Anda di halaman 1dari 12

NAMA :FACHRI NIKKO ADITYA

KELAS :XI IPA 4


MAPEL :B.INDONESIA
1.Tinggal Kenangan
Pagi itu sangatlah cerah, mentari pagi muncul memancarkan sinar cerah
dengan semangat 67 eh semangat 45 maksudnya. Sama denganku, hari ini
adalah hari ulang tahun orang yang sangat aku kagumi bahkan kucintai. Semua
sudah aku persiapkan termasuk kue ultah serta kadonya.

Aku masuk ke kelas dengan hati gembira dan bibir tersenyum-senyum sendiri.
Kakiku melangkah tepat di depan pintu masuk kelas dan disambut ceria oleh
sahabat sahabatku Syarif dan Renata.

Yaps! hampir lupa, aku Sherly kepanjangan dari Sherlyna rantika putri. Cewek
manis berkumis tipis yang kini sedang dilanda asmara cinta.

“Ciee yang senyum senyum sendiri, kenapa? sakit?” ucap Renata sambil
menekan tangannya ke jidatku.
“Apaan sih Ren, emang aku gila” ucapku (memanyunkan bibir 5 meter).
“Ya mungkin, ya gak Rif?” ucap Renata melirik Syarif.
“Betul, kenapa kamu Sher?” ucap Syarif.
“Hari ini tuh hari special banget buat aku, aku mau bikin suprise buat pangeran
cecakku” ucapku panjang lebar sambil bayangin apa yang akan terjadi
nantinya.
Pangeran cecak? Ya, pangeran cecak adalah cowok yang aku kagumi selama ini.
Aku julukin pengeran cecak karena dia super duper takut sama cecak, namanya
Tara.
Bel waktu istirahat pun tiba, siswa siswi berbondong-bondong ingin
memanjakan lidah dan juga perutnya yang dari tadi demo minta makan.
“Hay guys, doain aku ya. Semoga rencana ini sukses berjalan mulus semulus
jalan tol, amin” ucapku.
“Oke, tuh ada Tara kebetulan banget deketin gih” ucap Syarif.
“Sukses ya say” ucap mereka berdua serentak serta kepala dimiringkan ala-ala
Rita sugiarto penyanyi dangdut.
Aku berjalan dengan pedenya sampai gak lihat ada batu di depanku, untungnya
gak jatuh, kalau jatuh malu dong sama pangeran cecakku.

Setelah melewati lorong-lorong kelas, aku melihat Tara lagi berduaan sama Lyla
cewek yang paling aku benci karena gayanya yang kecentilan, sok cantik,
sombong pokoknya aku ilfeel banget deh sama dia. Tanpa sadar kue dan
kadonya jatuh ke lantai, aku berlari secepat mungkin sambil menangis.

Aku melihat ekspresi Renata dan Syarif kebingungan dengan tingkahku yang
mula ceria berubah drastis menjadi duka membara.
“Sherly, kamu kenapa?” ucap Renata sambil memelukku.
“Tara sama Lyla berduaan mereka mesra banget” ucapku terbata bata.
“Udahlah cari yang lain, masih banyak kok” ucap Syarif.
Sepulang Sekolah kurebahkan tubuhku di kasur empuk milikku. Kutatap langit
biru kamarku. Pikiran itu selalu terngiang ngiang di memory otakku.
Kubangkitkan tubuh ini menuju meja belajar.
Pena menari nari amat lambat di atas kertas polos putih. Kutulis kata puitis
yang berisi sesuai isi hatiku.
Tinggal kenangan.

Kuukir namamu dalam hatiku


Agar hati ini tak dalam kekosongan.
Meskipun kau telah menodai hati ini,
Akan kuhapus dengan sejuta air mata.
Aku rela mentari membakar kulitku
Aku rela kebahagiaanku kuberikan padamu
Asal kau bahagia.
Namun itu dulu
Sekarang sudah terbalut
Oleh balutan kenangan.
For Tara (pangeran cecakku)

Pagi ini mendung, mentari enggan tuk memancarkan sinarnya, sama dengan
hatiku.
Mungkin mentari mengerti apa yang sedang aku rasakan.
Aku berjalan sempoyongan dengan mata sembab gara-gara menangis
semalaman menuju kelasku disambut oleh sahabat-sahabatku.
“Sherly kamu jangan begitu dong, kita kan juga turut sedih jadinya. Strong bro
move on bangkit dari keterpurukan ini” ucap Renata menenangkanku.
“Dan kamu jangan kaget ya, kalau Tara sama Lyla sudah jadiab kemarin. Aku
tahu berita ini dari Gita teman sekelas kita” ucap Syarif.
“Iya makasih ya sahabat sahabatku. Kalian itu orang yang selalu suport aku,
aku sayang kalian. Aku akan move on dari Tara dan selalu bersama kalian”
ucapku menangis terharu.
Kita bertiga saling berpelukan.
Sahabat bukanlah selayaknya pacaran yang dapat putus atau nyambung.
Namun, Sahabat adalah persatuan yang abadi.
2.Surat Cinta dan Sebatang Coklat
Aku mengintip dari balik pohon beringin, agak jauh dari gadis itu. Ia masih
duduk bersimpuh di sana. Wajahnya terlihat serius. Tangan indahnya terlihat
sedang menggoreskan tinta ke selembar kertas yang ia bawa dari rumah.
Kulihat sebutir air mata jatuh dari pelupuk matanya dan diikuti tetes-tetes air
mata berikutnya. Ya, dia pasti menulis surat lagi!

Beberapa menit berlalu, dia pun menyelesaikan suratnya dan memasukkannya


ke dalam sebuah amplop merah muda. Aku tetap pada posisiku. Gadis cantik itu
pun berdiri, meletakkan amplop itu di tempat biasa, tersenyum, kemudian
beranjak pergi. Ketika dia sudah tak terlihat lagi, dengan langkah hati-hati aku
mendekati tempat dimana dia meletakkan suratnya tadi. Kuambil surat itu,
kubuka perlahan, dan mulai membacanya…

Kepada: Arvito Abi


Ketika aku menulis surat ini, suasana di sekelilingku sangat sepi, Vit. Aku tak
pernah berpikir sebelumnya, bahwa kesepian ini kamu rasakan setiap hari. Aku
merasa menjadi perempuan tak berguna karena tak bisa selalu menemani
kesendirianmu. Maafkan aku hanya bisa datang setiap Sabtu pagi untuk
sekedar melepas kerinduanku padamu. Aku benar-benar rindu, Vit…
Hari ini, aku ingin menceritakan banyak hal ke kamu…
Vito, kamu pasti ingat dulu kamu pernah berkata bahwa kamu ingin memiliki
sebuah rumah yang letaknya jauh dari keramaian. Ketika itu kamu berkata,
kamu ingin hidup di sana bersama orang yang kamu sayang dan kamu berkata
orang itu adalah aku. Percaya atau tidak, sekarang rumah itu sudah ada, Vit.
Aku bangun rumah itu dengan hasil keringat aku sendiri. Walaupun sepenuhnya
aku sadar, kamu sudah damai hidup sendiri di sini, tapi setidaknya aku berhasil
mewujudkan salah satu keinginan kamu. Semoga kamu terkesan, Vit…
Oh iya, Vit, dua hari yang lalu aku menerima seikat bunga dari kakak kamu,
Kak Restu. Awalnya aku kira itu hanya sebagai ucapan selamat dari Kak Restu
atas kelulusan aku. Tapi ternyata, Kak Restu mengungkapkan perasaannya ke
aku, Vit. Jangan marah dulu, beneran setelah itu, aku langsung mengembalikan
bunganya. Aku berkata bahwa aku tidak bisa. Aku hanya menganggapnya
sebagai seorang kakak. Sebenarnya, ada alasan yang lebih dari itu dan dia pasti
tau, Vit. Aku jadi teringat kamu, Vito. Ketika kamu mengungkapkan
perasaanmu ke aku, kamu kasih aku sebatang cokelat karena kamu sangat tau
aku tidak suka bunga. Pokoknya kamu itu orang yang paling bisa mengerti aku
dan selamanya kamu takkan pernah tergantikan…

Vit, sebenarnya surat ini tidak sama seperti surat-suratku sebelumnya. Surat ini
bukan hanya sekedar surat cinta, tetapi juga surat perpisahan. Vito, entah aku
harus bahagia atau berduka ketika mengatakannya. Aku akan pergi, Vit. Aku
mendapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di Jepang. Aku akan mewujudkan
satu lagi keinginan kamu. Keinginan kamu untuk menulis nama kita berdua di
puncak Gunung Fuji. Di Jepang nanti, aku akan menghuni rumah impian kamu
itu, Vit. Rumah impian kita berdua. Aku tidak sendirian di sana. Aku percaya
bayangan kamu selalu ada di samping aku…

Vito, ini berarti aku harus meninggalkan kamu di sini sendirian. Selama
beberapa tahun ke depan aku tidak bisa melakukan ritual Sabtu pagi
mengunjungimu. Jujur, aku sedih, Vit. Tapi aku yakin jalan yang aku ambil ini
akan bahagiakan kamu dan kedua orangtuaku. Doakan saja aku dari sini…

Vit, kamu lihat, matahari di sini mulai tenggelam. Ini adalah waktu favorit kita,
Vit. Senja. Mungkin saatnya aku pulang. Seperti biasanya, bersamaan dengan
surat ini kusertakan sebatang cokelat kesukaanmu. Kuletakkan di bawah nisan
yang berukir indah namamu…

Aku pamit, Sayang. Selamat tinggal. Doakan aku supaya tetap bahagia. I Love
You More, Vito…

Terdalam,
Regita Feronica J. (Gita)
Tanpa sadar, aku berurai air mata usai membacanya. Aku baru menyadari
sepenuhnya bahwa gadis itu masih belum bisa lepas dari Vito, adik lelakiku
yang kini telah hidup damai di akhirat sana. Tiba-tiba aku menyesal pernah
mengungkapkan perasaanku padanya karena sekarang aku yakin cinta mereka
berdua abadi meskipun salah satu diantaranya sudah pergi dan tinggal sebuah
nama.

Aku melirik cokelat yang tergeletak tepat di bawah nisan adikku. Kemudian
kuusap air mataku, tersenyum, dan bertekad memendam seluruh perasaanku
pada gadis itu.

Gita, aku akan berjalan mundur…


3.Semut yang Pindah Rumah
“Maju.. maju..
dia mendekat, cepatlah..
kita harus selamat sampai di sana..”
Begitulah suara riuh-riuh kecil yang kudengar sejak dari tadi aku bangun tidur.
Meraka keluar dari kediaman pertama mereka, berbaris entah itu menuju
kemana. Perjalanan mereka yang begitu panjang, membuat mereka takut akan
terjadi sesuatu.
Aku yang langsung kaget melihat mereka, dapatkah engkau bayangkan ketika
bangun tidur mereka berbaris di dinding, sedangkan wajahku mengahadap
kesana. Sontak aku langsung kaget, saat itu juga rasa ngantukku hilang,
padahal awalnya aku malas sekali untuk bangun. Rasa takut meghampiriku.
Tapi, lama-lama rasa itu mulai hilang, aku mulai memperhatikan mereka
dengan seksama, apa yang mereka fikirkan? Mengapa mereka tampak terlalu
tergesa-gesa berjalan?

Mungkin mereka mengira bahwa aku adalah raksasa jahat yang akan
mengganggu mereka.. hmm.. mereka terlalu berprasangka buruk terhadapku,
tapi lama-kelaman pasukan mereka bertambah sampai- sampai ratu mereka
juga keluar. Aku yang tadinya niat tidak akan mengganggu mereka mulai
merubah fikiran, kaya’nya mereka yang akan menakut-takutiku.

Aku beraksi, aku ambil minyak angin aku semburkan pada mereka, sontak
mereka berkeliaran tak tau arah lagi. Aku mulai prihatin, banyak di antara
mereka keluar dari jalur yang ada, kehilangan arah kerena semburan tadi.
Hidup mereka memang sulit. Ada saja yang mengganggu mereka di tengah
perjalanan. Tidak lama kemudian mereka malui terarah lagi, telah berbaris dan
jalan ke tempat tujuan awal mereka, mereka mencari jalan baru yang tidak
terkontaminasi dengan minyak angin tadi.

Aku menyerah untuk menganggu mereka. Aku biarkan mereka menuju tempat
yang lebih nyaman, perlahan aku tahu ternyata mereka berjalan menuju rumah
baru yang lebih aman dari rumah sebelumnya. Ratu mereka memerintahkan
untuk pindah karena tempat yang lama dirasa sudah tidak memberikan
perlindungan bagi meraka lagi. Perjalanan mereka yang jauh akhirnya
bermuara pada tempat yang lebih baik dari sebelumnya, di sana mereka
kembali menata kehidupan mereka.

Dari kisah semut tadi aku belajar perjalannan hidup yang mahal harganya.
Dimana saat kita telah mengusahakan sesuatu katakanlah itu impian kita, maka
jika di tengah perjalanan dalam menggapai impian itu kita jatuh. Langsung
bangkit, temukan jalan lain yang lebih baik untuk menggapainya. Karena jika
kita tetap diam, kita akan ketinggalan yang impian itu semakin jauh dari kita,
kehidupan akan terus berlanjut meskipun tanpa kita.
4.Hikayat Penciptaan Bintang
Dulu ketika peri-peri hidup di bumi dan jumlah manusia masih sedikit, pada
batang pohon oak berdaun rindang dalam belantara, tinggallah peri yang selalu
durja. Tiap hari kerjanya hanya menangis. Matanya sembab dan raut wajahnya
murung. Kalau malam tiba, tangisannya terdengar ke seluruh penjuru hutan
hingga pohon pohon dan binatang-binatang terjaga dari tidur mereka. Kalau
siang datang, lamunannya panjang seolah sedang memikirkan perkara yang
maha berat.

Karena tangis sang peri tak kunjung reda dan membuat seluruh penghuni hutan
terusik, datanglah angin padanya. Angin bertanya kenapa ia begitu bersedih?
Peri bangkit dari sandaran, dikibas-kibaskan sayap kecilnya kemudian duduk
dengan cara mendekap lutut di atas punggung angin. “Kawan kawanku telah
pergi. Mereka telah pindah ke utara untuk mencari rumah baru dengan
meninggalkanku”
“Kenapa kawan kawanmu meninggalkanmu ?” tanya angin. Sang peri diam.
“Kenapa?”,
desak angin. “Karena aku buruk rupa” jawabnya sambil memalingkan wajah.
Kemudian tampaklah benjolan besar di pipi sebelah kanannya hingga karena
benjolan itu mukanya terlihat bopeng. Sedang di seluruh permukaan wajahnya
terdapat pula banyak bintik merah, yang kalau satu saja bintik itu pecah maka
terciumlah bau tak sedap ke seluruh tempat di mana ia berada. Dengan wajah
seperti itu, peri-peri lain selalu mengejeknya.
Sang peri mengajak angin menuruni pohon, kemudian mereka terbang menuju
telaga. Sesampainnya di sana tampaklah bulan yang bayangan wajahnya
terpantul di atas permukaan air. “Kau tahu,” lirihnya. “keinginanku sekarang,
aku ingin cantik dan bersinar seperti dia, dengan begitu niscaya sirnalah
kedukaanku”. Angin menggelengkan kepala, “Tak mungkin” katanya dalam hati.
Bulan begitu agung, ia perhiasan malam sebagaimana matahari menjadi
perhiasan siang. Setiap mahluk tentu boleh bermimpi untuk memiliki
kecantikannya namun mustahil bisa mendapatkannya. Mimpi memiliki
kecantikan bulan hanya akan berakhir pada kesia-saiaan.

Sang peri menatap angin lalu berkata, “Akan kuminta bulan agar membagi
kecantikannya denganku, kan kujumpai ia sekarang”. Terbanglah ia menuju
langit, namun begitu sampai di antara gumpalan awan, ia terpental ke bumi,
sayapnya terlalu kecil dan napasnya lebih dulu habis sebelum sampai ke atas
sana. Berkali kali ia mencoba namun lagi lagi terpental. Sang peri menghampiri
angin, ia meminta agar angin mengantarnya. Angin menggelengkan kepala
kembali. katanya Perjalanan dari bumi kebulan sangat jauh, tak satu
mahlukpun dapat sampai kesana termasuk dirinya.

Wajah sang peri bertambah muram. Kesedihan makin membayangi. Ditatapnya


lagi bayangan bulan di atas telaga, lama dan dalam. Ketika ia terpesona oleh
kecantikan tersebut, kepalanya menjadi berat, pandangannya memburam dan
akhirnya karena merasakan kelelahan yang sangat, iapun ambruk tak sadarkan
diri.

Saat siuman, pandangan sang peri masih kabur sedang pusing membebat
kepalanya. Namun dalam pandangan yang belum jernih tersebut, ia melihat
bayangan terang keemasan di hadapannya. Makin lama bayangan itu makin
jernih. Alangkah terkejutnya ia begitu mengetahui kalau ternyata bulan telah
turun ke bumi tuk menemuinya. Ketika peri hendak mengatakan sesuatu, bulan
lebih dulu memotong dengan berkata “Aku sudah tahu apa yang kau inginkan”.

Bulan menjulurkan tangan dan mendekap sang peri di dadanya. Tanya bulan,
apakah cantik adalah syarat utama untuk dapat mencinta dan dicinta? Benarkah
menjadi cantik itu menyenangkan? Sang peri mengerutkan dahi. Bulan kembali
berkata dengan meyampaikan sebuah rahasia, kalau kecantikan yang
diinginkan sang peri nyatanya sekadar kefanaan karena suatu ketika ia kan
pudar. Itulah kecantian jasmani, yang karenanya telah membuat para lelaki
tertipu hingga rela saling menghunus pedang, membunuh dan menghancurkan.
Ia yang cantik jasmani saja umpama dadu yang terbuat dari kobaran api, yang
membuat para lelaki saling berebut mendapatkannya walau amat panas ia
digenggaman. Sejarah kecantikan jasmani adalah sejarah pertumpahan darah,
kedengkian, kesombongan dan tipuan.

“Apakah aku tidak boleh menjadi cantik” tanya sang peri. Bulan tersenyum,
bukan begitu jawabnya. Lebih dari cantik ia juga harus berguna. Ia harus bisa
memberi manfaat bagi manusia, binatang-binatang, tumbuhan dan pohon
pohon. Karena ketika wanita cantik menuntut agar dirinya dicintai, wanita
berguna justru berbagi dan memberi, itulah hakekat kecantikan sesunggguhnya
kata bulan. peri menatap wajah bulan yang anggun. Ia bertanya apa yang
harus ia lakukan agar menjadi cantik sekaligus berguna? Bulan menjawabnya
hanya dengan senyuman.

Kemudian ia membawa peri terbang ke langit. Begitu sampai di pusat tata


surya, ia meletakan sang peri di tangannya. Bulan meminta peri menutup mata.
Dengan sebuah tiupan ajaib yang mengeluarkan sinar perak dari mulutnya,
tubuh sang peri menjadi hangat karena diselimuti sinar itu. Tak lama sekujur
tubuhnya pun bergetar, berguncang guncang, meregang. Lalu dalam hitungan
detik wujudnya telah berubah menjadi bintang yang bersinar sangat terang.
Ialah bintang pertama yang lahir dalam sejarah tata surya.

Sang peri bahagia, ia menari-nari, menyanyi, tertawa karena dirinya menjadi


cantik. Ia berterima kasih atas perubahan dirinya. Bulan kembali berkata,
sekarang aku akan menunjukan cara agar engkau menjadi lebih berguna bagi
mahluk lain. Mulai saat ini bimbinglah mahluk-mahluk yang tersesat di bumi
dengan cahayamu. Pandu mereka yang tersesat dan tak dapat menemukan
rumahnya, tunjukan sampan-sampan nelayan yang kehilangan arah
pelayarannya, beritahu para pengembara yang sedang kebingungan
menentukan jalur pengembaraannya. Jadilah penunjuk jalan bagi siapapun
yang membutuhkan.

Mulai saat itu sang peri tinggal di langit. Ia mengembara mencari mahluk
mahluk yang tersesat dalam perjalanan kemudian dengan cahayanya
menunjukan mereka arah yang benar hingga sampai ke tujuan. Suatu hari
dilihatnya rombongan peri yang kelelahan di padang pasir gersang. Ketika sadar
mereka adalah teman temannya yang tersesat, mengedip ngediplah ia dan
menunjuk arah tenggara. Peri peri kaget, karena di langit terdapat setitik
cahaya terang yang sangat cantik. Atas petunjuk cahaya itu mereka terbang
kembali. Tak lama di hadapan mereka terhampar taman bunga yang luas. Peri
peri bersorak setelah berhasil menemukan rumah baru. Tak satupun dari
mereka tahu, kalau bintang cantik penunjuk jalan itu adalah salah satu dari
mereka yang telah mereka kucilkan dulu. Mereka hanya bisa terkesima, kagum
dan berharap dapat memiliki kecantikan seperti sang bintang. Tak ada yang
tahu rahasia ini kecuali angin. Dimana ia selalu menyaksikan bayangan sang
bintang yang kini berdampingan bersama bulan di atas permukaan telaga
dengan segenap rasa kagum yang melingkupi dadanya.
5.Diet Berakhir Jeruji
Adalah Joe, yang hanya bisa mengejar tukang bakso dengan pandangannya
yang pilu. Joe merupakan mahasiswa yang bisa dikatakan maniak weight loss,
yang mengatur diet sehat dan diet ketat. Hari-hari ia isi dengan konsumsi
makanan penuh gizi rendah kalori, plus dengan hati yang tidak menikmati. Joe
tidak menyadari bahwa ia tidak terlahir kurus, kedua orang tuanya gemuk,
hampir seluruh keluarganya gemuk, kecuali satu orang, yaitu Alex, si buncit
yang humoris.

Namun Joe percaya dengan motivasi dari seminar bisnis multilevel yang pernah
digelutinya 5 bulan lalu, “tidak ada yang tak mungkin. Jika kalian ingin
mencapai apa yang kalian inginkan, dan sukses di usia muda” Tentu saja sukses
bagi Joe adalah sukses menurunkan berat badan, apa yang membuat Joe tidak
pernah berhasil adalah nafsu makan yang sama besar dengan badan, memang
ia memakan sayur, dengan porsi yang sangat banyak.

Suatu hari ia membaca sebuah artikel “Tertawa dapat membakar lemak” dan
dengan sangat serius menanggapi. Joe sama dengan kedua orangtuanya,
pemurung dengan muka berlemak sulit dibuat tertawa. Namun hari saat ia
membaca artikel itu adalah hari dimana ia seolah terlahir kembali. Joe menjadi
pribadi yang gampang sekali tertawa, bahkan saat seseorang berbicara serius
(pada saat itu Joe menerima caci maki), sikap Joe yang berubah tentu
mengundang berbagai penafsiran dari masyarakat, dan didominasi oleh
pandangan bahwa ia telah gila.

Sedikit namun sakit, Joe perlahan-lahan diabaikan, teman-temannya sering


memandang paham ke arahnya ketika ia mencoba berbicara hal yang lucu
hanya merespon berupa tersenyum penuh simpati. Keluarga Joe pun perlahan
mulai mengabaikannya, dan ketika Joe menimbang badannya, mendapati
beratnya hanya berkurang sedikit, beberapa ons, ia meningkatkan intensitas
‘latihannya’.

Hingga pada suatu pagi, pihak keluarga sudah tidak kuat lagi dan melaporkan
Joe ke rumah sakit Jiwa di pusat kota, dan sorenya datanglah sebuah avanza
hitam ke rumah Joe, membawa lima orang dokter jiwa (orangtua Joe sudah
mengatakan sebelumnya kalau Joe bertubuh besar dan suka melawan) dan
menyeret paksa Joe ke dalam mobil. Bahkan Joe tetap tertawa karena salah
satu motivasinya dalam latihan tertawa ini adalah “memandang positif dari
segala sesuatu”. Singkat cerita, Joe harus menginap sampai waktu yang belum
ditentukan di balik jeruji besi yang dicat putih, berjalan dalam takdir, takdir
untuk bersama penghuni-penghuni lain yang juga melakukan ‘latihan’ yang
sama.
Dan tibalah mereka di RSJ pusat kota, avanza itu diparkir tepat di depan pintu
masuk, Joe digiring layaknya tahanan. Begitu sampai di dalam, semua orang
terkejut, dengan wajah ‘inikah dajjal yang terkutuk itu’ Joe melirik marah ke
sekeliling, seperti banteng menghadap matador, kedua tangannya yang
diborgol bergetar, dokter-dokter yang menggiringnya mulai cemas, anak itu
tepat seperti apa yang dikatakan orangtuanya yaitu pelawan.

Para dokter yang menggiring Joe mulai mempercepat langkahnya menuju


kamar sel nomor 3 di ujung kiri, dekat tangga, yang di bawah nomornya
bertuliskan ‘tidak perlu menunggu mukjizat untuk sembuh’, borgol semakin
bergetar, menimbulkan bunyi krincing-krincing yang menarik perhatian hingga
ke pintu depan, seolah akan ada yang kerasukan.

Sang satpam dengan rambut mangkuk, yang mejaga pintu depan bergegas
menuju ke arah para dokter yang bersama Joe berlari dengan epik. Pasalnya
selama hampir 1 tahun ia bekerja ia hampir tak pernah digunakan untuk
mengamankan, sebab ada satpam lain yang lebih berwibawa untuk itu,

“Lepaskan aku! Aku bukan orang gila!” Teriak Joe seolah baru bangun dari
hipnotis. Bagaimana bisa ia belum tahu sampai harus berada di depan pintu sel,
“Tenang-tenang, tenang-tenang” satu dokter mengurut-ngurut lengan Joe
dengan hampir profesional,
Satpam sudah sampai, Joe merasa seperti dibinatangkan, akhirnya meteran
amarah sudah sampai pada batasnya. Joe entah bagaimana caranya, dan di
depan hakim para dokter akan bersaksi,

“Saya melihat anak itu melepaskan borgol dengan kekuatannya, dan seketika
itu kami semua panik”

Kedamaian yang biasanya ada di sore hari RSJ tersebut, hilang dalam sekejap
diganti riuh yang menegangkan. Alarm berbunyi, satu orang di ruang
resepsionis tergesa-gesa menekan nomor pada telepon yang ada di meja. Para
pasien di ruang bawah mendekatkan diri mereka ke jeruji, bohong dengan
wajah takut namun mereka sangat menikmati.

Satpam rambut mangkuk segera mencekik Joe dari belakang. Joe pun segera
meresponnya, dengan reflek serta kekuatan, yang dibangun dari setidaknya
beberapa bulan diet ketat (dan sehat). Membuat badan besarnya tidak hanya
besar bodoh, namun besar sehat yang di dalam setiap ototnya terdapat
kekuatan dari gizi makanan mahal. Joe langsung menjungkirkan si satpam ke
depan. Tubuh satpam yang tadi menggantung di belakang Joe, terhempas keras
ke lantai.
Si Satpam, muka ‘bule’nya memerah, matanya melihat ke atas sekali, hingga
hanya putih yang terlihat di matanya yang bulat, terkapar kejang-kejang, dan
dadanya kembang-kempis, persis seperti ingin mengeluarkan bunyi mirip
kentut dari punggungnya yang menempel di lantai. Para dokter ragu dalam
keterburu-buruan yang seolah akan mengambil tindakan mantap, namun tidak
melakukan apapun.

Satu, dua dokter tumbang dengan satu dorongan, hanya dua pria yang takut
berdiri dan memilih untuk pura-pura mati, namun mata lebar Joe masih
terfokus pada satu dokter, yang berlari ke arah pintu depan, Joe bergegas
mengejarnya, dengan lambat.

Polisi: Apakah ia berhasil mengejar anda?


Dokter: Tidak, saya berlari ke arah jalan besar, dan terus berlari sambil sesekali
menoleh ke arah rumah sakit, di sana Joe, masih berdiri di luar dekat pintu,
kepalanya menoleh ke segala arah dengan dingin.
Polisi: Baik, baik pak, terima kasih, sekarang bapak boleh keluar lewat pintu
yang di sana.
Dokter: T-t-terima kasih pak, kalau boleh tau, apa bapak pernah mendengar
nama Joe? Mana tahu, mana tahu ini kan, dia pernah melakukan tindakan
kriminal.
Polisi: (mengangguk mantap) kami semua saudara Joe, ayo bapak yang di pintu
itu sudah menunggu pak dokter dengan tongkat baseballnya, silahkan.

Anda mungkin juga menyukai