Anda di halaman 1dari 3

Panjang berjudul Badai yang Reda

Puluhan layang-layang yang berada di atas kepalaku terlihat seperti rangkaian burung
yang sedang bermigrasi. Angin pantai yang berhembus kencang membuat mereka
terbang lebih jauh dan tinggi, tapi tetap di bawah kendali kekangan tali kenur. Aku ingin
seperti layang-layang. Walau beberapa orang yang kukenal mengatakan, hidup seperti
layang-layang tidak sepenuhnya bebas. Sekilas terlihat bebas, tapi sebuah tali tipis
namun kuat mengaturnya.

Tapi aku tetap ingin menjadi layang-layang yang terbang tinggi di langit Pangandaran
yang cerah ini.

Aku melihat sekeliling, pertengahan bulan Juli memang puncak liburan di mana-mana.
Banyak wisatawan asing yang sedang bermain di Pantai Selatan ini. Entah itu bermain
layang-layang atau hanya sekadar duduk-duduk menikmati pemandangan Pantai
Pangandaran yang cerah ini. Aku sendiri sedang duduk di depan kios Uwak Imas yang
berjualan pakaian. Bau amis khas laut (dan juga karena pabrik ikan asin yang tidak jauh
dari tempatku sekarang) sudah menjadi udara sehari-hari yang kuhirup. Sinar matahari
yang terik menyentuh kulitku dengan ganas, tapi aku tetap bertahan duduk di luar kios.
Pasalnya, Uwak Imas tengah sibuk melayani turis asing yang ingin membeli
dagangannya. Aku tidak mau masuk, karena pasti Uwak Imas akan menyuruhku untuk
melayani turis-turis itu, walaupun dia tahu kalau aku hanya bisa “yes” dan “no”.

Ketika aku mengalihkan pandangan dari layang-layang, aku melihat Bapak dan tiga
orang lainnya berada di bibir pantai, bersiap untuk berlayar. Seingatku, Bapak sudah
berlayar tadi malam, dan baru kembali tadi subuh. Kenapa sekarang mereka siap-siap
ingin berlayar lagi? Apa tiba-tiba radar di kapal milik Haji Miun menangkap
segerombolan ikan tuna di tengah laut sana? Eiy … itu pemikiran bodoh! Satu-satunya
alat canggih yang mereka gunakan adalah naluri nelayan mereka yang sudah berpuluh-
puluh tahun lamanya.

Kakiku bergerak ke arah mereka. Angin berhembus sangat keras di telingaku.


Dibesarkan di pesisir pantai membuat aku memiliki ketakutan yang berbeda dari orang
lain. Di saat orang lain ketakutan melihat keluarganya terombang-ambing ombak, aku
merasakan hal yang jauh daripada itu. Aku takut membenci laut. Aku takut jika laut
yang selama ini kuanggap teman, berbalik menjadi musuhku dan melenyapkan segala
yang kucintai.

Bagiku laut adalah rumah, dan rumahku adalah laut.

Saat aku sudah berada dekat dengan bibir pantai, Bapak melambai padaku sambil
tersenyum. Kulitnya hitam karena terbakar matahari, rambutnya sudah memudar—
bukan karena uban tapi karena sering terkena air laut. Bapakku masih terlihat segar,
meski wajahnya sudah dipenuhi keriput. Mata Bapak yang berwarna hitam pekat
tampak bercahaya saat melihatku, seperti air laut yang memantulkan sinar matahari.
Aku selalu suka Bapak yang tersenyum seperti itu, tapi entah kenapa kakiku bergetar
melihat Beliau sekarang.

“Bapak bade ka laut deui (Bapak mau ngelaut lagi)?”


Bapak meletakkan jaring yang baru selesai ia rapikan ke dalam perahu. “Sanes, Jang.
Iyeu Pak Sudir ngajak museup, mempeung cuacana sae (enggak, Jang. Ini Pak Sudir ngajak
mancing, mumpung cerah katanya).”
“Ujang bade ngiring moal (Ujang mau ikut juga)?”

Sejenak aku ragu dengan ajakan Pak Sudir itu. Tidak, bukannya aku takut laut, hanya
saja… seperti ada yang mengganjal di hatiku. Jujur saja, perasaan seperti ini sudah
sangat sering kurasakan—terutama saat melihat Bapak pergi berlayar tengah malam.
Tapi tetap saja aku merasa asing dengan rasa takut ini. Seperti perahu di tengah badai,
di tengah laut.

“Ah… atos wae, atuh maneh jaga kios Uwak bae lah (udah, kamu jagain kios Uwak-mu
sana).”

Aku tidak bisa menjawab kata-kata terakhir Bapak sebelum Beliau naik ke atas perahu
dan berlayar bersama tiga orang pria lainnya. Rasanya… sama seperti melihat Ibu
meninggalkan rumah di hari itu. Umurku saat itu sudah menginjak dua belas tahun,
cukup mengerti tentang situasi macam itu. Dan sejak saat itu aku tidak pernah
menangis lagi untuk Ibu, karena air mata ini tidak cukup untuk membawanya kembali.

Tapi, apakah aku harus menangis hari ini? Untuk membuat perahu yang ditumpangi
Bapak berbalik lagi?

Konyol! Harusnya aku ingat, umurku sudah menginjak tujuh belas tahun.

Aku tidak meninggalkan bibir pantai dan terus menatap perahu Bapak yang sudah tidak
terlihat mata. Sesekali ombak menerpa kakiku. Tidak peduli dengan sinar menyengat
matahari Pantai Selatan dan turis-turis yang masih memadati sisi pantai sebelah sana,
aku tetap duduk di atas bebatuan. Sesekali mataku menangkap keluarga yang asik
bermain air atau hanya duduk-duduk di atas pasir. Aku mungkin sama seperti mereka
jika tidak dibesarkan di laut—menganggap laut sebagai tempat menyenangkan. Tapi
aku tidak bisa tertawa seperti itu, sekalipun aku menganggap laut adalah rumah dan
temanku. Laut menyimpan banyak ketakutan dan kekhawatiran.

Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku dan ombak yang
terus membasahi kakiku. Kumohon… kali ini pun, jaga Bapak.

Hari semakin sore, matahari pun sudah tidak seterik sebelumnya. Meski kekhawatiran
itu masih ada, aku beranjak dari bebatuan dan kembali ke kios Uwak Imas. Begitu aku
sampai di sana, Uwak Imas langsung menyambutku dengan semprotan mulut
bawelnya. Aku hanya nyengir, tidak mau melawan sekaligus menutupi kekhawatiranku.
Aku baru akan merasa lega kalau sudah melihat Bapak kembali.
Karena sudah tidak ada lagi orang bule yang mendatangi kios Uwak, hanya turis
domestik, aku pun mulai membantunya di kios. Aku hampir melempar uang koin lima
ratusan ke wajah pembeli yang baru selesai membayar ini saat suara Uwak Imas tiba-
tiba memekik keras di depan kios. Aku dan pembeli itu pun melihat ke arah luar, dan
kemudian menghampiri Uwak Imas. Ternyata Uwak Imas tidak sendiri, ada Bi Iyah dan
Mang Satya—penjual pakaian lainnya sekaligus tetanggaku—juga.

“Suara naon eta? Saumur hirup nembe ngadangu sora ombak sepertos kitu (suara apa itu?
seumur hidup baru dengar suara ombak seperti itu).”

Ucapan Uwak Imas ditanggapi dua orang lainnya dengan heboh. Aku mengabaikan
mereka dan memilih memandangi pantai dari tempatku. Tadi di kios Uwak suara radio
dipasang keras-keras, jadi aku tidak bisa mendengar jelas suara yang Uwak bilang.
Benarkah suara ombak sekeras itu?

Mataku memicing. Kios ini tidak jauh dari titik keramaian pantai, oleh sebab itu Uwak
tidak pernah sepi pembeli. Keramaian di sana tidak jauh berbeda dari beberapa saat
lalu, saat aku duduk di atas bebatuan. Suara teriakan bahagia terdengar sampai sini.
Namun beberapa detik kemudian, teriakan bahagia itu menjadi pekikkan ketakutan.

“Allahu Akbar! Ombak! Ombak!”

Teriakan itu bersahut-sahutan. Gemuruh yang—mungkin—hanya didengar Uwak Imas,


kini aku bisa mendengarnya juga. Orang-orang berlari ke arah kami. Tidak, lebih
tepatnya menjauh dari bibir pantai ke tempat sejauh mungkin. Tapi aku tidak bisa
bergerak meski keadaan sangat kacau di sekitarku. Suaraku hanya tertahan sampai
tenggorokan, dan mataku hanya bergerak ke atas, mengikuti gerakkan ombak di atas
kepalaku. Telingaku teredam. Seluruh tubuhku bergerak mengikuti alur, terhempas.
Nafasku terasa begitu perih, dan itu menjulur ke semua bagian tubuhku.

“Bapak…”

Dengan sisa kekuatanku, aku berucap pada diri sendiri.

Di dalam kegelapan pandanganku.

Anda mungkin juga menyukai