Anda di halaman 1dari 7

TEMAN PERTAMA DI HIDUPKU

Aku hanya tertududuk terdiam menundukan kepalaku, ya... seperti ini lah kehidupanku disekolah
yang menurutku sangat kejam ini. Bagaimana tidak ? semua anak membenciku karna aku
seorang putri yang profesi orang tuaku adalah seorang penjual susu kaleng keliling yang
memaksakan diri bersekolah disekolahan elit seperti ini, jika tidak karena beasiswa yang kudapat
mungkin aku sudah melawan perbuatan mereka yang menurutku sudah di luar batas peri
kemanusiaan.
***

Bel istirahat berbunyi semua anak berhamburan keluar terkecuali hanya aku yang tersisa
diruangan yang bagaikan neraka ini, aku terduduk menunduk seluruh wajahku tertutup oleh
rambut hitam panjangku. Cukup lama aku terdiam disini hingga pada saatnya aku merasa bosan,
akhirnya aku putuskan untuk melangkah pergi keluar kelas.

Dengan berjalan menunduk menyusuri trotoar kelas dan bertemu dengan para mulut kejam yang
tak salah lagi sedang membicarakanku, aku tidak peduli aku tetap melanjutkan langkahku.
Sampai suatu saat sesuatu mengenai kepalaku, benda itu terjatuh di bawah tepatnya dihadapan
kakiku, ternyata itu hanya botol air mineral yang tak berisi, aku memungut botol itu dan
memasukannya kedalam ember sampah yang berada disampingku. Saat hendak memasukkan
botol itu semua anak melempariku dengan tepung dan juga telur aku hanya terdiam menunduk
pasrah menerima perlakuan mereka.
Semua anak menghampiriku, salah satu dari mereka mendorong tubuhku hingga aku terjatuh ke
lantai.
"bangunlah.... ayo bangun anak miskin!" ucap seorang murid pria yang mendorongku tadi

Aku hanya bisa menangis menunduk, semua anak memukuliku hingga seluruh wajahku memar.

Tak berseling lama tiba-tiba seseorang datang yang tak lain itu adalah ibu kim, guru wali
kelasku.
"Hentikan semuanya!!!" teriak ibu Kim,

Sesaat semua murid yang mengelilingiku terkejut dan spontan berlari berhamburan memasuki
ruangan kelasnya masing-masing.

Ibu Kim secepat mungkin mendekatiku dan membantuku berdiri, "Kau tak apa Melati ?" tanya
ibu Kim lembut
"Tidak bu, aku baik-baik saja" jawabku menunduk
"Lebih baik kau obati dulu lukamu, dan ibu akan meminta seragam baru untukmu" tutur ibu Kim
"Tidak bu tidak usah, aku baik-baik saja, terima kasih" kataku
"Baiklah, kau akan diijinkan pulang sekarang, ibu yang akan bertanggung jawab"

Oh sungguh ini tak begitu buruk untukku, akhirnya aku bisa pulang lebih cepat juga mimpi aapa
aku semalam sampai bisa beruntung seperti ini.
Aku mengangkat wajahku kulihat disebelah ibu Kim berdiri seorang anak pria berpakaian
seragam dan tersenyum padaku, jelas saja dia bukan siswa sekolah ini aku pun baru melihatnya.
Ibu Kim berkata jika ia pun akan memasuki ruangan kelasku untuk mengenalkan murid baru,
aku berjalan mengikuti ibu Kim tepatnya dibelakang murid pria baru itu

Sesampainya diruang kelas aku segera menuju tempat dudukku dan mengambil tas milikku,
semua anak memandangku sinis meski aku tidak melihatnya langsung karna aku menundukan
kepalaku ketika berjalan tapi aku bisa merasakannya.
***

Pagi yang begitu cerah, membuat bahagia siapapun orangnya yang melihat keindahannya, angin
pagi berhembus kencang menerpa tubuhku. Langkah demi langkah aku tapaki hingga sampailah
kedepan gerbang sekolahku.

Aku memasuki ruang kelasku, terlihat disana beberapa orang anak memandangku dengan sinis
bahkan ketika aku melewati mereka, mereka menghalang jalanku dan mendorong tubuhku
hingga terjatuh. hanya tawa kesenangan yang mereka dapatkan.
Tiba-tiba seseorang mengulurkan tangannya padaku, aku secepat mungkin memastikan orang itu,
ternyata itu adalah murid baru yang kemarin aku bertemu dengannya.
"ayolah... bangun.." ucap pria itu yang akupun tak mengenalnya

Sontak semua anak merasa heran dan bingung,


"Fandy! apa yang sedang kau lakukan?" tanya seorang murid laki-laki padanya
tapi dia tak menghiraukannya

Aku tak menerima uluran tangan miliknya, aku berfikir dia pun pasti sama seperti anak-anak
lain, akhirnya aku pergi berlari keluar kelas.

Aku menangis dibawah pohon ditaman, aku tak peduli bel pelajaran sekolah dimulai. Hatiku
hancur kenapa juga aku harus dilahirkan oleh sepasang keluarga penjual susu kaleng keliling?
kenapa aku tidak seperti mereka? tuhan tak adil!.

Sampai sekolah sepi ditinggalkan oleh penghuninya, aku masih tetap berada dibawah pohon itu
terduduk dengan kaki menegak menompang tangan dan daguku pandanganku sayu kedepan.

Tiba-tiba seseorang memegang pundakku, aku menoleh


"kau..." ucapku
"yah ini aku, apa aku boleh duduk disampingmu ?" tanya pria itu
"Untuk apa kau kemari ? apa kau pun ingin melihat seberapa menyedihkannya aku ?" Tanyaku
dingin
"Tidak! aku kemari ingin berkenalan denganmu...." jawab pria itu
"Lebih baik kau pergi saja, bukankah teman-teman kayamu juga sudah pergi meninggalkan
sekolah ini?" tanyaku lagi kecut
"Biarlah, tapi aku ingin bersamamu...." jawab nya

aku memandangnya muak secepat mungkin aku pergi meninggalkannya tapi ia mengejarku.
"Aku ingin menjadi temanmu, tak bisa kah kau terima aku menjadi temanmu?" tanya pria itu
mengikuti dibelakangku
aku tak memperdulikannya, aku berlari berusaha menghindar darinya tapi ia tetap mengejarku.

Keesokan harinya anak pria murid baru itu tetap mengikutiku kemanapun aku pergi, dan anehnya
pagi itu tak ada ejekan yang terlontar dari mulut semua murid disini tidak seperti biasanya, "Aku
yang mengencam mereka untuk tidak memperlakukanmu dengan buruk!" tuturnya padaku ketika
aku sedangterduduk sendiri dibangku ruang kelas "Apa maksudmu?" tanyaku tak mengerti
dengan perkataanya
"Aku ingin menjadi temanmu... apa kau benar-benar membenciku ? aku hanya ingin menjadi
temanmu tak lebih!"
"kenapa harus aku?" tanyaku "Dan asal kau tau aku tidak butuh siapapun disekolah ini termasuk
seorang teman!" lanjutku tegas
"Tapi kenapa?" tanyanya
"Apa kau tak mengerti atau memang pura-pura tidak mengerti?" semua orang orang disini tak
ada yang baik satu pun! apa itu yang selalu dilakukan oleh orang-orang kaya terhadap orang
miskin sepertiku?" tanyaku dengan kedua bolamataku menatapnya
"Tidak semua orang seperti itu...." jawabnya
"Tidak?" tanyaku " Apa ada didunia ini orang yang memihak kepada orang miskin sepertiku
?"lanjutku menangis
"Ada!" jawabnya "Akulah orangnya, aku berada dipihakmu. Tak peduli siapa kamu dan siapa
aku ... Yang jelas aku ingin berteman denganmu" Lanjutnya

Aku sejenak terdiam memandang matanya dalam.


"apa kau tidak malu jika berteman denganku?" Tanyaku masih memandang matanya
"Malu? apa maksudmu?" tak peduli siapa kamu dan siapa aku bagiku itu tak penting bukankah
berteman dengan siapapun bisa tanpa harus memandang derajat orang tersebut?" jelasnya

Aku tersenyum padanya, ia pun membalas senyumanku dengan manis.

KETIKA WAKTU TELAH BERLALU

Aku memandangi kamar ini untuk kesekian kalinya. Yang tergambar dalam benakku sangatlah
jelas dan tidak berubah. Aku teringat kenangan-kenangan bersamanya, kenangan yang tak akan
aku lupakan begitu saja. Aku teringat bagaimana ia selalu ada di sampingku saat senang maupun
susah, karena ia selalu mengerti bagaimana membuatku tersenyum.

Aku seperti dihantam sesuatu. Aku tahu, ini menyakitkan, tetapi aku harus kuat sebagaimana ia
berpesan. Ya! Aku tidak akan lagi bertemu dengannya, dihibur olehnya. Bayangan singkat
kehidupanku dengannya kembali tergambar jelas, seperti di depanku terdapat sebuah proyektor
yang menampilkannya.

Bayangan itu membawaku ke saat-saat dimana aku dan dia pertama kali berkenalan saat aku
keliru menaruh barang-barangku di dalam lokernya. Dia tertawa, aku tertawa. Aku menanyakan
namanya dan dia menanyakan namaku. Pada saat kenaikan kelas, kami memasuki kelas yang
sama.

Kami semakin akrab dengan tempat duduk kami yang diatur berdekatan. Baru aku tahu saat itu
bahwa rumahku dan rumahnya hanya berbeda beberapa gang. Ia pun tidak jarang datang ke
rumahku untuk mengerjakan tugas. Aku ingat sekali bagaimana saat itu, kami tidak mengerjakan
tugas melainkan ke taman dan mengukir nama kami berdua pada sebatang pohon. Kami
menambahkan ‘Best Friend Forever’ di bawah nama kami.

Saat lelaki yang sedang kusuka berpacaran dengan perempuan lain, ia menghiburku,
merangkulku dan melontarkan candaan-candaan yang membuatku tertawa. Ia tahu apa yang
kurasakan walaupun aku tidak mengatakannya. Ia bahkan tahu lelaki yang kusuka walaupun aku
tidak pernah menceritakan apapun kepadanya. Ialah yang menjadi alasan mengapa aku dapat
kuat hingga detik ini.

Bayangan itu dengan segera berganti ke saat-saat dimana aku sangat panik karena melupakan
tugas yang harus dikumpulkan keesokan harinya. Aku menelponnya, dengan harapan ia dapat
menenangkanku. Ternyata benar, ia menenangkanku dengan datang ke rumahku dan
membantuku membuat tugas hingga selesai, padahal saat itu hari sudah gelap dan kami
menyelesaikannya tepat pada saat ayam berkokok pertama kali. Di sela-sela mengerjakan tugas,
ia juga sabar mendengarkan cerita-ceritaku tanpa kuberikan kepadanya kesempatan sedikit pun
untuk berbicara.

Aku kembali menyapukan pandanganku dan melihat satu lembar tiket konser Miley Cyrus,
penyanyi luar Indonesia yang paling kami kagumi. Aku mengambilnya dan lagi-lagi pikiranku
dipenuhi oleh bayang-bayang. Saat itu, kami duduk di kelas 2 SMA dan sedang menjalani
ulangan akhir semester I, lalu kami mendapat kabar bahwa Miley Cyrus akan mengadakan
konser di Jakarta. Kami sangat senang sekaligus bingung bagaimana caranya untuk menonton
konser tersebut, karena pastinya kami tidak diizinkan.

Aku ingat sekali bagaimana kami menyusun rencana hingga akhirnya kami mendapatkan
kesepakatan. Kami pun membeli tiket konser tersebut dengan uang hasil tabungan kami. Tetapi
saat hari konser, entah dorongan darimana, aku mengubah rencana dan bersikeras untuk tetap
menjalankan rencana yang kubuat. Ia pun dengan sabar menyetujuinya dan kami menjalankan
rencana yang kubuat.
“Kau mau ke mana?” tanya papaku saat itu.
“Aku mau ke rumah Iva, Pa.”
“Jangan bohong, Ta, tadi waktu papa ke luar, papa lihat Iva dengan tasnya, kelihatannya dia mau
pergi. Papa tahu kau merencanakan sesuatu.”

Begitulah pada akhirnya, karena aku, kami tidak jadi menonton konser Miley. Aku tahu, Iva
sangat marah kepadaku. Aku tahu, ia akan benci sekali padaku dan tidak akan percaya pada kata-
kataku lagi. Atau mungkin, itu hanyalah perkiraanku.

Nyatanya, setelah kejadian itu, ia tidak menyinggung kesalahanku. Ia malah menguatkanku


karena ia tahu bahwa sebenarnya aku sangat ingin menonton konser tersebut.
“Ta, sabar ya! Nanti setelah ulangan akhir ini kita cari-cari konser Miley lagi, sampe ke luar kota
pasti dibolehin kok! Sekalian liburan, sekalian nonton konser.”

Ia sama sekali tidak menyalahkanku. Ia sama sekali tidak mencoba untuk mengguruiku. Aku
sangat bahagia telah mengenalnya.

Tetapi aku tidak menduga, bahwa kata-kata yang ia janjikan padaku tidak akan pernah
ditepatinya. Bukan, bukan karena ia tidak mau, tetapi keadaan telah sepakat untuk menyiksanya.
“Ta, aku harus pergi ke Singapore, aku harus berobat ke sana. Aku sakit, kanker otak.”
“Kamu pasti bercanda…”
“Aku serius. Tetapi, aku akan berusaha untuk kembali ke sini, kok. Aku janji kita bisa ketemu
lagi.”

Sejak kepergiannya, kami rutin bertukar e-mail, sekedar menanyakan kabar hingga bercerita
yang macam-macam. Saat itu sangat menggembirakan, hingga aku menyadari bahwa waktu
sangat berharga. Aku tidak tahu kapan kami akan berpisah. Aku tidak menanyakannya karena
aku tahu, itu semua hanya akan memperburuk keadaan. Biarlah hari demi hari berlalu, dengan
matahari yang masih menerangi bumi. Biarlah jarak mengambil alih, karena aku tahu, semua
akan indah pada waktunya.
“Ta…”

Kudengar seseorang memanggil namaku, seseorang dengan suara bariton yang khas. Mario,
kakak laki-laki Iva yang belakangan menjadi sahabatku, lebih dari sahabatku lebih tepatnya. Ia
sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Ia pun sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri
setelah ia kehilangan Iva.

Aku tahu, di antara kami, orang-orang terdekat Iva, kakak laki-lakinya-lah yang paling
kehilangan, karena ia dan Iva telah bersama sejak kecil. Mario, kakak yang tegar dan selalu
menemani Iva saat ia berobat. Mario, kakak yang setia sampai-sampai ia pindah kuliah ke
Singapore untuk mendampingi Iva dalam menjalani masa kritisnya.

Aku tidak habis pikir, seseorang sebaik Mario harus menjalani cobaan yang begitu berat. Apakah
ketidakadilan di dunia begitu kentalnya sehingga harus menyiksa semua orang yang benar dan
menyenangkan semua orang yang salah? Apakah mungkin balasan untuk semua orang benar
akan diterima setelah mereka mendapatkan kehidupan yang kekal? Kuharap begitu.
“Ta, kangen sama Iva?” kata Mario mencegah pikiranku untuk berkelana terlalu jauh.

Aku hanya tersenyum, mewakili perasaanku sebenarnya.


“Relakan dia, jangan jadikan kepergiannya sebagai beban dalam hidup. Yakinlah, ia sedang
menyiapkan sesuatu yang terbaik di atas sana, bagimu, bagiku, bagi semua orang yang
disayanginya. Ia telah sampai di ujung dunia, Ta. Bila saatnya tiba, kita juga akan sampai di sana
dan kembali bertemu dengannya. Aku yakin, saat sampai di sana, persiapannya telah selesai. Kau
akan menemukan apa yang kau butuhkan, sahabat, keluarga, saudara, dan semuanya abadi,
selamanya.”

Aku kembali tersenyum dan membiarkan diriku dirangkul oleh Mario.


“Kak, aku boleh minta sesuatu?”
“Tentu.”
“Jangan pernah tinggalkan aku, ya…”

Mario tersenyum dan perasaanku tenang seketika. Saat itu juga aku sadar, hidupku dikelilingi
orang-orang yang baik, karunia dari Tuhan. Dalam hati, aku bertekad untuk memulai hidup yang
baru, lembaran pertama dalam sekuel buku yang berjudul kehidupan. Lembaran pada buku
pertama telah terisi sampai lembaran terakhir, dipenuhi tentang kenanganku dengan Iva. Saat ini,
aku siap memulai lembaran baru pada buku yang baru, dan aku sudah tidak sabar, apa yang akan
kuhadapi setelah ini. Aku akan menjalani lembar demi lembar dengan sikap yang baru, Tata
yang telah berubah.
*****

BIBIR SENJA

Aku rindu pada bibir senja, adakah ia kan hadir kembali setelah sekian hari ia tak pernah aku
jumpai. “widia” dialah sahabatku yang biasa ku tulis dalam diariku bibir senja. semenjak
kematian ayahnya gadis imut berambut ikal mayang ini tak jarang membungkam diri, dia lebih
banyak memilih untuk diam dari pada tersenyum.

Sebulan sebelum kematian pak nufus “ayah widia” seperti biasa di saat waktu senja yang
tertuang adalah sajian senyum canda dan tawa segenap sahabat, semua lebih suka widia yang
banyak tersenyum. Tapi kini bibir senja sudahlah tiada lagi. kini widia bukan widia yang dulu,
yang tarian bibirnya mampu menjelmakan suasana terasa seperti di sudut nirwana.

Widia adalah sosok gadis yang berbakti pada orang tua, terpancar aura kepolosan dari tubuhnya
mampu memberi kebeningan pada senja dari bening kedua matanya. Aku tahu apa yang
dirasakan widia, anak semata wayang bu ratni ini masih sedih merasa kehilangan seorang ayah.
Di sinilah aku mulai membuka memori yang dulu. ku pasang pandang kedua mataku pada
perbatasan senja dan malam. dengan perlahan sisa semburan sinar matahari mulai sirna, angin
yang berhembuspun mulai menebar aroma wangi sang malam.

Seiring terbukanya pintu malam terbukalah pintu masa laluluku. dulu aku juga pernah
kehilangan seorang ayah, ketika aku berusia enam tahun, tapi aku tidak seperti widia yang setiap
saat mengisi waktunya hanya dengan melamun. Saat itu rasa kabung melingkar dijiwaku, dan itu
adalah sebuah kesedihan yang ngilu terasa dalam jiwa. Namun semua itu tak lama mengeram
dibenakku, cukup seminggu aku merasa duka semua ku anggap angin lalu. atau mungkin karena
saat itu aku baru berusia tunas hingga semudah itu aku bisa melupakan duka saat itu. sedangkan
widia sekarang beranjak tiga belas tahun, mungkin ia sudah mengerti sungguh betapa berartinya
kehadiran seorang ayah dalam hidupnya.

Tak terasa pandang yang ku pasang sudah di tepian malam. sungguh betapa aku terkejut, ketika
aku baru sadar dari lamunanku ternyata widia ada disampingku.
“melamun yah…” widia menegurku, suaranya lirih tatapannya lurus tak berliuk.
“tumben kamu keluar rumah wid… senja sudahlah beranjak pergi dan kini datang malam…
sepertinya ada yang ingin kau kabarkan padaku…” aku mencoba menebak maksud kedatangan
widia.
“mungkin hari ini adalah terakhir aku bertatap denganmu…” widia berucap, wajahnya berlahan
mulai memerah.
“emang kamu mau kemana…?” tanyaku penasaran.
“tak sengaja tadi siang aku mendengar obrolan bu rina dan bu epi, bahwa burina sedang mencari
anak perempuan untuk bekerja di rumah makan majikannya. disitulah kemudian aku berpikir
panjang, dan akhirnya kebulatan hatiku memutuskan aku saja yang ikut bu rina. lalu aku datangi
burina dan meminta diri ikut bersamanya, burina tanpa berpikir panjang menyetujui
permintaanku”. widia menjelaskan maksudnya. kedua matanya separuh keduh, sepertinya akan
membuncah hujan dari sudut kedua matanya.
“oh… di rumah makan burina yang di jakarta…?” lagi lagi aku mencoba menebak.
“iyah benar…” widia berujar, dengan mata yang berkaca-kaca.
aku jadi ikut terharu melihat yang sebentar lagi akan mengosongkan diri dari ruang cahaya
persahabatan.
“terus bagaimana dengan sekolahmu wid…?” tanyaku
“ya terpaksa aku berhenti. ayahku sudah tiada, ibu sudah tak ada yang membantu cari nafkah
lagi. lagian ibu takan sanggup membiyayaiku sekolah yang masih lama, dua setengah tahun lagi
kan…” widia menjelaskan.

Widia memang anak yang berbakti pada orang tua. dari matanya berlahan meneteskan air mata
ketika ia bercerita tentang ibunya yang malang, bicaranyapun tak jelas karena menahan tangis,
hidungnya yang mungil berujung merah mega. Yang dulu bibir widia adalah tarian senja, kini
berubah menjadi bibir tangisan malam, karena basah oleh air mata malam itu
“ya sudah gak usah bersedih…” aku sedikit menghibur widia.
“aku percaya padamu wid… kau adalah gadis yang berpendirian teguh. semoga kau dapatkan
apa yang kau harapkan, dan mungkin hanya ini yang bisa ku bekali untukmu sebagai sahabat
sedari kecil hingga sekarang dan mungkin hari inilah persahabatan kita terputus… entah berapa
lama akan terputus…” aku menyambung pembicaraan, terus menghibur widia.

Hitam malam semakin pekat merata ke segala angkasa, hanya ada bening di sisi rembulan dan
bintang, udara yang berhembuspun terasa dingin menjilat kulitku.
waktu terus berjalan, hanya tinggal menanti pagi dan widia harus pergi. Selamat menyongsong
hidup yang kau harapkan wid… semoga tuhan memberi terang pada jalan hidupmu…

Anda mungkin juga menyukai