Anda di halaman 1dari 4

Chapter 1 #Aku Dan Hujan

Aku adalah aku, hujan adalah hujan. Tetapi aku ingin seperti hujan tetapi hujan tidak ingin aku
menjadi sepertinya. Hujan bisa membuatku bahagia kapan saja, tetapi aku? Aku hanya bisa
membuat hujan berantakan. Ah sudahlah mungkin aku hanya pantas menjadi penikmatmu, hanya
sebatas penikmat saja.
Aku adalah Witna, Wanita yang sangat menyukai aroma tanah yang tersiram air hujan, wanita
yang menyukai bunyi hujan, wanita yang suka berlama-lama dibalik jendela saat hujan, dan wanita
yang selalu mengharapkan bahwa hujan bisa hadir dikehidupannya.
“Hai Wit, kemarin sore aku mencarimu tapi kata ibu mu kamu pergi. Pergi kemana kau?”. Kata
beni, teman sekelasku. Dia berdarah batak, pantas saja cara berbicaranya sedikit berbeda dengan
cara berbicaraku. “kemarin sore aku pergi ke pantai”. Iya sepulang sekolah aku selalu
menyempatkan waktu untuk pergi ke pantai, hanya untuk bergurau dengan derainya ombak, hanya
untuk berbagi cerita dengan semilir angin, hanya untuk melepas rindu dengan senja, dan menari
bersama rintik hujan. Semua itu aku lakukan sendiri, aku merasa semua lebih berarti, semua lebih
bermakna ketika aku sendiri. Sendiri bukanlah sepi, sendiri bukanlah sedih tetapi sendiri adalah
arti jati diri. Bergurau dengan ombak bukan berarti aku tertawa, berbagi cerita dengan angin bukan
berarti aku teriak, menari dengan hujan bukan berarti aku lari, melepas rindu dengan senja bukan
berarti aku menangis. Tetapi yang aku lakukan adalah berdiri tegak, menatap penuh harap, AKU
PASTI BISA. Hampir tidak ada yang bisa aku lakukan selain menyepi, menyepi dan menyepi.
Aku tidak suka keramaian. Aku lebih suka menyepi, karena dengan menyepi aku bisa menemukan
diriku dan siapa aku sebenarnya. Aku adalah orang yang paling bahagia, bagaimana aku tidak
bahagia? Aku memiliki orang tua yang selalu mendukung apa yang aku mau.
“Witna, bangun ya sudah pagi, saatnya mandi dan sekolah”. Teriakan ibu untuk
membangunkanku. Aku terbangun dengan ekspresi wajah sedikit ketus, karena aku masih
mengantuk. Aku siswi kelas 2 SMA, dimana usiaku baru 17 tahun. Dimana remaja pada umumnya
adalah melakukan perawatan kecantikan, berpacaran dengan teman sebaya, jalan-jalan kesana
kemari. Tapi tidak dengan aku. Aku tidak suka berhias, aku belum pernah berpacaran, dan aku
tidak suka jalan-jalan. Karena aku lebih suka tidur.
“eh anak ayah sudah cantik, ayo berangkat sekolah”. Aku tersenyum bahagia. Dia adalah ayahku,
aku selalu bahagia jika aku selalu didekatnya. Aku merasa bahwa aku adalah anak yang paling
bahagia didunia ini, karena ayah selalu memanjakanku. Ayah tak pernah marah denganku. Dia
jarang berbicara, maksudnya dia suka berbicara hanya seperlunya saja. Tetapi kata-kata yang
selalu keluar dari mulutnya selalu mengandung makna yang besar. Aku beruntung memilik ayah
sepertinya. “oke ayah”. Sepeda motor jadul yang selalu mengantarkan aku sampai gerbang
sekolah. Ayahku bekerja di kantor pemerintahan, tapi ayah tetap saja memakai motor jadulnya,
dan setiap kali disinggung oleh ibu, jawabannya tetap sama yaitu AKU SUDAH TERLANJUR
CINTA DENGAN MOTOR INI.
Sesampainya disekolah aku disambut oleh Beni yang kalo ngomong gak mau berhenti kaya rel
kereta api. “haiyo witna jutek”. Sahutku dengan ekspresi kaget dan jutek. “eh wit, nanti kita
disuruh kumpul dilapangan, Karena ada kakak kelas kita yang mau ikut lomba orasi”. Ekspresiku
kaget penuh tanda Tanya. “terus apa hubungannya sama kita?”. Jawabku dengan sedikit ketus. “ya
kita liatin dia latihan gitu, bagus dong malah wit. Kan jadi gak ada pelajaran”. Jawabnya dengan
ekspresi bahagia dan ketawa. “ih kamu tuh, udah ah itu gurunya udah datang”. Beni memang teman
yang baik, dia selalu kuat mengahadapi aku yang jutek ini. Hehehe jadi sedikit merasa bersalah
deh sama beni.
“oke anak-anak silahkan keluar untuk menyaksikan latihan lomba orasi, yaitu siswa perwakilan
sekolah kita untuk lomba orasi tingkat provinsi. Setelah itu kalian bisa pulang kerumah masing-
masing”. Beni menengok ke arahku sambil tersenyum bahagia, sembari mengepalkan tangannya
dengan ekspresi bahagia sekali, dan aku membalasnya dengan wajah ketus.
“tuh kan apa aku bilang”. Kata beni dengan ekspresi sedikit meremehkanku. Aku dan beni berjalan
menuju lapangan, seketika langkahku terhenti karena aku melupakan sesuatu. “ya ampun ben
Novelku ketinggalan dikelas”. Kataku dengan ekspresi panik. “yaudah sana ambil, aku tunggu
dibawah ya”. Aku lari menuju kelas, dan kulihat buku ku masih tergeletak di atas meja. “ah ini dia
bukunya”. Aku langsung bergegas lari, dan tak sengaja aku menabrak seseorang yang tak lain
adalah kakak kelasku, dan aku tidak mengenalnya. Aneh memang, bagaimana bisa seorang adik
kelas tidak mengenali kakak kelasnya sendiri. “em maaf kak”. Kataku dengan ekspresi sedikit
takut dan terburu-buru. “gak usah buru-buru dek, lagian orangnya juga belum datang kok”.
Ekspresiku bingung ketika mendengar dia berkata seperti itu, dan aku hanya tersenyum kecil
padanya. Dan aku lanjut berjalan menuju lapangan, karena aku merasa aku sudah telat. “dimana
beni?”. Aku yang sedang kempis-kempis dan kebingungan mencari dimana si makhluk astral itu
alias si beni. “hey aku disini”. Aku tengok ke kanan dan ternyata disitu ada beni yang sedang
melambaikan tangan kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menghampiri beni. “lama
banget kau wit”. Ekspresiku kesal dan bergumam dihati memangnya tidak capek apa lari dari kelas
menuju lapangan, belum lagi tadi aku bertabrakan dengan kakak kelas yang rese itu. “oke anak-
anak bisa diam, karena peserta lomba sudah datang”. Aku yang semula sedang duduk langsung
aku berdiri dan aku sangat terekejut karena ternyata orang yang mengikuti lomba orasi adalah
orang yang tadi menabrakku di depan kelas. “ya ampun ganteng banget itu orang”. Kata beni,
orang yang sedikit tidak waras itu. Dan aku masih saja melamun kaget karena tidak menyangka
bahwa dialah peserta lombanya. “eh wit, kenapa bengong? Eh ganteng ya dia”. Ekspresi beni yang
tergila-gila dengan kakak kelas itu. “ih apaan sih ben”.
Tak lama kemudian aku pulang kerumah, dan aku tak pernah memikirkan peristiwa tadi. Anggap
saja itu hanya sebuah kebetulan. Ketika aku sedang didalam angkutan umum, aku berfikir
bagaimana kalau aku ke pantai saja. Mumpung cuaca sedang sedikit mendung, cocok sekali ketika
berkunjung ke pantai. “bang kiri bang”. Kataku kepada supir angkutan umum, dan aku turun
didepan pintu masuk ke pantai. Aku merasa bahagia. Belum lama aku berjalan, turunlah hujan.
Semakin bahagialah aku, aku lari dengan tawa, dengan bahagia dan seakan-akan semua beban
hilang seketika. Aku selalu bahagia ketika hujan, bahkan sampai sekarangpun aku tidak tau apa
alasanku menyukai hujan. Intinya aku bahagia ketika hujan turun.
Hujan mengajarkanku apa arti hidup. Hujan selalu dimaki, belum lagi kalau hujan turun dimalam
minggu, ya sudah hujan akan mendapat cacian dari para remaja. Dan jujur aku paling benci dengan
orang yang suka galau saat hujan, iya galau. Galau karena rindu katanya, rindu dengan kenangan
misalnya.
Maka dari itu aku selalu ingin menjadi hujan. Dia selalu memberi tanpa harus meminta. Hujan
selalu membasahi bumi dan bumi tak perlu memberi kepada hujan, dengan hujan tumbuhan dibumi
akan subur. Semua memang terlihat sederhana, tapi itu semua adalah sebuah bentuk
kehamonisasian antara bumi dan hujan. Bahwa jatuh tak selamanya sakit. Semua itu adalah arti
dari cinta. Cinta tidak rumit, cinta tidak sakit, cinta tidak pernah bohong. Jika semua diniatkan
untuk memberi. Aku memang belum pernah merasakan cinta, tapi aku yakin bahwa cinta itu indah.
Aku nggak perlu pacaran untuk tau cinta itu seperti apa. Karena yang aku tahu adalah berdiri
menatap senja, mencium aroma hujan dan mendengar nyanyian ombak. Dengan semua itu aku
bahagia, dan dengan itu aku bisa merasakan dan tahu apa itu cinta.
“haiyo witna jutek”. Pemilik Suara yang tak asing ku dengar, dia adalah pita. Sahabat ku di SMA
N 26 Jakarta. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa mengerti kejutekanku, satu-satunya orang
yang mampu memahami aku. “Apa sih pit?”. Jawabku dengan sedikit ketus, karena pita baru saja
mengagetkan aku yang sedang membaca novel. “novel mulu sih yang dipegang, kapan pegang
doi?”. Katanya dengan tawa yang terbahak-bahak, dan aku hanya diam dan tersenyum heran. “ehh
witna, cari pacar napa wit, biar hidupmu berwarna”. Kata pita remeh kepadaku, aku yang mulanya
diam saja lama-lama sedikit terganggu. Karena pita selalu saja menggangguku. “apa sih pit? Pacar?
Aku Enggak mau pacaran pit, dari awal kan aku udah bilang. Aku nggak mau pacaran. Udah deh
gak usah rese”. Kataku kesal kepada pita, dan pita malah semakin tertarik untuk membuatku marah
dan kesal. “udah ah aku mau kekelas dulu”. Aku bergegas bangun dan saat itu pula aku menabrak
seseorang, seseorang itu adalah kakak kelasku kemarin yang mengikuti lomba orasi. Tanpa ada
kata, aku langsung lari begitu saja. Dan kulihat kakak kelas ku itu menengok heran kepadaku.
Ketika aku sampai didepan kelas, aku lihat pita sedang bebincang-bincang dengan kakak kelas itu.
Dan tak lama kemudian pita menyusulku ke dalam kelas. “apa yang kamu bicarakan sama kakak
kelas itu?”. Tanyaku kepada pita. “ih kepo”. Ekpresiku kesel ketika mendengar jawaban itu dari
pita. “tadi dia Tanya nama kamu lho wit”. Aku terkejut, aku yang sedang membaca novel tiba-tiba
terkejut dan langsung menutup novel ku. “serius pit? Terus kamu jawab apa?”. Tanyaku kepada
pita. “ya aku jawablah, namanya witna anak kelas 11 IPA 1”. Entah kenapa aku merasa ada yang
berbeda ketika aku mendengar bahwa dia menanyakan siapa namaku, jantungku tiba-tiba berdetak
tak beraturan. “hey kenapa wit? Cinta yaa?”. Tanya pita sambal meledekku. “ih apaan sih pit, udah
ah aku mau pulang”. Aku langsung begegas keluar kelas, entah kenapa tiba-tiba aku tengok kanan
kiri seperti sedang mencari seseorang. Tak tersadar bahwa aku ternyata mencari kakak kelas itu.
Tapi saat aku berjalan sampai pintu gerbang sekolah, aku tak melihatnya dan tak ada tanda-tanda
bahwa aku akan melihatnya. Ya ampun witna apaan sih, inget jangan pacaran. Gumamku dalam
hati.
“hai pulang bareng yuk”. Kudengar suara laki-laki dan aku sudah deg-degan karena aku mengira
pemilik suara itu adalah kakak kelas itu, dan saat aku membalikkan badan, ternyata dia adalah beni
dan pita. “ih kalian ternyata”. Jawabku dengan sedikit kesal. “emang maunya siapa wit? Oh
jangan-jangan kamu lagi nyariin kakak kelas itu yaaa”. Tanya pita sambal meledek. “apan sih
pit?”. Jawabku dengan raut wajah malu, dana saat itu juga aku melihat angkutan umum lewat, dan
aku bergegas memberhentikan angkutan umum dan aku bergegas naik. “aku duluan ya pit, ben”.
Kataku kepada pita dan beni. “iya wit hati-hati ya”. Jawab mereka dengan nada sedikit keras dan
tawa yang lepas.
Aku bersyukur mempunyai sahabat seperti mereka, karena mereka selalu mendukung apa yang
aku lakukan dan apa yang aku suka. Disaat semua orang menjatuhkan aku tetapi mereka tetap saja
menyemangatiku. Disaat semua orang tak mau berteman dengaku mereka tetap saja mau berteman
denganku.
Ditengah perjalanan aku merasakan lelah yang tak karuan, tugas yang menumpuk belum lagi aku
harus membuat rencana yang dibangung oleh OSIS. Rencananya OSIS akan melaksanakan event
di alun-alun kota. Huh rasanya aku ingin tidur sambil di pijit oleh tukang urut yang paling handal
dijakarta.
Sesampainya dirumah aku sudah letih dan memasang wajah yang lelah. “eh anak ibu pulang”.
Sambut ibuku dengan gembira. “lho lho anak ibu kenapa sih kok kayaknya kecapean banget, udah
sana mandi habis itu makan ya, ibu sudah masak banyak buat kamu.” Aku menatap ibu dengan
lemas dan aku langsung bergegas ke kamar dan mandi.
Ketika baru saja aku kelar mandi dan ganti baju, tiba-tiba ibu memanggilku untuk turun kebawah.
Ibu memanggilku untuk makan malam. Dan aku bergegas turun dan keluar dari kamar.
Sesampainya dibawah aku melihat banyak makanan di meja dan aku melihat ayah yang sedang
duduk menungguku. “wah banyak banget makanannya”. Kataku dengan ekspresi terkejut, karena
makanan yang ada dimeja adalah makanan kesukaanku semua. Kami bertiga selalu makan
dirumah, kami sangat jarang makna diluar, selain boros, makan diluar juga tidak bisa ngobrol
sepuasnya. “kata pita kamu lagi deket ya sama kakak kelas kamu?”. Tanya ibu kepadaku dan aku
terkejut sampai-sampai aku tersedak. Dan aku langsung minum air putih yang ada dihadapanku.
“pita bicara apa sama ibu? Aku nggak lagi deket sama siapa-siapa kok bu beneran”. Kulihat
ekspresi ayah dan ibu sedang tersenyum kecil ketika mendengar jawabanku. “kalo beneran deket
juga nggak apa-apa kok wit, wajar aja kan kamu udah remaja”. Jawab ayah yang tersenyum kecil
meledekku. “apaan sih ayah, udah ah aku mau ke kamar dulu. Banyak tugas yang belum selesai”.
Aku langsung bergegas ke kamarku.
Jika dipikir-pikir kakak kelas itu terlihat baik ya walapun tampangnya pas-pas an. Selain itu dia
juga memiliki penampilan yang sederhana. Berbeda dengan teman-temannya yang aku lihat selalu
bersama dia. Dia cukup berprestasi juga, buktinya dia mewakili sekolah untuk lomba orasi tingkat
provinsi. Dan aku terkejut dalam lamunanku “apaan sih wit, kok jadi mikirin dia”. Setelah itu aku
melanjutkan belajarku. Dan saat sudah laarut malam aku pun tertidur.

Anda mungkin juga menyukai