Anda di halaman 1dari 10

Cerpen Kelompok 3S

JUDUL

PERCAYALAH

‘’Naima, Aku tak pernah pergi jauh. Karena aku masih dapat kau lihat walau tidak di
hadapanmu. Seperti matahari selalu hadir walau tidak diminta. Sebab memberi menjadi
jiwaku sejak dulu. Walau kadang ingin diberi sesekali tapi semua aku tak pikirkan.
Karena selalu ada pelangi di tengah rinai hujan’’ dia terhenyak dan tak berkata tentang
apapun. Matanya basah dan tampah lusuh sejak kisah itu berakhir. Sebelum aku pergi
dan benar – benar pergi, senyum terakhirnya menghilang bersama kisah ini.

Aku pernah melihatnya menuju ke sebuah tempat paling sunyi dari suara-suara dunia
sekalipun, di sudut pagar sekolah, di atas rumput kering kerontang. Benar-benar
perasaanya telah menjadi darah daging dan dihancurkan tanpa ampun. Senyum yang
dulu menjadi perhiasanya, dan senyum yang sekarang menjadi siksaanya, bukan
senyumnya, Naima, tapi senyum saya sendiri dan aku benar-benar kecewa atas apa yang
kulakukan. Aku pernah bermimpi, dia awan dan aku burung. Aku pernah bermimpi,
dia air dan aku ikan, aku pernah bermimpi, dia pantai dan aku laut. Aku juga merasa
bahwa jiwaku dan jiwanya telah dibungkus oleh tuhan, diikat dan tak dibiarkan apapun
untuk masuk dan mengganggu.

Tapi, sekarang adalah deklarasi besar-besaran yang telah diumumkannya kepada segala
apa yang tak bisa mendengar, orang-orang riuh yang tuli dan tak peduli pada siapapun.
Aku kasihan melihatnya, tapi aku tak berdaya. Aku telah menyakitinya, aku tak percaya
padanya. Dimana cinta yang seharusnya di dasari oleh kepercayaan, tapi kami
mendasarinya dengan perasaan yang tak mempunyai unsur kepercayaan sedikitpun.
Naima pernah membisikku di kelas saat keadaan benar-benar sepi, semua siswa menuju
ke kantin untuk makan, “Marvi, percayakah kau padaku? Tolong jawab! Jangan
biarkan aku tak bisa tidur di asrama dan membuat perasaanku roboh bergelimpangan,
jawab, percayakah kau padaku?”. Aku hanya diam, mataku berkaca-kaca, aku sangat
ragu padanya, dan aku bahkan bersumpah untuk menghapusnya dari daftar orang yang
pernah singgah di hatiku.

Padahal aku mencintai Naima, dia mencintaiku, dan kita saling mencintai tautotes , tapi
kisah kami selalu serumit ini.

Ini adalah kisah dimana rasa percaya telah hilang dan merenggut cinta kami.

***
Sore itu, kak Qania datang ke sekolah kami. Dia adalah gadis berperawakan cantik nan
harum, matanya bulat menggoda, senyumnya sungguh aduhai, kulitnya sangat putih
dan siapapun yang melihatnya pasti jatuh hati, tapi yang paling spesial padanya adalah
dia sungguh baik, dia ramah, dia tidak sombong. Apa yang kurang darinya? Aku tak
bisa menemukan kekurangannya.

‘kak Qania, aku rindu kak Qania, kenapa kakak selalu pergi dan membuatku rindu?
Kenapa kakak harus lulus dari sini dan membuatku tak fokus belajar? Aku rindu kakak
tahu? Dan kabar burung tentang kak Qania membuatku sakit hati’’ aku cemberut,
mukaku terlalu masam untuk sore yang indah ini.

‘’haha maaf, Marvi. Ini adalah pilihan kalau kita lulus dari sekolah, sebetulnya kamu
senang akan kelulusanku Marvi, tapi kenapa kamu sedih? Aku tahu kita punya kisah
yang sangat manis di sini, kita selalu bersama, bukan sebagai pacar atau apa, tapi
kedekatan kita membuatku pernah sangat nyaman di sini. Dan aku sangat suka itu, aku
sangat nyaman dengan itu. Aku rasa, kamu sudah punya pacar kan?’’

‘’tak mungkinlah, di sini peraturan sangat ketat. Kita tidak boleh pacaran! Tapi rasa
cinta kan wajar-wajar saja, dan itu tak bisa dicegah. Tapi, kak Qania tahu? Aku sangat
sakit hati kak!’’

Kak Qania lansung meringsuk dan datang kembali dengan buku tebal dan lansung
memukulkan buku itu ke wajahku.

‘’ah, sakit tau!’’ aku lansung melemparnya dengan daun kering yang berserakan di
kakiku. Aku mesem-mesem saja, dan lansung pergi meninggalkannya. Aku berbalik,
wajahnya hilang bersamaan dengan langkahku menuju tangga sekolah. Aku terhenyak
sendiri, aku mengingat kenanganku dengan kak Qania, itu sangat indah, dan sangat
susah untuk melepaskan kenangan itu. Tapi, mengapa kak Qania tidak pernah
membahas rasa sakit hatiku? Setidaknya dia bertanya mengapa aku sakit hati padanya.
Mengapa dia tidak membahas tentang berita itu? Berita tentang sesuatu yang sangat
menghunjam perasanku, berita pernikahannya dengan lelaki lain. Bukannya ku
cemburu, dia sudah kuanggap sebagai kakakku. Tapi aku kecewa, dia mengambil
tindakan yang segegabah itu, pernikahan dini sangat bahaya untuknya. Aku tidak rela
dia bermesraan dengan lelaki lain, akulah yang paling pantas, aku adiknya. Mungkin
darah dagingku sudah sama dengannya.

Aku tak pernah bisa berbohong sebenarnya, tapi itu meninggalkan bekas tusukan yang
sangat dalam, tak bisa sembuh walau memakai minyak mujarab sekalipun. Aku
mendengar lagu bahagia, itu tak akan pernah mengobati hatiku. Ah, sudah saatnya aku
move on, aku harus mencari hiburan. Aku harus melupakannya, bukannya aku tak
mampu belajar untuk menerima tapi hal ini berduri, semakin aku menerima maka
semakin menusuk jiwaku, semakin aku memeluk kejadian itu, semakin membuatku
sakit oleh duri-durinya yang menusuk. Sekarang, aku harus punya target, tempat
pelampiasan, tempat untuk membalaskan rasa sakit hatiku.

*****

Hari-hari mulai normal kembali. Semua siswa kembali kepada kegiatan asalnya, belajar.
Di sini kami hanya belajar dan belajar, untuk meraih prestasi. Perkenalkan satu teman
baikku ini, namanya Sufi, dia selalu mengerti perasaanku. Dia juga tempat curhatku,
menceritakan keluh kesahku di asrama, di kelas, dan di musollah, kecuali tentang
Qania. Aku tak pernah menceritakannya kepada orang lain. Cukup aku yang
menyimpanya di kubangan dalam tubuhku, aku tak ingin membuatnya merasa iba
padaku. Cukup aku yang tahu, cukup aku yang rasakan, dan cukup aku yang selesaikan.

Pagi pertama di hari sekolah, agenda hari ini adalah membaca kolosal. Agenda ini adalah
momen yang paling aku rindukan. Aku sangat gemar membaca, dan di waktu itulah
aku membaca dengan sejadi-jadinya. Aku memutuskan untuk duduk di barisan paling
belakang. Aku membaca buku dengan khidmat. Tak ada masalah, semua baik-baik saja.
Tapi, tepat pada sepermpat acara baru dimulai, mataku tertuju dan terkunci pada satu
objek. Di kerumunan wanita. Aku selalu melihatnya, tak pernah berhenti, mataku
seolah dikunci dan tak dibiarkan berpindah objek. Andai bukuku bisa cemburu,
mungkin bukuku akan cemburu dan memberontak protes tak terima. Dialah Naima,
gadis yang membuatku terpana di hari pertama sekolah, gadis yang membuatku pada
akhirnya membuatku semalaman terjaga.

Aku mulai menyusun taktik, aku tak bisa membendung lagi perasaanku.

‘’Marvi! Dia mendaftar di OSIS! ‘’ Sufi datang dan memberiku kabar gembira. Aku
lansung emlompat dari ranjang dan berlari menuju ke panitia pendaftaran, dan dalam
hitungan detik, namaku sudah terdaftar!

Singkat cerita, aku berhasil bergabung di OSIS, dan dia pun begitu. Aku senang sejadi-
jadinya. Aku selalu salah tingkah saat rapat, parasnya sungguh menggoda, dia selalu
senyum, seakan tahu bahwa aku sedang jatuh cinta padanya, Naima. Aku selalu
bersamanya, aku menjadikannya teman dekat, aku selalu mengerjakan tugas-tugas di
OSIS bersamanya. Aku nyaman dengannya. Aku tak ingin melepaskannya, ku tak harus
memilikinya, tapi bolehkah ku selalu di dekatnya.. hahaha aku digilakan oleh perasaan
ini.

Dan aku sudah tak pernah mengingat Qania lagi. Biarkan dia berpelesiran ke sana
kemari bersama suami barunya, aku tak peduli lagi.

*****
Di suatu malam, kami diundang oleh pembina OSIS untuk rapat. Aku duduk tepat di
depannya. Tapi bukan itu momen paling spesialnya, melainkan sesuatu yang
membuatku hampir saja kehilangan nyawa. Dia memberiku secarik kerta, ‘’I love you,
but I’m affraid!’’. Apa? Dia menyukaiku? Apa? Aku tak percaya tapi ini nyata.
Yeeeyyy!!!

Di kamar, Sufi tampak curiga padaku, dia selalu melihatku dengan sinis semenjak
malam itu. Aku selalu senyum-senyum sendiri.

‘’pasti ada yang tak beres, ceritakan padaku sekarang!’’ Sufi bertanya gemas. Aku
mengalah, semua kuceritakan. Dia lansung mencubitku dan tertawa girang, kami
tertawa dengan senang. Pujaan hatiku akhirnya takluk denganku, ini adalah hadiah
terindah dari tuhan semenjak aku hidup, menurut versiku.

Hari-hariku terasa indah semenjak malam itu, aku sudah sering bercengkerama
dengannya. Aku nyaman disampingnya, setidaknya membuatku lupa kepada kak
Qania. Tapi, di suatu hari yang panas, sebuah mobil berwarna putih berplat 341QA
tampak masuk ke sekolah kami. Aku lari, antusias melihatnya. Aku tidak tahu yang
punya siapa, tapi tampaknya mobil itu begitu familiar denganku.

Mobil itu berhenti di depan trotoar, seorang gadis cantik turun dari mobil itu, aku
tampak kenal dengan wajahnya. Melihatnya, aku kembali terhempas ke masa lalu,
terhempas ke ruang-ruang terdalam di hatiku, ruang yang paling aku hindari,
kenangan, masa lalu, rasa sakit, dan rindu. Dialah kak Qania. Dia tak datang sendiri,
tampak seorang pria berkulit coklat dan berperawakan tinggi datang dan merangkul
tangannya. Aku benar-benar sakit hati, sepotong hatiku kembali luruh dan menjadi
kedinginan di pagi hari yang hangat ini. Dia telah membawa hujan kedinginan untuku
dan tak memberiku payung dan jaket sekalipun, dia membiarkanku dingin dan tak
memberiku kehangatan sedikitpun. Aku lupa segalanya sejak itu, bahkan Naima.
Naima tampak tak berarti lagi. Aku kembali kepada masa lalu dan tak membiarkanku
keluar dari kenangan itu, sekarang aku benar-benar terperangkap dan tak bisa pergi.
Aku bagaikan tanah yang mereka pijak, aku terinjak-injak oleh kenangan itu. Aku lari,
aku menuju ke bawah pohon di belakang ruang tata usaha, aku menguntit mereka dari
jauh, aku harus menyaksikan apa yang mereka lakukan, aku penasaran. Mereka masuk
di ruang tata usaha, dan sekarang aku tak melihatnya lagi, punggung mereka hilang
bersama derit pintu. Mereka pun keluar membawa berkas, mungkin itu ijazah atau
SKHU milik kak Qania. Mereka melangkah menuju mobil mereka kembali. Dan,
mereka bermesraan seakan tak ada yang melihatnya, suami kak Qania mencium kening
kak Qania, dan dia mencium, astaga aku tak percaya. Benar-benar dia telah melukaiku.
Kak Qania hamil! Suaminya mencium perut dan mengelusnya. Aku menangis di bawah
pohon ini, aku menangis sejadi-jadinya. Aku sendiri disini dan tak ada yang melihat.
Saat beberapa menit berlalu, seorang gadis yang aku kenal tampak mendekat, dia
Naima. Dia datang di saat yang tidak tepat, di saat aku menangis karena wanita lain, di
saat dia terlanjur cinta padaku dan aku terjebak nostalgia dengan wanita lain. Cepat-
cepat aku menghapus air mataku, memasang wajah ceria di depannya.

‘’hai Marvi. Kamu kenapa?’’ Naima bertanya padaku.

‘’aku tak kenapa-kenapa. Aku hanya duduk di sini. Aku bosan di asrama’’ aku
menjawab sekenanya.

‘’oh iya, kak Qania mencarimu. Katanya dia rindu padamu.’’

‘’apa? Jangan bohiong Naima, dia sudah punya suami, dia sudah melupakanku. Dia tak
rindu padaku, aku sakit mendengar namanya apa kau tahu?’’

Astaga, aku bicara yang sebenarnya di depan Naima. Dia gadis yang kucintai, tapi kak
Qania lebih dari itu dulu. Naima lansung diam, tak berkomentar banyak. Naima hanya
berbisik padaku, ‘’Murvi, percayakah kau padaku? Aku mencintaimu. Aku kira kau
sudah lupa kak Qania. Dan kau telah membuatku terlanjur cinta. Kau hanya menjadi
hujan yang bukan lagi dingin tapi kebekuan salju kau luruhkan ke hatiku!’’

****

Malam ini semua siswa beraktivitas seperti biasa di asrama, ada beberapa yang murajaah
hafalan dan ada juga yang internetan, termasuk aku. Malam ini aku sedang searching
tentang materi pembelajaran matematika. Tapi aku tak sepenuhnya seperti biasa, ada
luka di hatiku. Adanya kesalahfahaman terbesar, yang aku tak bisa jelaskan pada Naima.
Dia tak percaya padaku. Dia tak tahu bahwa aku menangis sebagai seorang adik untuk
kak Qania, bukan sebagai orang yang sedang menyukai. Tak lama, aku membuka
obrolan di e-mailku dengannya beberapa hari yang lalu, aku membacanya dengan
khidmat, tak sekatapun aku sia-siakan. Kenangan yang sempurna dengannya! Tapi
sekarang berbeda, dia tak percaya padaku, dan dia kira aku hanya melampiaskan
cinataku padanya. Aku akui niatku buruk pada awalnya, tapi semua berubah, dia
mengalihkan duniaku, dia terlanjur cinta padaku dan aku sangat mencintainya, Naima.

‘’wah, pembina asrama! Pembina asrama!’’ Sufi memperingatiku untuk menutup


obrolanku dengan menggunakan bahasa isyarat. Cepat-cepat aku menutupnya, tapi
terlambat. Dia sudah curiga padaku, dengan gerak-gerikku yang aneh ketika membuka
laptop. Pembina asrama lansung saja bertanya tentang sandi laptopku, dan malam
harinya tidurku tak pernah nyaman. Aku gelisah, pembina asrama sangat pandai
mengotak-atik laptop. Sekarang dia pasti mencari jawaban dari pertanyaannya dulu.
Sial! Aku akan masuk ruang BK!

*****
Pagi hari yang cerah, tak secerah kejadian hari ini karena aku masuk BK. Aku dihukum.
Aku dibotak dan Naima harus memakai kerudung merah. Sial! Aku berusaha
membujuk Naima untuk berbaikan denganku, tapi dia sudah sakit hati ditambah karena
hukuman itu. Dia pasti malu.

‘’Naima, maafkan aku. Aku tak bisa menjaga harga dirimu. Naima, kumohon maafkan
aku’’

Dia tak menjawab pesanku yang melalui surat. Aku kepalang, aku sangat tersiksa
dengan ini.

Dan hari demi hari yang penuh kecanggungan berlanjut, aku tak tahu hubunganku
dengannya sekarang ini, penuh dengan ketidak pastian.

Mau dikata apa, tapi tak ada kepercayaanya kepadaku, dia selalu mengira bahwa aku
mencintai kak Qania sebagai wanita pada utuhnya, bukan sebagai kakak.

Aku tak tahan, aku harus mengirim surat kepada Naima, aku tak bisa begini terus,

‘’Naima, mengapa kau tak pernah berbalik padaku? Aku akui aku salah aku telah
membuatmu malu, Naima, maafkan aku. Sebenarnya siapa yang kau tunggu? Aku
selalu ada untukmu. Naima, bila malam telah datang, mengapa bukan bulan yang kau
tanyakan? Mengapa tetap matahari yang kau nanti? Apa yang ada di langit dan di bumi
telah diberikan sebagai tanda kecintaan. Namun masih kau tanya bagaimana dirimu hari
ini.tetaplah menatap ke langit walau di sana hanya ada bulan sabit. Sebab ia tetap indah
walau tak sesempurna purnama. Begitu pula denganku, Naima. Aku tahu kisah kita
memang tak seindah dengan mereka di luar sana. Tapi aku akan ada untukmu.
Percayalah Naima, sekali lagi aku minta maaf. Menangislah Naima, jika kau mau,
menangislah sejadi-jadinya. Karena aku tahu, kekuatan kadang ada di dalam air mata’’

Mataku sembab saat menulis surat itu. Aku tak pernah tidur tiap malam, aku pun tak
pernah mengantuk di pagi hari hingga petang, aku benar-benar merasa bersalah dan
tersiksa.

****

Dua minggu setelahnya, setelah penantian balasan yang sangat lama akhirnya datang
juga. Aku berharap pesanmu dapat membuatku lega, semoga memang benar.

‘’aku memang terlanjur mencintaimu, dan tak pernah kusesali itu. Seluruh jiwa telah
kuserahkan, menggenggam janji setiaku. Kumohon jangan jadikan semua ini, alasan
kau menyakitiku. Meskipun cintamu tak hanya untukku, tapi cobalah sejenak
mengerti. Bila rasaku ini rasamu. Sanggupkah engkau menahan sakitnya terkhianati
cinta yang kau jaga. Coba bayangkan kembali, betapa hancurnya, kasih, hati. Semua
telah telah terjadi. Aku memang terlanjur mencintaimu, Murvi’’

Nafasku tersengal saat membacanya, apakah oksigen di kamarku yang habis ataukah
nafasku yang tertahan rasa sakit. Memang, aku belum bisa terlalu move on dari kak
Qania, wajahnya begitu teduh , menenangkan, sebenarnya aku ingin memaksakan diri
untuk mencintai Naima agar aku bisa melupakan kak Qania, jujur aku belum bisa
melupakannya, tapi dengan mencoba menjalin sesuatu dengan Naima, akan ada cinta
yang merekah dan membuat layu perasaanku pada kak Qania, tapi semua tak sesuai
rencana. Semua tak semudah yang aku pikirkan. Sekali lagi aku merasakan pahitnya
mencintai dan dicintai oleh orang meninggalkan dan kecewa padaku.

******

‘’haah, kamu ketahuan lagi! Kenapa kamu menangis? Kamu masih menjalin hubungan
dengan Naima? Murvi, tunggu saja kau akan dikeluarkan dari sekolah ini, biarlah kalian
sakit hati, aku tak peduli’’

Suara ketus itu muncul dari guru bimbingan konseling sekolah, aku makin takut sesuatu
yang buruk akan terjadi. Aku tak masalah dikerluarkan di sekolah ini, tapi aku takut
dengan Naima. Sesuatu yang buruk akan terjadi padanya saat aku pergi.

Tak berhitung bulan, aku telah resmi dikeluarkan dari sekolah ini. Seperti biasa, teman
kelasku menangis, beberapa dari mereka memelukku erat, terutama Sufi, dia sempat
protes kepada guru tapi tak didengar. Semua telah sesuai prosedur sekolah dan aku akui
itu, maaf Naima. Aku harus pergi.

Saat aku di rumah, aku sering bertanya kepada Sufi melalui e-mail tentang keadaan
Naima, katanya Naima sudah sering melamun. Duduk sendiri di tangga, dan nilainya
turun drastis, benar, seseorang yang merasakan sakitnya ditinggalkan, diduakan, dan
dikecewakan sekaligus merupakan pembunuh hatiyang paling mematikan. Dan aku
melakukannya kepada orang yang kucintai, Naima. Sekarang aku tahu, cinta itu bisa
membunuh jika kadarnya berlebihan. Seperti Majnun akhirnya dibunuh oleh cintanya
kepada Laila. Qarun dibunuh oleh cintanya kepada harta benda. Fir’aun dibunuh oleh
cintanya kepada kedudukan. Lalu apa lagi yang kukatakan? Naima oleh terbunuh oleh
cintanya, dan aku terbunuh sepi di sini.

*******

Aku duduk di beranda malam ini, menikmati angin yang silih berganti membelai
rambutku yang memanjang dan tak terurus. Malam itu, aku hanya bisa bermain
sempoyongan dengan gitar di depan rumahku, menyanyikan lagu rindu dan lagu galau,
salah satunya yang paling kusuka adalah lagu ini
‘’Bintang malam katakan padanya, aku ingin melukis sinarmu di hatinya. Embun pagi
katakan padanya, biar kudekap erat waktu dingin membelenggunya. Tahukah engkau
wahai langit, aku ingin bertemu membelai wajahnya. Ku kan pasang hiasan, angkasa
yang terindah, hanya untuk dirinya. Lagu rindu ini kuciptakan, hanya untuk bidadari
hatiku tercinta, walau hanya nada sederhana, izinkan ku ungkap segenap rasa dan
kerinduan’’

Angin makin membelai, seperti menggodaku untuk datang ke sekolah untuk


menjengukmu. Tapi aku tak mau, aku tahu hal itu akan berdampak buruk bagimu.
Malam semakin larut, lampu-lampu rumah semakin redup, mati. Kendaraan yang
berlalu lalang makin sepi, satu dua anjing dan kucing berlarian lincah di taman
rumahku. Malam ini aku akan tertidur dengan nyenyak, aku hanya akan berdoa
tentangmu. Aku mencintanya, itu sebabnya aku tak pernah berhenti mendoakan
keselamatannya.

*****

Dua tahun berlalu, tak terasa. Sekarang aku adalah mahasiswa di salah satu perguruan
tinggi di Bandung, aku lolos pada jurusan arsitek. Aku sangat senang. Tapi di lain hal,
aku tak pernah lagi berhubungan lagi dengan Sufi, e-mailnya mungkin rusak atau apa,
dengan begitu aku tak pernah lagi tahu menahu tentang kabar Naima. Aku sangat rindu
dengannya, walau kisah kami hampir tak mempunyai kebahagiaan, semuanya ditutupi
oleh rasa sakit. Tapi aku rindu saat dia tertawa dan duduk denganku di pelataran. Aku
sangat rindu dengan masa SMAku.

Esoknya aku memutuskan untuk datang ke rumahnya. Aku harus bertemu dengannya.
Aku penasaran dengan mata jeli dan bulu matanya yang indah itu, Naima. Aku
memutuskan untuk pulang ke Makassar, ke Bone. Rumahnya di jalan Pisang Baru.
Bnar-benar jantungku berdegup kencang saat aku membuka pintunya.
‘’Assalamualaikum, Assalamualaikum’’

Tampak serang pria tua keluar dari kamarnya, matanya masih memancarkan kekuatan
seorang ayah yang telah memberi kekuatan kepada Naima. Dia bertanya kepadaku,

‘’anda siapa nak? Anda mencari siapa?’’

‘’aku mencari Naima, Naima ada om?’’

Dia menjawab pendek ‘’dia telah tiada, sejak tahun lalu dia terjatuh di toilet’’

Apa? Astaga bahkan hal segila itu aku tak tahu. Tuhan, berib aku kesabaran, aku
mencoba untuk mengatur nafas dan memperbaiki arah pembicaraanku dengan ayah
Naima.
‘’bolehkah om menceritakannya? Mengapa secepat itu? Mengapa harus dia?’’

Ayah Naima dia sejenak dia menjawab ‘’nak, dia terjatuh di toilet. Saat dia lulus dari
SMA, dia tak mau kuliah. Dia tampak kehilangan semangat dan cahaya hidup. Dia
selalu melamun, dia sudah sering terpelset di sana-sini. Kakiya tak kuat menahan
tubunhnya. Aku telah berkeliling untuk mengobatinya, tapi tak berhasil, dia hanya
sempat berkata sebelum ia meninggal

‘’ketika aku pergi dari sisinya, barulah ia tahu betapa berartinya aku baginya’’

‘’dia hanya mengatakan itu dan lansung menitikkan air mata, dan bersamaan matanya
tertutup sempurna. Tampak cahaya di matanya menghilang sehari sebelumny’’.

Aku tercekat, aku tak dapat mengatakan apapun. aku terjatuh dan menangis di hadapan
ayahnya. Aku menyesal telah pergi tanpa ada kabar untuknya. Setelah banyak rasa
kecewa dan sakit hati serta harapan kuberikan padanya, tiba-tiba aku pergi tanpa
memberikan kabar sedikitpun kepadanya. Aku tak tahu harus bagaimana lagi, aku harus
kemana? Dia telah tiada dan hanya air mata dan kepengecutan yang tersisa di diriku.
Aku hanya bisa berkabung dalam kamar, tak pernah mencoba untuk melihat cahaya.
Aku terlalu sedih untuk hari yang secerah ini.

Aku tahu ayah Naima terpukul

Aku tahu ibu Naima terpukul

Aku tahu keluarga Naima terpukul

Dan aku sangat terpukul mesodiplosis

Dialah Naima. Naima adalah wanita yang kuat, kuat adalah dirinya, dan aku tahu,
dirinyalah tempatku untuk pulang setelah kedua orang tuaku menyambutku. anadiplosis

****

Sore ini, aku putuskan untuk menuju ke pusara Anima, pusaranya tampak terawat dan
tersusun elok. Bunga-bunga melati memeluk pusaranya dengan hangat. Aku menulis
surat di atas pusaranya, dan aku menguburnya dalam-dalam. Kertas itu basah oleh air
mataku.

‘’Aku ucapkan kepadamu, tidak mudah menggenggam cinta sejatimu. Saat nanti selalu
akan hadir sosok yang ditakdirkan untuk dicintai. Karena kau ditakdirkan untuk
mencintai. Rela hati sayangku, biarkan rinai hujan basahi tanah dan rerumputan kering.
Biarkan harum tanah basah terhirup bagai wangi mawarmu. Sayang, tetaplah jaga
perasaanmu dan perasaanku karena itu cerminan cinta kita. Sayang, semoga hidupmu
memang berakhir bahagia. Anima, aku mencintaimu, benar-benar mencintaimu.
Maafkan aku atas kisah sedih yang aku beri padamu, maafkan aku atas sakit hati yang
menghunjam jantungmu, amaafkan aku karena tak bisa membuatmu percaya bahwa
hanya kau yang aku cinta, dan aku belajar dari itu. Walaupun begitu ku coba tersenyum
saat kau pergi. Meski lara hati menangis melepasmu. Andaikan kau tahu, betapa aku
sangat mencintaimu, Anima’’

Dan aku harus kembali untuk melanjutkan hidupku, terimakasih untuk kenangan kita.
Aku masih meyakini satu hal, bahwa kita akan bertemu di surga nanti. Aku akan rindu
dengan tawa dan bulu matamu, dan aku akan selalu merindukanmu, Naima.

Pagi hari kami lari pagi asonansi , bukan lari ke tempat menarik, tapi berlari ke dalam
mimpi masing-masing, yang penuh pelajaran. Karena warna hidup seperti apapun
merupakan suatu pilihan.

Anda mungkin juga menyukai