Anda di halaman 1dari 7

Pantang Menyerah

Nama: Raden Ayu Miryani

Kelas: XI MIPA 3
Caca adalah seorang remaja yang dilahirkan dari keluarga pemulung yang jauh dari
kecukupan. Semasa kecil Caca sudah ditinggal oleh Papa nya. Sekarang Caca hanya hidup
berdua bersama Mama nya yang kini sedang sakit-sakitan.

Meskipun kondisinya sangat memprihatinkan, namun remaja ini tidak pernah putus asa. Ia tetap
bersemangat menatap masa depannya, hal itu dicerminkan dengan antusiasme dan kegigihan dia
dalam belajar. Caca adalah sosok pelajar yang sangat rajin, dan ia memiliki sebuah impian
menjadi seorang penulis. Walaupun semua orang menganggap impian itu tidak akan pernah
terjadi, tapi ia tetap berusaha untuk menggapai impian nya tidak mengenal rasa putus asa.

***

Pada saat itu aku sedang belajar tentang sebuah impian yang diajarkan oleh Guru Bahasa
Indonesiaku.

Selamat pagi anak-anak! ucap Bu Dinda dengan ceria. Selamat pagi Bu! jawab kami
serentak.

Hari ini kita akan membahas tentang impian. ucap Bu Dinda. Tuliskan apa impian kalian
serta beberapa alasan kenapa kalian ingin menjadi seperti itu pada satu lembar kertas. Mengerti?

Kami semua mengangguk. Satu hal yang muncul dalam pikiranku, yaitu menjadi seorang
penulis. Menjadi seseorang yang akan dikenal banyak orang, yang akan dikenang banyak orang
karena karya-karyanya. Pasti sangat menyenangkan. Lalu aku mulai menulis apa yang sudah di
perintahkan oleh Bu Dinda pada selembar kertas.

Aku ingin menjadi penulis terkenal.

Alasanku menjadi seorang penulis: Pertama, karena menurutku menulis sangat menyenangkan.
Kedua, aku bisa meluapkan perasaanku apapun lewat rangkaian cerita, perasaan yang mungkin
tidak bisa aku ungkapkan pada kebanyakan orang. Ketiga, aku ingin hasil karyaku dijadikan
sebuah buku. Alangkah bahagianya jika aku bisa melihat hasil karyaku berjejer rapi di rak
beberapa toko buku dimana pun. Intinya, menjadi seorang penulis adalah impian terbesar dalam
hidup ku yang harus aku wujudkan. Tidak peduli bagaimana keadaanku sekarang, aku akan terus
berjuang meraihnya.
Cukup. Aku tersenyum puas dan bangga dengan tulisan yang ada di selembaran kertas
ini. Penulis Suatu saat, semua itu pasti akan terwujud. Setelah selesai, aku segera
mengumpulkan kertas itu pada Bu Dinda.

Keesokan harinya, saat Bu Dinda kembali memasuki kelasku, ia membagikan lembaran-


lembaran yang berisi impian itu pada kami semua.

Caca. ucap Bu Dinda.

Dengan senyum yang lebar, aku berjalan menghampiri beliau, dan mengambil selembar
kertas milikku. Tapi, alangkah terkejutnya aku saat melihat sebuah tulisan dengan tinta merah di
bawahnya.

Impianmu terlalu tinggi. Ingat, kamu hanya orang miskin, mana mungkin bisa kamu menjadi
seorang penulis terkenal.

Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku pandangi wajah guru yang sebelum ini
sangat aku hormati. Begitukah beliau? Pantaskah seorang guru merendahkan impian sang murid?
Tidak pantaskah seorang anak miskin sepertiku memiliki cita-cita sebagai seorang penulis?

Sebaiknya kamu ganti saja pola pikirmu. Kamu ada di antara orang-orang yang tidak mampu.
Sekolah saja tanpa biaya, mana bisa membayar mahal untuk menerbitkan buku? ucap Bu Dinda,
yang lagi-lagi merendahkanku.

Dengan penuh emosi, aku memukul meja di hadapanku keras, lalu berjalan ke luar dari
ruangan kelas. Aku tidak butuh guru seperti itu!

Lihat saja, suatu saat nanti, aku akan membuktikan bahwa aku bisa menjadi seorang penulis!
Anak miskin sepertiku akan sukses menjadi penulis terkenal dan aku bisa membuka toko buku
yang isi bukunya karya-karya ku semua!

Aku memang terlahir di antara puluhan, bahkan ratusan manusia yang kurang beruntung.
Tinggal di pinggir sungai, tidak memiliki rumah mewah, tidak punya barang-barang yang bagus,
dan semua serba biasa. Sangat biasa. Beginilah hidup di Ibu Kota. Tidak banyak orang yang
peduli dengan orang-orang sepertiku. Mereka hanya melihatku dengan sebelah mata. Alasannya
karena mereka tidak pernah menjadi aku.
Perjalanan hidup semua orang tak pernah sama. Inilah perjalanan hidup yang harus aku
jalani. Aku hanya perlu berjuang lebih keras lagi, jika ingin cita-citaku tercapai. Aku tidak bisa
seperti mereka, yang dengan santainya meminta uang pada kedua orangtua untuk membeli
barang-barang yang tidak penting, pergi ke sana-kemari dengan supir pribadi, malas bersekolah
karena dia tahu kedua orangtuanya kaya, jadi dia tidak perlu bersusah payah, dan banyak hal lain
yang biasa orang-orang kaya lakukan.

Dan soal perkataan Bu Dinda tadi, Aku berjanji akan membayarnya lunas dengan kerja
kerasku yang akan menjadikan aku seorang penulis. Tidak ada yang boleh mengejekku. Tidak
ada yang boleh merendahkan impianku. Akan aku buat semua orang yang meremehkanku
menyesal telah melakukan itu padaku. Aku berjanji!

***

Sepulang dari menjual barang-barang rongsokan, aku segera pulang dan mulai
menghitung uang hasil penjualan hari ini.

Alhamdulillah, dua puluh lima ribu. Dengan cepat aku pergi menuju Bang Usman, penjual
majalah di dekat rumahku.

Bang, beli majalah terbaru yang ada audisi lomba nulis cerpen. ucapku saat bertemu Bang
Usman di lapaknya.

Tumben cari majalah yang begituan, Ca? tanya Bang Usman.

Iya nih, bang. Aku pengen ikutan lomba cerpen gitu. Siapa tahu aja menang terus beneran jadi
penulis terkenal. jawabku.

Bang Usman pun kemudian mencari-cari majalah yang aku maksud.

Kayaknya ini majalah yang kamu cari, Ca.

Berapa harganya, bang? tanyaku sembari meraih majalah itu.

Tiga puluh ribu, tapi buat Caca sepuluh ribu aja deh.

Serius bang? Iyadeh ini uangnya bang, makasih ya. jawabku sambil meninggalkan Bang
Usman.
Setelah kembali dari lapak Bang Usman berjualan, aku segera membuka-buka majalah
itu. Dan tepat di halaman paling belakang, terdapat pengumuman lomba menulis cerpen tentang
kehidupan. Aku membaca syarat-syarat itu dengan sungguh-sungguh. Setelah mengerti
bagaimana alur ceritanya, aku segera pergi ke tempat internet terdekat untuk membuat cerpen
itu. Maklum saja, aku tidak mempunyai laptop atau komputer yang bisa digunakan untuk
membuat cerpen.

Aku bersumpah, aku akan terus berjuang menjadi seorang penulis!ucapku dalam hati.

***

Lomba membuat cerpen pertama, aku gagal. Di lomba pembuatan cerpen kedua, sama
saja hasilnya aku juga gagal. Tapi kali ini aku tidak patah semangat. Aku terus mencari informasi
lomba. Aku bahkan rela menahan lapar, karena uang hasil penjualan barang-barang rongsokan
itu aku buat untuk pergi ke internet. Tidak masalah, karena aku yakin pengorbananku akan
membuahkan hasil maksimal. Lomba membuat cerpen ketiga dan keempat, semuanya gagal
total. Semangatku mulai hilang, tapi Mama selalu memberiku nasihat-nasihat yang berhasil
memacu semangatku. Di lomba membuat cerpen kelima tentang impian, aku menulis tiap kata
demi kata dengan keyakinan. Tentang impianku yang ingin sekali menjadi seorang penulis.

Satu bulan lamanya aku menunggu pengumuman lomba itu. Dan tidak sia-sia.. Sepulang
dari menjual barang-barang bekas, aku mendapat kiriman surat. Aku berlari menuju kamar
Mama ku.

Selamat, kamu menjadi salah satu pemenang dari lomba menulis cerpen tentang impian. Tulisan
kamu akan dibukukan. Setelah buku itu terbit, kamu akan mendapat keuntungan dari setiap
penjualan. Jika setuju, kami tunggu kehadirannya di kantor kami. Aku membaca surat itu
sembari tersenyum cerah.

Maaa!! teriakku.

Aku menang! Impianku terwujud, ma!

Mama tersenyum terharu, dia maju selangkah dan memelukku erat.

Selamat ya, sayang! Mama bangga sama kamu nak.

Makasih banyak ya, ma. Ini semua juga berkat doa mama.
Ya Allah, terima kasih untuk hadiah terindah ini. Akhirnya aku berhasil membuktikan pada
semua orang, termasuk Bu Dinda bahwa aku bisa menjadi seorang penulis. Perjuanganku selama
ini membuahkan kebahagiaan. Batinku.

Aku membuka amplop berwarna putih yang siang tadi diberikan oleh beberapa orang dari
penerbit.
Lima juta. Desisku pelan.

Baru kali ini aku memegang uang sebanyak ini, Ya Allah. Terima kasih atas segalanya.

Ini bukan mimpi kan, ma? Aku seneng banget.

Ini kenyataan yang selama ini kamu pengen, nak.

Sejak tadi, tak habis-habisnya aku tersenyum. Hari ini, cerpen karyaku resmi dibukukan.
Dan aku harus menghadiri meet and greet di sebuah mall. Ini seperti sebuah mimpi yang selama
ini aku impi-impikan dan akhirnya terwujud. Berkat kerja kerasku, aku berhasil mewujudkan
mimpiku.

Setelah sampai di mall itu, aku segera berjalan menuju lantai tiga bersama Mama ku
menuju toko buku. Setelah sampai di depan toko buku, mendadak aku kaget. Tempat itu
mendadak seperti lautan manusia. Aku menelan ludah dan berjalan pelan menuju beberapa orang
yang aku kenal di atas panggung. Ternyata, puluhan orang itu adalah pembaca yang menyukai
karyaku. Betapa bangganya aku. Aku terus mengumbar senyum. Sungguh, ini benar-benar
menakjubkan.

Impian saya menjadi seorang penulis sangatlah besar. Saya selalu berusaha keras menjual
barang-barang bekas agar bisa pergi ke warnet untuk mengetik. Maklum saja, orang miskin
seperti saya tidak memiliki barang mewah seperti laptop atau komputer.

Mataku menyapu beberapa orang di sisi kiri. Bu Dinda, beliau datang!

Awalnya saya juga tidak yakin, apakah orang kecil seperti saya bisa menjadi seorang penulis
hebat atau tidak. Tapi aku menoleh ke arah Mama.

Mama yang tanpa lelah selalu memberi semangat saya. lanjutku sambil menunjuk Mama. Kini,
semua mata memandangnya.

Tapi, tidak semua orang mendukung saya. Ucapku lagi.


Ada satu orang, yang sampai saat ini ucapannya sangat saya ingat. Ya, beliau tidak yakin bahwa
saya bisa menjadi penulis yang hebat. Mungkin karena keadaan saya yang miskin. Aku
tersenyum ke arah Bu Dinda, beliau menunduk.

Awalnya saya memang marah, saya sakit hati. Tapi nyatanya saya salah. Semua kata-kata itu
justru yang membuat saya seperti ini.

Satu hal yang perlu kalian tahu. Aku kembali tersenyum. Jangan anggap kata-kata yang
menjatuhkanmu benar-benar akan menjatuhkanmu. Justru, kata-kata itu harus kalian anggap
sebagai motivasi. Anggap kata-kata itu sebagai penyemangat. Seperti yang saya lakukan. Air
mata ku mulai menetes.

Terimakasih, Bu Dinda. Berkat kata-kata Ibu saat itu, semangat saya bertambah. Saya selalu
bertekad untuk menjadi seorang penulis. Hingga akhirnya, saya berhasil. Ternyata, impian tinggi
seorang anak pemulung itu benar-benar terwujud, bu.

Semua bertepuk tangan. Ada juga beberapa orang yang menitikkan air mata. Aku bangga.
Aku bersyukur. Ternyata ada hikmah di balik takdir yang aku anggap sebagai mala petaka ini.

Setelah itu, aku mengajak Mama ku ke rumah sakit untuk berobat. Kurang lebih dua
bulan kemudian, puji syukur Mama ku sudah sembuh dari penyakit nya. Seiring berjalannya
waktu, aku juga sudah membuka usaha toko buku sendiri sesuai impian aku pada saat itu yang
semua buku tersebut hasil karya-karya ku sendiri.

Setelah lulus SMA aku melanjutkan kuliah di perguruan tinggi dengan uang hasil kerja
ku sendiri. Aku juga sudah bisa mewujudkan mimpi Mama yang sangat ingin naik haji. Toko
buku milik aku pun kini makin terkenal dan aku sudah membuka cabang-cabang di setiap kota
yang berbeda.

***

Hari demi hari terus berlalu, dan kehidupan Caca semakin membaik bahkan jauh lebih
baik. Hal ini tidak lain adalah karena kerja keras dan pantang menyerah yang dimilikinya
sehingga bisa mengantarkannya pada level kehidupan sosial yang lebih mapan.

Anda mungkin juga menyukai