”

Dan laki-laki itu tak pernah muncul lagi.

Dari orang-orang mati ia belajar menerima kenyataan. Kesedihan tak lagi


berarti apa-apa bagi yang mati.

***

Di antara semua orang mati yang mesti diriasnya, inilah yang paling
membuatnya gemetar. Ia memandangi wajah pucat mayat itu.

Sudah lebih dari dua jam ia hanya termangu. Ada tangis perempuan,
percakapan yang bagai terdengar di kejauhan, kasak-kusuk tentang
kematiannya setelah berbulan-bulan tergolek di rumah sakit. “Sebelum
mengembuskan napas terakhir, ia berpesan, bila ia mati ia ingin kamu yang
meriasnya,” kata anaknya, pelan. Dan ia masih saja terdiam.

Bukan karena ia tak tahu bagaimana caranya agar jenazah menjadi terlihat
mati dalam damai. Ia tahu, dari pengalaman bertahun-tahun, kulit orang mati
tak lagi memproduksi minyak, hingga bedak dasar akan sulit menempel,
apalagi bila mayat itu sudah diformalin, kulit akan mengeras hingga ia mesti
mengoleskan pelembab lebih dulu—kadang ia memakai baby oil—agar
riasan pada wajah mayat bisa bertahan lama. Bila tak dibuat lembab, riasan
pada wajah mayat bisa cepat pudar ketika udara terlalu panas.

Bila meninggal karena serangan jantung, wajah jenazah akan lebih legam,
bila mati tenggelam, kulit akan lembek busuk dan banyak terkelupas. Perlu
teknik berbeda-beda untuk membuatnya terlihat indah. Ia pernah merias
mayat yang wajahnya rusak, kulitnya terkelupas, hingga ia perlu mengambil
kulit dari bagian tubuh yang tersembunyi dan menempelkannya pada kulit
wajah yang terkelupas itu.

Di matanya, wajah orang yang mati ini lebih mengerikan. Bayangan buruk
yang berkecamuk dalam pikirannya bercampur dengan kesedihan dan
kemarahan. Sungguh tak pernah ia duga bahwa ia akan merias mayat orang
yang paling dibencinya. Pamannya sendiri. Yang setelah ayahnya
meninggal, memintanya untuk tinggal bersamanya. Yang begitu
memperhatikannya. Yang membuatnya kembali bahagia karena memiliki
seorang ayah. Yang suatu malam mengendap masuk ke dalam kamarnya,
dan memaksanya menyimpan aib mengerikan itu sepanjang hidupnya.

Ia bahkan tak berani menatap wajah mayat itu. Ingin ia mengeluarkan pisau
dari dalam tas riasnya, dan menyayat wajah itu: membuat sayatan bersilang
di wajahnya. Masih didengarnya suara isak tangis, gumam percakapan, dan
suara langkah kaki lalu lalang, bahkan ia bisa merasakan tatapan heran
orang-orang yang memandanginya karena tak kunjung mulai merias wajah
mayat di hadapannya.

Sampai pelan-pelan ia mengambil sesuatu dari dalam tas riasnya. Bukan


pisau, melainkan bedak dan kuas. Ia tahu, hidupnya akan menjadi lebih lega
bila ia merias wajah mayat ini.

Mungkin akan menjadi riasan terindah selama ia menjadi perias mayat.

Anda mungkin juga menyukai