Anda di halaman 1dari 2

Aku, Kau dan Hujan

Orang bilang, hujan itu membawa lagu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang sedang
rindu. Ada juga yang beranggapan kalau hujan adalah waktu yang pas untuk mengenang masa
lalu.

Hingga sekarang, aku tidak tahu siapa yang pertama kali menyimpulkan hal tersebut. Sebagian
besar memang benar sih. Mungkin karena situasi mendukung; udara yang sedikit lembab, harum
petrichor yang menyeruak ditambah tetesan air hujan yang jatuh bagai keping kenangan yang
berhamburan dan menghipnotis pikiran.

Apapun alasannya, aku tetap suka hujan. Aku suka aromanya, mataku tak bisa lepas menatap
butiran-butiran air yang menyentak dedaunan, menimbulkan suara gemericik yang indah saat
beradu dengan tanah dan atap rumah.

Hujan mengajarkanku banyak hal:


Tentang kenangan.
Harapan.
Dan tentang? seseorang.

Ketika itu, aku sedang duduk di dekat jendela kelas, memperhatikan teman-teman yang asik
main hujan. Saat itulah kau datang menghampiri.
“Hei, Gunung Es.” Sapamu santai.
Aku yang tak ingin diganggu langsung menatapmu jengkel.
‘Just leave me alone!’ Usirku dalam hati.
Tapi kau malah terkikik geli. Tanganmu sigap menarik kursi lalu duduk di hadapanku.

“Enggak terasa masa SMA kita akan berakhir.” Raut wajahmu mendadak berubah sendu, manik
cokelat muda yang biasa bersinar itu meredup seakan kehilangan energi.
“Ya,” jawabku singkat melempar pandangan ke arahmu.
Nih orang kenapa sih?

Kau membalas lewat senyum yang dipaksakan, “itu artinya kamu akan bebas karna aku nggak
akan mengusik lagi.”
Kedua sudut bibirku tertarik ke samping, “baguslah kalo gitu.”

Hari-hari akan kulalui dengan nyaman.


Tidak ada panggilan “Gunung Es” lagi,
Tidak ada ocehan menyebalkan
Tidak ada yang akan menggeser posisiku di peringkat kelas.
Tidak ada lagi? dirimu.

Harusnya aku lega, tapi entah mengapa justru setitik kesedihan yang malah merambat di hati.
Semakin banyak seiring lebatnya hujan di luar sana.
Kau tertawa hambar lalu diam beberapa detik untuk mempertemukan pandangan denganku.

Mulutmu mulai berceloteh lagi, “tau nggak kenapa aku selalu gangguin kamu?”
Aneh, nada bicaramu terdengar sangat serius dan tatapanmu seperti tak sabar menunggu
jawaban.
“Karena aku aneh.” Jawabku asal.
Kepalamu menggeleng mantap, jari telunjuk dan tengah menaikkan frame kacamata yang
menghiasi wajah tampanmu. “Karena aku ingin melihat ekspresimu. Tiap hari, kamu selalu
memasang wajah datar. Jujur saja, aku lebih suka kamu marah atau tersenyum dan tertawa lepas
karena ulahku. Itu membuatmu terlihat jauh lebih ‘hidup’… asik bukan menjalani hidup tanpa
topeng? Jadilah diri sendiri, karena ada seseorang yang selalu menganggapmu berharga,” kau
berkata panjang lebar dengan gaya khas.

Aku tak tahu apakah harus senang atau marah mendengarnya.


Namun ada sesuatu yang tak kumengerti, perkataanmu tetiba membuat dadaku sedikit
menghangat. Dan kehangatan itu akhirnya menular ke kedua pipi tanpa bisa dicegah.
Dapat kulihat wajahmu juga bereaksi sama.

“Mungkin ini terdengar konyol, tapi … boleh aku minta satu hal?” Tanyamu sedikit kikuk.
Sebelah alisku terangkat, “apa itu?” kataku sedikit penasaran sambil terus menekan perasaan
yang tak mampu dijelaskan lewat apapun.

Menyaksikan semburat merah di wajah seorang pemuda adalah pemandangan langka bagiku.
Begitu menenangkan sekaligus mendebarkan seperti halnya aroma hujan.

“Tolong jangan lupakan aku. Dan … bisakah kamu menunggu hingga waktunya tiba?” kau
mengucapkannya tanpa ragu dan sialnya aku tak mendeteksi sinyal kebohongan di bola matamu.
Aku tersedak napas sendiri. Oke, ini membingungkan. Tidak. Tidak. Ini sangat sangat
membingungkan!
Tapi, kenapa?! Kenapa aku malah mengangguk?!
Sh*t! Sh*t! Sh*t!!!! Apa yang kulakukan?!!!!
Aku menggeleng pelan setelah itu menunduk dalam. Berusaha rileks dan berharap semoga
degup jantungku yang makin menggila ini tidak tertangkap indera pendengaranmu.
Aira, sadar! Dia itu musuhmu!
Ya. Musuh yang tak akan pernah bisa kubenci.

Kau tersenyum samar lalu manikmu melirik keluar, “udah reda. Ayo pulang!” katamu seraya
mengambil tas kemudian berjalan pergi.
“Bagas! T-terima kasih banyak,” akhirnya aku angkat bicara setelah mengumpulkan keberanian,
mengabaikan debaran hebat yang kutahan setengah mati.

Langkahmu terhenti tepat di depan pintu. Bayang tubuh jangkung itu begitu kontras kala diterpa
sinar mentari senja.
Kau tidak berbalik, tapi aku tahu kau sedang tesenyum lebar sekarang. Tangan kananmu
terangkat dan membentuk isyarat ‘OK’
Kemudian, suara langkahmu perlahan menjauh. Aku hanya terkekeh sembari meraba pipi.
Panas.

Haha! Lucu rasanya bila mengingat kejadian beberapa tahun silam itu. Momen terakhir kita
berinteraksi. Setelah itu, semua berjalan di dunianya masing-masing. Benar-benar putus kontak.
Hanya lewat sujud panjang dan hujan saja kita saling menyapa.

Sudahlah … yang penting aku sangat menikmati hujan hari ini dan tak henti-hentinya tersenyum
membaca sebuah pesan di ponsel.

“Minggu depan aku akan datang. Bersama rombongan. Tunggu aku ya!”

END

Anda mungkin juga menyukai