Anda di halaman 1dari 12

Jenis Nilai-Nilai Dalam Cerpen

Ketika membaca cerpen, tidak jarang pembaca menjadi tergugah atau


terinspirasi. Hal itu karena cerpen memiliki nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya.

Dengan khas cerpen yang mengandung pesan implisit, sebenarnya


ada nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh penulis melalui sebuah
cerita yang singkat itu.

Beberapa jenis nilai-nilai cerpen adalah sebagai berikut.

1. Nilai Moral

Nilai moral didasarkan pada budi pekerti atau pendidikan moral di


masyarakat. Misalnya, kewajiban mencium tangan kepada orang yang
lebih tua.

2. Nilai Sosial

Nilai sosial didapatkan adalah ketika baik/buruk, benar/salah,


pantas/tidak pantas-nya sesuatu didasarkan pada aturan adat istiadat
masyarakat. Misalnya, wanita tidak lazim jika keluar malam.

3. Nilai Religius/Agama

Nilai religius atau agama didasarkan pada ajaran agama atau hukum-
hukum agama. Berbeda dengan nilai moral yang bersandar dari
aturan masyarakat, dalam nilai religius, aturan agama menjadi dasar
bagi penilaian benar atau salah.

Misalnya, wanita muslim wajib berhijab.

4. Nilai Budaya

Nilai budaya berkaitan dengan kebiasaan masyarakat yang sudah


turun-temurun. Contohnya adalah kebiasaan gotong royong,
musyawarah, dan ronda.

5. Nilai Estetika

Nilai estetika berkaitan dengan keindahan sesuatu yang ada dalam


cerpen. Misalnya adalah pilihan kata yang indah untuk
menggambarkan sesuatu.

6. Nilai Politik

Nilai politik berkaitan dengan pemerintahan dan politik. Biasanya, nilai


politik muncul untuk memberikan kritik terhadap jalannya
pemerintahan atau untuk menyampaikan aspirasi rakyat.

Nilai Agama
Isi yang terkandung dari ajaran dunia dan akhirat yang diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari
Contoh Cerpen Singkat dan Nilai-Nilainya

mencari pekerjaan

Perhatikan contoh cerpen singkat dan nilai-nilainya yang Mamikos


rangkum dari beberapa sumber.

Sudah berbulan-bulan lamanya Randi kebingungan mencari kerja.


Randi sudah memasukkan berkas lamaran ke beberapa perusahaan,
tetapi belum ada jawaban sama sekali.

Tanpa adanya pekerjaan yang jelas, hari-harinya terasa hambar.


Setiap hari, Randi hanya ke sana kemari tidak jelas. Randi
kebingungan, mau mencoba usaha, tetapi modal juga belum ada.

Suatu hari, Randi membuat janji bertemu dengan teman lamanya.


Randi ingin menceritakan permasalahannya itu. Ketika Randi sedang
dalam perjalanan ke rumah temannya, samar-samar Randi melihat
sesuatu di samping jalan, dekat trotoar. Sepertinya, itu adalah
dompet.

Karena penasaran, Randi pun mendekat untuk memastikannya.


Ternyata memang benar sebuah dompet kulit berwarna cokelat.
Tanpa berpikir lama, Randi pun membuka dompet itu.

Randi sangat terkejut mendapati bahwa isi dari dompet yang ia


temukan adalah KTP, kartu ATM, kartu kredit serta sejumlah uang
yang lumayan banyak.

“Wah rejeki nih!” ujarnya dalam hati. Randi ingin mengambil uang
dalam dompet itu.

Akan tetapi, Randi berubah pikiran. Ia berinisiatif untuk mengantarkan


dompet itu ke pemilik dalam KTP tersebut. Jadi, ia membawa dompet
tersebut dan melanjutkan perjalanan ke rumah temannya.

Sesampainya di rumah teman lamanya, Randi pun menceritakan


semua masalah yang ia hadapi. Setelah selesai, Randi langsung
berangkat menuju alamat sesuai KTP dalam dompet yang ia temukan
untuk mengembalikan dompet itu.

Randi mencari-cari alamat serta nama dari pemilik dompet sesuai


dengan KTP. Setelah sampai di alamat yang sama dengan yang
tercantum di KTP, Randi memberanikan diri untuk memencet bel di
depan.

Tidak lama, ada seseorang yang keluar. Kemudian Randi bertanya


pada Ibu itu, “Permisi, Bu, saya mau bertanya. Apa benar ini rumah
Pak Bima?”

“Iya benar, Mas. Maaf, Anda siapa dan ada keperluan apa?” Ibu itu
menjawab dan bertanya kembali.

“Perkenalkan, Bu, saya Randi. Saya kemari ingin bertemu dengan


Pak Bima. Ada urusan yang sangat penting.” jawabnya.

Ternyata, Pak Bima ada di rumah dan Randi diminta untuk masuk ke
dalam rumah. Randi duduk di ruang tamu. Beberapa saat kemudian,
Pak Bima pun muncul.

Randi mengatakan maksud dan tujuannya seraya menyerahkan


dompet yang ia temukan di jalan. Dompet itu masih lengkap dengan
isinya.

Karena penasaran dengan anak muda yang ia temui, Pak Bima


bertanya, “Kamu tinggal di mana, Nak? Juga kerja di mana?”

“Saya tinggal di komplek Sido Makmur, Pak. Kebetulan saya masih


menunggu panggilan kerja tetapi sudah beberapa bulan belum ada
kabar.” jawabnya dengan jujur.

“Memangnya kamu lulusan apa?” tanya Pak Bima kepada Randi.


“S1 jurusan Manajemen Bisnis Syariah, Pak.” jawabnya.
“Bagaimana kalau kamu bekerja di perusahaan saya?” 
“Ini kartu nama saya. Jika tertarik, besok datang saja ke kantor dan
bilang kalo saya yang menyuruh.” lanjut Pak Bima.

“Saya rasa kamu adalah pemuda yang jujur, dan perusahaan saya
membutuhkan karyawan yang jujur dan memiliki dedikasi tinggi
seperti kamu ini. Lihat dompet ini. Kalau kamu mau, pasti sudah kamu
ambil isinya dan buang dompetnya. Tapi, justru kamu kembalikan.”
jelas Pak Bima.

Randi sungguh tidak menyangka akan mendapatkan kesempatan


seperti ini. Ia berterima kasih kepada Pak Bima, dan kemudian
berpamitan untuk menyiapkan kebutuhan besok.

Nilai-Nilai dalam Cerpen

Dalam cerpen tersebut, ditunjukkan tokoh Randi yang sedang


kesulitan mencari pekerjaan. Kemudian, ia menemukan sebuah
dompet. Alih-alih mengambil isinya, Randi justru mengembalikan
dompet tersebut kepada pemiliknya.

Nilai yang terkandung dalam cerpen tersebut adalah nilai moral, yaitu
tetap berbuat jujur meskipun tidak ada seorang pun yang melihat atau
walaupun sedang dalam kesulitan sekalipun.

Dengan kejujuran tokoh tersebut, akhirnya ia justru memperoleh


keberuntungan.
Hikayat Enam Ekor Lembu yang Pintar Bicara

Kisah ini menceritakan tentang contoh cerita hikayat singkat Abu


Nawas. Di suatu pagi hari yang cerah, Sultan Harun al-Rasyid
memanggil Abu Nawas untuk datang ke Istana.

Sultan Harun ingin menguji kecerdasan Abu Nawas. Setelah sampai


di hadapan Sultan, Abu Nawas memberikan penghormatan.

Sultan berucap, “Wahai, Abu Nawas, aku menghendaki enam lembu


dengan jenggot yang pandai berbicara. Bisakah kau
mendatangkannya dalam kurun waktu seminggu?”

Jika gagal, maka aku akan memenggal lehermu.

“Baik, tuanku Syah Alam. Hamba akan menjunjung tinggi titah


tuanku.” Seluruh punggawa istana pun berkata dalam hati, “Mampus
kau Abu Nawas!”

Abu Nawas memohon untuk undur diri dan pulang ke rumah. Begitu
sampai di kediamannya, Abu Nawas duduk terdiam diri dan
merenungkan kehendak sang Sultan.

Satu hari ia tidak ke luar rumah hingga membuat para tetangga


bertanya-tanya. Ia baru saja ke luar rumah usai seminggu kemudian.
Tepatnya sesuai dengan batas waktu yang diberikan oleh Sultan
Harun yang sudah tiba di depan mata. Abu Nawas segera pergi ke
istana, lalu berkata, “Wahai orang-orang muda, hari apakah hari ini?”

Orang yang berhasil menjawab benar akan dilepaskan, tapi orang


yang menjawab salah akan ditahannya. Rupanya, tidak ada
seseorang yang berhasil menjawab dengan benar.

Tidak heran jika Abu Nawas menjadi marah-marah kepadanya. 

“Menjawab begitu saja kalian tidak bisa. Jikalau begitu, marilah kita
menghadap ke Sultan Harun Al-Rasyid untuk mencari jawaban yang
sesungguhnya.”

Esok hari kemudian, balairung istana Baghdad dipenuhi dengan


warga yang ingin mengetahui kesanggupan Abu Nawas yang
membawa enam ekor lembu yang berjenggot.

Ketika tiba di hadapan Sultan Harun, ia pun melakukan sembah dan


duduk dengan penuh khidmat.

Lalu, Sultan berkata, “Hai Abu Nawas, di mana lembu yang memiliki
jenggot dan lihai berbicara itu?”. 

Tanpa banyak berucap, Abu Nawas menunjuk keenam orang yang


datang
bersamanya itu, “Inilah mereka, wahai tuanku Syah Alam.”
“Gerangan apakah yang hendak engkau tampakkan kepadaku, Wahai
Abu Nawas?”

“Tuanku, silakan untuk menanyakan kepada lembu-lembu ini tentang


hari saat ini,” tutur Abu Nawas.

Saat Sultan Harun bertanya, rupanya orang-orang yang hadir di


balairung memberikan jawaban yang berbeda-beda.

Maka Abu Nawas berujar, “Jikalau mereka manusia, tentu tahu bila
hari ini hari apa. Apalagi jika tuanku bertanya tentang hari lain, maka
mereka akan tambah pusing.”

“Apakah mereka manusia atau binatang?” “Wahai Tuanku, Inilah


lembu jenggot yang pintar bercakap itu.”

Sultan Harun sempat heran mengetahui Abu Nawas yang pandai


dalam melepaskan diri dari hukuman yang mengancam. Maka, Sultan
pun memberikannya hadiah sebanyak 5.000 dinar untuk Abu Nawas.
isah tentang Abu Nawas memang tidak pernah habis untuk dibaca
karena selalu menimbulkan rasa tertarik dan penasaran. Begitu juga
dengan hikayat Enam Ekor Lembu yang Pintar Bicara.

Pesan moral yang terkandung dalam cerita hikayat tersebut adalah


jangan suka menguji kecerdasan maupun kesabaran orang lain
sekalipun kamu memiliki kedudukan yang tinggi.

Orang yang cerdas akan mengucapkan kata-kata yang baik karena


segala ucapan adalah doa. 

Sebaliknya, orang yang bodoh akan mengucapkan hal yang tidak


baik, sia-sia, dan tidak memiliki manfaat.

Selain itu, nilai moral lain yang terkandung di dalam hikayat ini adalah
setiap perbuatan pasti ada balasannya.

Raja mengatakan bahwa ia akan memberikan hadiah berupa harta


yang besar jika Abu Nawas berhasil menjawab teka-tekinya.

Sebaliknya, Raja akan membunuhnya jika Abu Nawas tidak mampu


memberikan jawaban yang benar dan cerdas.

Anda mungkin juga menyukai