Anda di halaman 1dari 4

KEBAHAGIAAN DIATAS IMPIAN

Namaku Yasmin, saat ini aku sedang menempuh pendidikan menengah atas ku di salah satu
sekolah swasta yang ada di kotaku. Aku tinggal bersama adik dan ibuku. Ayahku bekerja di luar kota,
sudah enam bulan lamanya kami tidak bersama-sama.
Farah sibuk dengan mainannya, ibu sedang memasak untuk makan malam kami sementara aku
membaca novel yang baru kubeli kemarin. Ponsel ibuku berdering pertanda ada panggilan yang masuk.
Aku bergegas mengangkatnya karena tidak jauh dari sofa yang aku duduki.
“Halo, selamat malam.” Aku memulai pembicaraan.
“Halo, malam juga. Kak, ini ayah. Ibu dimana?” Balas ayah dibalik ponsel.
Tiba-tiba Farah merebut ponsel ibu dan langsung berbicara dengan ayah. Wajahku langsung
berubah kusam karena kelakuan Farah. Aku langsung memberitahu kepada ibu kalau Farah sedang
berbicara dengan ayah di ponsel. Farah yang memiliki sifat keras kepala tidak ingin memberikan
ponsel kepada Ibu. Satu solusi agar tidak ada yang berebut untuk berbicara dengan ayah adalah
me-loud speaker kan volume ponsel Ibu.
“Ayah kapan pulang?” Tanya Farah sambil menatap layar ponsel Ibu.
“Tugas Ayah di luar kota hampir selesai. Sepertinya lusa ayah bisa pulang.” Jawab ayah meyakinkan
Farah.
“Farah rindu dengan ayah. Bagaimana kalau ayah pulang nanti kita pergi piknik.” Farah berusaha
membujuk ayah.
“Boleh saja, asal kakak dan ibu tidak takut kulitnya kepanasan.” Ayah meledek karena setiap ada acara
piknik aku dan Ibu selalu menentang.
“Ih Ayah. Bukannya Yasmin takut panas, tapi Yasmin takut kulit Yasmin jadi hitam.” Jawabku dengan
bibir manyun.
Suara khas tawa ayah dibalik ponsel karena jawabanku. Lima menit setelah berbincang dengan
ayah Farah mulai bosan dan melanjutkan bermain dengan play doh nya. Aku asik melanjutkan bacaan
novelku. Ibu melanjutkan memasak sambil berbicara dengan ayah di ponsel.
***
Kami menunggu kedatangan ayah di bandara. Farah dan aku bertaruh siapa yang paling cepat
menemukan ayah dia akan dipeluk duluan. Sebenarnya aku sudah tahu kalau Farah yang akan menang,
kalaupun aku duluan yang menemukan ayah dia pasti akan menangis. Benar saja lima menit setelah
kami bertaruh ayah datang. Farah berlari kecil menuju pelukan ayah dan bersikap manja. Setelah Farah
puas melepas rindu dengan ayah, Ibu dan aku tidak kalah ketinggalan memeluk ayah untuk melepas
rindu.
Farah langsung mengajak ayah pergi piknik. Ayah pasti sangat lelah setelah menempuh perjalanan
udara selama beberapa jam, namun kami semua tahu Farah dengan keras kepalanya akan sulit untuk
diberitahu.
Jalanan menuju tempat piknik yang ingin kami tuju sedikit curam. Tidak sedikit, hampir setiap
jalan yang kami lewati berlubang dan curam lebih tepatnya. Hujan tidak lama lagi akan segera turun.
Ayah menambah kecepatan laju mobil yang kami tumpangi. Tepat ditikungan tajam penuh dengan
pohon yang tinggi dan lubang yang lumayan besar hujan mulai turun dengan rintikan yang menutupi
kaca depan mobil. Truk barang dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan yang tinggi.
BAM!
Truk barang dan mobil yang kami tumpangi saling bertabrakan dan menyebabkan mobil kami
rusak parah. Kaca depan mobil kami pecah dan melukai ayah, Farah dan ibu. Kebetulan Farah duduk
dipangkuan ibu disamping kursi penyetir. Aku melihat dengan jelas bagaimana mereka bertiga terluka
parah. Walaupun aku melihat dengan jelas, tabrakan dengan kecepatan tinggi menyebabkan aku
terhantam ke depan dan menyebabkan kulit dibagian dagu ku robek dan tanganku yang mencoba untuk
menahan diri agar tidak terhantam kedepan patah. Beruntungnya aku tidak pingsan dan masih bisa
menahan rasa sakit. Aku berusaha keluar dari mobil. Mobil yang dikemudikan ayah dan truk barang
mengeluarkan asap yang cukup banyak.
Aku merogoh ponsel disaku Ibu dan mencoba untuk menghubungi petugas medis. Sirene
ambulance terdengar dari kejauhan. Dengan cepat petugas medis membawa keluargaku untuk segera
ditangani.
***
Beberapa minggu setelah kejadian tersebut hanya Ibu yang berhasil bangkit dari komanya. Ayah
dan Farah meninggalkan aku dan Ibu. Kesedihan menyelimuti aku dan Ibu selama beberapa bulan. Air
mata pun tidak ingin kalah dengan do’a yang selalu ku panjatkan.
Aku harus segera menyesuaikan diriku agar tidak terlarut-larut dengan kesedihan. Ayah yang
sering berpesan agar aku bisa kuliah di universitas negeri terbaik dan Farah yang selalu mengatakan
ingin dibuatkan taman khusus agar bisa piknik setiap harinya. Dua alasanku bangkit dan tidak
menyerah saat ini memacu diriku agar tetap kuat. Ibu yang selalu mendorong dan menyemangati
menjadi modalku.
***
Ini hari pertamaku sekolah, setelah kecelakaan yang menimpa keluargaku. Aku rindu dengan
teman-temanku yang selalu bercanda ria.
“Yasmin, lo gapapa kan? Syukurlah lo masih selamat.” Tanya Dara. Teman sebangkuku yang hobi
berjualan di sekolah.
“Yasmin, dagu lo dijahit? Berapa lapis? Ratusan kan. HAHAHA” Chika meledek daguku. Aku
mengira ini hanya sebuah candaan, karena setiap hari Chika selalu bercanda denganku. Tapi ini tidak
seperti yang kuduga. Teman-temanku yang lain juga meledek dagu dan tanganku.
Mereka meledekku seperti:
“Itu tangan lo kenapa lemah banget sih. Kayak kayu aja gampang patah.”
“Belagu sih, pake acara pinik segala. Kena adzab lo sekarang kan.”
Jujur, hatiku sakit. Semangat baru yang kurangkai ulang roboh begitu saja dengan perkataan
mereka. Hanya Dara yang menyemangatiku agar aku tidak usah mengambil hati perkataan mereka.
***
Hari ini hujan cukup deras. Dara sudah pulang duluan menaiki bus karena takut dagangannya akan
basah. Aku duduk di halte bus. Bukan untuk menunggu bus tetapi menunggu ibu menjemputku. Aku
menatap hujan yang turun. Anak laki-laki membuka pembicaraan denganku.
“Nunggu bus juga?” Tanyaya sambil memasang mantel untuk tasnya.
“Enggak. Aku nuggu ibu datang.” Jawabku sambil menampung air hujan di tanganku.
“Oh iya, katanya kemarin kamu kecelakaan. Dagumu robek dan tangan kananmu patah ya?”
“Iya. Aku kecelakaan. Kalau boleh jujur, aku enggak suka kalau hal itu dibicarakan. Itu gak bakal
ngerubah masa lalu aku.”
“Oh sorry. Aku gak bermaksud untuk melukai perasaan mu. Oh iya, kita belum kenalan. Kenalin
nama aku Dirga. Kelasku pas disamping kelasmu.”
“Salam kenal, nama aku Yasmin.”
“Yasmin. Nama yang bagus. Kalau besok gak hujan pulang bareng ya. Aku duluan, busnya udah
keliatan tuh. See you Yasmin.”
Sejak hari itu aku, Dirga dan Dara sering pulang sekolah bersama menaiki bus. Dirga seperti
dugaanku. Dia orang yang baik. Dia sering membagikan ceritanya ketika kami menaiki bus. Dia juga
menyemangatiku agar aku tidak usah mendengarkan perkataan teman-temanku yang tidak berguna.
***
Waktu terus bergulir hingga akhirnya ujian masuk PTN dimulai. Kami mantap memilih PTN dan
jurusan sesuai minat dan bakat kami masing-masing. Kami bertiga menyelesaikan ujian dengan baik
dengan hasil memuaskan. Cibiran dan ejekan tidak mematahkan semangatku untuk menepati pesan
ayah. Tinggal satu, taman untuk Farah.
Tidak terasa kami bertiga sudah menjadi mahasiswa tingkat akhir yang harus segera
menyelesaikan skripsi dan mencari pekerjaan. Aku lulus tepat waktu dengan predikat cumlaude,
begitupun Dirga dan Dara.
Kami mengajukan pekerjaan di perusahaan yang sama. Awalnya hanya Dara yang diterima, namun
dengan segala pertimbangan direktur perusahaan, aku dan Dirga pun diterima. Gaji bulananku selalu aku
tabung untuk membangun taman di samping rumah untuk Farah. Dara dan Dirga tidak bosan-bosannya
menyemangatiku. Ibuku saat ini membuka sebuah toko jahit untuk menambah penghasilan.
“Yas, gimana ? tabungan lo udah cukup belum untuk ngebangun taman buat adek lo ?” tanya Dara
sambi menjepit rambutnya
“Sebenarnya udah sih Dar. Tapi, gue takut uangnya belum cukup. Jadi, gue tunggu dua bulan lagi
deh kayaknya.”
“Lo kalo udah niat jangan setengah-setengah Yas. Udah lama banget adek lo minta dibuatin
taman.” Tambah Dirga.
“Iya gue tahu. Nanti kalau beneran kurang gimana? Kan gue juga yang susah. Lebih baik gue
nunggu sebentar biar nantinya gak ada masalah lagi.”
“Tenang Yas. Teman lo ini bakal ngebantuin.” Timpal Dirga bersemangat
“Betul tuh Yas.” Sambung Dara
***
Akhirnya dengan bantuan ibu dan sahabatku taman untuk Farah sudah selesai. Pesan dan
keinginan dari dua orang yang sangat aku sayangi tercapai.
“Yas, kan pesan dari mereka udah tercapai nih. Kedepannya apa lagi yang bakal lo capai?”
Tanya Dirga penasaran.
“Ngebahagian ibu gue sampai akhir usia gue.” Jawabku singkat
“Gimana sih lo Yas. Gak ada keinginan gitu untuk cari pacar? Lo mau jadi perawan tua?” tambah
Dara
“Ya kagak lah. Emangnya dengan kondisi gue yang kayak gini masih ada cowok yang mau sama
gue?”
“Ada kok Yas. Gue.”
Aku dan Dara melongo kearah Dirga. Ucapan Dirga barusan pasti hanya gurauan.
“Gue seriusan Yas. Gue gak bercanda.”
***
Sejak Dirga mengatakan hal itu hubungan antara aku dan dirga sedikit merenggang. Akunya saja
yang menjauh, tidak untuk Dirga. Dia masih sering bercanda denganku dan sering pula mengatakan
perasaannya. Aku masih belum memahami peraasaanku sendiri dan yang sering Dirga katakan.
Lambat tapi pasti, sepertinya aku mulai suka dengan Dirga. Perasaanku memburu ketika Dirga
mengatakan perasaannya kepadaku. Sedikit kekanak-kanakan, tapi itulah yang menimpa perasaanku
saat ini. Dirga, Dara, Ibu dan aku sering menghabiskan waktu di taman Farah. Hingga akhirnya Dirga
memberanikan diri untuk mengatakan kepada Ibuku tentang perasaan yang kami alami berdua. Hanya
butuh sedikit waktu untuk memantapkan perasaanku dan Dirga. Dirga menerimaku dengan segala
kekurangan dan kelebihanku, begitupun denganku. Ketika aku menggapai harapan orang yang aku
sayangi, harapan yang baik lagi menyenangkan datang kepadaku pada saat yang bersamaan.

Ditulis oleh :
Nama : Rahma Hijriyah Island
Kelas : XI MIPA 5

Anda mungkin juga menyukai