Anda di halaman 1dari 17

Keliling Kota

Cerpen Karangan : Arifah Kaifah Yasak


Kategori : Cerpen Anak
Lolos moderasi pada : 20 November 2017

Hari ini adalah hari Sabtu. Tepatnya Sabtu malam. Arin sedang
menonton televisi bersama Ibu dan Kakaknya, Kak Misha. Ayah datang
secara tiba-tiba. Tadi sih, bilangnya dari rumah temannya.

“Ada apa Yah?” tanya Kak Misha.

“Kita akan pergi jalan-jalan. Ayo cepat bersiap-siap,” jelas Ayah dengan
wajah sumringah. “Tapi Ayah, ini kan sudah malam” tolak Ibu. “Ini
masih jam delapan Bu, belum terlalu malam kok, Ayo!” ajak Ayah.

Arin segera berlari menuju kamarnya. Arin memakai jaket warna ungu
muda dan kerudung yang senada dengan jaketnya. Arin juga memakai
sepatu sandal warna putih yang terbuat dari karet. Begitu siap, Arin
segera berlari menuju ke bawah. “Yuk!, Arin sudah siap!” ajaknya. Dan
kemudian.. Brrrrmmm…

Pertama, Arin dan keluarganya menuju Mall. Setelah Ayah


memarkirkan mobil, Mereka segera masuk ke dalam Mall. “Brr..,
dingin banget ya,” ujar Kak Misha. Memang dingin saat berada di
dalam Mall, apalagi saat malam hari.

“Bu, Bu, Aku mau beli komik ini ya Bu!” rengek Arin. “Yang mana
sih?” tanya Ibu. “Komik Minmie ini Bu, yang warna pink itu lho..”
ucap Arin seraya menunjuk-nunjuk komik Minmie. “Jangan Arin, itu
mahal sekali” bujuk Ibu. “Ibu, itu komik bagus sekali Bu..” rengek
Arin. “Ibu ganti sama boneka deh, tapi yang lebih murah dari harga
komik itu, bagaimana?” tawar Ibu. “Boleh deh. Kalau begitu, Arin mau
beli boneka pikachu ini ya..” Arin mulai ceria. Ibu mengangguk.
Setelah membayar belanjaan, Arin dan keluarganya menuju arena
bermain atau lebih tepatnya timezone yang berada di dalam Mall.
Satu jam kemudian..

“Sudah ya Arin, Ibu sudah capek nih” Ucap Ibu. “Iya bu. Arin juga
capek,” tambah Arin. “Ya sudah. Ayo kita pulang,” ajak Ayah.

Sebelum pulang, Arin dan keluarganya sempat membeli makanan dulu


dan jalan-jalan sebentar. Mereka membeli bebek bakar di warung tenda
yang ada di pinggir jalan. “Mas, pesan bebek bakar utuh satu, nasinya
empat, terus sama jus jeruknya juga empat” pesan Ibu.

Beberapa saat kemudian..

“hm.., yummy!, bebek bakar suda datang!” kata Arin. “Arin.. Arin..”
gumam Ibu dan Kak Misha. Setelah menghabiskan makanan dan
membayar, Arin dan keluarganya melanjutkan keliling kota. Mereka
melihat-lihat pemandangan kota pada saat malam hari.

Pukul 22.30 mereka baru pulang ke rumah. Sampai di rumah, Arin


langsung kelenger alias ngantuk. Dasar Arin!

Selesai
Hikayat Ibnu Hasan Syahdan

Zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan bernama Syekh Hasan,
banyak harta dan uang, terkenal disetiap negeri, merupakan orang
terkaya, bertempat tinggal di negeri Baghdad, yang tersohor kemana-
mana sebagai kota paling ramai saat itu.

Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi


yang kekurangan, menasehati yang berpikiran sempit, mengingatkan
orang yang bodoh, diajari ilmu, yang baik, walaupun harus
mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak
pengikutnya.

Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak laki-laki
yang tampan, pendiam dan baik budinya, berusia sekitar tujuh tahun,
Ibnu Hasan namanya. Ibnu Hasan sedang lucu-lucunya, semua orang
senang melihatnya, apalagi orang tuanya. Namun demikian, anak itu
tidak sombong, kalem, walaupun hidupnya dimanjakan, tidak
kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan tidak suka bersolek, karena itu
kedua orang tuanya sangat menyayanginya.

Ayahnya berpikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas,


tanpa pertimbangan, bagaimana kalau akhirnya dimurkai Allah Yang
Agung, aku pasti durhaka, tak dapat mendidik anak, mengkaji ilmu
yang bermanfaat.” Dipanggilnya puteranya, anak itu segera mendekati
ayahnya. Diusap-usap putranya sambil dinasihati, bahwa ia harus
mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku, sebenarnya aku kuatir, tapi
pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.

Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan menuju


kemuliaan, jalan kematian pun hamba jalani semua kehendak orang tua,
akan hamba turuti, tidak akan kutolak, siang malam hanya perintah
ayah dan ibu yang hamba nanti. Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan
berangkat ke pesantren, berpisah dengan kedua orang tuanya, hatinya
sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis. Harus berpisah dengan
putranya yang masih kecil, belum cukup usia.

“Kelak, apabila ananda sudah sampai, ke tempat merantau, pandai-


pandailah menjaga diri, karena jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya
hidup, jangan keras kepala, angkuh dan menyombongkan diri, merasa
lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu menghina sesama.
Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan senang karena
dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau
celaka tidak akan diperhatikan, berada di rantau orang kalau judes akan
mendapat kesusahan. Hati-hatilah menjaga diri jangan anggap enteng
segala hal.

“Apa yang ibu katakana, akan selalu kuingat dan kucatat dalam hati,
doakan aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan yang
salah, pesan ibu akan aku perhatikan siang dan malam.”

Singkat cerita, Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya


sejak kecil. Mairin dan Mairun. Mereka berjalan kaki. Sampailah di
pusat kota Mesir.

Pada suatu hari usai tengah hari, Ibnu Hasan sedang berjalan dan
bertemu dengan seseorang bernama Saleh yang baru pulang dari
sekolah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari mana?”

Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan


bertanya lagi,”Sekolah itu apa?”Coba jelaskan padaku.” “Sekolah itu
tempatnya ilmu, tempatnya belajar, berhitung, menulis, membaca,
belajar tata krama, harus sesuai dengan aturan.”

Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang


hatinya dan segera pulang menghadap sang Kyai serta meminta izin
untuk belajar ke sekolah, guna mencari ilmu. Sekarang katakana
padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan?”, Tanya Kyai

Dia berkata demikian bertujuan untuk menguji si murid apakah betul


ingin mencari ilmu atau hanya beralasan suapaya mendapat pujian.
Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin
menjelaskan mengapa hamba bersusah payah, tanpa mengenal lelah
mencari ilmu.

Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak


kekurangan uang. Namun pendapat hamba tidak demikian, akan sangat
memalukan seandainya ayah sudah tiada, semua harta jatuh ke tangan
hamba sementara hamba tidak mampu mengelolanya dengan baik.
Disitulah hamba terlihat semakin bodoh.

Pangkat anak pun begitu pula walaupun tidak boleh melebihi orang
tuanya, paling tidak harus sama dengan orang tuanya. Maka yakinlah
sang Kyai dengan keinginan muridnya itu dan mengizinkannya
menjmba ilmu di sekolah.
Misteri Sebuah Gang

Cerpen Karangan : Kartono Anwar


Kategori : cerpen lucu (humor), cerpen misteri, cerpen remaja
Lolos moderasi pada : 20 November 2017

Waktu itu sebenarnya adalah hari paling indah dalam hidupku. Dari
pagi sampai menjelang sore tiada hentinya perut ini mendapat makanan
gratis. Teman-temanku banyak yang mentraktirku mulai dari yang
ulang tahun, menang lomba, dan yang diterima cintanya. Dan Juga ada
acara di madrasah waktu itu. Tapi yang paling kenyang sih ditraktir
sama temanku yang diterima cintanya. Mungkin karena itu cinta
pertamanya. Jadi sangat spesial dan dia juga anak orang paling kaya di
kampungku, Jadi waktu dia bilang makan sepuasnya aku juga tidak
segan. Tidak segan- segan untuk makan banyak. Sampai-sampai aku tak
bisa berdiri.

Tapi hal yang tidak diharapkan itu terjadi, hal yang merusak hari paling
indah dalam sejarah hidupku.

Kejadian itu bermula saat aku baru pulang dari madrasah tempatku
sekolah. Sore yang sepi, tenang dan damai. Aku berjalan pulang menuju
ke rumah, kupegangi perut yang sudah penuh ini, laksana orang hamil.
Ketika aku melewati sebuah gang. Timbul pertanyaan di benakku
“kenapa aku gak lewat gang ini saja ya? Kan lebih dekat. Daripada
susah lewat sana jauh, harus memutar lagi jalannya”. Rasa malasku
mendobrak petuah yang diberikan orangtuaku untuk tidak boleh masuk
gang ini. Tidak hanya orangtuaku, orang- orang sekitar pun percaya
bahwa gang ini berhantu. Makanya mereka tidak pernah masuk gang
ini.
“Apa-apaan orang-orang ini, masa takut sama hantu. Takut itu sama
Allah. Kalau beneran takut baca aja ayat kursi kan kelar. Aku ini anak
madrasah tidak takut yang namanya hantu, heuh”. Aku pun berjalan
masuk ke dalam gang sambil mengusap hidung dengan jempol gaya
bruce lee.

“Mana tidak ada apa-apa, sudah kubilang tidak ada yang namanya
hantu” aku pun melanjutkan langkahku, tapi tiba-tiba seperti ada yang
menarik-narik bajuku dari belakang. Pikiranku mulai terbang, perasaan
takut itu mulai merasuk dalam tubuhku. Tapi aku berusaha
menenangkan diri aku berpikir positif. Mungkin itu si Erik temanku
yang paling usil pikirku.

“rik udah gak usah usil gitu gue tau itu elo kan. Elo mau apa? Iya gue
lupa gak bawa kado tadi”

Tapi erik gak menjawab, terus aja dia tarik-tarik bajuku. Sampai
akhirnya bajuku robek. Perasaan marah mulai menguasaiku karena
siapapun yang merusak baju baru dari ibuku ini tiada ampun, termasuk
itu sahabatku sendiri” Rik mau lo apa sih?” sambil menoleh
kebelakang.

Dan alangkah terkejutnya aku, ternyata yang menarik-narik baju


kesayanganku sampai merusaknya itu bukan erik. Dan Bukan juga
hantu. Lebih seram dari itu. ANJING GALAK. Yang telah lepas. Yang
memiliki sedikit belang di badannya. Yang selama ini ramai dibicarakan
orang karena sudah ada dua korban akibat keganasannya itu. Sepupuku
dan juga tetanggaku. Tapi sudah seminggu ini tak ada yang melihatnya.
Apa mungkin selama ini dia menungguku di sini. Apakah aku akan jadi
korban yang ke tiga. Berbagai macam pikiran negatif berkecamuk di
dalam benakku.

Saat aku dalam rasa panik atau dalam ketakutan otakku gak jalan. Aku
berlari tetapi bukan ke depan yang lebih dekat menuju rumah. Aku
malah berbalik dan melompati anjing itu. Aku berlari sekencang
mungkin. Tetapi apalah daya anjing itu lebih cepat dariku. Ketika dia
hampir menangkap kakiku dari belakang, di depanku sudah berdiri ibu-
ibu bersenjatakan galah. Anjing itu pun berbalik dan pulang dan dia
tidak jadi menggigitku. Alhamdulillah.

Anjing itu memang telah hilang seminggu ini, tetapi kalau mau tidur
dia selalu pulang ke rumah. Dan si ibu pun menyarankan pada warga
agar tidak masuk gang ini apalagi ketika hari menjelang malam. Anjing
itu tidak takut siapapun kecuali pemiliknya dan entah siapa yang
menyebarkan gossip gang ini ada hantunya, yang jelas bukan hantu tapi
anjing galak, itu kata pemilik anjing.

”terima kasih bu. Kalau tidak ada ibu saya gimana jadinya”. Aku pun
tidak lupa mengucapkan terimakasih. Aku pun berjalan pulang, dan dari
belakang ada yang menepuk kedua pundakku. “dar” dan ternyata itu
erik. “Wey keren, gaya baru baju lo”. ucap erik meledek

“lo tau kan gue dikejar anjing galak” “tahu”


“terus kenapa gak nolongin”
“kalau gue nolongin gue ikut dikejar dong”
“dasar”
“udah, ayo kita main ps di rumah gue”
“ok gue ganti baju dulu ya?” “iya, gue tunggu di rumah”. “iya”

Perasaan senang pun kembali lagi dalam tubuh ini. setelah hujan reda
pasti ada pelangi yang indah, dan itu yang kurasakan kini, oh Tuhan
terima kasih.
Selamat Tinggal

Cerpen Karangan : Sheilah Aktar Naina


Kategori : cerpen keluarga, cerpen penyesalan, cerpen sedih
Lolos moderasi pada : 20 November 2017

Aku tak pernah iri kepada mereka yang kaya, cantik, atau terkenal. Aku
hanya iri pada mereka yang dikelilingi orang yang mencintai mereka.
Bukan aku yang hanya bisa merasakan kepahitan, pengkhianatan atau
kesendirian. Aku bosan harus berpura-pura bahagia. Atau berpura-pura
seolah aku baik-baik saja.

Tak pernah aku merasakan kasih sayang dari orang di sekelilingku,


bahkan sahabat yang aku percaya berkhianat padaku, memanfaatkan
kekayaanku yang bahkan aku tak menginginkannya, memfitnahku,
Atau menjatuhkan harga diriku dengan membuka aibku di mading
sekolah.

Aku tak pernah menginginkan uang yang selalu ayah kirimkan, yang
aku mau hanya ayah yang membelai rambutku dan berkata “anakku aku
sangat menyayangimu”, memelukku saat aku ketakutan. Atau
menghiburku jika aku bersedih.

Kau tahu takdir tuhan, kata mereka takdir tuhan sangatlah indah. Aku
percaya itu, mungkin tuhan ingin aku lebih sabar agar aku bahagia.
Atau agar aku bebas dari kehidupan suram ini.

Kulihat foto masa kecilku yang terpanjang indah di bangku belajar di


pojok kamarku. keluarga yang bahagia, pikirku. Ayah menggendongku
dengan penuh kasih sayang dan ibu yang menggenggam tangan ayah
dengan erat. Bisa kulihat wajah mereka yang bahagia. Tapi kebahagian
itu sirna begitu saja. Ibu meninggalkan kami, menyisahkan ayah yang
mulai tak menyayangiku, tak peduli akan hadirku. baginya uang adalah
kebahagianku, tanpa tahu aku sangat merindukan pelukan ayah yang
mungkin terakhir kali kurasakan saat foto itu diambil. Atau setelah ibu
ditabrak lari saat keluar dari studio foto. Walau dia tak pernah berkata,
tapi tatapan matanya seakan mengisaratkan aku penyebab kematian ibu.
Tatapannya seolah berkata jika aku tak memaksa berfoto maka insiden
itu takkan terjadi. Ayah mungkin terlalu naif untuk mengakui itu sudah
jalan takdir.

Untuk sekali lagi, aku bersyukur kepada tuhan. Aku bahagia. Ini
kebebasanku. Kita bahagia orang lain menderita. Tentu kau tahu
jawabannya.

Kupandang tubuh kakuku yang terbujur di ranjang rumah sakit. Bisa


kulihat ayah menangisiku, pikirku, ini sudah terlambat ayah, aku sudah
pulang. Tak ada yang tahu selain tuhan, dokter Angga, malaikat dan
setan di kamarku bahwa aku menderita tumor otak. Aku tak memberi
tahu ayah, karena aku tahu ayah takkan peduli.

Dokter Angga memberikan kertas berwarna biru yang kuyakini berisi


curahan hatiku untuk ayah. Ayah membuka kertas itu saat dokter Angga
keluar ruang mayat. Aku tahu ia membacanya dalam hati.

Ayah aku sangat menyayangimu.

Mungkin saat ayah membaca ini aku sudah menyatuh dengan tanah.
Atau, jika ayah beruntung aku masih terbujur di ranjang rumah sakit.
Maafkan aku ayah jika aku tak memberi tahu tentang tumor otakku.
Hanya saja, ayah seakan tak peduli pada hidupku. Bahkan dulu saat aku
terbaring di rumah sakit karena DBD ayah tak menjengukku, jadi untuk
apa aku memberi tahu ayah. Aku bahkan berkata ke dokter Angga
untuk selalu ke makamku saat aku sudah mati. Aku tak yakin ayah bisa
ke makamku dengan kesibukan ayah yang sangat padat. Ayah, aku
ingin sekali kau membelai rambutku sambil mengucapkan bila kau
menyayangiku, aku ingin sekali kau memelukku, menyayangiku
dengan kasih sayangmu bukan uangmu. Semoga bahagia ayah. Selamat
tinggal. Jika tuhan mengamini kita akan bertemu di surga nanti.
Icha-mu

Bisa kulihat air mata ayah yang menetes membentuk bulatan kecil di
atas kertas lusuh yang ayah baca. Sejenak ayah mengusap rambutnya
yang tetap hitam walau usianya yang mulai tua. Lantas ia memeluk
tubuh pucatku, menciumi keningku. Menangis dan berkata ia sangat
menyesali perbuatannya. Untuk pertama kalinya kulihat ayah menangis.
Dan ku tak mampu menghapus tetes tangis yang kian deras tersebut.

“Bangunlah chacha sayang, ayah sangat menyayangimu. Anakku aku


sangat menyayangimu”

Ayah menggoyangkan tubuhku dengan kalut. Aku tersenyum sejenak ke


arah ayah walau aku tahu ayah tak melihatnya, aku juga tersenyum
untuk ayah yang memanggil nama masa kecilku. Lalu aku berjalan ke
ujung ruangan yang bercahaya. Aku berkata “selamat tinggal ayah
bukan sampai jumpa lagi seperti yang aku katakan saat aku ingin pergi,
atau saat kau ingin pergi” sekarang aku percaya takdir tuhan. Tuhan
membebaskanku dari kehidupan suramku.
Hikayat abu Nawas

“Botol Ajaib”Tidak ada hentinya, tiada kapok-kapoknya. Sang Baginda


selalu memanggil Abu Nawas untuk dijebak dengan berbagai
pertanyaannya atau tugas yang tidak masuk diakal. Hari ini pun Abu
Nawas juga dipanggil ke istana. Usai tiba di istana, Sang Baginda Raja
menyambutnya dengan sebuah senyuman. “Akhir-akhir ini aku sering
mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan
angin.” Ucap Baginda memulai percakapan.

“Ampun Tuanku, sekiranya apa yang bisa hamba lakukan hingga


Baginda memanggil hamba”, Tanya Abu Nawas.

“Aku hanya ingin engkau menangkap angin yang menyerangku dan


memenjarakannya”. Kata Baginda.
Abu Nawas terdiam. Tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya. Ia tidak
memikirkan cara untuk menangkap angin, namun ia berpikir untuk
membuktikan bahwa tangkapannya adalah benar angin. Angin tidak
bisa dilihat, begitu pikirnya. Tidak ada benda paling aneh dibandingkan
dengan angin. Tidak sama seperti air, yang meskipun tidak berwarna
tetapi masih bisa untuk dilihat wujudnya. Sang Baginda Raja hanya
memberikan waktu selama tiga hari untuk Abu Nawas.

Abu Nawas pulang dan membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja.
Namun, dirinya tidak tampak sedih, karena memang dia sangat percaya
pada takdir. Abu yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan
keluar dari kesulitan yang dihadapi. Dengan berpikir, dirinya percaya
bisa memberikan sesuatu pada orang lain yang membutuhkan terutama
orang-orang miskin. Tidak jarang memang Abu Nawas membawa uang
emas hasil pemberian sang Baginda atas kecerdikkannya.

Namun, sudah dua hari ini Abu Nawas belum memperoleh ide untuk
menangkap angin apalagi memenjarakannya. Esok adalah hari terakhir
dan ia hampir putus asa. Abu Nawas sampai tidak mampu tidur karena
memikirkan hal itu. Mungkin sudah takdir, karena sepertinya kali ini
Abu Nawas harus dihukum karena gagal memenjarakan angin. Ia
berjalan lemas menuju istana. Di sela kepasrahannya, dirinya teringat
akan Aladin dan lampu wasiat.
“Bukankah jin itu tidak terlihat?”, gumam Abu Nawas. Ia pun berlari
pulang dengan girangnya. Sesampainya di rumah, secepat mungkin Ia
menyiapkan segala yang diperlukan, kemudian menuju istana. Di pintu
gerbang istana, Abu Nawas dipersilahkan masuk oleh pengawal yang
sudah mengenalnya sejak lama. Apalagi Baginda Raja sudah
menunggunya sejak lama.

Dengan tergesa Sang Baginda bertanya kepada Abu Nawas, “Sudahkah


kau memenjarakan angin Abu Nawas?”.

“Sudah Baginda, “jawab Abu Nawas dengan lantang. Dengan muka


berseri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Abu Nawas
menyerahkan botol tersebut pada sang Raja. Baginda melihat dan
memperhatikan botol dengan seksama.
“Mana angin itu, hai Abu Nawas?”, Tanya Baginda.
“Di dalam Tuanku Yang Mulia.” “Aku tak tampak apapun”, kata
Baginda lagi.
“Ampun Tuanku, memang angin tidak bisa dilihat, tetapi bila Paduka
ingin tahu angin, tutup botol itu boleh dibuka.” Kata Abu Nawas.

Setelah tutup botol dibuka sang Baginda mencium bau kentut yang
amat busuk. “Bau apa ini, hai Abu Nawas?”, Tanya Baginda

“Ampun Tuanku, hamba tadi buang angin dan memasukan angin ke


dalam botol agar tidak lagi menyerang. Maka hamba memenjarakannya
dalam botol.” Jawab Abu Nawas sambil ketakutan.

Sang Baginda Raja tidak sampai hati untuk marah kepada Abu Nawas.
Hal itu dikarenakan alasan dan penjelasan Abu Nawas yang dinilai
masih masuk akal. Abu Nawas pun tidak jadi dihukum dan selamat.

Hikayat Hang Tuah

Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah,
anak dari Hang Mahmud. Mereka tinggal di Sungai Duyung. Pada saat
itu, semua orang di sungai Duyung mendengar kabar Teng Raja Bintan
yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya. Ketika Hang Mahmud
mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang
bernama Dang Merdu, “Ayo kita pergi ke Bintan, negeri yang sungguh
besar, apalagi kita ini adalah orang miskin. Lebih mudah kita mencari
pekerjaan disana.” Lalu pada malam harinya, Hang Mahmud bermimpi
bulan turun dari langit. Cahayanya penuh diatas kepala Hang Tuah.
Hang Mahmud pun terbangun dan mengangkat anaknya serta
menciumnya. Seluruh tubuh Hang Tuah berbau seperti wewangian.
Saing harinya, Mahmud menceritakan mimpinya pada sang istri dan
anaknya. Usai mendengar cerita suaminya, Dang Merdu langsung
memandikan dan melulurkan anaknya. Kemudian ia memberikan
anaknya kain, baju, serta ikat kepala serba putih. Lalu Dang Merdu
member Hang Tuah makan nasi kunyit dan telur ayam. Sang ibu juga
memanggil pemuka agama untuk mendoakan keselamatan Hang Tuah.
Setelah selesai, dipeluknya Hang Tuah. Hang Mahmud berkata kepada
istrinya,” anak ini kita akan menjaganya baik-baik, jangan diberi main
jauh-jauh.” Esok harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu
untuk kebutuhan sehari-hari.

Datanglah seorang pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak


orang yang terluka bahkan mati karena ulah pemberontak. Pemilik took
meninggalkan tokonya dan melarikan diri menuju kampung.
Gemparlah negeri Bintan tersebut dan terjadi kekacauan dimana-mana.
Ada seseorang yang sedang melarikan diri berkata kepada Hang Tuah.
“Hai Hang Tuah, hendak matikah kau tidak masuk ke kampung?” Maka
kata Hang Tuah sambil membelah kayu, “Negeri ini memiliki prajurit
yang akan membunuh, ia pun akan mati olehnya.”saat ia sedang
berbicara ibunya melihat bahwa pemberontak itu menuju Hang Tuah
sambil menghunuskan kerisnya.

Ibunya berteriak dari atas toko,”Hai anakku cepat lari ke atas toko”.
Hang Tuah tidak mendengarkan kata ibunya. Ia pun langsung berdiri
dan memegang kapak menunggu amarah pemberontak itu.
Pemberontak yang datang ke hadapan Hang Tuah lalu menikamnya
bertubi-tubi. Maka Hang Tuah pun melompat dan mengelak dari
tikaman orang itu.

Hang Tuah mengayunkan kapaknya ke kepala pemberontak, terbelah


kepala pemberontak itu hingga mati. Maka seseorang yang
menyaksikan peristiwa itu berteriak, “Dia akan menjadi perwira besar
di tanah Melayu ini.”

Terdengarlah berita hebat itu ke telinga kawannya, Hang Jebat, Hang


Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekui. Mereka langsung berlari
mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat dan Hang Kesturi bertanya
kepadanya,”Apakah benar engkau membunuh pemberontak dengan
kapak?” Hang Tuah pun tersenyum dan menjawab, “Pemberontak itu
tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan dengan kapak untuk
kayu.”

Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya


sang Hang Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil
oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai
lain yang iri hati pada Hang Tuah. Datanglah mereka pada sang Raja
setelah diskusi usai.

Maka saat Baginda Raja tengah duduk di tahtanya bersama para


bawahannya. Tumenggung beserta beberapa kawannya yang lain
datang sambil berlutut. Mereka menyembah sang Raja, “Hormat
Tuanku, saya mohon ampun dan berkat, ada banyak berita yang sampai
ke telinga saya tentang adanya pengkhianatan. Kabar itu sudah lama
hamba dengar”. “Hai kalian, apa yang sebenarnya kalian
bicarakan?”Tanya sang Raja.

“Hormat Paduka, pegawai saya sebenarnya sungguh tidak berani untuk


menghadap, namun Tuhan berkehendak.” Jawab Tumenggung.
“Hai Tumenggung, katakana saja, kita akan membalasnya,” sahut
Baginda.
Tumenggung pun menjawab,”Hormat Tuanku, mohon ampun, untuk
kemari saja hamba sudah takut, namun hamba akan menceritakannya”.

Usai Baginda mendengar cerita yang keluar dari Tumenggung, maka


Baginda bertanya,”Siapakah orang itu, Hang Tuah?”. “Siapa lagi yang
berani melakukannya selain Hang Tuah?, jawab Tumenggung sambil
bercerita bahwa kala itupegawainya melihat Hang Tuah tengah bersama
seorang gadis di istana yang mereka merencanakan sesuatu untuk
kerajaan. Perempuan itu bernama Dang Setia.

Hamba takut ia akan melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka


hamba datang dengan dikawal untuk mengawasi. Setelah Baginda
mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya merah padam. Lalu ia
bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat.
Maka Hang Tuah tidak lagi pernah terdengar di dalam negeri itu,
namun Hang Tuah tidak pernah mati, karena selain perwira besar, ia
adalah wali Allah. Kabarnya saat ini Hang Tuah berada di puncak dulu
sungai Perak. Disana dirinya duduk menjadi raja dari segala Batak dan
orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu
ditanyakan orang itu dan dia berkata,” Tidakkah tuan ingin mempunyai
istri?”
“Saya tidak ingin mempunyai istri lagi”, jawabnya

Anda mungkin juga menyukai