Pagi ini sebelum masuk kelas, Aku dan Ramdani sudah berjanji akan
bertemu di belakang sekolah, Karena disana lah tempat paling tepat untuk
kembang yang berjajar di sepanjang lorong Sekolah. Serta suara Mini compo
dari rumah kontrakan yang rutin memutar lagu Pop Indonesia lama,
nya sumbang minta ampun. Kadang saking kencang nya di putar, suara Mini
compo itu sampai terdengar ke dalam kelas saat kami sedang belajar. Guru
iya ikut bernyanyi jika hafal dengan lagu yang di putarkan oleh penghuni
ngalor ngidul dengan teman sebangku. Dalam hal ini ketua kelas lah yang
bernasib Sial.
“Ingat!, Begitu ada celah, segera kau masukan surat ini kedalam kolong meja
Nur. Dan jangan sampai ada seorang pun yang melihat!” Ucapku langsung
merampas surat dari tangan ku dan secepat kilat berlalu meninggalkan ku.
tak waras. Lebih dari pada itu semua ini demi untuk bisa melihat senyum
sengaja batuk – batuk, padahal tak ingin. Tujuan nya agar Nuraini melirik ku,
Dengan begitu aku bisa melihat senyum nya yang begitu manis. Namun
mengomentariku.
“Seperti itu lah Azab orang yang sering mencuri waktu untuk merokok di
kantin.”
Tadi nya kupikir yang menyela itu adalah Juwita ketua kelas ku. Namun
begitu kulihat dari celah-celah bahu barisan, rupa nya yang menyela itu
Nuriana, Ketua kelas IX A. Yang mana adalah ketua kelas Ramdani. Namun
kali ini aku ingin mengabaikan segala bentuk perseteruan. Sebab aku tak
seharus nya aku berada. Selain itu aku malas mendengarkan pidato Kepala
Satu jam lebih kami di jemur di lapangan, dengan pidato yang tiap senin tema
Akhir nya upacara pun di bubarkan. Dan kami pun kembali masuk ke kelas
kami masing-masing.
Di dalam kelas pikiran ku mulai tak karuan. Berbagai khayalan indah melintas
di kepala ku. Seperti misal nya, pulang sekolah nanti Nuraini sudah
wajah nya memerah karna malu. Dan itu membuat nya semakin manis. Atau
setiap hari Minggu kami jadi punya agenda untuk bertemu di gelanggang
remaja. Tempat di mana para muda mudi menghabiskan sore bersama untuk
sate klatak dan wedang jahe, yang rasa sedap nya seolah menempel di lidah
yang lainnya, Namun tiba-tiba saja, pletakkk!! Sebuah penghapus papan tulis
menghantam kepalaku. Sontak aku lagsung berdiri dengan kepala pening.
“tertidur lagi kau di kelas ?!” Ucap Bu Dewi sambil berkacak pinggang dan
“Menyimak kah kau apa yang Ibu terangkan barusan ?!” Bentak nya dengan
bertahun-tahun pada ku. Aku diam saja, sebab tak punya alasan untuk
mengelak.
Akhir nya dengan keputusan yang telah di sepakati bersama kepala sekolah.
Aku pun menjalankan ritual hukuman turun temurun di sekolah ini. yaitu
berdiri di lapangan sambil hormat di tiang Bendera sampai waktu yang tidak
di tentukan.
Jam istirahat pun tiba. Namun aku masih belum juga di bolehkan
bolak balik kantin, dan aku sendiri bagaikan kerbau dungu di bawah tiang
bendera.
Nuraini pun lewat di depan ku, Ajaib! Tiba-tiba saja hawa panas di tengah
pinggiran lapangan, kini seakan bergeser rapat meneduhi ku. Ku sapa dia
dengan jantung yang berdebar karena perasaan malu yang ku berani-
kedua kali nya, Barang kali tadi ia memang tak mendengar. Namun ia hanya
Suasana lapangan pun kembali panas dan semakin terasa gersang. Pikiran
mengabaikan surat yang sudah ku buat selama empat malam. Dan kesal,
masing-masing.
Aku hampir saja ingin melarikan diri dari tempat hukuman yang seperti
berubah menjadi tempat penyiksaan ini, Namun tiba-tiba saja dari arah
“Paling tidak dalam cuaca panas seperti ini, bisa membuatmu tetap hidup
sampai bel pulang sekolah di bunyikan”. Ucap orang itu yang ternyata adalah
sekolah tiga tahun lalu. Orang yang sekalipun tidak pernah ku bayang kan
bisa berbuat baik. Bahkan baru tadi pagi ia membuatku jengkel saat upacara.
“Maka nya jangan sering-sering berulah di kelas. Ingat sedikit lagi lulus!,
paling tidak isi lah otakmu dengan satu buku”. Ucap nya denga nada penuh
penekanan seperti biasa saat berbicara dengan ku. Ia pun berlalu
Pukul 13:00 bel Sekolah pun di bunyikan, Aku pun di bolehkan pulang,
Ramdani.
amarah.
membaca surat yang telah di selundupi Ramdani. Dan baru mendapati surat
Padahal baru mengucapkan beberapa kata saja. Nuraini pun segera menoleh
“Oh iya, sudah siang Du.” Dan langsung mengembalikan pandangan nya ke
ujung jalan. Ku tawarkan diri nya untuk pulang bersama, berbonceng sepeda
dengan ku. Sesuai isi surat yang kutuliskan. Lalu belum sempat ia menjawab,
tiba-tiba dari ujung jalan sebuah Vespa melaju dengan cepat, dan berhenti
tepat di depan Nuraini. Aku mengenali orang itu yang tak lain adalah Ridwan.
“Duluan ya Pandu.” Ucap nya meninggalkan ku. Vespa pun melaju, dan
memang akan selalu menimpa orang-orang yang tak tau diri. Dan sekarang
aku sudah tau apa yang harus aku lakukan. Yaitu segera pulang lalu tidur,
dan baru akan bangun ketika sangkakala ketiga di tiupkan. Paling tidak itu
cara ampuh untuk membuatku lupa akan kesialan yang terjadi sepanjang hari
ini.
Ramdani datang dari arah belakang dan meneriaki ku. Ia datang tepat saat
aku ingin berbagi rasa sakit atas peristiwa ini, dengan menghajarnya mungkin
“Beres kawan. Semua berjalan sesuai rencana. Sudah ku bilang ini adalah
urusan Remeh. Sekarang kau berhutang budi padaku!” Ucap nya dengan
nada percaya diri. Seolah tidak terjadi apa-apa. Aku pun sudah memutuskan
untuk memberinya tiga pukulan. Kurasa itu setimpal untuk berbagi rasa sakit.
Namun baru saja aku mengepalkan tangan dan akan segera mengayunkan
“Nah itu dia pujaan hati mu”. Ucap Ridwan menunjuk kearah seseorang. Lalu
pelan-pelan ia membisikanku.
“Kau nekat Boy! Semua orang di kelasku bahkan tidak berani punya urusan
apapun dengannya”.
Aku tak mengerti apa yg di Maksud Ridwan, sampai akhirnya ku lihat Nuriana
“Brengsek apa yang kau lakukan dengan surat itu!” Ucap ku menarik lengan
larutkan.
“Kau ini apa-apaan brengsek. Bahkan kau belum berterima kasih padaku!”
“kau berikan pada siapa surat itu?!” kataku mendesak nya. Nuriana semakin
mendekat pada kami. Aku meminta Ramdani untuk memelankan suara nya
habis.
“Dasar bodoh! Kau salah alamat! Nur yang ku maskud adalah Nuraini. Bukan
Bagaimana aku menjelaskan kekeliruanku ini pada Nuriana. Aku pasti di caci
maki nya habis-habisan. Karena barangkali memberi nya surat cinta adalah
Sebelum menjelaskan kekeliruan ini pada Nuriana, setidak nya aku perlu
dalam peristiwa ini. Namun begitu aku menoreh ke arah nya, Ramdani sudah
kuat-kuat kan diri ku untuk menghadapi nya. Namun tiap kali melihat mata
Namun Ajaib, Kini ku lihat sorot mata nya bukan lagi sorot mata permusuhan.
Semakin aku menatap nya semakin aku merasa teduh. Emosiku pada
Kini Nuriana berada persis di depan ku. kami saling bertatapan, jarak nya
dekat sekali. Sehingga aku dapat melihat jelas garis-garis wajah nya.
Sesungguhnya Nuriana sangat cantik. Bahkan saat ia menyunggingkan
sedikit senyum pun, Senyumnya lebih manis dari senyuman Nuraini. Mungkin
selama ini aku mengenal nya sebagai seorang musuh, sehingga tidak
menyadari bahwa memang dia lah perempuan yang seharus nya ku surati.
Dan kini aku merasa bersyukur surat itu salah tujuan. Sebab kurasa surat itu
sampai pada orang yang tepat. karena paling tidak surat itu telah membuat
Aku dan Nuriana tidak bermusuhan lagi. Dan Ramdani adalah orang yang
Kami hampir saja menjadi tontonan kawan satu sekolah kalau saja
Nuriana tidak memecah suasana sunyi di antara kita dengan memukul ku.
Namun aku sama sekali tidak merasa kesakitan. Boleh di bilang aku malah
merasa senang.
“Bodoh! Ayo lekas pulang. Kita hampir jadi tontonan masal anak-anak satu
sekolahan”.
pohon-pohon jati di kanan kiri jalan yang dahan nya saling melengkung,
Tak ada pembicaraan diantara kami. Namun diam-diam kami saling mencuri
pandang.
Setengah jalan kami berhenti di sebuah taman kota, Duduk di salah satu
Tangsel
WA: 087773000531
Email: Maryadiade01@gmail.com
FB: Realistisadealis@rocketmail.com
Ig: @Admrydi
tinggal di desa yang tidak terlalu sepi, juga tidak terlalu ramai. Memiliki