Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar
dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka
sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat.
Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini,
langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku,
kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap
jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu.
”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak,
kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”
Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di
gelasku, beralih kemudian menuangkan poci teh di gelas perempuan di depanku.
Pelayan itu lalu pergi setelah mempersilakan kami menikmati hidangannya.
”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu
SMA!”
Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu
SMP…”
”Itu kamu. Setiap keluarga punya tata tertib yang tidak boleh dilanggar.”
”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya.
Tapi aku tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk
mengatakan sesuatu yang kupikir penting menyangkut dia.”
”Apa?”
”Aku tahu, dan aku tidak sedang ingin merebut apa pun darimu.”
”Tapi kamu seperti sedang menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu
yang baik!”
”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orang tua. Tidak sepertimu.”
Dengan suara menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?”
Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak
kasar. Aku gantian menyulut rokok.
”Risa, aku akan membuka sedikit rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali
saja aku akan menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai
sekarang. Dan mimpi buruk yang paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah.
Kadang aku bermimpi tidak lulus SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.”
Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal
sekolah…”
”Aku tidak suka sekolah, dan aku harus menjalani itu semua. Memakan hampir
sebagian besar waktu yang kumiliki… Aku masih bisa merasakan sampai sekarang,
gedung-gedung kaku itu, lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam,
suara tak tok tak tok sepatu para guru…”
”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini
kehidupan yang gila, aku tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu yang
menyiksaku, yang kelak kemudian tidak berguna.”
”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra yang minggat dari
rumah dan tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu
yang jelas aku tahu…”
”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak
perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku kecil untuk menempeleng
wajahnya. Tapi belum pernah kesampaian.
”Tahukah kamu, kalau sejak kecil kamu selalu menyusahkan orang tua kita?”
Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin
sekali melemparkan benda itu di mulut pedasnya.
Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku
kepada Jendra?”
”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu,
semenjak ia minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin
sering bolos sekolah dan tidak mau lagi mengikuti berbagai kursus!”
Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris
kehilangan kontrol. Untuk meredakan semua yang kurasakan, aku menuang kopi,
menyeruput, dan menyulut lagi sebatang rokok.
Begitu mendengar kesimpulan itu, aku merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir
dengan buruk. Rasa marah sudah benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar,
sebelum keadaan ini bertambah semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang
harus kukatakan berhubungan dengan Jendra kepada Risa.
”Ris, tidak ada hubungannya hal itu dengan obrolan kita hari ini!”
”Ada! Mengambil beban tanggung jawab yang sesederhana itu saja kamu tidak
sanggup, dan kamu ingin menceramahiku soal bagaimana mendidik anak…”
”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang
yang merasa bisa mendidiknya!”
”Itu kesalahanmu…”
”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!”
”Itu menurutmu…”
”Ya jelas menurutku, karena aku lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan
punya tugas untuk memastikan dan menjamin masa depannya!”
”Dia harus belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan
menyelamatkannya dari persaingan di masa depan.”
”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!”
”Kamu merasa lebih baik dan lebih hebat dari Jendra, hah?”
”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan
apa arti anak bagi orang tua. Rif, aku hanya minta, kalau dia datang lagi ke
tempatmu, segera hubungi aku!”
”Ris, aku bawakan hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para
pelajar di kota ini…”
”Aku khawatir kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.
Aku diam.
”Risa…”
Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan.
Tetapi aku sudah terlalu marah. Dan aku juga membayangkan apa yang akan
dikatakan Risa begitu mendengar apa yang seharusnya kukatakan. Ia mungkin
hanya akan tertawa. Ia mungkin hanya akan semakin membuatku marah.
Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita masih menangis si
atas sofa. Ia melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu duduk di sampingnya.
”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepada keluargamu?”
”Kamu yakin?”
Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian
dia keluar, meraih tasnya.
Aku mengangguk.
Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang
ke pemakamannya.”
Beberapa saat kemudian, aku membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto
yang tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai
bersamaku, sebelum keesokan harinya ia pulang kembali ke rumah orang tuanya.
Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang
ingin dilakukannya. Omongan yang seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi
aku terlalu marah, dan takut semakin marah membayangkan apa yang akan
dikatakan Risa begitu mendengar omonganku.
Kini, aku tidak berani membayangkan bagaimana jika yang terjadi sebaliknya,
begitu aku sampaikan apa yang sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku.
Bagaimana jika kemudian Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya
kepada Jendra?