Anda di halaman 1dari 5

"Buritan Egois"

Karya: Dahan Tri Tunggal Melati

"Gimana, Rin? Interviewmu lancar?" Kudengar langkah kaki seseorang menaiki tangga balkon dan
mendekat kearahku. Menanyakan apakah wawancara kerjaku di salah satu peruahaan periklanan kali
ini berhasil atau tidak. Mungkin lebih tepatnya, ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja.

Aku hanya diam, tidak berkata apa-apa. Dari raut wajahku, sepertinya dia sudah bisa menebak apa
yang telah terjadi. Aku gagal lagi.

"Maaf, telat. Soalnya tadi aku mampir ke cafe sebentar, beli teh matcha. Biasanya kamu lebih tenang
kan setelah minum ini?" Katanya tersenyum sambil menunjukan sebuah kemasan plastik berbentuk
botol dengan cairan hijau didalamnya.

Aku tetap diam, tidak menggubrisnya sama sekali. Aku benar-benar sudah kehilangan harapan. Aku
hanya ingin menghirup udara sebanyak-banyaknya, merasakan terpaan angin yang menggores kulit, dan
melihat jalanan ibu kota yang macet dengan langit sore dari atas balkon ini.

"Jangan gitu! kegagalan bukan akhir dari segalanya, atau kamu mau aku belikan----"

"Cukup! Aku tidak ingin teh matcha atau apapun itu, dan jangan khawatirkan tentang aku seolah-olah
kamu pacarku. Memangnya kamu bisa seperti Andre? Jenius, pekerja keras dan seorang atlet renang
yang luar biasa?" Kini dialah yang terdiam, bibirnya seperti terkunci dengan tatapan nanar. Mungkin
kata-kataku tadi menyakitinya, tetapi aku sungguh tidak peduli.

"Baiklah, aku akan berusaha seperti Andre. Seperti apa yang kamu inginkan."

"Kalau begitu bagus! Sekarang pergilah dari sini!" Aku berusaha mengusirnya dengan sedikit berteriak
dan membuang mukaku dari hadapannya. Mataku hanya kugunakan untuk menatap langit senja yang
sedang bergradasi merah. Merah, seperti warna nyala amarahku kala itu.

Setelah kejadian itu, tidak ada lagi suara darinya. Kami tidak lagi bertemu atau sekedar berbincang.
Aku tidak pernah menghubunginya, dan dia juga sepertinya sudah lelah dengan semuanya.

Akan kujelaskan agar kalian semua tidak bertanya-tanya. Andre adalah orang yang aku cintai sejak aku
duduk di bangku SMA. Saat itu, dia adalah pria yang paling pintar dan banyak digemari oleh kaum hawa.
Istilahnya adalah 'most wanted'. Aku sendiri juga menyukainya, walaupun itu hanya secara diam-diam.
Aku pikir itu hanyalah sebuah cinta monyet dan akan hilang dengan berjalanya waktu. Namun, setahun
yang lalu setelah wisudaku, aku tak sengaja bertemu dengannya di suatu mall. Aku sangat terkejut
dengan kesuksesannya sebagai atlet renang. Tampilannya sangat macco, keren dan tentu saja
dilengkapi otak yang cemerlang. Saat itu aku menyadari bahwa sebenarnya aku masih mencintai Andre.
Aku belum bisa sepenuhnya melupakannya. Bahkan, aku benar-benar tidak bisa membuka hati selain
untuknya. Namun, takdir mengatakan hal lain. Andre hanya menganggap ku sebagai teman dan
memutuskan akan menikah dengan tunanganya tahun ini.

Lalu siapa pria tadi yang membawakan aku teh matcha? Dia adalah Benny, aku biasa memanggilnya
Bobo . Dia tahu banyak hal tentangku, karena memang kita sudah berteman sejak kecil dan hubungan
kami layaknya perangko dengan kertas. Dekat, lengket dan mungkin sulit dipisahkan. Namun, aku kesal
denganya. Karena akhir-akhir ini aku mulai menyadari bahwa ia mempunyai perasaan lebih terhadapku.
Tentu saja aku jadi panik! secara aku hanya menganggapnya sahabat dan yang pasti.....dia bukan tipeku.
Memang, dia adalah orang yang perhatian, penyayang, dan baik hati. Sayangnya, dia berbeda seratus
derajat dengan Andre. Badan bobo tidak terlalu tinggi tetapi cenderung gemuk, selera stylenya sangat
ketinggalan jaman, bahasanya seringkali terasa alay dan bisa dibilang tidak terlalu pintar.

"Nak, coba liat sini sebentar!" Ibu berteriak padaku dari ruang keluarga, aku yang sedari tadi berbaring
di kamar segera menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhku

"Ada apa, Bu?" Masih dengan nada datar dan bola mata malas, aku bertanya alasanya memanggilku.

"Ini bukanya si Benny ya? Coba kamu liat!"Aku mengerjap-erjapkan mataku beberapa kali di depan
layar tv. Entah kenapa, tiba-tiba dadaku terasa sesak. Ada sesuatu yang bergemuruh di hatiku atau bom
yang mungkin sebentar lagi akan meledak. Pengacara berita itu tetap saja memberikan informasi
sialanya itu. Semakin membuatku resah saja.

***

Aku tiba di rumah Benny setelah beberapa kali menarik gas sepeda montor dengan tak beraturan.
Benar saja, ada sesuatu yang tidak beres . Rumah Benny tidak sepi seperti biasanya, malah kini terkesan
ramai dengan orang-orang yang datang silih berganti. Dan...apa itu? Bendera kuning? Kenapa mereka
memasangnya disitu? Ini kan bukan hari kemerdekaan, kenapa mereka memasang bendera? Lalu
kenapa harus berwarna kuning? Apa keluarga Benny menyukai warna kuning? Sialan, aku seperti anak
kecil yang sedang kebingungan.

Aku beranikan diri melangkah masuk kerumahnya, tentu saja dengan perasaan yang campur aduk.
Beberapa detik kemudian, muncul wangi bunga melati dan mawar yang menyeruak. Sayup-sayup
kudengar beberapa Isak tangis dan juga serangkaian kalimat berbahasa Arab yang membentuk alunan.
Alunan kesedihan. Alunan doa yang biasanya menyertai rasa duka dan kehilangan. Ya, tahlil.

"Apa kau yang namanya Rina?" Seseorang pria berpeci berumur 40-an menyambutku dengan
pertanyaan setelah beberapa kali mengamati wajah dan tubuhku seperti menyelidiki. Belum sempat aku
menjawab, Bu Sati, ibunya Benny muncul dari sebuah bilik dengan mata sembab dan pakaian serba
hitam. Sepetinya ia telah tahu kedatanganku. Aku sungguh kaget ketika Bu sati tiba- tiba mengulurkan
sebuah surat padaku. Tiba- tiba mataku perih, panas dan seperti ada sesuatu yang ingin mengalir
dengan deras dari sana. Realita kembali menamparku, mengoyakku dan menyadarkanku. Entah sejak
kapan, jari-jariku bergetar ketika menyentuh dan membaca surat itu. Surat yang ditulis oleh tangan
sahabat kecilku, Bobo.
Hai, Rin? Gimana kabarmu? Baik-baik saja kan? Ya, aku tahu itu. Walaupun kamu cengeng, tetapi aku
tahu kamu sebenarnya kuat. Walaupun kamu selalu galak dan marah-marah gak jelas, tetapi aku tahu
kamu sebenarnya penyayang. Aku tidak akan melupakan pertemuan pertama kita dulu, saat aku
kehabisan bekal makanan, kau tiba-tiba datang dengan senyum cantik memberiku selapis roti. Cinta
memang aneh dan tidak masuk akal. Bukankah terdengar konyol jika anak kecil berumur 8 tahun sudah
bisa merasakan jatuh cinta? Tapi, itulah kenyataanya. Aku mencintaimu sejak SD hingga sekarang.
Apakah kamu juga mencintaiku? Entahlah, aku tidak percaya orang cupu sepertiku bisa dicintai. Aku
sempat mengutuk diriku beberapa kali. Namun, kali ini tidak. Tekatku sudah bulat. Aku akan berusaha
menjadi seperti yang kamu inginkan. Suatu saat kamu akan melihat perubahanku dan kagum. Bahkan
sampai kagumnya, kamu hanya akan melihatku sebagai bintang malam yang berkedip di langit. –Benny
Sandewa.

"Itulah surat yang ditulis Benny sebelum kematiannya. Berbulan-bulan ini, dia selalu bekerja keras.
Waktunya hanya ia habiskan untuk membaca buku, mengikuti seminar, berolahraga di pusat kebugaran
atau berenang. Saat aku tanya mengapa ia melakukanya, ia hanya menjawab lagi pengen saja. Awalnya
aku sebagai ibunya juga tidak percaya, dan memang benar. Bukan itu alasanya. Kemarin lusa dia
mengikuti turnamen renang yang diselenggarakan di Bandung. Kau tahu sendiri jika Benny mempunyai
asma. Dokter mengatakan klorin tinggi yang dikandung air kolam renang menyebabkan iritasi di saluran
pernafasanya. Sebenarnya bisa saja dia berhenti sejenak dan menetralkan badanya, tetapi dia malah
terus memilih berenang. Karena turnamen renang itu ajang perlombaan nasional, media TV pasti tidak
ingin kehilangan konten dan memberitakanya dimana-mana. Kau tahu dari itu, kan?”

“Iya, Bu. Aku benar-benar minta maaf.” Hanya kata itu yang mampu ku ucap saat ini. Ibu Sati tidak
marah kepadaku. Ia hanya sedikit kecewa, sedih, merasa kehilangan dan mencoba menerima yang telah
terjadi pada anaknya. Aku tidak melebih-lebihkan, tetapi seperti ada sesuatu yang remuk dalam
tubuhku. Rasanya tubuhku sangat lemas, kehilangan energi sampai tidak bisa bergerak sedikitpun.
Berkali-kali pikiranku menyangkalnya. Jika benar-benar hanya sebuah mimpi buruk, maka aku akan
benci dengan yang namanya tidur dan berusa mencari siapapun yang bisa membangunkanku.

Aku ingin menangis sejadi-jadinya, berteriak atau memanggil arwah Benny yang mungkin masih
gentayangan di rumah ini. Aku tidak siap kehilangan semua kenangan tentangnya. Aku ingin
menemuinya sekali lagi, mengatakan bahwa dia sempurna dengan ketulusanya. Dia tidak perlu menjadi
orang lain, demi aku. Aku yang egois.

Oh, Tuhan! Kenapa aku ini? Aku memaksa orang lain untuk menjadi yang kuinginkan, padahal aku
belum tentu bisa menjadi yang dia inginkan juga. Mengapa aku begitu bodoh? Telah buta karena obsesi
semata. Menyesal. Aku sungguh menyesal! Namun, apa daya, tidak ada satupun yang bisa mencegah
kematian.

Tidak lama selepas itu, aku diantarkan keluarganya menuju makamnya. Jenazah Benny telah
dikuburkan terlebih dahulu sebelum aku datang. Di dekat batu nisannya aku berbisik pelan sambil
menyebar bunga yang semerbak wangi, "Hai Benny? Aku tahu kau sangat mencintaiku. Maafkan aku.
Aku janji tidak akan pernah egois lagi. Kau benar, kau sungguh menganggumkan. Aku akan selalu
melihatmu sebagai bintang-bintang yang sangat indah di langit malam. Semoga kau tenang disana. "

TAMAT

BIODATA PENULIS
Dahan Tri Tunggal Melati, lahir di Nganjuk, 18 April 2005. Dinamakan dari unsur pohon membuatnya
percaya bahwa ‘kekuatan’ adalah salah satu kunci keberhasilan dalam mengarungi hidup. Menurutnya,
sastra adalah sesuatu yang unik dan tidak ada habisnya untuk digali. Sejak duduk di bangku SMP, ia telah
mengikuti lomba menulis antar sekolah dan antalogi puisi juga cerpen. Selain bergelut di bidang sastra,
ia juga menyukai musik, seni, fotografi dan psikologi.

Anda mungkin juga menyukai