Hari ini adalah hari Sabtu. Tepatnya Sabtu malam. Arin sedang
menonton televisi bersama Ibu dan Kakaknya, Kak Misha. Ayah datang
secara tiba-tiba. Tadi sih, bilangnya dari rumah temannya.
“Kita akan pergi jalan-jalan. Ayo cepat bersiap-siap,” jelas Ayah dengan
wajah sumringah. “Tapi Ayah, ini kan sudah malam” tolak Ibu. “Ini
masih jam delapan Bu, belum terlalu malam kok, Ayo!” ajak Ayah.
Arin segera berlari menuju kamarnya. Arin memakai jaket warna ungu
muda dan kerudung yang senada dengan jaketnya. Arin juga memakai
sepatu sandal warna putih yang terbuat dari karet. Begitu siap, Arin
segera berlari menuju ke bawah. “Yuk!, Arin sudah siap!” ajaknya. Dan
kemudian.. Brrrrmmm…
“Bu, Bu, Aku mau beli komik ini ya Bu!” rengek Arin. “Yang mana
sih?” tanya Ibu. “Komik Minmie ini Bu, yang warna pink itu lho..”
ucap Arin seraya menunjuk-nunjuk komik Minmie. “Jangan Arin, itu
mahal sekali” bujuk Ibu. “Ibu, itu komik bagus sekali Bu..” rengek
Arin. “Ibu ganti sama boneka deh, tapi yang lebih murah dari harga
komik itu, bagaimana?” tawar Ibu. “Boleh deh. Kalau begitu, Arin mau
beli boneka pikachu ini ya..” Arin mulai ceria. Ibu mengangguk.
Setelah membayar belanjaan, Arin dan keluarganya menuju arena
bermain atau lebih tepatnya timezone yang berada di dalam Mall.
Satu jam kemudian..
“Sudah ya Arin, Ibu sudah capek nih” Ucap Ibu. “Iya bu. Arin juga
capek,” tambah Arin. “Ya sudah. Ayo kita pulang,” ajak Ayah.
“hm.., yummy!, bebek bakar suda datang!” kata Arin. “Arin.. Arin..”
gumam Ibu dan Kak Misha. Setelah menghabiskan makanan dan
membayar, Arin dan keluarganya melanjutkan keliling kota. Mereka
melihat-lihat pemandangan kota pada saat malam hari.
Selesai
Hikayat Ibnu Hasan Syahdan
Zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan bernama Syekh Hasan,
banyak harta dan uang, terkenal disetiap negeri, merupakan orang
terkaya, bertempat tinggal di negeri Baghdad, yang tersohor kemana-
mana sebagai kota paling ramai saat itu.
Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak laki-laki
yang tampan, pendiam dan baik budinya, berusia sekitar tujuh tahun,
Ibnu Hasan namanya. Ibnu Hasan sedang lucu-lucunya, semua orang
senang melihatnya, apalagi orang tuanya. Namun demikian, anak itu
tidak sombong, kalem, walaupun hidupnya dimanjakan, tidak
kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan tidak suka bersolek, karena itu
kedua orang tuanya sangat menyayanginya.
“Apa yang ibu katakana, akan selalu kuingat dan kucatat dalam hati,
doakan aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan yang
salah, pesan ibu akan aku perhatikan siang dan malam.”
Pada suatu hari usai tengah hari, Ibnu Hasan sedang berjalan dan
bertemu dengan seseorang bernama Saleh yang baru pulang dari
sekolah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari mana?”
Pangkat anak pun begitu pula walaupun tidak boleh melebihi orang
tuanya, paling tidak harus sama dengan orang tuanya. Maka yakinlah
sang Kyai dengan keinginan muridnya itu dan mengizinkannya
menjmba ilmu di sekolah.
Misteri Sebuah Gang
Waktu itu sebenarnya adalah hari paling indah dalam hidupku. Dari
pagi sampai menjelang sore tiada hentinya perut ini mendapat makanan
gratis. Teman-temanku banyak yang mentraktirku mulai dari yang
ulang tahun, menang lomba, dan yang diterima cintanya. Dan Juga ada
acara di madrasah waktu itu. Tapi yang paling kenyang sih ditraktir
sama temanku yang diterima cintanya. Mungkin karena itu cinta
pertamanya. Jadi sangat spesial dan dia juga anak orang paling kaya di
kampungku, Jadi waktu dia bilang makan sepuasnya aku juga tidak
segan. Tidak segan- segan untuk makan banyak. Sampai-sampai aku tak
bisa berdiri.
Tapi hal yang tidak diharapkan itu terjadi, hal yang merusak hari paling
indah dalam sejarah hidupku.
Kejadian itu bermula saat aku baru pulang dari madrasah tempatku
sekolah. Sore yang sepi, tenang dan damai. Aku berjalan pulang menuju
ke rumah, kupegangi perut yang sudah penuh ini, laksana orang hamil.
Ketika aku melewati sebuah gang. Timbul pertanyaan di benakku
“kenapa aku gak lewat gang ini saja ya? Kan lebih dekat. Daripada
susah lewat sana jauh, harus memutar lagi jalannya”. Rasa malasku
mendobrak petuah yang diberikan orangtuaku untuk tidak boleh masuk
gang ini. Tidak hanya orangtuaku, orang- orang sekitar pun percaya
bahwa gang ini berhantu. Makanya mereka tidak pernah masuk gang
ini.
“Apa-apaan orang-orang ini, masa takut sama hantu. Takut itu sama
Allah. Kalau beneran takut baca aja ayat kursi kan kelar. Aku ini anak
madrasah tidak takut yang namanya hantu, heuh”. Aku pun berjalan
masuk ke dalam gang sambil mengusap hidung dengan jempol gaya
bruce lee.
“Mana tidak ada apa-apa, sudah kubilang tidak ada yang namanya
hantu” aku pun melanjutkan langkahku, tapi tiba-tiba seperti ada yang
menarik-narik bajuku dari belakang. Pikiranku mulai terbang, perasaan
takut itu mulai merasuk dalam tubuhku. Tapi aku berusaha
menenangkan diri aku berpikir positif. Mungkin itu si Erik temanku
yang paling usil pikirku.
“rik udah gak usah usil gitu gue tau itu elo kan. Elo mau apa? Iya gue
lupa gak bawa kado tadi”
Tapi erik gak menjawab, terus aja dia tarik-tarik bajuku. Sampai
akhirnya bajuku robek. Perasaan marah mulai menguasaiku karena
siapapun yang merusak baju baru dari ibuku ini tiada ampun, termasuk
itu sahabatku sendiri” Rik mau lo apa sih?” sambil menoleh
kebelakang.
Saat aku dalam rasa panik atau dalam ketakutan otakku gak jalan. Aku
berlari tetapi bukan ke depan yang lebih dekat menuju rumah. Aku
malah berbalik dan melompati anjing itu. Aku berlari sekencang
mungkin. Tetapi apalah daya anjing itu lebih cepat dariku. Ketika dia
hampir menangkap kakiku dari belakang, di depanku sudah berdiri ibu-
ibu bersenjatakan galah. Anjing itu pun berbalik dan pulang dan dia
tidak jadi menggigitku. Alhamdulillah.
Anjing itu memang telah hilang seminggu ini, tetapi kalau mau tidur
dia selalu pulang ke rumah. Dan si ibu pun menyarankan pada warga
agar tidak masuk gang ini apalagi ketika hari menjelang malam. Anjing
itu tidak takut siapapun kecuali pemiliknya dan entah siapa yang
menyebarkan gossip gang ini ada hantunya, yang jelas bukan hantu tapi
anjing galak, itu kata pemilik anjing.
”terima kasih bu. Kalau tidak ada ibu saya gimana jadinya”. Aku pun
tidak lupa mengucapkan terimakasih. Aku pun berjalan pulang, dan dari
belakang ada yang menepuk kedua pundakku. “dar” dan ternyata itu
erik. “Wey keren, gaya baru baju lo”. ucap erik meledek
Perasaan senang pun kembali lagi dalam tubuh ini. setelah hujan reda
pasti ada pelangi yang indah, dan itu yang kurasakan kini, oh Tuhan
terima kasih.
Selamat Tinggal
Aku tak pernah iri kepada mereka yang kaya, cantik, atau terkenal. Aku
hanya iri pada mereka yang dikelilingi orang yang mencintai mereka.
Bukan aku yang hanya bisa merasakan kepahitan, pengkhianatan atau
kesendirian. Aku bosan harus berpura-pura bahagia. Atau berpura-pura
seolah aku baik-baik saja.
Aku tak pernah menginginkan uang yang selalu ayah kirimkan, yang
aku mau hanya ayah yang membelai rambutku dan berkata “anakku aku
sangat menyayangimu”, memelukku saat aku ketakutan. Atau
menghiburku jika aku bersedih.
Kau tahu takdir tuhan, kata mereka takdir tuhan sangatlah indah. Aku
percaya itu, mungkin tuhan ingin aku lebih sabar agar aku bahagia.
Atau agar aku bebas dari kehidupan suram ini.
Untuk sekali lagi, aku bersyukur kepada tuhan. Aku bahagia. Ini
kebebasanku. Kita bahagia orang lain menderita. Tentu kau tahu
jawabannya.
Mungkin saat ayah membaca ini aku sudah menyatuh dengan tanah.
Atau, jika ayah beruntung aku masih terbujur di ranjang rumah sakit.
Maafkan aku ayah jika aku tak memberi tahu tentang tumor otakku.
Hanya saja, ayah seakan tak peduli pada hidupku. Bahkan dulu saat aku
terbaring di rumah sakit karena DBD ayah tak menjengukku, jadi untuk
apa aku memberi tahu ayah. Aku bahkan berkata ke dokter Angga
untuk selalu ke makamku saat aku sudah mati. Aku tak yakin ayah bisa
ke makamku dengan kesibukan ayah yang sangat padat. Ayah, aku
ingin sekali kau membelai rambutku sambil mengucapkan bila kau
menyayangiku, aku ingin sekali kau memelukku, menyayangiku
dengan kasih sayangmu bukan uangmu. Semoga bahagia ayah. Selamat
tinggal. Jika tuhan mengamini kita akan bertemu di surga nanti.
Icha-mu
Bisa kulihat air mata ayah yang menetes membentuk bulatan kecil di
atas kertas lusuh yang ayah baca. Sejenak ayah mengusap rambutnya
yang tetap hitam walau usianya yang mulai tua. Lantas ia memeluk
tubuh pucatku, menciumi keningku. Menangis dan berkata ia sangat
menyesali perbuatannya. Untuk pertama kalinya kulihat ayah menangis.
Dan ku tak mampu menghapus tetes tangis yang kian deras tersebut.
Abu Nawas pulang dan membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja.
Namun, dirinya tidak tampak sedih, karena memang dia sangat percaya
pada takdir. Abu yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan
keluar dari kesulitan yang dihadapi. Dengan berpikir, dirinya percaya
bisa memberikan sesuatu pada orang lain yang membutuhkan terutama
orang-orang miskin. Tidak jarang memang Abu Nawas membawa uang
emas hasil pemberian sang Baginda atas kecerdikkannya.
Namun, sudah dua hari ini Abu Nawas belum memperoleh ide untuk
menangkap angin apalagi memenjarakannya. Esok adalah hari terakhir
dan ia hampir putus asa. Abu Nawas sampai tidak mampu tidur karena
memikirkan hal itu. Mungkin sudah takdir, karena sepertinya kali ini
Abu Nawas harus dihukum karena gagal memenjarakan angin. Ia
berjalan lemas menuju istana. Di sela kepasrahannya, dirinya teringat
akan Aladin dan lampu wasiat.
“Bukankah jin itu tidak terlihat?”, gumam Abu Nawas. Ia pun berlari
pulang dengan girangnya. Sesampainya di rumah, secepat mungkin Ia
menyiapkan segala yang diperlukan, kemudian menuju istana. Di pintu
gerbang istana, Abu Nawas dipersilahkan masuk oleh pengawal yang
sudah mengenalnya sejak lama. Apalagi Baginda Raja sudah
menunggunya sejak lama.
Setelah tutup botol dibuka sang Baginda mencium bau kentut yang
amat busuk. “Bau apa ini, hai Abu Nawas?”, Tanya Baginda
Sang Baginda Raja tidak sampai hati untuk marah kepada Abu Nawas.
Hal itu dikarenakan alasan dan penjelasan Abu Nawas yang dinilai
masih masuk akal. Abu Nawas pun tidak jadi dihukum dan selamat.
Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah,
anak dari Hang Mahmud. Mereka tinggal di Sungai Duyung. Pada saat
itu, semua orang di sungai Duyung mendengar kabar Teng Raja Bintan
yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya. Ketika Hang Mahmud
mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang
bernama Dang Merdu, “Ayo kita pergi ke Bintan, negeri yang sungguh
besar, apalagi kita ini adalah orang miskin. Lebih mudah kita mencari
pekerjaan disana.” Lalu pada malam harinya, Hang Mahmud bermimpi
bulan turun dari langit. Cahayanya penuh diatas kepala Hang Tuah.
Hang Mahmud pun terbangun dan mengangkat anaknya serta
menciumnya. Seluruh tubuh Hang Tuah berbau seperti wewangian.
Saing harinya, Mahmud menceritakan mimpinya pada sang istri dan
anaknya. Usai mendengar cerita suaminya, Dang Merdu langsung
memandikan dan melulurkan anaknya. Kemudian ia memberikan
anaknya kain, baju, serta ikat kepala serba putih. Lalu Dang Merdu
member Hang Tuah makan nasi kunyit dan telur ayam. Sang ibu juga
memanggil pemuka agama untuk mendoakan keselamatan Hang Tuah.
Setelah selesai, dipeluknya Hang Tuah. Hang Mahmud berkata kepada
istrinya,” anak ini kita akan menjaganya baik-baik, jangan diberi main
jauh-jauh.” Esok harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu
untuk kebutuhan sehari-hari.
Ibunya berteriak dari atas toko,”Hai anakku cepat lari ke atas toko”.
Hang Tuah tidak mendengarkan kata ibunya. Ia pun langsung berdiri
dan memegang kapak menunggu amarah pemberontak itu.
Pemberontak yang datang ke hadapan Hang Tuah lalu menikamnya
bertubi-tubi. Maka Hang Tuah pun melompat dan mengelak dari
tikaman orang itu.