Aku bangkit meraih ransel, lalu pergi dari hadapan mereka. Mengutuk diri sepanjang hari,
mangapa aku tidak bisa melawan perlakuan jahat mereka?.
Ya! Inilah hari hariku. Hari hari yang sangat melelahkan. Diperlakukan tak pantas oleh orang
lain, seakan akan aku ini adalah ‘Sampah yang Lupa Diangkut’. Tak ada alasan mengapa mereka
membenci diriku, yang aku tau sejak bangku SD aku memang sudah menjadi ‘Sasaran’ empuk
mereka untuk melampiaskan seluruh kekuatan seakan mereka yang paling kuat di dunia.
Aku menghela nafas, mengapa hidupku seperti ini?. Tanyaku dalam hati. Sebenarnya aku sudah
tidak tahan dengan semua ini, tapi mau bagaimana lagi? Bahkan orangtua saja tidak peduli. Aku
seperti dibiarkan seorang diri di dunia ini. Tak ada yang peduli, tak ada yang mau menjadi
teman. Aku memang sendirian. Aku percaya, suatu saat aku akan menemukan alasan mengapa
diriku diperlakukan tidak pantas seperti ini. Aku akan menemukannya. Atau jangan jangan tidak
akan pernah?. Aku mengutuk diri, dasar pesimis!.
Suatu hari aku sedang berjalan menuju kelas, berangkat. Sepanjang lorong kelas terdengar bisik
bisik yang menyebut namaku, sesekali diikuti oleh suara tawa. Aku menatap tak mengerti
sekitar, apa ada yang salah denganku?. Ada apa?. Aku semakin tak mengerti. Aku menoleh
kebelakang, tak ada apa apa. Aku melepas tas, dan ternyata ada selembar kertas bertuliskan
‘Permisi!! Sampah Mau Lewat!’. Wajahku memanas membaca kertas itu, siapa yang
menempelkan kertas ini di tasku?. Seketika suara tawa terdengar di seluruh koridor. Mereka
(tentu saja) menertawaiku.
“Hahaha”.
“Beri jalan!! Ada sampah mau lewat!”
“Ngapain sih ada orang kayak dia hidup di dunia ini?!!”
“Dasar gak guna!”
“Sampah!”
“Dasar Bisu!! Gak bisa ngomong!”
Seketika hatiku sakit mendengar cacian mereka, aku bisa menolelir saat dibilang ‘Sampah dan
sebagainya’ tapi untuk ucapan yang terakhir aku sudah tak bisa memaafkannya. Mereka bilang
aku bisu, hatiku teriris. Sangat sakit.
“DIAM!!!” teriak seseorang. Semuanya menoleh menghentikan tawanya, aku juga menoleh.
Siapa dia?.
“Kalian pikir kalian siapa?!! Berani beraninya mengejek orang lain?!!” ucapannya begitu tegas,
begitu penuh percaya diri. Aku tak pernah melihatnya, sepertinya ia anak baru.
“Kalian pikir kalian begitu sempurna?!! Hah!!!” bentaknya yang sempurna menyumpal mulut
mereka.
Bisik bisik mulai terdengar, siapa dia? Siapa dia?.
10 tahun kemudian..
Aku tersenyum menatap penggemarku yang meminta tanda tanganku.
“Ini kak, aku ngefans banget sama kakak.. Novel kakak paling top!” ucapnya yang sepertinya
masih anak sekolahan menyodorkan novel. Aku menandatanganinya. Lalu mengucapkan
terimakasih menggunakan bahasa isyarat. Dia membalas menggunakan bahasa isyarat.
“Apa yang membuat anda menjadi penulis tunawicara pertama dinegeri ini? Bisa ceritakan
detailnya?” tanya seorang host saat aku diwawancara dalam layar kaca.
‘(Yang pasti kita harus punya semangat dan keinginan yang kuat untuk mewujudkan mimpi dan
cita cita kita)’ jawabku.
“Saya yakin, dalam setiap kesuksesan pasti ada cobaan. Apalagi anda seorang tunawicara. Bisa
ceritakan awal awal anda berjuang?” tanya host itu.
‘(Sebelumnya saya ingin mengucapkan banyak terimakasih untuk sahabat saya Evan. Berkat
dirinya saya bisa mewujudkan mimpi saya. Dulu saya adalah sasaran bullying. Berkat dia saya
bisa bangkit dan bisa mengoptimalkan kemampuan saya dalam bidang menulis)’ ucapku lalu
tersenyum berharap kini Evan melihatku di layar kaca.
“Anda adalah sosok yang sangat inspiratif. Setiap karya anda pasti mengandung unsur
kemanusiaan seperti stop bullying dan sebagainya. Apa yang ingin anda katakan untuk orang
yang mengalami masa masa seperti anda?” tanya host itu.
‘(Saya ingin mengatakan pada semua orang yang memiliki keterbatasan untuk jangan menyerah,
tetap bermimpi dan jangan hiraukan perkataan orang yang mencaci. Karena Kamu tidak
sendirian.)’ jawabku lalu diikuti tepuk tangan dari para penonton di studio. Aku tersenyum.
Yap benar.. Aku selalu camkan dalam hati bahwa Aku Tidak Sendirian.