Anda di halaman 1dari 12

Sebab Cinta Mencari Jalannya Sendiri

Pagi ini sebelum masuk kelas, Aku dan Ramdani sudah berjanji akan

bertemu di belakang sekolah, Karena disana lah tempat paling tepat untuk

melakukan persekongkolan dalam urusan cinta. Suasana sunyi, Wangi

kembang yang berjajar di sepanjang lorong Sekolah. Serta suara Mini compo

dari rumah kontrakan yang rutin memutar lagu Pop Indonesia lama,

menambah suasana romantis dalam persekongkolan ini. Satu satunya hal

mengganggu adalah ketika si penghuni rumah ikut bernyanyi. Sebab suara

nya sumbang minta ampun. Kadang saking kencang nya di putar, suara Mini

compo itu sampai terdengar ke dalam kelas saat kami sedang belajar. Guru

yang sudah bosan mengajar di 30 menit pertama biasa nya akan

menugaskan Ketua kelas untuk menyalin materi ke papan tulis, sementara

iya ikut bernyanyi jika hafal dengan lagu yang di putarkan oleh penghuni

kontrakan belakang. Semntara kami memanfaatkan momen mengobrol

ngalor ngidul dengan teman sebangku. Dalam hal ini ketua kelas lah yang

bernasib Sial.

“Ingat!, Begitu ada celah, segera kau masukan surat ini kedalam kolong meja

Nur. Dan jangan sampai ada seorang pun yang melihat!” Ucapku langsung

membredel perintah begitu bertemu Ramdani.


“Cerewet sekali!, Kau tunggu saja hasil nya nanati!.” Ucap nya sambil

merampas surat dari tangan ku dan secepat kilat berlalu meninggalkan ku.

Sebab bel upacara pun sudah di bunyikan.

Pukul 07:30 kami semua mulai berbaris di lapangan untuk

melangsungkan upacara pengibaran bendera. Aku yang biasa nya paling

malas berada di barisan depan, kini diam-diam aku menyelinap mengisi

barisan depan. Kawan-kawan yang melihat gerak-gerik ku merasa heran.

Namun inilah cinta, kedahsyatan nya mampu merubah seseorang menjadi

tak waras. Lebih dari pada itu semua ini demi untuk bisa melihat senyum

Nuraini. Untuk memastikan bahwa Nuraini menyadari keberadaan ku, Aku

sengaja batuk – batuk, padahal tak ingin. Tujuan nya agar Nuraini melirik ku,

Dengan begitu aku bisa melihat senyum nya yang begitu manis. Namun

sampai tenggorokan ku sakit memaksakan batuk, Nuraini tak melirik kearah

ku sekalipun. Dan disana, Terhalang satu baris dari nya, Seseorang

mengomentariku.

“Seperti itu lah Azab orang yang sering mencuri waktu untuk merokok di

kantin.”

Tadi nya kupikir yang menyela itu adalah Juwita ketua kelas ku. Namun

begitu kulihat dari celah-celah bahu barisan, rupa nya yang menyela itu

Nuriana, Ketua kelas IX A. Yang mana adalah ketua kelas Ramdani. Namun
kali ini aku ingin mengabaikan segala bentuk perseteruan. Sebab aku tak

ingin emosi merusak perasaan ku yang akan bahagia ini.

Aku pun kembali bertukar barisan ke belakang. Tempat di mana memang

seharus nya aku berada. Selain itu aku malas mendengarkan pidato Kepala

Sekolah yang membosankan.

Satu jam lebih kami di jemur di lapangan, dengan pidato yang tiap senin tema

nya sama saja, yaitu pembayaran SPP jangan sampai telat.

Akhir nya upacara pun di bubarkan. Dan kami pun kembali masuk ke kelas

kami masing-masing.

Di dalam kelas pikiran ku mulai tak karuan. Berbagai khayalan indah melintas

di kepala ku. Seperti misal nya, pulang sekolah nanti Nuraini sudah

menunggu ku di samping gerbang sekolah untuk pulang Bersama. Lalau

wajah nya memerah karna malu. Dan itu membuat nya semakin manis. Atau

setiap hari Minggu kami jadi punya agenda untuk bertemu di gelanggang

remaja. Tempat di mana para muda mudi menghabiskan sore bersama untuk

melepas rindu. Lalu malam nya mampir di angkringan bu Lasmi, menikmati

sate klatak dan wedang jahe, yang rasa sedap nya seolah menempel di lidah

sampai seminggu berikut nya.

Ahhh... Aku mencoba membayangkan lagi keindahan itu dalam peristiwa

yang lainnya, Namun tiba-tiba saja, pletakkk!! Sebuah penghapus papan tulis
menghantam kepalaku. Sontak aku lagsung berdiri dengan kepala pening.

Lalu dengan cepat sumpah serapah menyambar ku.

“tertidur lagi kau di kelas ?!” Ucap Bu Dewi sambil berkacak pinggang dan

melotot menatap ku.

“Menyimak kah kau apa yang Ibu terangkan barusan ?!” Bentak nya dengan

tekanan kata yang meledak-ledak. Seolah telah menyimpan kemarahan

bertahun-tahun pada ku. Aku diam saja, sebab tak punya alasan untuk

mengelak.

Akhir nya dengan keputusan yang telah di sepakati bersama kepala sekolah.

Aku pun menjalankan ritual hukuman turun temurun di sekolah ini. yaitu

berdiri di lapangan sambil hormat di tiang Bendera sampai waktu yang tidak

di tentukan.

Jam istirahat pun tiba. Namun aku masih belum juga di bolehkan

meninggalkan hukuman ini. Ku lihat kawan-kawan ku sudah berseliweran

bolak balik kantin, dan aku sendiri bagaikan kerbau dungu di bawah tiang

bendera.

Nuraini pun lewat di depan ku, Ajaib! Tiba-tiba saja hawa panas di tengah

lapangan ini berubah menjadi sangat sejuk. Pohon-pohon palem yang

beberapa waktu lalu meledeku dengan lambaian ranting-ranting lebat nya di

pinggiran lapangan, kini seakan bergeser rapat meneduhi ku. Ku sapa dia
dengan jantung yang berdebar karena perasaan malu yang ku berani-

beranikan. Namun Nuraini tak menunjukan reaksi apa-apa. Ku sapa ia untuk

kedua kali nya, Barang kali tadi ia memang tak mendengar. Namun ia hanya

melirik ku sekilas saja, Dan berlalu tanpa meninggalkan kesan apapun.

Suasana lapangan pun kembali panas dan semakin terasa gersang. Pikiran

ku pun meracu kemana saja. Antara malu, kecewa karena mungkin ia

mengabaikan surat yang sudah ku buat selama empat malam. Dan kesal,

karena mungkin Ramdani mendustai ku.

Jam istirahat sudah di bunyikan, para murid berlarian kembali ke kelasnya

masing-masing.

Aku hampir saja ingin melarikan diri dari tempat hukuman yang seperti

berubah menjadi tempat penyiksaan ini, Namun tiba-tiba saja dari arah

belakang, seseorang meletakan air mineral di samping tempatku berdiri.

“Paling tidak dalam cuaca panas seperti ini, bisa membuatmu tetap hidup

sampai bel pulang sekolah di bunyikan”. Ucap orang itu yang ternyata adalah

Nuriana, ketua kelas IX A. Seteru abadi ku dari semenjak masa Orientasi

sekolah tiga tahun lalu. Orang yang sekalipun tidak pernah ku bayang kan

bisa berbuat baik. Bahkan baru tadi pagi ia membuatku jengkel saat upacara.

“Maka nya jangan sering-sering berulah di kelas. Ingat sedikit lagi lulus!,

paling tidak isi lah otakmu dengan satu buku”. Ucap nya denga nada penuh
penekanan seperti biasa saat berbicara dengan ku. Ia pun berlalu

meningalkan pertanyaan yang terus berputar-putar di kelapa ku.

Pukul 13:00 bel Sekolah pun di bunyikan, Aku pun di bolehkan pulang,

dengan syarat tak Mengulangi kesalahan lagi. Ku lihat para Murid

berhamburan meninggalkan sekolah, Namun aku masih juga tak melihat

Ramdani.

“Sialan!. Kemana si brengsek itu!.” Ucap ku dalam hati menampung

amarah.

Di depan gerbang kulihat Nuraini seperti sedang menunggu seseorang. Aku

pun mencoba menghampiri nya denga prasangka mungkin tadi ia belum

membaca surat yang telah di selundupi Ramdani. Dan baru mendapati surat

ku disaat-saat akhir jam pelajaran.

“Mau langsung pulang Nur ?” tanya ku dengan hati yang berdebar-debar.

Padahal baru mengucapkan beberapa kata saja. Nuraini pun segera menoleh

begitu mendengar ucapanku yang tiba-tiba berada di samping nya. Lalu ia

menjawab dengan singkat saja

“Oh iya, sudah siang Du.” Dan langsung mengembalikan pandangan nya ke

ujung jalan. Ku tawarkan diri nya untuk pulang bersama, berbonceng sepeda

dengan ku. Sesuai isi surat yang kutuliskan. Lalu belum sempat ia menjawab,

tiba-tiba dari ujung jalan sebuah Vespa melaju dengan cepat, dan berhenti
tepat di depan Nuraini. Aku mengenali orang itu yang tak lain adalah Ridwan.

Siswa sekolah Karya bakti. Ia menyapaku dengan senyuman khas yang

hanya di miliki laki-laki tampan. Nuraini pun segera menaiki boncengan

Vespa Ridwan, Tanpa memikirkan perasaan ku.

“Duluan ya Pandu.” Ucap nya meninggalkan ku. Vespa pun melaju, dan

kemesraan itu berlalu dengan jelas di depan mata ku.

Aku tak bisa mengambarkan bagaimana perasaan ku sekarang. Tentu saja

sangat kacau. Yang jelas aku sudah mendapatkan jawaban dari

pengharapan panjang ku. Dan memaklumi diri sendiri kalau kegagalan

memang akan selalu menimpa orang-orang yang tak tau diri. Dan sekarang

aku sudah tau apa yang harus aku lakukan. Yaitu segera pulang lalu tidur,

dan baru akan bangun ketika sangkakala ketiga di tiupkan. Paling tidak itu

cara ampuh untuk membuatku lupa akan kesialan yang terjadi sepanjang hari

ini.

Ramdani datang dari arah belakang dan meneriaki ku. Ia datang tepat saat

aku ingin berbagi rasa sakit atas peristiwa ini, dengan menghajarnya mungkin

membuat rasa sakit ini sedikit mereda.

“Beres kawan. Semua berjalan sesuai rencana. Sudah ku bilang ini adalah

urusan Remeh. Sekarang kau berhutang budi padaku!” Ucap nya dengan

nada percaya diri. Seolah tidak terjadi apa-apa. Aku pun sudah memutuskan
untuk memberinya tiga pukulan. Kurasa itu setimpal untuk berbagi rasa sakit.

Namun baru saja aku mengepalkan tangan dan akan segera mengayunkan

ke arah hidung nya, tiba-tiba saja ia melonjak girang.

“Nah itu dia pujaan hati mu”. Ucap Ridwan menunjuk kearah seseorang. Lalu

pelan-pelan ia membisikanku.

“Kau nekat Boy! Semua orang di kelasku bahkan tidak berani punya urusan

apapun dengannya”.

Aku tak mengerti apa yg di Maksud Ridwan, sampai akhirnya ku lihat Nuriana

datang menghampiri kami.

“Brengsek apa yang kau lakukan dengan surat itu!” Ucap ku menarik lengan

baju nya. keringatku bercucuran menahan rasa malu yang tak

tertanggungkan. Emosi ku menggumpal, tak bisa di ledakan, tak bisa juga di

larutkan.

“Kau ini apa-apaan brengsek. Bahkan kau belum berterima kasih padaku!”

ucap nya sambil menyentakan tanganku dari kerah baju nya.

“kau berikan pada siapa surat itu?!” kataku mendesak nya. Nuriana semakin

mendekat pada kami. Aku meminta Ramdani untuk memelankan suara nya

agar Nuriana tak mendengar perseteruan kami.

“Sesuai perintahmu. Surat itu ku selundupi di kolong meja Nur!”


Seketika itu juga jantung ku terasa copot. Aku merasa darahku terkuras

habis.

“Dasar bodoh! Kau salah alamat! Nur yang ku maskud adalah Nuraini. Bukan

Nuriana ketua kelasmu itu” kataku sambil melepaskan cengkraman ku pada

lengan baju nya. mendengar itu wajah Ramdani menjadi pucat.

Bagaimana aku menjelaskan kekeliruanku ini pada Nuriana. Aku pasti di caci

maki nya habis-habisan. Karena barangkali memberi nya surat cinta adalah

suatu penghinaan untuk perempuan seperti nya.

Sebelum menjelaskan kekeliruan ini pada Nuriana, setidak nya aku perlu

meminta sedikit saran pada Ramdani, Sebab biar bagaimanapun ia terlibat

dalam peristiwa ini. Namun begitu aku menoreh ke arah nya, Ramdani sudah

menghilang dari tempat ia berdiri.

Nuraini dengan cuek menghampiriku. Aku semakin salah tingkah sendiri. Ku

kuat-kuat kan diri ku untuk menghadapi nya. Namun tiap kali melihat mata

nya, aku merasa tubuhku semakin mengecil.

Namun Ajaib, Kini ku lihat sorot mata nya bukan lagi sorot mata permusuhan.

Semakin aku menatap nya semakin aku merasa teduh. Emosiku pada

Ramdani mulai luluh. Dan sekarang ia tak penting lagi.

Kini Nuriana berada persis di depan ku. kami saling bertatapan, jarak nya

dekat sekali. Sehingga aku dapat melihat jelas garis-garis wajah nya.
Sesungguhnya Nuriana sangat cantik. Bahkan saat ia menyunggingkan

sedikit senyum pun, Senyumnya lebih manis dari senyuman Nuraini. Mungkin

selama ini aku mengenal nya sebagai seorang musuh, sehingga tidak

menyadari bahwa memang dia lah perempuan yang seharus nya ku surati.

Dan kini aku merasa bersyukur surat itu salah tujuan. Sebab kurasa surat itu

sampai pada orang yang tepat. karena paling tidak surat itu telah membuat

Aku dan Nuriana tidak bermusuhan lagi. Dan Ramdani adalah orang yang

harus di beri medai emas atas ketololan nya.

Kami hampir saja menjadi tontonan kawan satu sekolah kalau saja

Nuriana tidak memecah suasana sunyi di antara kita dengan memukul ku.

Namun aku sama sekali tidak merasa kesakitan. Boleh di bilang aku malah

merasa senang.

“Bodoh! Ayo lekas pulang. Kita hampir jadi tontonan masal anak-anak satu

sekolahan”.

Kami berjalan bersama dengan menuntun sepeda menelusuri sepanjang

jalan KH.Dewantoro yang rindang. Sebab di sepanjang jalan itu membentang

pohon-pohon jati di kanan kiri jalan yang dahan nya saling melengkung,

sehingga menyerupai terowongan.

Tak ada pembicaraan diantara kami. Namun diam-diam kami saling mencuri

pandang.
Setengah jalan kami berhenti di sebuah taman kota, Duduk di salah satu

bangku yang berjajar di sepanjang taman. Membicarkan hal-hal kecil yang

sering kami ribut kan, lalu mentertawakan nya.


Nama : Ade Maryadi a.k.a Phaong

Tempat, Tanggal lahir : Tangerang, 18 April 1993

Alamat : kp.Rawa lele, Desa Jombang RT003/007 No.37, Kec. Ciputat –

Tangsel

No Rek : (BCA) 8990411191 A/n Ade Maryadi

WA: 087773000531

Email: Maryadiade01@gmail.com

FB: Realistisadealis@rocketmail.com

Ig: @Admrydi

Saya seorang Dilematis yang berencana menghabiskan masa tua untuk

tinggal di desa yang tidak terlalu sepi, juga tidak terlalu ramai. Memiliki

banyak anak, lalu melanjutkan hidup sebagai petani atau peternak.

Anda mungkin juga menyukai