Anda di halaman 1dari 9

Ayah, maaf

Setiap kali melihat wajahnya hanya ada kebencian yang dapat tertangkap didalam
retinaku. Dia yang hadir begitu saja dihadapanku sekarang. telah meriplay kembali kenangan
terpahit didalam hidupku. setelah ia menorehkan luka selama 10 tahun. kini kembali mengorek
luka yang sudah hampir mengering itu. ingin rasanya aku mencakar-cakar wajahnya
melemparkannya kedalam kerumunan anjing-anjing lapar. Namun aku tidak bisa menolak
kehadirannya saat ini dihadapanku. walau hatiku terasa sangat perih, dia yang datang dengan
pesan seorang pria yang telah ia tiduri dan hancurkan rumah tangganya. Membuat perasaanku
betul-betul berkecamuk.

Aku adalah Mey, wanita 25 tahun yang bekerja disebuah supermarket sebagai kasir.
sudah sepuluh tahun aku berusaha melupakan semua kepahitan ini. Namun sampai sekarang
kejadian itu masih sangat jelas terekam diotakku.

Saat itu umurku baru 15 tahun. sudah beberapa minggu sikap Ayah berubah. Dia lebih
dingin, dan lebih pemarah. Hampir setiap hari aku mendapati Ayah dan Ibu bertengkar. Entah
apa yang membuat Ayah berubah seperti itu. dia yang awalnya baik-baik saja berubah 1800 .
walau masalah kecil, mereka tetap saja bertengkar. Mungkin sudah tidak ada kecocokan di
antara mereka, kalimat yang menjadi alasanku saat itu, tapi kenapa baru sekarang..? jika
memang masalahnya adalah ketidak cocokan maka sudah dari dulu mereka bercerai.
Entahlah. aku hanya bisa meng-essai pertanyaan yang tak memiliki jawaban itu. Menutup
telinga didalam kamar berusaha tuli dengan semua pertengkaran mereka. Setiap hari hanya itu
yang bisa aku lakukan

Aku baru pulang dari sekolah. Panas. Menggeruguti seluruh tubuhku. Aku melangkahkan
kaki meraih pintu kulkas, tapi langkahku terhenti saat mendengar jeritan Ibu didalam kamar.
Dengan sisa tenanga aku berlari menghampirinya.

mungkin mereka bertengkar lagi pikirku sebelum menarik ganggang pintu.

Tapi tak ada suara Ayah didalam kamar. Hanya jeritan Ibu yang meronta-ronta digendang
telingaku. Perlahan aku memutar ganggang pintu. kulihat Ibu duduk dilantai memegangi
selembar kertas. Yang tak aku tahu apa isi dan maksud kertas itu. yang jelas sekarang aku
melihat seorang wanita yang telah mempertaruhkan hidup matinya untukku. Menangis, tak
berdaya, dengan mata yang sudah bengkak. Sungguh aku lebih baik mati dari pada harus
melihat Ibu menangis seperti itu. aku mendekap tubuh Ibu yang sudah hampir tumbang.
Memeluknya sangat erat. Membagi kesedihannya.
Seminggu kemudian aku baru tahu. Bahwa, Surat yang ada digenggaman Ibu adalah surat
cerai. Ayah menceraikannya. Ayah ingin memutuskan tali pernikahannya dengan Ibu. Tapi
kenapa..? apa yang membuat Ayah ingin menceraikan Ibu setelah lima belas tahun hidup
bersama..? aku sungguh tak habis pikir.

Dan lagi-lagi pertanyaan itu menguap begitu saja. Ibu ataupun aku sama-sama tak
mengetahui jawabannya kami hanya terdiam didalam kebingungan menerima semua
kenyataannya walau dengan hati yang sangat berat dan sakit.

***

Hey ko ngelamun..? Nyoman membuyarkan lamunanku menanti barang yang tak


kunjung datang.

Supermarket tempatku bekerja terbilang besar. Ada lima meja kasir yang dijagai oleh dua
pegawai. Satu orang untuk menjumlahkan barang dan satu orangnya lagi untuk
memasukkannya kedalam kantung kresek. Dan itulah pekerjaan Nyoman. Memasukkan
belanjaan pelanggan yang sudah aku hitung. Selain sebagai rekan kerja, Nyoman juga adalah
sahabatku. Dia yang memasukkanku bekerja disupermarket ini. kita sudah berteman sejak kecil.
dari dulu dialah yang selalu menjagaku, dia bukan lagi sekedar sahabat tapi dia adalah saudara.
saudara sekandungku.

ngg apa-apako kataku kembali menjumlah sisa belanjaan yang ada dihadapanku.

Antrian hari ini cukup ramai. Aku sudah memberi kode kepada Nyoman untuk lebih gesit
mengatur belanjaan. Seperti biasa dia selalu membalas semua perkataannku dengan sekali
anggukan. Setelah pelanggan pertama sudah membayar, pelanggan kedua langsung
menggantikan posisinya.

Orang itu mulai menaikkan beberapa belanjannya dihadapanku. Aku sungguh terperangah
mlihat wajah pelanggan yang berdiri di hadapanku itu. berkali-kali kukedipkan mata berharap
aku hanya salah lihat. tapi orang itu terus menatap seakan meyakinkan premisku bahwa dia
memang orang yang paling tidak ingin aku lihat sampai aku mati, yang selalu menyapa
pikiranku disaat sedang tak terisi. Tapi aku masih berharap semoga aku salah lihat. Setelah
membayar belanjaannya. Dia memberiku selembar kertas

kamu pasti masih ingat sama saya ada hal penting yang ingin saya bicarakan,
menyangkut Ayah kamu saya tunggu kamu besok dikafe depan super market ini. jam 9 pagi
tanganku terasa bergetar memegangi secarik kertas yang hanya berisikan beberapa kalimat
namun cukup membuatku hancur hanya dalam sedetik.

***
Hari ini aku harus pulang cepat. Karena kemarin aku baru gajian, seperti biasa sehari
setelah gajian Ibu akan membuatkan makanan enak untuk kami santap bersama sebagai makan
malam. tapi pikiranku hari ini tak seperti biasanya. Aku sungguh tidak bisa tenang. pikiranku
terus berputar kesurat yang tadi kubaca.

Ibu sudah lama menungguku dimeja makan dengan hidangan spesialnya. Apalagi kalo
bukan opor ayam dan sambel buatan Ibu. ditambah segaris senyum dibibirnya yang sudah
mulai keriput. Senyum yang dulu sempat pergi entah kemana

ayo duduk.. Ibu sudah masak enak buat kamu, sekarang waktunya kita makan!!! Ibu
menyendokkan nasi kedalam piringku.

makanan ini tak bisa melewati tenggoranku. Pikirannku terus melayang kesurat itu

kamu kenapa nak? tanya Ibu menghentikan makannya, melihatku hanya mengaduk
nasi.

Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata untuk menjawab pertanyannya. Hanya sebuah
senyum yang membalas kekhawatiran beliau.

bu aku kekamar duluan yah mau istrahat capek! kataku meningalkannya yang mulai
memberaskan dan membersihkan piring.

Semua lembaran pahit masa lalu seakan terbuka kembali oleh secarik kertas siang tadi.
Pikiranku tidak berhenti berputar pada kertas itu.

***

Kertas itu masih seetia menempel ditanganku. Aku sungguh tidak tahu apa yang harus aku
lakukan. Jika aku tidak datang, maka aku akan mati penasaran . Tapi kalaupun iya aku harus
pergi menemuinya, apa yang nanti akan aku dapatkan..? aku yang sudah capek-capek kesana
toh ternyata dia hanya ingin memeberitahukan bahwa kini mereka hidup bahagia bersama
anak-anak mereka. Yang ada aku hanya akan menamparnya. Aku tidak bisa memecahkan ini.
tak ada pilihan lain. Aku meraih handphone menekan-nekan beberapa nomor lalu
memanggilnya.

Beberapa saat kemudian seorang pria sudah berdiri didepan rumahku. Nyoman, dia
memandangku penasaran saat membuka pintu. Jarak rumah kami relative dekat. Jadi tidak
membutuhkan waktu lama untuknya segera sampai dirumah.

ada apa sih sebenarnya..? tanyanya duduk dihadapanku.


Aku menyerahkan secarik kertas yang seharian mengangguku. Nyoman muai membaca
kalimat dikertas itu.

itu dari selingkuhan Ayah aku, apa yang harus aku lakukan..? tanyaku menunduk

Nyoman memandangku kalo saran aku sih sebaiknya kamu pergi saja. Siapa tau ajha ada
hal yang sangat penting yang ingin dia beri tahu.! Katanya enteng

tapi berat banget.. liat wajah dia ajha hati aku rasanya sakit banget..!

Setelah menceraikan Ibu. Ayah sudah tidak pernah lagi pulang kerumah. Apalagi menengok
kami. Sejak saat itu pula kondisi Ibu drop. Dia jatuh sakit. Aku akhirnya membawa beliau
kerumah sakit untuk berobat. Tapi saat kami sampai di depan UGD. Seorang pria berlalu
dihadapan kami membuat kesadaran Ibu hilang. Dia berlalu dengan seorang wanita. Tangannya
melingkar mesra dipunggung wanita itu. Rona wajah mereka terlihat sangat bahagia. Mungkin
karena perut wanita itu yang membuncit. Entah sudah berapa lama usia kandungannya dan
kapan mereka menghalalkan hubungan mereka. Yang jelas sebuah jawaban yang sudah
beberapa minggu kucari akhirnya terhampar didepan mataku.

Itulah alasan mengapa Ayah menceraikan Ibu. Dia selingkuh dengan wanita lain. Wanita
yang hampir mendekati usiaku saat itu. langit seakan runtuh menghantamku. kakiku bahkan
tak sanggup lagi terangkat. Sepertinya sebentar lagi aku yang akan dibawa ke UGD.

Ayah.. hanya itu yang bisa keluar dari mulutku mengiringi air mata yang terus berderai
dipipiku.

Mereka berdua menengok kearahku. Namun tidak menghampiriku, mereka bahkan berlalu
begitu saja seolah tidak mengenaliku. Seakan-akan aku adalah orang bodoh yang salah
memanggil orang. Ingin rasanya aku segera pingsan. Tapi aku terus berusaha kuat. Menahan
keseimbangan diriku agar tidak tumbang. Karena Ibu sudah lebih dulu melakukan itu. dengan
bantuan perawat aku membawa Ibu ke UGD. Ibu dirawat seminggu dirumah sakit. Karena stres
dan shock berat yang dialami otaknya. Bagaimana dia tidak shock, dia yang sangat mencintai
Ayah, harus rela melepasnya dan membiarkan kami seperti orang asing baginya. Walau
sebelum bercerai sering terjadi pertengkaran diantara mereka, tapi tidak sedikit kenangan
indah yang tercatat selama limabelas tahun. Dan mengapa dia harus meperlakukan kami
seperti itu, aku adalah darah daginngnya, walaupun dia mencuciku dengan seluruh air di bumi,
darahnya tetap mengalir didarahku.

tapi mey, ngg mungkin kan dia mau repot-repot dari Surabaya ke Makassar kalo bukan
untuk menyampaikan sesuatu yang penting?
iy juga sih, tapi ngg mungkinlah aku mau menemui dia, enak ajha dia dengan suksesnya
menghancurkan keluargaku, saat dia butuh dia dengan seenaknya menemui kami

tapi bener kata Nyoman!

Aku terkejut mendengar suara Ibu yang masuk ketengah perbincanganku dan Nyoman. Hal
yang paling tidak aku harapkan. Entah sudah berapa lama Ibu berdiri disitu. Yang jelas dia sudah
mendengar semua yang tidak ingin aku perdengarkan.

bagaimanapun kamu harus menemuinya, jangan perdulikan apa yang akan kamu dengar
nantinya. lanjutnya

Aku menghambur kepelukan Ibu. Memeluknya sangat erat. Walau sebuah solusi sudah
masuk ketelingaku, tapi batinku masih tetap tak menentu. Sepertinya malam ini akan menjadi
malam yang panjang untuk nalar dan hatiku bertengkar.

Nyoman menggam kedua tanganku aku akan menemani kamu

***

Pagi kembali menyapa, matahari seakan tersenyum lebar melihatku pagi in. tidak seperti
biasa, pagi ini mataku sangat sulit untuk terbka. Bukan karena penafsiraku ternyata betul, tapi
karena yah, hari ini adalah hari yang membuatku mual kemarin.

Ibu memaksaku bangun. Didukung pula oleh kedatangan Nyoman yang sudah ada didepan.
Tak membutuhkan waktu lama untuku selesai berpakaian. Pagi ini aku bebas pergi, karena aku
dan Nyoman sedang Off. seperti yang sudah kukatakan sebelumnya. Alam sangat mendukung
pertemuan hari ini.

Wanita itu tampak duduk dimeja kedua dari pintu. segelas jus alvokad tersedia
dihadapannya. Baju biru bermotif bunga membuatnya tampak sangat cantik, ditambah lagi
senyum yang melengkung diwajahnya yang masih sangat kencang saat melihatku dan Nyoman
berdiri diambang pintu. dengan wajah lusuh, aku duduk dihadapannya.

kamu mau pesan apa..? biar saya pesankan! wanita itu menyapaku dengan suaranya
yang tampak renyah.

Sok akrab, nyebelin banget sih dumelku dalam hati , Ari yang sudah melihat perubahan
diwajahku sejak tadi mencubit tanganku. Dia kembali mengulang pertanyannya

ngg usah basa-basi degh, langsung keintinya saja jawabku


Dia mendehem cukup keras saat mendengar penuturanku barusan. saya tahu pasti kamu
sangat membenci saya, tapi waita itu menggantung ucapannya. Membuatku menyatukan alis
tapi apa bisa kamu memaafkan Ayahmu.. lanjutnya.

maksud kamu..? tanyaku tak mengerti

sudah enam bulan dia sekarat, akibat kecelakaan seminggu lalu, keadaannya makin
droup, dia kembali koma. Selama druop itu dia terus memanggil nama kamu jadi saya pikir
untuk mempertemukan kalian. Mungkin dengan melihat kamu keadaannya bisa membaik..!
butiran air mata mengalir deras membasahi pipinya.

Aku tersentak mendengar penuturannya. Tapi aku dengan cepat menguasai diriku, agar
tidak terlihat lemah dihadapannya.

jadi mau kamu apa..? tanyaku

saya ingin membawa kamu kesurabaya, menemui Ayah kamu katanya lagi.

ngg sampai kapanpun aku ngg mau menemui dia! Biarkan saja dia mati kataku
dengan nada cukup tinggi.

Raut kesedihan tergambar jelas diwajahnya, senyum yang tadi disajikan untukku kini
betul-betul hilang. Dia turun dari kursinya dan duduk tepat didepan kakiku tapi bagaimanapun
dia adalah Ayah kamu, kamu darah daging dia, kamu anaknya? dia menangis sesegukan

anaknya? tanyaku getir kemana saja dia selama ini, sepuluh tahun dia menelentarkan
aku dan Ibu, sepuluh tahun dia menggap kami bagai bagai orang asing, dan sekarang kamu mau
bilang dia adalah Ayahku, tidak. Ayahku sudah mati kataku akhirnya menangis

Aku menarik Nyoman yang sejak tadi tidak bersuara di kursinya ayo kita pulang, aku capek
disini!!! kataku.

tapi mey?? Nyoman menahan tangannya.

ayo!!!! bentakku menghentikan responnya.

***

Aku langsung masuk kedalam kamar, tak memperdulikan pertanyaan-pertanyaan ibu. Aku
tidak ingin, Ibu mengetahu semua ini. Aku takut Ibu malah semakin menderita mendengarnya,
yah sampai detik ini yang aku tahu, Ibu masih sangat mencintainya, foto pernikahan mereka
masih tergantung di dinding kamarnya, aku tidak ingin Ibu kembali menumpahkan air mata
karena dia, cukup aku hari ini.
Ketukan Ibu menghentikan laju kesakitanku yang ku keluarkan di kedalaman bantal. Ibu
menghambur kepelukanku saat melihatku berdiri di ambang pintu, tamui dia nak,
bagaimanapun dia adalah Ayahmu? katanya menangis.

Argh aku menjerit dalam kesal dalam hati, pasti ini ulah Nyoman, kenapa dia
memberitahukan semua itu, padahal aku sudah melarannya. Aku menepis dekapan Ibu. Tidak.

sampai kapanpun dan apapun yang terjdi aku tidak akan pernah mau menemuinya, dia
terlalu kejam untuk di sebut sebagai Ayah, tidak bu, tidak. Sekalpun dia harus mati

kenapa kamu jadi seperti ini, bagaimanapun dia adalah Ayahmu, dan kamu tidak bisa
mengubah kenyataan itu Ibu menelan kesakitan yang tertinggal di lehernya demi Ibu nak,
temui dia, sekali ini saja, Ibu mohon pelas ibu memegang tanganku.

Satu hal yang paling aku benci di dunia ini adalah tatapan memelas Ibu. sorot matanya
kembali seperti saat sepuluh tahun lalu, saat dia terbaring di rumah sakit penuh kesakitan,
keperihan dan tidak berdayaan.

***

Aku berdiri di depan sebuah ruangan, kakiku seperti tergantung besi seribu ton, sangat
berat untuk melangkah. Tapi wanita itu menarikku. Tampak seorang lelaki terbaring di atas
ranjang, badannya di penuhi kabel-kabel yang tidak aku mengerti, di tangannya tergantung
infus, sedang di hidungnya hinggap selang pernafasan. Aku getir melihat tubuhnya yang begitu
kurus, dengan mata yang sudah hampir tenggelam. Wanita itu menatapku dengan Isyarat aku
harus mendekatinya sementara dia berdiri di dekat pintu, tapi kaki ini mengapa masih sangat
berat melangkah.

Tanganku gemetar menyentuhnya, suaraku lenyap. Apa ini? Siapa orang yang terbaring
bagai mayat ini? apa dia Ayah? Lalu kemana badan besar yang selalu di kagumi ibu? aku
meneteskan air mata, tak kuat. Melihatnya.

Mey Mey. Mey Katanya berulang-ulang kali. mengigau

Aku semakin tidak kuat, iya, ini mey, mey ada di sini? kataku, tapi dia masih tidak
berhenti menyebut namaku.

Aku tidak sanggup, ternyata ini tidak semudah yang aku bayangkan. Kondisi Ayah sukses
mencabik-cabik perihku. Di saat bersamaan dia kembali memanggil namaku. Aku tidak kuasa,
aku kembali ke sisinya

iya Ayah ini Mey, Mey ada di dekat Ayah sekarang kataku
Perlahan mata Ayah terbuka. Aku segera menghapus butiran kristal itu dari pipiku. Mey?
katanya terkejut

iya Ayah ini Mey kataku memegang tangannya.

Ayah,,,, Ayah matanya basah seketika Maafkan Ayah nak, maafkan Ayah

Aku membuang muka, mencoba menanam kembali air mata yang nyaris kembali keluar itu
iya, yang penting saat ini Ayah harus sembuh dulu!

tidak nak, maafkan Ayah, Ayah berdosa pada kalian, Ayah jahat telah menelantarkan
kalian, Ayah Ayah sesegukan di ranjangnya Ayah pantas mati di tangan kalian??

ssttt, Ayah dengar, Mey sama Ibu sudah memafkan Ayah, tapi Ayah harus sembuh, Ayah
harus kembali seperti Ayah yang Meli lihat dulu, bukan seperti ini?

Ayah menyeka air mataku yang akhirnya jatuh dengan telunjuknya. Tersenyum Ayah
bahagia mendengar itu nak, tapi Ayah tidak yakin tidak yakin bisa memenuhinya, Ayah sudah
sangat lama di tunggu oleh dia ayah memandang ke atas.

Aku menggeleng. Takut. ngga, Ayah ngga boleh ngomong seperti itu, Ayah harus
bertahan demi anak-anak dan keluarga Ayah. Kataku.

Ayah mengangguk-ngagguk, bisa Ayah memelukmu??? tanyanya

Aku walau sedikit merasa aneh, mendekapnya, dia membelai lembut kepalaku Ayah tidak
menyangka ternyata kamu sudah sebesar ini, kamu tahu nak, kemarin Ayah memimpikan hal
ini, Ayah memeluk wanita muda yang cantik dan ternyata itu adalah kamu, Ayah bahagia sekali,
Ayah pikir ayah tidak akan melihatmu sampai tuhan memanggil Ayah

Aku tidak berkata apa-apa, aku hanya mampu memandang wanita itu yang balik
memandangku dengan mata basahnya. Sebenarnya sudah sejak lama aku merindukan hal ini,
tapi di saat aku memikirkannya bayangan dan tangisan Ibu selalu menjadi kebencian tersendiri
pada sosoknya, dan itu membatku makin berat. Tapi hari ini, aku mampu melakukannya dengan
sangat mudah. Aku bisa mendekap tubuhnya tanpa kebencian, aku melakukannya. Dan aku
bahagia. Aku menikmati setiap sentuhannya di kepalaku, bau badannya yang masih sama. Ahhh
aku seakan flasback ke masa kecilku.

***

Air mataku tumpah lebih banyak lagi, tidak behenti, walau sudah bengkak. Ibu kini sudah
ada di sampingku, menangis. Nyomanpun ikut di sisiku, menahan tubuhku yang hendak jatuh.
Aku sungguh tidak tahu kenapa aku sesedih ini. Dulu di saat aku membayangkan hal ini, pasti
aku akan tersenyum, bahkan aku tertawa, terlebih membayangkan wajah-wajah asing anak-
anak Ayah ikut menangis. Tapi saat ini, detik ini, aku tidak mampu mengukir senyum itu, langit
mendung di bawah pohon sekar memayungi kesakitanku. Aku dan beberapa orang masih
berdiri di sini, di tempat air mata tumpah bagai hujan. Di depan tanah basah yang bertaburan
bunga di atapnya. Aku masih memegangi benda putih yang tertancap di tanah itu. Menangisi
penyesalan yang belum sempat aku ucapkan padanya.

Aku minta maaf, sungguh aku mencintai Ayah, sama seperti dulu. Masih sama.

Makassar, 20 februari 2014

Anda mungkin juga menyukai