Anda di halaman 1dari 81

Tukang Cukur

Gito, anak Getas Pejaten, kawasan pinggiran kota Kudus, setiap hari, kecuali
Minggu dan hari libur, berjalan kaki pergi pulang hampir empat belas kilo, ke sekolahnya,
Sekolah Dasar di Jalan Daendels. Karena banyak jalan menuju ke sekolahnya, Gito bisa
memilih jalan mana yang paling disukainya. Kalau perlu, dia juga lewat jalan-jalan kecil
yang lebih jauh, untuk menyenangkan hatinya.
SEPERTI anak-anak lain, Gito sehari hanya makan satu kali, setelah pulang sekolah.
Juga seperti anak-anak lain, Gito tidak mempunyai sandal, apalagi sepatu. Guru-guru pun
bertelanjang kaki. Kalau ada guru memakai sepatu atau sandal, pasti sepatu atau sandalnya
sudah reyot.
Pakaian Gito, demikian juga pakaian teman-temannya, serba compang-camping,
penuh tambalan, demikian pula pakaian para guru. Semua pakaian sudah luntur warnanya,
dan kalau diwenter warnanya bisa tampak agak cerah, tapi dalam waktu singkat luntur lagi.
Gito tahu cara menangkal kelaparan. Kalau mau, dia bisa menangkap ikan di sungai
tidak jauh dari rumahnya. Pada waktu pulang dari sekolah, kadang-kadang Gito lewat Pasar
Johar, tidak jauh dari stasiun jurusan Pati, Juana, Rembang, dan jurusan Pecangakan, Jepara.
Di pasar itu dia bisa memunguti remah-remah gula jawa, gula yang bermanfaat untuk
melawan rasa lapar.
Tidak jauh dari rumahnya ada pabrik bungkil kacang tanah, untuk pakan ternak.
Kadang-kadang Gito juga memunguti remah-remah bungkil kacang tanah, meskipun dia tahu
bungkil kacang tanah bisa menyebabkan sakit perut dan gondongen, leher bisa membengkak
sampai besar.
Di rumah, kalau beras padi habis, ayah, ibu, dan Gito, satu-satunya anak ayah dan
ibunya, makan beras jagung, dan kalau beras jagung habis, mereka makan ketela pohung.
Pada suatu hari, ketika pulang dan melewati kedai gulai kambing kakek Leman,
seorang laki-laki tua yang selalu memakai udeng Jawa di kepalanya, Gito dipanggil oleh
kakek Leman. Gito diberi makan, lalu, seperti biasa, disuruh membersihkan rumput di
pekarangan belakang kedai.
Kakek Leman bertanya: ”Gito, apa kamu tidak melihat tukang cukur di bawah
pohon cemara?”
Kakek Leman membuka udeng-nya, lalu memutar tubuhnya, kemudian berkata:
”Lihat ini,” sambil meminggirkan rambutnya.
Tampak bekas luka, bukan luka biasa, tapi agak dalam.
Kakek Leman bercerita, tanpa diketahui dari mana asal-usulnya, tiba-tiba pada suatu
hari ada tukang cukur di bawah pohon cemara dekat simpang tiga jalan yang menghubungkan
Jalan Setasiun dengan Jalan Bitingan. Beberapa langganan kakek Leman, kata kakek Leman,
juga heran mengapa tiba-tiba ada tukang cukur di situ.
Di antara lima pelanggan kakek Leman yang pernah dicukur di situ, tiga orang telah
dilukai kepalanya. Tukang cukur selalu meminta maaf, katanya tanpa sengaja, tapi semua
korban yakin, tukang cukur itu memang sengaja melukai mereka.
Tukang cukur berkata, kata langganan kakek Leman, tukang cukur adalah pekerjaan
yang paling mulia. Hanya tukang cukurlah yang berhak memegang-megang kepala orang
lain. Kalau bukan tukang cukur, pasti orang yang dipegang kepalanya merasa dihina, dan
marah.
Keesokan harinya ada sesuatu yang baru, yaitu kedatangan seorang guru baru
bernama Dasuki, kabarnya datang dari sebuah kota besar, entah mana. Sekolah Gito
mempunyai enam kelas, mulai dari kelas satu sampai dengan kelas enam. Jumlah guru ada
delapan, terdiri dari enam guru kelas, satu wakil kepala sekolah, dan satu kepala sekolah.
Kalau ada guru berhalangan, mereka menggantikan guru yang berhalangan datang. Karena
semua guru datang, Dasuki masuk ke semua kelas, dan guru kelas yang dimasuki kelasnya
harus ikut pelajaran Dasuki.
Dasuki terus menekankan, negara yang paling hebat di dunia adalah Rusia. Semua
kota dan desa di Rusia serba bersih, semua penduduknya bahagia, makan enak-enak sampai
kenyang.
”Lihat dokar itu,” kata Dasuki sambil mengacungkan tangannya ke arah Jalan
Daendels. ”Lha, itu dia, kudanya kencing dan berak sambil lari. Kotor. Di Rusia, semuanya
sudah diatur dengan cermat. Tidak mungkin ada kuda kencing dan berak seperti di sini.”
Lalu, Dasuki menyambung ceritanya dengan kehebatan-kehebatan lain Rusia.
Banyak murid yang terkagum-kagum, mulutnya agak menganga. Ada juga guru
yang kagum, ada juga guru yang tersenyum-senyum tidak enak, dan ada guru yang pura-pura
mendengarkan Dasuki, tapi pikirannya membayangkan makanan- makanan enak, seperti
yang diceritakan Dasuki.
Hanya beberapa minggu saja Dasuki mengajar, sesudah itu dia pergi dan tidak
pernah kembali.
Pada suatu hari, dalam perjalanan pulang, Gito sengaja melewati jalan yang banyak
pohon cemaranya. Dari kejauhan tampak tukang cukur itu sedang berbicara sendiri, nadanya
memaki-maki. Begitu melihat Gito, tukang cukur memanggil Gito.
”Sini kamu,” kata tukang cukur. ”Saya cukur.”
Tukang cukur berjalan mendekati, Gito berhenti seperti patung, tapi begitu tukang
cukur sudah dekat, Gito lari kencang dengan kekuatan penuh.
Tukang cukur mula-mula ingin mengejar, tapi kemudian berhenti, sambil memaki-
maki.
Akhir bulan September 1948 datang, dan di mana-mana terasa suasana panas dan
serba mengancam. Banyak tentara memakai duk merah berdatangan, entah dari mana. Kata
orang, itulah tentara PKI (Partai Komunis Indonesia). Mereka berkeliaran, masuk keluar
kampung, dan kebanyakan bergerombol di daerah sandulok (=pelacur), di pinggir kota
sebelah timur. Kemudian, beberapa kali, selama dua puluh empat jam, terdengar tembakan-
tembakan.
Makin hari makin banyak cerita mengenai orang hilang, orang dibunuh, dan macam-
macam lagi yang kurang jelas.
Mata uang Republik Indonesia dinyatakan tidak berlaku, diganti dengan mata uang
Pemerintah Komunis, mirip kupon. Harga semua barang makin melompat-lompat.
Pada suatu siang, ada pemandangan yang menakjubkan: tukang cukur berpakaian
tentara, memakai duk merah, menenteng senjata, beserta dengan beberapa tentara lain masuk
ke daerah di belakang rumah sakit, didahului oleh beberapa orang yang tangannya diikat.
Diam-diam Gito mengikuti mereka. Ketika sampai lapangan terbuka, mereka
berhenti, dan Gito bersembunyi di balik semak-semak. Gito menyaksikan, orang-orang yang
diikat tangannya digertak-gertak oleh tukang cukur dan teman-temannya, disuruh berdiri rapi,
kemudian diberondong dengan serangkaian tembakan.
Keadaan makin gawat. Listrik tidak pernah menyala lagi. Tembakan-tembakan
kadang-kadang terdengar, selama dua puluh empat jam sehari.
Keadaan menjadi lebih gawat, ketika, kata orang, pasukan Siliwangi yang khusus
didatangkan dari Jawa Barat, masuk ke kota Kudus, untuk membersihkan pasukan PKI.
Dalam berbagai pertempuran kecil-kecilan, tentara-tentara PKI melarikan diri.
Orang-orang PKI ditangkap, dan beberapa tokohnya diarak ke alun-alun, dibawa ke
bawah pohon beringin, kemudian ditembak. Gito datang dan melihat pemandangan yang
sukar dipercaya: tukang cukur, berpakain preman, tidak lagi memakai pakaian tentara PKI,
memberi komando kepada orang-orang yang akan dihukum mati untuk berdiri dengan tegap
dan rapi, kemudian melilitkan kain ke wajah-wajah mereka supaya mereka tidak bisa melihat
regu penembak.
Beberapa kali hukuman tembak mati oleh pasukan Siliwangi dilakukan di alun-alun,
dan semua orang boleh menyaksikan. Gito tahu, tentara PKI membunuh dengan diam-diam
dan serba rahasia, tidak seperti pasukan Siliwangi. Dalam beberapa peristiwa hukuman mati
itu tukang cukur tampak mondar- mandir dengan sikap gagah.
Kabar tidak jelas beredar, pada suatu hari tukang cukur itu dihajar oleh tentara
Siliwangi, dengan tuduhan, dia membuat daftar orang-orang yang dibencinya untuk dihukum
mati, tanpa bukti.
Hari demi hari berjalan terus, makin lama suasana makin mencekam, dan akhirnya,
bulan Desember 1948 tiba. Pasukan Siliwangi telah meninggalkan Kudus, mengejar tentara-
tentara PKI yang terus terdesak ke timur sampai Pati, Juana, Rembang, melebar ke Cepu, dan
Blora.
Setelah Kudus ditinggal oleh pasukan Siliwangi, pada suatu hari, ketika fajar hampir
tiba, seluruh kota Kudus terasa bergetar-getar, langit dilalui pesawat cocor merah yang
terbang sangat rendah, datang dan pergi, datang dan pergi lagi. Pesawat cocor merah, itulah
pesawat kebanggaan Belanda. Begitu matahari terbit, pesawat-pesawat cocor merah mulai
menyapu kota Kudus dengan tembakan-tembakan dahsyat. Peluru-peluru berat mendesing di
sana sini. Jenazah bergelimpangan di sana-sini pula. Beberapa bagian Getas Pejaten juga
dihujani peluru, tapi hanya tempat-tempat tertentu. Kemudian, rumah Gito juga terhantam
beberapa peluru.
Ayah Gito segera mengajak Gito dan ibunya lari dari pintu belakang, menyeberang
jalan, masuk ke sebuah gang yang berliku-liku, mengungsi ke rumah pak Ruslan, sahabat
ayah Gito.
Keluarga Ruslan menyambut mereka dengan baik, memberi mereka karet tebal
untuk digigit kalau ada bom meledak, dan juga penutup kuping.
Mereka bertahan di tempat perlindungan bawah tanah hampir dua hari, tanpa makan.
Ruslan membagikan pil untuk membuat perut kenyang.
Akhirnya, sekitar jam tiga siang, tank-tank Belanda, diikuti banyak panser, dan
tentara-berlari-lari kecil, memasuki kota Kudus dari arah kota Demak. Kota Kudus dan
seluruh daerah di pinggirannya resmi diduduki pasukan Belanda.
Selama hampir satu minggu Kudus bagaikan kota mati. Keluarga Ruslan
meninggalkan rumahnya, entah pergi ke mana. Tentara-tentara Belanda masuk ke kampung-
kampung, menangkap semua pemuda yang dicurigai, lalu dibawa entah ke mana.
Setelah keadaan tenang, Gito mulai sekolah, dan seperti biasa, dia berjalan kaki,
makan hanya sekali sehari, dan kadang-kadang, waktu pulang, memilih jalan dan gang-gang
yang berbeda-beda.
Pada suatu hari, ketika Gito pulang, ada sebuah jeep berjalan perlahan-lahan di Jalan
Bitingan, lalu dengan sigap Gito meloncat ke selokan, bersembunyi. Di dalam jeep ada dua
orang berpakaian tentara Belanda, yaitu tukang cukur bertindak sebagai sopir, dan Ruslan
duduk di sebelahnya.
Hampir setiap malam ada tembak-menembak: gerilyawan pejuang Indonesia masuk
kota.
Hari demi hari berjalan terus, sampai akhirnya, Gito masuk ke SMP tidak jauh dari
alun-alun.
Pada bulan Desember 1949, semua tentara Belanda ditarik, dan masuklah tentara
Indonesia dari sekian banyak markas daruratnya, kebanyakan di daerah Gunung Muria. Gito
mendengar, penarikan tentara Belanda adalah hasil Konferensi Meja Bundar di Belanda,
antara wakil Indonesia dan wakil Belanda. Pasukan Belanda harus meninggalkan Indonesia,
kecuali Irian Barat (sekarang Papua).
Tukang cukur dan Ruslan hilang tanpa jejak.
Ketika Gito sudah naik kelas 2, suasana Kudus tegang lagi. Sekian banyak tentara
yang tidak dikenal, semua mengenakan duk hijau dan membawa senapan, berkeliaran di
seluruh bagian kota. Seperti dulu, banyak di antara mereka menggerombol di kawasan
sandulok.
Suasana makin hari makin muram, sampai akhirnya, sekitar jam satu malam, Gito
terbangun mendengar tembakan tanpa henti tidak jauh dari rumah. Sekitar jam enam pagi
suasana menjadi betul-betul senyap.
Tersebarlah berita, pertempuran hebat di bekas pabrik rokok Nitisemito, tidak jauh
dari rumah Gito, telah berakhir. Sebagian tentara liar terjebak di bekas pabrik, dan sebagian
melarikan diri, kemungkinan menuju ke arah Gunung Merapi dan Merbabu. Gito baru tahu,
tentara liar itu dikenal sebagai tentara NII (Negara Islam Indonesia), dan akan menjatuhkan
Pemerintah Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam.
Ketika Gito tiba di bekas pabrik rokok, sudah banyak orang berkerumun di sana.
Semua mayat tentara yang terjebak di pabrik sudah diangkut keluar, dibaringkan di pinggir
jalan. Salah satu mayat itu tidak lain dan tidak bukan dalah tukang cukur.
Budi Darma sehari-hari bekerja sebagai Guru Besar UNESA (Universitas Negeri
Surabaya), pernah memperoleh pendidikan di Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta),
Universitas Hawaii (Amerika), dan Universitas Indiana di Bloomington, Indiana (Amerika).
Budi Darma menerbitkan beberapa kumpulan esai, cerpen, dan novel, dan memperoleh
penghargaan, antara lain, dari Balai Pustaka, Kompas, SEA-Write Award (Bangkok),
Anugerah Seni Pemerintah RI. Satya Lencana dari Presiden Republik Indonesia, dan
Anugerah MASTERA (Brunei Darussalam). Karyanya yang masyur dan banyak mendapat
pujian adalah kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington dan novel Olenka. Beberapa kali
karyanya menjadi karya terbaik dalam Cerpen Pillihan Kompas
TAROM

AGEN saya tahu, setiap kali saya pergi ke Frankfurt, Jerman, saya tidak mau transit
di bandara mana pun, selain bandara Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ada dua teman di bandara
ini, yaitu Manfred pemilik restoran dan Gertrude, pramugari darat.
Pada waktu saya berkunjung ke restoran Manfred untuk pertama kali beberapa tahun
lalu, dia mengajak saya bersalaman erat, lalu berbisik: ”Ibu kamu pasti orang Jerman. Ayah
kamu pasti orang Asia Tenggara.”
Laki-laki anak ibu Jerman dan ayah Asia Tenggara pasti mirip ibunya, sedangkan
anak perempuan pasti mirip ayahnya. Dan memang, kulit saya putih, mata saya biru, dan
setiap kali saya ke Jerman, kebanyakan orang menganggap saya orang Jerman.
Karena saya tidak membantah, maka setiap kali saya singgah di restorannya, pasti
dia memberi sauerkraut, salad khas Jerman, gratis. Setelah mengetahui nama saya Tarom
Wibowo, wajahnya berbinar-binar, lalu mengajak saya masuk ke ruang kecil di bagian
belakang restoran.
”Lihat, Tarom, saya punya buku kamu.”
Dia mengambil buku New Paradigm of Psycho-Hatred, buku saya mengenai lika-
liku kejiwaan tokoh-tokoh besar, dengan data dari berbagai negara, termasuk Jerman.
”Buku hebat,” katanya. ”Maaf, saya belum pernah membaca novel kamu.”
Setelah mengobrol sebentar, dia berbisik: ”Di sini ada gadis Jerman, Gertrude
namanya. Pramugari darat. Kalau mau dia bisa menjadi pramugari udara. Terbang ke mana-
mana. Seperti saya, dia malu jadi orang Jerman.”
Dia berbisik lagi: ”Kamu pasti suka Gertrude. Cantik. Dan ingat, dia pengagum
penulis hebat bernama Tarom Wibowo. Dia tahu kamu bukan psikolog. Tapi, insting
psikologimu benar-benar hebat.”
Begitu dipertemukan dengan Gertrude, saya agak gemetar, agak bingung, karena itu
memilih untuk diam, dan tampaknya perasaan Gertrude sama. Kami berjabat tangan sampai
lama, telapak tangan dia dan telapak tangan saya sama-sama berkeringat dan sama-sama
malas untuk saling melepaskan pegangan. Tapi, perasaan aneh merambat perlahan-lahan dari
tangan dia, menyusupi tangan saya. Hawa panas bercampur hawa dingin. Dan begitu saya
menatap wajahnya, saya agak merinding, lalu dia menunduk, tampak malu.
Perasaan saya tidak enak, dan saya putuskan untuk tidak bertemu dengan dia lagi.
Ternyata, begitu saya masuk ke ruang tunggu penumpang, pesan dia melalui WA masuk.
Begitu membuka telepon genggam setelah saya mendarat di Frankfurt, pesan dia masuk lagi,
bukan hanya satu, tapi beberapa. Selama beberapa hari saya di Frankfurt untuk mengurus jual
beli hak cipta sekian banyak pengarang dari berbagai negara, pesan Gertrude datang bagaikan
banjir.
Dan ketika pesawat saya transit lagi di Abu Dhabi untuk kemudian disambung
penerbangan ke Surabaya, Gertrude sudah menunggu, lalu mengajak saya ke ruang tunggu
khusus.
Perhatian dia lebih tertarik pada Berlin sebagaimana yang saya gambarkan dalam
beberapa buku saya dibanding dengan cerita saya mengenai Frankfurt.
”Kalau kamu ke Berlin, ajaklah saya. Tunjukkanlah tempat-tempat yang kamu tulis
dalam buku-buku kamu. Dan kalau kamu pulang, saya ikut ke Surabaya.”
Selanjutnya pesan demi pesan berdatangan terus, disertai kutipan lirik lagu
”Imagine” The Beatles, ”You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.”
***
SEPERTI biasa, ketika akan ke Frankfurt lagi, agen saya tidak pernah bertanya saya
ingin naik pesawat maskapai apa asalkan singgah di Abu Dhabi.
Agen saya memilih Angel Air, sebuah maskapai penerbangan baru, berdiri sekitar
tiga tahun lalu. Semua orang penting di Angel Air perempuan, sisanya, pekerjaan kasar,
diserahkan kepada laki-laki. Mungkin Angel Air percaya, perempuan punya otak dan modal
laki-laki hanyalah otot.
Nama pilot dan kopilot sudah beberapa kali saya simak melalui berbagai media.
Saya belum pernah bertemu mereka, tapi andaikata bertemu, pasti saya mengenal mereka.
Pilot bernama Awilia, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter mata terkenal, kopilot
bernama Azanil, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter jantung terkenal. Sejak zaman
mahasiswa, empat calon dokter ini sudah bersahabat, dan ketika sudah menjadi dokter
mereka bekerja di rumah sakit yang sama.
Awilia lahir jam 10:15, Azanil lahir pada hari dan tanggal sama, jam 10:18, di
rumah sakit yang sama pula. Umur mereka terpaut tiga menit, dan setelah besar Awilia
memperlakukan Azanil sebagai sahabat muda, dan Azanil selalu ingin dijadikan nomor dua.
Sejak TK sampai dengan SMA mereka selalu bersama-sama, dan setelah lulus SMA mereka
sama-sama menentang keinginan orangtua mereka untuk menjadi dokter. Alasan mereka
sama: pada zaman dahulu kala, terceritalah ada dua sahabat karib, yang laki-laki genius tapi
homo bernama Leonardo da Vinci, dan yang perempuan luar biasa cantik, Monalisa
namanya. Sambil melihat burung-burung beterbangan, berkatalah Leonardo: ”Monalisa,
lihatlah burung-burung itu. Pada suatu saat, manusia pasti bisa terbang seperti burung.”
Monalisa tidak percaya, tersenyum, tanpa berkata apa-apa.
Awilia dan Azanil sama-sama mengirim lamaran ke Akademi Penerbangan Airbus
di Toulouse, Perancis, sama-sama diterima, dan lulus juga bersama-sama, masing-masing
dengan nilai tinggi. Setiap terbang mereka tidak mau dipisah, dan meskipun Awilia ingin
gantian menjadi kopilot, Azanil selalu menolak. ”Yang muda harus menghargai yang tua,”
katanya bergurau.
Setelah pesawat mencapai 15.000 kaki, seorang pramugari memberi saya kertas
kecil.
”Selamat terbang bersama kami pengarang Tarom Wibowo. Kita nanti bertemu di
Abu Dhabi.”
Saya tidak tahan menahan kantuk. Ada banyak kontrak dan jual beli hak cipta dari
sekian banyak pengarang dan penerbit yang harus saya urus di Frankfurt nanti, dan ada
banyak pula buku yang harus saya baca, khususnya buku Rochus Misch, bekas pengawal
pribadi Hitler, mengenai kematian Hitler. Saya tertidur.
Buah tidur adalah mimpi: ibu saya bercerita mengenai bangsa Jerman dan bangsa
Jepang, dua bangsa besar dan sama-sama tololnya. Bangsa Jerman sangat setia kepada
manusia bernama Hitler, dan bangsa Jepang sangat patuh pada keturunan Dewi Matahari,
yaitu Kaisar Hirohito. Karena ketololannya, atas hasutan Hitler, bangsa Jerman dengan penuh
semangat merusak dunia, demikian pula bangsa Jepang, bukan oleh hasutan manusia.
Ingat, kata ibu saya, dalam PD I Jerman dikalahkan oleh Jepang, dan semua tawanan
perang Jerman diperlakukan dengan sangat baik oleh Jepang, bahkan lebih baik daripada
serdadu Jepang sendiri.
Perang antara Jerman dan Jepang dalam PD I mirip dengan perang antara Indonesia
dan Malaysia di perbatasan dua negara di Kalimantan setelah Bung Karno menyatakan
perang melawan Malaysia dengan semboyan ”Ganyang Malaysia”. Serdadu Indonesia dan
serdadu Malaysia pura-pura saling tembak, kemudian lari-lari menuju musuh, berangkulan
erat, bertukar rokok, kemudian bergurau. Karena hanya pura-pura, perang ini dengan mudah
diakhiri dengan perdamaian. Jepang dan Jerman pura-pura bertempur, tidak lain karena
mereka bersiap-siap bersekutu untuk menghancurkan dunia dalam PD II.
Karena bangsa Jerman setia kepada manusia dan bangsa Jepang setia bukan kepada
manusia, kesetiaan mereka berbeda. Dalam mimpi ini pula ibu saya membanggakan
kesetiaannya kepada keluarganya, lalu meminta saya membaca majalah Femina tahun 1980-
an, mengenai kesetiaan istri Jepang terhadap suami orang Indonesia. Istri Jepang sangat setia
kepada suami, dan begitu anak dia sudah bisa dibawa lari, dia akan lari bersama anaknya,
kembali ke Jepang, disembunyikan oleh keluarganya di Jepang. Ibu saya berbicara mengenai
dua bangsa ini karena dia tahu saya pernah jatuh cinta kepada gadis Jepang dan sekarang
mungkin kepada gadis Jerman.
Setelah terbangun, saya ingat cerita ibu saya mengenai pertemuan antara orangtua
saya sebelum menikah. Hati ibu saya berkata, ayah saya mempunyai kemampuan terpendam,
dan ternyata benar: begitu tahu ada pabrik akan bangkrut, ayah saya membelinya,
memperbaikinya, kemudian menjualnya. Terakhir dia membeli pabrik smelting yang hampir
bangkrut di Gresik, selama satu tahun memperbaikinya, kemudian menjualnya kepada orang
India.
Sebelum menikah, ayah saya juga yakin, ibu saya mempunyai kekuatan terpendam:
lidahnya tajam, begitu ada makanan masuk ke mulutnya, dia tahu rahasia pembuatannya.
Buku masakan ibu saya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan dia sering diundang ke
mana-mana, termasuk luar negeri, untuk berbicara mengenai masakan.
Ketika iseng mengambil majalah, saya terkejut: foto Gertrude terpampang di kulit
sebuah majalah, dan di berbagai halaman di majalah-majalah lain. Dia dinobatkan sebagai
pramugari darat terbaik di Negara-negara Teluk setelah juri dari berbagai negara menyimak
bandara di Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan Qatar. Gertrude pemalu,
pemilihan pramugari terbaik dan pemasangan fotonya pasti di luar kemauan dia.
Setelah menyimak fotonya, hati saya berkata, Gertrude pasti mempunyai rahasia
terpendam, dan ada kesamaan antara Mandred dan Gertude. Menurut Gertude, Manfred
keturunan serdadu Jerman yang suka menyiksa, merampok, dan memerkosa di negara-negara
jajahan Hitler selama PD II. Dia malu menjadi orang Jerman, tapi kadang-kadang harus
kembali ke Jerman karena ibunya di Jerman sering sakit.
Begitu turun dari pesawat, Amilia dan Azanil menemui saya, minta tanda tangan
buku-buku saya, buku yang, kata mereka, menemani mereka dari bandara satu ke bandara
lain. Dengan membaca novel-novel saya, terasa mereka bisa mengamat-amati lika-liku jiwa
mereka sendiri.
Mereka mengajak saya ke ruang tunggu khusus, dan di sana Gertrude sudah
menunggu. Dengan nada bercanda mereka mengatakan, sebagai pengarang hebat, pasti saya
mampu mengangkat gejolak jiwa Gertrude dalam novel.
Setelah mereka pergi, dengan sangat hati-hati saya berkata kepada Gertrude
mengenai kisah kematian Hitler. Setelah Hitler yakin kalah, dia dan banyak pengikut setianya
bertekad bunuh diri bersama Hitler. Pada saat itulah, salah satu arsitek holocaust yang sangat
keji dan seharusnya ikut bunuh diri bersama keluarganya melarikan diri.
Gertrude menunduk, lalu berkata: ”Saya tahu siapa dia. Martin Bormann namanya.
Darah saya kotor. Saya keturunan Bormann.”
Pikiran saya melayang ke ibu saya. ***

Budi Darma, sehari-harinya bekerja sebagai Guru Besar Universitas Negeri


Surabaya. Ia menerbitkan beberapa kumpulan esai, cerpen, novel, dan pernah mendapat
penghargaan antara lain dari Balai Pustaka, Kompas, SEA-Write Award (Bangkok),
Anugerah Seni Pemerintah RI, Satya Lencana dari Presiden Republik Indonesia. Karyanya
yang masyhur dan banyak mendapat pujian adalah kumpulan cerpen Orang-orang
Bloomington dan novel Olenka.

Rujukan:
[1] Disalin dari karya Budi Darma
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Kompas" edisi Minggu 20 Agustus 2017
BUKAN MAHASISWA SAYA

SAYA yakin tidak pernah mempunyai mahasiswa bernama Abidin. Karena itu,
setelah sekian kali Abidin menghubungi saya melalui HP, disusul SMS, dan akhirnya disusul
WA, saya tetap yakin orang yang menamakan diri Abidin ini tidak pernah menjadi
mahasiswa saya. Tapi, setelah dia nekat menelepon dengan video call, barulah saya ingat
bahwa wajah ini pernah saya kenal entah kapan dan entah di mana.
Pada suatu hari Minggu, ketika saya biasanya bangun lebih siang daripada biasanya,
orang yang menamakan diri Abidin ini menelepon saya dengan video call lagi.
’’Maaf, Pak, sekarang saya di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta.
Sebentar lagi saya akan terbang ke Surabaya, khusus untuk menemui Bapak.’’ Suara Abidin
ditimpali pengumuman penggawa bandara agar semua penumpang segera masuk ke pesawat.
Dalam keadaan masih mengantuk, saya segera mandi.
Satu setengah jam kemudian ada taksi datang, dan turunlah Abidin dari taksi.
Dengan sikap sangat sopan dan hormat, dia memohon maaf karena telah berkalikali
menghubungi saya dan mengaku-aku sebagai bekas mahasiswa saya.
Setelah berbasa-basi sebentar dia mengaku bahwa dia memang bukan mahasiswa
saya. Dengan permohonan maaf dia menyatakan bahwa dahulu sebetulnya dia mahasiswa
MIPA jurusan matematika. Dan, karena dia tertarik sastra, khususnya sastra dunia, dia sering
menyelundup ke kelas saya. Setiap kali menyelundup dia memilih deretan tempat duduk di
belakang, selalu menunduk, supaya bisa memberi kesan bahwa dia tidak ada.
Waktu itu saya mengajar di S-1, mahasiswanya banyak, dan ruangan kelasnya
terbatas. Karena itu, dua kelas mahasiswa kadang-kadang harus dijejal dalam satu ruangan
kelas besar. Kehadiran Abidin, dengan demikian, tidak saya ketahui.
Lalu, dengan agak mewek-mewek karena terharu, dia mengatakan bahwa dia sudah
lulus S-2 matematika di Kanada, dan juga sudah lulus S-3 matematika di Jerman. Dengan
gaya sangat tawaduk dia mengatakan, baik di S-2 maupun di S-3 dia lulus dengan predikat
cum laude. Setelah lulus S-3 dia bekerja di Jerman, kemudian pindah ke Belanda, dan
akhirnya memutuskan untuk bekerja di Jakarta.
Selama bekerja di Jakarta dia sering mendapat tugas untuk bepergian ke luar negeri,
tapi dia tetap memakai SIM card Indonesia. Karena itulah, semua pesan kepada saya tidak
tampak tanda-tanda dia sedang di Vietnam, India, Brussel, Amsterdam, Paris, dan entah mana
lagi.
Hari itu juga, Minggu, dia khusus datang ke Surabaya untuk menemui saya, sebab
malam nanti, hari Minggu itu juga, dia akan terbang ke Amerika.
Setelah mengucapkan permohonan maaf dan terima kasih berkali-kali sampai saya
agak risi, dia bertanya, ’’Mohon maaf, Pak, apakah Bapak pernah mendengar nama Maryam
Mirzakhani?”
’’Perempuan kelahiran Iran, hijrah ke Amerika, pemenang fields medal
mathematics?”
’’Ya.’’
Fields medal mathematics setara dengan nobel prize untuk fisika, ilmu kedokteran,
ekonomi, kimia, fisika, perdamaian, dan sastra. Nobel prize diberikan setiap tahun,
sedangkan fields medal mathematics diberikan manakala ada pakar matematika yang benar-
benar menonjol. Kalau perlu, selama beberapa tahun tidak ada satu orang pun yang dianggap
layak menerima fields medal mathematics.
Pada waktu sekolah, Maryam dibenci guru-gurunya karena dia tampak bodoh,
dungu, goblok, dan agak terbelakang. Setiap kali mengerjakan apa pun dia pasti terlambat.
Berbeda dengan teman-temannya, dia suka menyendiri, melukis, membaca puisi, dan
membaca novel.
’’Maaf, Pak, pada waktu saya menyelundup ke kuliah-kuliah Bapak, saya tidak
mengenal nama Maryam, tapi kemudian saya sadar, seperti Maryam, saya suka menggambar,
membaca puisi, dan membaca novel. Karena itulah saya sering menyelundup ke kelas Bapak.
Sebetulnya saya ingin juga menyelundup ke kelas seni rupa, tapi saya selalu diusir.
Maklumlah, mahasiswa seni rupa kan banyak praktik, kalau saya menyelundup, pasti
ketahuan.’’
Lalu dia mengaku, andaikata dulu tidak menyelundup ke kelas saya, dia tidak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya. Ketika dia kuliah S-2 di Kanada, dia
sering teringat kuliah-kuliah saya. Demikian juga ketika dia menyelesaikan S-3 di Jerman.
Mengapa dia dapat dengan mudah memenangkan beasiswa S-2 dan S-3, tidak lain, kata dia,
karena dia sering teringat kuliah-kuliah saya.
Bukan hanya itu. Kuliah-kuliah saya dulu, kata dia, juga memperlancar
pekerjaannya, dan karena itulah dia sering mendapat promosi dan tempat-tempat yang bagus.
Dia masih ingat, dalam kuliah, saya sering menekankan hubungan erat antara sastra, estetika,
dan psikologi. Barang siapa banyak membaca karya-karya besar sastra, dengan sendirinya
akan memiliki insting untuk mengetahui masalah kejiwaan lawan bicaranya. Meskipun saya
mengajarkan sastra dunia dengan bahasa Inggris, kadang-kadang saya juga membicarakan
beberapa nilai filsafat Indonesia, antara lain kemampuan meramal Raden Ngabehi
Ronggowarsito dalam tembang-tembangnya, dan pendirian Ki Ageng Suryomentaram
mengenai seni kebahagiaan hidup.
Setelah mengobrol tentang pengalamannya menyelundup di kelas saya, dengan nada
ragu-ragu dia bertanya, ’’Maaf, Bapak, bolehkah saya mengeluarkan pendapat saya? Tapi
saya malu. Saya takut pendapat saya ngawur.’’ Dia menyatakan, sastra yang dianggap
sebagai sastra dunia sekarang sangat mengecewakan. Sastra dunia, itulah salah satu mata
kuliah saya dulu. Ada beberapa contoh, misalnya, kata dia, novel Orhan Pamuk, novel Najib
Mahfudz, novel Adiga, novel Khaled Hosseini, dan yang terbaru novel Han Kang. Novel
Orhan Pamuk, setidaknya yang pernah dia baca, terlalu berbelit-belit. Novel Najib Mahfudz
yang pernah dia baca, yaitu Pencopet dan Para Begundal, mirip novel thriller. Daripada
membaca Pencopet dan Para Begundal, kata dia, lebih baik membaca novel-novel Sidney
Sheldon sekalian. Sidney Sheldon tahu bahwa dia tidak lain adalah pengarang thriller, karena
itu Sidney Sheldon, kata Abidin pula, tidak perlu berpura-pura menulis novel sastra kelas
atas. Dalam novel Adiga, kata Abidin, tokoh sentralnya sadar bahwa dia korban kemiskinan,
dan karena itulah dia membenci kelas atas, apalagi yang sombong, sampai akhirnya dia
membunuh juragannya. Itulah napas novel Adiga, White Tiger.
Andaikata tidak ada Taliban di Afghanistan, Hosseini tidak mungkin mampu
menulis novel The Kite Runner. Situasi yang sangat buruk dan penderitaan tanpa tara di
Afghanistan akibat ulah Taliban dimanfaatkan oleh Hosseini.
Perempuan dalam novel Han Kang The Vegetarian menjadi sinting, atau tambah
sinting, karena ayahnya, veteran perang Vietnam, suka menyiksa, kasar, dan kata-katanya
juga jorok dan menjijikkan. Andaikata ayahnya tidak begitu, mungkin tokoh utamanya hidup
normal
’’Maaf, Bapak, saya bukan siapa-siapa. Dan saya hanya membaca satu novel karya
mereka. Mungkin kebetulan yang saya baca bukan novel terbaik mereka. Tapi novel terburuk
mereka yang punya nama besar itu.’’
’’Lalu, novel siapa yang baik?’’ tanya saya. ’
’Novel yang tidak menyalahkan siapa-siapa. Tokoh utama Dostoevsky dalam Notes
from Underground sinting karena memang dia sinting. Dia tidak menuduh siapa pun sebagai
kambing hitam kesintingannya. ’’Cerpen Edgar Allan Poe The Tell-Tale Heart bercerita
tentang kekejian ’aku’ karena ’aku’ sendiri, tanpa kambing hitam kehidupan keluarganya,
kemelaratannya, dan entah apa lagi. Dalam noveletnya Peristiwa Pembunuhan di Rue
Morgue, tokoh bernama Dupin jatuh miskin juga karena dia jatuh miskin, tanpa menyalahkan
siapa pun. Hidupnya biasa-biasa saja, pikirannya tetap cemerlang, tanpa kambing hitam
kemiskinan.’’
Didahuluinya dengan ’’maaf, saya bukan siapa-siapa,’’ Abidin memberi banyak
contoh lain. Dengan permintaan maaf, saya tidak bisa memberi pendapat mengenai
pendapatnya. Perhatian saya lebih tertarik pada Abidin sebagai pakar matematika, bukan
Abidin sebagai pembaca sastra kelas atas. Dan lebih dari itu, saya lebih tertarik pada Abidin
sebagai manusia. Saya teringat zaman Pak Harto masih berkuasa. Selama menjadi presiden
dalam jangka waktu tiga puluh dua tahun, adalah masuk akal apabila Pak Harto sering
mengganti pejabat-pejabat tinggi negara. Salah satu jaksa agung dalam pemerintahan Pak
Harto, saya ingat, bernama Sukarton, lengkapnya Sukarton Marmosujono SH. Ketika masih
menjadi mahasiswa fakultas hukum Universitas Gadjah Mada, Sukarton sering kelayapan ke
kampus lain, yaitu ke fakultas sastra dan kebudayaan. Mengapa? Karena dia jatuh cinta pada
Lastri Fardani, mahasiswa sastra barat fakultas sastra dan kebudayaan. Akhirnya Sukarton
berhasil menikah dengan Lastri Fardani, dan Lastri Fardani juga bisa menyalurkan
kegemarannya menulis untuk majalah wanita. Tidak lama setelah lulus S-1 Sukarton
menikah, sementara Abidin sampai sekarang masih jomblo. Dan seperti tokoh dalam novel-
novel yang dia kagumi, dia jomblo tanpa menyalahkan siapa pun. Kalau jomblo dianggap
sebagai kesalahan, maka kesalahan itu terletak pada dirinya sendiri. Tampak Abidin ingin
mengemukakan sesuatu, tapi dapat menahan diri. Akhirnya dia saya ajak ke mall untuk
makan, dan sesudah makan dia saya antar ke Bandara Juanda. Ketika semua penumpang
diminta untuk masuk paling lama sepuluh menit lagi, Abidin tampak ingin menangis
menahan perasaan haru.
’’Abidin, kamu memendam rahasia. Katakan apa yang kamu ingin katakan.’’
’’Bapak tahu di mana Maryam Mirzakhani bekerja?’’
’’Stanford University di California, Amerika.”
’’Saya mendapat pekerjaan di sana, Bapak.”
’’Selamat, Abidin. Tidak semua orang bisa menjadi dosen dan peneliti di Stanford.’’
Stanford adalah nama orang kaya, murah hati, dan gaya hidupnya sangat sederhana.
Bersama istrinya, Stanford mendatangi sebuah universitas tua dan terkenal, yaitu Harvard
University di New England, untuk memberi donasi dalam jumlah besar. Tapi karena
penampilannya seperti orang melarat, dia dan istrinya diusir. Tidak ada satu orang pun yang
percaya bahwa Stanford dan istrinya benar-benar kaya. Meskipun dihina, hati mereka tetap
mulia. Mereka ingin melihat anak-anak muda mendapat pendidikan yang baik, dan karena
itulah akhirnya mendirikan sebuah universitas, Stanford University di California, sebuah
negara bagian yang jauh letaknya dari New England.
’’Apakah Bapak tahu keadaan Maryam Mirzakhani?’’
’’Sudah lama dia berjuang melawan kanker,’’ kata saya.
Waktu sudah habis, dan Abidin terpaksa meninggalkan saya. Setelah saya yakin
pesawat Abidin sudah terbang, saya masuk ke kedai, memesan teh. Saya membuka HP,
langsung menuju ke Fox News. Berita terbaru: Maryam Mirzakhani, empat puluh tahun,
dalam keadaan kritis. Malam harinya saya membuka Fox News lagi, dan dari berita inilah
saya tahu bahwa Maryam Mirzakhani, tokoh matematika yang sangat terkemuka, sudah
meninggalkan dunia fana. ***

Budi Darma, sastrawan dan guru besar Universitas Negeri Surabaya. Karyanya,
antara lain, Olenka (novel) dan Orang-Orang Bloomington (kumpulan cerpen).

Rujukan:
[1] Disalin dari karya Budi Darma
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Jawa Pos" Minggu 20 Agustus 2017
DAROJAT DAN ISTRINYA

DAROJAT benar-benar tidak tahu mengapa akhirnya dia menikah dengan Driani.
Driani juga benar-benar tidak tahu mengapa akhirnya dia menikah dengan Darojat. Memang,
sebelum menikah, kadang-kadang mereka merasa sama-sama senang, kadang-kadang merasa
sama-sama membenci, dan kadang-kadang saling tidak peduli sama sekali. Tidak jarang pula
Darojat menganggap Driani kotor dan menjijikkan, demikian pula anggapan Driani terhadap
Darojat.
Darojat ganteng dan pandai, dan karena itu, jangan heran manakala dia berhasil
menjadi dokter spesialis penyakit dalam terkemuka. Pasiennya banyak, dan semua pasien
merasa senang dirawat oleh Darojat, dan Darojat bertindak dengan sangat profesional,
termasuk dalam menarik biaya dari pasien-pasiennya. Kalau penghasilannya dikumpulkan
dan dibelikan emas, bisa dipastikan, dalam waktu singkat dia mampu dengan mudah
mengumpulkan berbatang-batang emas antam.
Driani cantik dan pandai, dan karena itu, jangan heran manakala dia berhasil
mendapatkan kedudukan tinggi di sebuah perusahaan internasional eskpor hasil tambang.
Perusahaan tempat dia bekerja dengan cepat mengeruk emas, perak, tembaga, dan perunggu
di sekian banyak kawasan, dan sesudah itu meninggalkan kawasan itu dalam keadaan rusak.
Jangan heran, manakala gaji Driani juga sangat tinggi.
Pertemuan pertama kali terjadi ketika kebetulan mereka terbang bersama-sama ke
Abu Dhabi, salah satu kota industri besar di Timur Tengah. Darojat terbang dengan biaya
perusahaan obat-obatan, untuk konferensi para dokter spesialis penyakit dalam, dan Driani
terbang untuk urusan ekspansi dengan perusahaan-perusahaan lain dalam usaha perhotelan di
berbagai daerah wisata dunia, antara lain di Bahama.
Selama enam jam penerbangan, mereka sempat saling melirik, mengadakan
percakapan pendek-pendek, dan kadang-kadang ditambah dengan saling pegang tangan.
Selebihnya mereka lebih banyak diam. Darojat sibuk membuka-buka tabletnya, mencari
informasi baru mengenai obat-obatan, dan Driani sibuk membuka tabletnya yang penuh
dengan angka, tabel, dan banyak gambar panah.
Di luar pengetahuan Driani, Darojat sempat membuka gambar-gambar cabul, dan di
luar pengetahuan Darojat, Driani juga sempat membuka-buka gambar yang sama sekali tidak
pantas ditonton oleh siapa pun.
Ketika berpisah di Abu Dhabi, masing-masing mereka agak yakin, tapi tidak benar-
benar yakin, bahwa mereka saling jatuh cinta. Darojat merasa ada gejala aneh dan berbahaya
pada Driani, dan insting Driani samar-samar menyatakan, ada gejala aneh dan berbahaya
pada Darojat. Andaikata nanti mereka menikah, demikianlah kata hati dua orang itu secara
samar-samar, mungkin gejala inilah yang akan memperkuat persatuan mereka.
Ketika mereka keluar dari bandara, matahari sudah tenggelam di balik kaki langit.
Darojat dijemput oleh mobil perusahaan obat-obatan, dan Driani di jemput oleh mobil
perusahaan perhotelan. Di dalam mobil, Darojat berpikir, jangan-jangan dia tertarik pada
Driani, dan Driani juga berpikir jangan-jangan dia tertarik pada Darojat.
Begitu masuk di kamar hotel, Darojat meneliti tubuhnya inci demi inci, untuk
meyakinkan diri sendiri, seandainya dia tertarik pada Driani, apakah tubuhnya cukup menarik
bagi Driani. Pada saat bersamaan, Driani juga meneliti tubuhnya inci demi inci, sampai lama
sekali, dan akhirnya me ngeluh: “Tubuh saya terlalu jelek. Darojat tidak mungkin tertarik
pada saya.”
Sebelum tidur, dua orang ini diam-diam sempat membuka-buka video mesum
sambil membayangkan, yang bermain dalam video adalah Driani dan Darojat sendiri.
Lebih kurang tiga bulan setelah mereka berada di Surabaya kembali, masing-masing
terperanjat ketika mereka bertemu lagi dalam sebuah pesta Hari Kemerdekaan Amerika di
taman belakang kantor Konsulat Jenderal Amerika. Masing-masing gemetar, dan tidak
mampu mengucapkan apa pun juga. Barulah setelah acara bersulang untuk kesejahteraan
rakyat Amerika disusul dengan bersulang untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, mereka
bercakap-cakap, mula-mula kaku, lama kelamaan lancar. Dan malam itu juga mereka berjanji
akan bertemu lagi untuk makan di restoran di Jalan HR Muhammad, lalu berjalan-jalan,
disambung nonton bioskop.
Sesuai dengan perjanjian, pada waktu yang hampir bersamaan mereka tiba di
restoran, lalu diantarkan oleh pelayan ber ajah manis ke meja makan. Begitu duduk, Driani
membuka tasnya, mengambil laptopnya, lalu menyalakannya.
“Pemerintah brengsek,” kata Driani, dengan nada kesal.
“Peraturan berganti-ganti terus,” sambungnya dengan nada anjing menggonggong
kelaparan. “Rumit! Rumit! Rumit,” dan matanya tetap menatap layar laptop.
Setelah tertegun beberapa saat, Darojat bertanya: “Mau pesan apa?”
“Kamu mau pesan apa?” Darojat mengulangi pertanyaannya.
“Mosok kamu tidak tahu saya sibuk?” jawab Driani dengan menguap.
“Kurang tidur! Pemerintah brengsek!” nadanya seperti anjing menggonggong,
sambil beberapa kali menguap.
Pelayan menunggu dengan sikap sigap dan hormat, dan tetap menunggu. Darojat
memberi isyarat kepada pelayan untuk pergi, dan datang kembali apabila nanti dipanggil.
Pelayan pun pergi.
Setelah menunggu agak lama, Darojat bertanya: “Driani, apakah kamu mencintai
saya?”
Dia sendiri bingung, dan menyesal kok tanpa berpikir panjang dia mengucapkan
kalimat sinting itu.
Tanpa diduga, Driani memandang Darojat dengan mata menyala-nyala, disulut oleh
kemarahan.
“Darojat! Kamu punya hati apa tidak? Kamu punya perasaan atau tidak?”
Cara bicara Driani mirip anjing menggonggong yang siap menyerbu musuhnya.
Mata menyala-nyala itu dalam waktu singkat meredup, kemudian keluarlah air
matanya, perlahan-lahan membasahi pipinya.
Lalu, dengan tergesa-gesa Driani menutup laptopnya, pergi, tanpa mau dicegah.
Karena itu, ketika akhirnya mereka menikah, masing-masing mereka benar-benar
tidak tahu mengapa mereka bisa menikah.
Seperti biasa, kelanjutan menikah, sebagaimana yang diajarkan oleh semua agama,
adalah mempunyai anak. Kewajiban manusia, tidak lain dan tidak bukan, adalah melahirkan
generasi baru yang hebat dan cemerlang. Karena itulah, semua agama memberi tuntunan
kepada semua suami istri, berupa doa-doa untuk kebahagiaan dan kebesaran anak-anak
mereka.
Ketika Darojat menyatakan keinginannya untuk mempunyai anak, Driani
menunjukkan sikap kesal, dan ketika Driani menginginkan anak, Darojat tetap diam, seolah-
olah Driani tidak pernah mengatakan apa-apa.
Kadang-kadang pula mereka berdebat keras apa sebaiknya punya anak atau tidak.
Kalau perdebatan mereka terbentur jalan buntu, mereka menggantungkan diri pada suara
tokek.
“Tokek…” Darojat bilang “punya anak,” sedangkan Driani bilang “tidak punya
anak.” Dan setiap kali tokek bersuara untuk kesekian kalinya, pasti suara tokek makin
mengecil dan makin mengecil, makin meredup dan makin meredup. Secara serempak Darojat
dan Driani menyimpulkan bahwa kesimpulan dari suara tokek tidak bisa dipercaya.
Bukan hanya itu. Kalau Driani ingin tidur satu tempat tidur dengan Darojat, Darojat
menolak, demikian pula sebaliknya. Alasan mereka kadang-kadang ngawur, kadang-kadang
asal-asalan, kadang-kadang masuk akal.
Akhirnya mereka memutuskan, sebelum tidur mereka harus membersihkan tubuh
dulu, lalu memakai parfum. Dengan demikian, kata mereka, mereka akan saling tertarik.
Tetapi, tidak jarang bau parfum justru menimbulkan perasaan mual. Kalau Darojat muntah
karena mual, Driani benar-benar merasa dihina, demikian pula apabila Driani muntah karena
mual. Dan kalau kedua-duanya muntah, itulah pertanda bahwa mereka tidak menghendaki
satu sama lain.
Dan akhirnya, tepat pada waktu bersamaan, samar-samar di dalam hati, mereka ingin
punya anak. Apakah mereka benar-benar ingin mempunyai anak, mereka tidak begitu yakin.
Driani sering pulang malam, nglembur di kantor, dan pulang membawa laptopnya untuk
dibukanya lagi. Darojat, demi ke manusiaan, demikianlah kata dia, harus menyempatkan
banyak waktu, bahkan terlalu banyak, untuk memikirkan kesehatan begitu banyak pasiennya.
Dan sering, ketika sedang berhadapan dengan pasien, pikirannya berkelebat ingin punya uang
lebih banyak. Tarif dinaikkan, dan pasien tetap datang. Bahkan ada yang bangga, makin
mahal tarifnya, percaya bahwa dokternya makin bagus, apalagi kalau obatnya juga mahal-
mahal.
Darojat tahu betul, harga pepaya pada penjual pepaya di pinggir jalan sangat murah.
Kalau pepaya yang sama masuk ke plaza menjadi mahal, dan kalau masuk di hotel bintang
lima harganya bisa berlipat-lipat lebih mahal. Dan dia bukan penjual pepaya di pinggir jalan,
bukan pula di plaza, tapi di hotel internasional paling mahal.
Entah mengapa, pada suatu hari salah seorang dari mereka, entah Darojat entah
Driani, berkata: “Bagaimana kalau kita punya anak, ya?”
“Untuk apa?”
“Tentu saja untuk main-main.”
Tanpa sadar mereka tertawa terbahak-bahak, dan akhirnya mereka memang punya
anak. Setelah punya anak, ternyata mereka kecewa, dan bertanya kepada diri sendiri: “Untuk
apa punya anak?”
Karena bayi sudah telanjur lahir dengan kelamin laki-laki, mau tidak mau bayi harus
diberi nama. Dengan kesepakatan bulat, bayi diberi nama Triman, dan makna Triman tidak
lain adalah menerima segala sesuatunya dengan ikhlas dan puas. Andaikata Triman kelak
menjadi pengemis, pasti Triman ikhlas menjadi pengemis, dan puas akan kedudukannya
sebagai pengemis. Andaikata kelak Triman menjadi pencopet, Triman juga pasti akan ikhlas
menjadi pencopet, dan puas dengan kedudukannya sebagai pencopet. Dalam pikiran masing-
masing suami istri ini ada banyak “andaikata,” dan “andaikata” ini selalu mengarah ke yang
buruk-buruk, misalnya tukang tadah barang curian, tukang becak yang tidak laku, atau
gelandangan yang kepalanya pecah berantakan digilas mobil. Tidak ada satu pun “andaikata”
yang indah bagi Triman, misalnya duta besar, menteri perdagangan, gubernur, atau lain-lain
yang derajatnya terhormat.
Ternyata, mempunyai anak membawa penyesalan. Darojat dan Driani merasa ada
sesuatu yang menjijikkan pada Triman. Bukan, bukan sesuatu, tapi Triman sendiri adalah
makhluk yang menjijikkan. Driani harus mengurangi beban pekerjaan di kantornya, dan ini
sangat dia sesali. Darojat, supaya tampak sebagai ayah yang bertanggung jawab, agak
mengabaikan pasien-pasiennya.
Maka lahirlah kesepakatan, meskipun di rumah sudah ada tiga pelayan, tiga orang
suster harus dipanggil, dibayar khusus untuk merawat Triman, bergiliran, masing-masing
delapan jam sehari.
Dasar Darojat dan Driani, mereka menganggap tiga suster ini mau bekerja hanya
karena mengincar upah, dan kalau ada kesempatan mencuri, pasti akan mencuri. Ternyata
semua suster itu baik, merawat Triman dengan bersungguh-sungguh, tapi Darojat dan Driani
tetap curiga, dan karena itu, kadang-kadang Driani diantar oleh Darojat menggeledah suster-
suster itu dengan mata dan kata-kata menuduh.
Pada suatu hari, ketika sedang di geledah untuk kesekian kalinya dalam dua bulan,
suster Ruhani berkata: “Tuhan serbatahu. Kalau saya mati dan pernah mencuri, nerakalah
tempat saya.” Karena Driani dan Darojat tampak tersentak, suster Ruhani menyambung:
“Sebaliknya, mereka yang menuduh saya mencuri, tempatnya pastilah neraka.”
Driani dan Darojat bergidik, dan tidak berani lagi menembak mata suster Ruhani.
Ternyata, ketika Driani dan Darojat menggeledah suster Setiani dan suster Al Amini,
jawaban mereka sama, meskipun kata-kata mereka berbeda.
Keinginan untuk memecat tiga suster itu terpaksa diurungkan.
Setelah Triman berumur dua tahun, Darojat dan Driani teringat kembali percakapan
mereka dahulu, “punya anak untuk main-main”.
Karena itulah, Darojat dan Driani suka melemparkan Triman kuat-kuat ke atas, lalu
Darojat dan Driani berebut untuk menangkapnya, lalu dilemparkan lagi kuat-kuat ke atas, dan
mereka berebut lagi untuk menangkapnya. Beberapa kali lemparan mereka sangat kuat,
sampai-sampai batok kepala bayi itu hampir menghantam plafon. Dan setiap kali batok
kepala bayi itu hampir menghantam plafon, Darojat dan Driani tertawa terbahak-bahak.
Bukan hanya itu. Dalam hati, tanpa dikatakan kepada Driani, Darojat benar-benar ingin batok
kepala bayi itu menabrak plafon sampai plafonnya ambrol, demikian juga keinginan Driani,
dan juga tidak pernah dikatakan kepada Darojat.
Triman sendiri sering diam, pertanda pasrah, sering pula menangis kuat-kuat, sering
pula tersenyum-senyum. Kalau kebetulan Triman mengangis kuat-kuat, Darojat dan Driani
adu cepat membekap mulut Triman sampai Triman hampir kehabisan napas.
Terceritalah, pada suatu malam Darojat dan Driani menonton televisi, acara
rekonstruksi kematian bayi di sebuah daerah yang sangat kotor dan menjijikkan. Ayah bayi
adalah tukang becak yang jarang laku, istri tidak mempunyai pekerjaan tetap, mengontrak
sebuah kamar yang lebih buruk daripada kandang babi. Kamar sangat sempit, kalau mereka
masuk harus membongkok, plafonnya lebih rendah daripada tubuh mereka, dan tempat
tidurnya hanya cukup untuk mereka berdua, itu pun kalau mereka mau tidur miring. Begitu
mereka terlentang, salah satu, atau kedua-duanya, pasti jatuh. Kalau mereka jatuh, pasti
rumah reyot yang mempunyai banyak kamar untuk disewakan itu terguncang-guncang, dan
pastilah tetangga mereka akan berteriak-teriak memaki. Tercerita pulalah mereka punya bayi,
dan ketika mereka sedang tidur, bayi mereka terhimpit tubuh mereka, dan melayanglah
nyawa bayi itu.
Melihat adegan itu Darojat merasa Driani menjadi sangat bersemangat, dan Driani
juga merasa Darojat menjadi sangat bersemangat. Selama mereka melihat adegan
rekonstruksi, wajah Darojat dan Driani memancarkan kebahagiaan yang luar biasa besar.
Darojat teringat, salah satu kesukaannya ketika kecil adalah main bola, dan Driani
teringat, salah satu kesukaannya ketika masih kecil adalah menonton voley. Diam-diam
Darojat berkata kepada dirinya sendiri, alangkah bagusnya apabila Triman diperlakukan
sebagai bola, disepak ke sana-kemari, dan diam-diam Driani juga berkata kepada dirinya
sendiri, alangkah puas hatinya andaikata Triman diperlakukan sebagai bola voley, dipukul ke
sana-ke mari. Baik Darojat maupun Driani menutup mulut rapat-rapat, tidak sudi mengatakan
pikiran mereka mengenai Triman.
Ditendang ke sana-ke mari? Dipukul ke sana-ke mari? Kalau cacat kan ketahuan.
Tanpa pernah mengaku satu sama lain, pada waktu Darojat tidak ada, Driani
membekap mulut dan hidung Triman pada waktu tidur, demikian pula Darojat ketika Driani
tidak ada. Setelah Triman betul-betul berkelejatan hampir kehabisan napas, barulah bekapan
itu dibuka kembali. Untung, Triman tidak sampai terbangun.
Pada suatu hari, seperti biasa sebelum berangkat kerja, Darojat membaca-baca dua
koran, yaitu koran Suara Informasi dan koran Berita Berkata, demikian pula Driani. Karena
enggan berbagi, Darojat berlangganan dua koran itu sendiri dan membayar harga
langganannya sendiri, Driani juga berlangganan dua koran yang sama, dan membayar harga
langganannya sendiri pula.
Setiap hari, dua koran itu pasti meringkas berita-berita penting masa lampau,
misalnya tanggal penyerbuan pasukan Sekutu ke Normandia pada waktu Perang Dunia II,
awal Perang Korea pada tahun 1950-an, film pertama Charlie Chaplain, dan juga peristiwa-
peristiwa penting masa lampau di dalam negeri.
Pagi itu, kebetulan koran Suara Informasi memuat secara ringkas kilas balik Arie
Hanggara, dan keesokan harinya, koran Berita Berkata memuat peristiwa sama dari sudut
pandang berbeda. Arie Hanggara, anak berusia tujuh tahun, meninggal pada tanggal 8
November 1984 akibat siksaan keji ayah dan ibunya sendiri. Berju-tajuta hujatan dan kutukan
menyerbu ayah dan ibu Arie Hanggara, sebelum akhirnya dua orang tua biadab itu
dilemparkan ke penjara.
Tanpa diketahui oleh Darojat, Driani bergidik, demikian pula Darojat, tanpa
diketahui Driani. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan
tahun berganti tahun, sudah beberapa kali suster ganti, ada yang menikah dan pindah
mengikuti suami, ada yang meninggal, ada yang pulang kampung merawat orang tuanya, tapi
untunglah semua suster pengganti berhati mulia. Sebelum meninggalkan Triman, suster lama
selalu berpesan kepada suster pengganti untuk benar-benar merawat Triman dengan baik,
“seorang anak cerdas, baik hati, suka menolong, dan tidak pernah dikehendaki oleh kedua
orang tuanya.”
Setelah tiba waktunya Triman masuk Taman Kanak-Kanak, dan suster-susternya
menganjurkan agar Triman di masukkan ke Taman Kanak-Kanak. Dengan berbagai alasan
yang terasa dibuat-buat, Darojat dan Driani menolak.
Dan setelah suster-suster itu mendesak lagi, dengan tegas Driani, dengan ditemani
Darojat, berkata: “Sekolah Taman Kanak-Kanak kan hanya untuk main-main. Untuk apa saya
membayar kamu?”
Kemudian, datanglah waktunya bagi Triman masuk ke SD. Mau tidak mau, Driani
dengan diantar Darojat memasukkan ke SD, bukan SD yang baik, tapi SD swasta yang
terkenal brengsek. Bukan hanya tiga suster yang protes, tapi juga tiga pembantu rumah
tangga. Driani, dengan didukung oleh Darojat ngotot, karena Triman bodoh, tidak ada
gunanya menyekolahkan dia ke SD yang baik.
Pada hari pertama Triman masuk, ada pemandangan lucu tapi juga mengharukan.
Topi Triman terlalu besar, demikian juga baju, celana, sepatu, dan tas Triman. Karena semua
serba kebesaran, ketika angin bertiup agak kencang topi Triman terpelanting, dan ketika
Triman akan mengejarnya, beberapa kali dia jatuh bangun karena sepatunya sering lepas.
Semua guru dan teman-temannya tertawa mengejek.
Hari kedua sama, demikian juga hari ketiga, dan ejekan guru dan teman-temannya
makin menjadi-jadi.
Terpaksalah tiga suster dan tiga pembantu rumah bersepakat untuk menegur Driani:
“Ibu sangat terpandang, demikian pula Bapak. Semua orang tahu, Ananda Triman jadi olok-
olok. Apakah Ibu tidak malu? Apakah Bapak tidak kehilangan muka?”
Awalnya Driani berpegang teguh pada pendiriannya: “Anak seumur Triman kan
cepat besar. Nanti kalau sudah kelas tiga, topinya, bajunya, celananya, sepatunya, tasnya, kan
sudah pas. Kalian harus melihat masa depan, dong.”
Setelah diam sejenak, suster Ruhani, atas nama semua suster dan pembantu rumah
tangga berkata: “Maaf, semua orang sudah tahu kelakuan Ibu dan Bapak. Kalau Ananda
Triman tetap diperlakukan demikian, kami semua akan keluar dengan baik-baik, dan bersedia
merawat Ananda Triman dengan baik-baik pula. Ananda Triman harus diselamatkan dari
rumah ini.”
Driani terkesiap. Dan setelah Darojat diberi tahu oleh Driani, Darojat sedikit pucat.
Keesokan harinya Driani dan Darojat memutuskan semua suster dan pembantu rumah tangga
harus tetap bekerja, gaji dinaikkan, dan Triman akan diperlakukan dengan baik.
Setelah lulus SD tanpa ditolong oleh orang tuanya Triman mencari SMP yang baik
dan mendaftar sendiri. Demikian juga ketika dia masuk ke SMA, dan demikian pula ketika
dia melanjutkan kuliah. Mengenai biaya Triman tidak perlu khawatir, karena ayah dan ibunya
sanggup memberinya uang berapa pun, setiap saat. Dan Triman tidak pernah minta yang
berlebih-lebihan.
Setelah menjadi mahasiswa, Triman bersahabat dengan seorang dosen baru dan
masih sangat muda, Darmono. Karena gagap, sukar berbicara, pada bulan pertama Darmono
jadi ejekan semua mahasiswa, kecuali Triman. Pada bulan kedua mahasiswa merasa kasihan
kepada Darmono. Dan pada bulan ketiga, ketika mahasiswa sadar bahwa Darmono baik hati
dan memberi kuliah dengan sungguh-sungguh, mahasiswa mulai kagum. Persoalan apa pun
yang dihadapi mahasiswa, pasti Darmono berusaha menyelesaikannya dengan baik.
Darmono merasa, Triman berbeda dengan teman-temannya, dan karena dari waktu
ke waktu Darmono juga melihat perubahan pada Triman. Dalam hati Darmono bersumpah
untuk memperlakukan Triman dengan cara khusus.
Dengan cara sopan dan tidak langsung dia bertanya kepada Triman, apa sebetulnya
yang telah terjadi pada dirinya. Akhirnya Triman mengaku, pada waktu bermain-main dulu,
ketika dia masih kecil, dia terjatuh dari sepeda, dan kepalanya membentur aspal. Sekarang dia
sering merasa kepalanya seperti dipukuli dan ditusuk-tusuk dengan benda tajam yang amat
panas.
Darmono tahu Triman berbohong, dan berusaha, dengan cara halus, untuk
membongkar pengakuan Triman. Beberapa kali Darmono minta Triman untuk menginap di
tempat tinggalnya, sebuah bekas garasi dengan pekarangan luas, di pinggir jalan besar. Dan
Darmono sering bercerita mengenai kesukaannya, yaitu membeli sepeda motor besar yang
sudah tua dan rusak, lalu memperbaikinya sampai sepeda motor itu bisa berlari kencang.
Triman sendiri sudah menyaksikan kelebihan Darmono, dan sudah pula diajak Darmono
untuk dibonceng keliling kota. Tapi, begitu sepeda motor bergerak, Triman berteriak-teriak,
kepalanya seperti dipalu bertubi-tubi.
Pada suatu malam Darmono tertimpa mimpi buruk: Triman meninggal, dengan
meninggalkan pesan, supaya dalam iring-iringan mengantarkan jenazah Triman nanti,
Darmono bergerak perlahan-lahan paling depan, mengendarai sepeda motor besar dengan
sikap gagah. Jangan lupa, Darmono harus memakai pakaian ke besaran sebagai jagoan sepeda
motor besar.
Seminggu kemudian Triman meninggal, dan Darmono dengan suka rela memimpin
iring-iringan pengantar jenazah ke makam. Darmono juga tidak lupa pakaian kebesarannya.
Iring-iringan pun mulai bergerak, dan Darmono bergerak paling depan, sepeda
motornya menderu-deru dengan gagah. Di luar perkiraan, ternyata sepeda motor besar
Darmono beberapa kali mogok. Darmono harus beberapa kali turun naik sepeda motor untuk
memperbaiki mesinnya. Iring-iringan pun berjalan tersendat-sendat. Beberapa orang
mengeluh, beberapa orang merasa kasihan, beberapa orang memaki-maki Darmono, beberapa
di antaranya dengan kata-kata kotor. Ada juga yang bersorak-sorak dengan nada sangat
girang setiap kali Darmono harus turun dan setiap kali Darmono harus naik lagi.
Menjelang jam 11.30 malam pintu rumah Darmono digedor-gedor dengan sangat
kasar oleh tiga orang berbadan kekar dan berwajah algojo. Darmono digelandang ke mobil,
lalu mobil dilarikan dengan kencang ke rumah Darojat dan Driani. Darmono ketakutan,
tubuhnya menggigil, dan dia tahu wajahnya pasti pucat seperti mayat.
Dugaan Darmono betul, dia akan dimaki-maki oleh Darojat dan Driani.
Dengan mata galak Darojat berkata: “Saya baru datang untuk melayani pasien-
pasien saya. Meskipun saya baru kehilangan anak, satu-satunya anak, demi kemanusiaan,
saya tidak tega meninggalkan mereka yang memerlukan pertolongan saya.”
Driani menimpali: “Saya juga baru datang sibuk bekerja di kantor. Demi menunjang
usaha pemerintah untuk meningkatkan ekspor, saya harus kerja keras. Mengapa kamu tadi
mengacau pemakaman anak kami? Satu-satunya anak kami. Harapan masa depan kami dan
seluruh bangsa. Dia cerdas, kalau tidak meninggal, pasti dia akan jadi orang penting.”
Begitu Driani berhenti menggonggong, Darojat cepat menyambung: “Triman
mengaku, selama bersahabat dengan kamu, kepalanya sering kamu bentur-benturkan ke
dinding.”
Darmono tidak tahu mengapa sekonyong-konyong dia tenang. Dan dia juga tidak
tahu mengapa dia bisa berbohong: “Seluruh dunia tahu kamu dokter macam apa.”
Darmono juga heran, mengapa sekonyong-konyong dia tidak gagap.
Darmono berbohong lagi: “Wahai perempuan jalang, seluruh dunia tahu dokter bejat
ini punya banyak perempuan simpanan. Kamu tidak tahu, kan? Dia tahu Triman tahu.
Makanya kepala Triman dibentur-benturkan tembok. Untuk tutup mulut.”
Darmono langsung menyerang Driani dengan kebohongannya: “Wahai, dokter yang
terhormat, ketahuilah, istri kamu ini perempuan jalang. Laki-laki simpanannya banyak.
Triman tahu, dan kamu tidak tahu. Untuk menutup mulut Triman, perempuan jalang ini
membentur-benturkan kepala Triman ke tembok.”
Dengan tenang pula, Darmono menyambung kebohongannya: “Polisi juga sudah
tahu, kok.”
Darmono melangkah perlahan-lahan keluar rumah, dan siap berbohong kepada tiga
algojo yang selalu mengawasi gerak-geriknya.***

Budi Darma, sastrawan, guru besar Universitas Negeri Surabaya.

Rujukan:
[1] Disalin dari karya Budi Darma
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Jawa Pos" Minggu 17 Juli 2016
PRESIDEN JEBULE

Untuk Redi Panuju


Ketika Jebule lahir, alam tidak menunjukkan gejala-gejala aneh: tidak ada angin
ribut, tidak ada gempa, tidak ada tanah longsor, semua tidak ada, semua biasa-biasa saja.
Meskipun demikian, ketika dia lahir, ada sebuah keajaiban: leher Jebule miring. Dan dukun
bayi buta huruf tahu apa sebabnya: pinggul ibu Jebule terlalu sempit, tapi, berkat kecerdasan
pemberian Tuhan kepada dukun bayi buta huruf ini, dukun buta huruf bersumpah, bahwa dia
akan sanggup meluruskan leher Jebule. Dan karena semua penduduk melarat, upah bagi
dukun bayi buta huruf cukup sederhana bagi orang-orang lain pada umumnya, tetapi sangat
berat bagi penduduk desa terpencil itu: lima potong gula jawa. Manfaat gula jawa: menahan
kelaparan, dan memang semua penduduk desa terpencil itu mulai lahir sampai nyawanya
melayang perutnya selamanya tidak pernah kenyang.
Demikianlah, setiap hari dukun bayi buta huruf ini datang ke gubuk ibu Jebule,
memijat-mijat Jebule, menelusuri syaraf, otot, dan jalan darah Jebule, untuk mencari rahasia
bagaimana cara membetulkan lehernya. Dia juga memijat-mijat tubuh ibu Jebule, terutama
pinggulnya.
Setelah beberapa hari datang ke gubuk ibu Jebule, berkatalah dukun bayi buta huruf:
"Saya tahu Jebule bukan anak suamimu."
Suami ibu Jebule buta sejak lahir, lebih banyak menganggur daripada bekerja, dan
kesenangannya adalah mengelus-elus pipa rokoknya, sampai halus dan licin. Untuk membeli
rokok dia tidak punya uang, maka, kecuali menggosok-gosok pipanya kadang-kadang lebih
dari delapan belas jam sehari, dia hanya mampu menyedot-nyedot pipanya seolah-olah
menyedot-nyedot tembakau menyala.
Akhirnya, dengan pertolongan Tuhan Seru Sekalian Alam, leher Jebule bisa
dijadikan tidak miring.
Hari demi hari Jebule makin besar, dan seperti semua orang di desa terpencil itu,
perut dia tidak pernah terganjal oleh makanan yang cukup. Maka Jebule pun tumbuh sebagai
anak kecil kurus, selalu kalah kalau berkelahi dengan sesama temannya, dan begitu dipukul
pasti dia menangis berkepanjangan.
Tapi, jangan khawatir. Otak Jebule ternyata cerdas. Kalau ada tukang sulap datang,
dia memandang tukang sulap dengan cermat, dan meskipun dia tidak berkata apa-apa, dia
tahu kebohongan tukang sulap. Dia tahu sulap sebetulnya tidak pernah ada, yang ada
hanyalah kecepatan mempermainkan tangan, dan mengumbar kata-kata untuk membohongi
penontonnya.
Kalau ada rombongan kuda lumping datang, dia juga memperhatikan dengan cermat
semua petingkah rombongan itu. Dia tahu bagaimana cara mereka memainkan cemeti supaya
suaranya keras dan menakutkan, serta menggetarkan udara sampai jarak jauh. Setiap kali
cemeti dimainkan, gemanya pasti bersahut-sahutan, dan menimbulkan rasa takut. Ada
caranya, dan dia tahu bagaimana caranya.
Mengapa orang-orang rombongan meringis-meringis kalau dihantam cemeti?
Mereka sedikit kesakitan, tapi tidak benar-benar sakit. Andalan mereka adalah latihan keras,
bertubi-tubi, sampai kulit benar-benar tahan dan tidak akan melepuh.
Lalu, mengapa penunggang kuda-kudaan dari bambu itu mampu menelan kaca tanpa
memuntahkannya kembali? Sebelum menelan kaca, mereka selalu dihajar dengan cemeti
berkali-kali, lalu mereka berguling-guling di tanah, lalu mereka diberi minum air kotor,
dipukuli lagi, berguling-guling lagi, sampai akhirnya matanya menutup rapat dan lidahnya
menjulur-julur. Sesudah itu, mereka disuruh makan bola lampu, cermin, dan barang-barang
tajam lain. Penonton percaya, karena suara kendang, tambur, seruling, gelegar-gelegar
cambuk, serta jeritan-jeritan mereka dengan kata-kata yang sama sekali tidak jelas, tidak lain
adalah semacam mantra untuk menyihir. Bagi Jebule, caranya beda, tapi mereka, sama
dengan tukang sulap, juga pembohong.
Pada suatu hari, ketika rombongan kuda lumping tertidur karena terlalu lelah, Jebule
mencuri sisa makanan serta cemeti mereka. Sejak saat itulah dia tidak pernah kembali ke
desanya. Dia berubah menjadi pengemis, pencopet, dan pencuri, tergantung pada keadaan
yang dia hadapi.
Dalam berpetualang dia selalu memperhatikan satu hal: membaca. Membaca huruf,
membaca perilaku manusia, binatang, dan juga, gejala-gejala alam. Bagaikan binatang, dia
bisa merasakan kapan akan hujan, kapan akan banjir, dan kapan musim panas akan tiba dan
berapa keras matahari akan melampiaskan panasnya di permukaan bumi.
Karena pandai mencuri, tubuh Jebule sekarang berisi. Dan dia tahu tubuh harus terus
dilatih. Untuk menakar kekuatan tubuhnya, kadang-kadang dia pukuli tiang listrik dengan
tangan kosong, dan dia bentur-benturkan kepalanya.
Jangan heran, ketika pada suatu hari dia mendaftar jadi tentara, diuji, dan langsung
diterima. Tentu saja, dia bisa diterima karena dia pandai berbicara, berbohong, dan menipu,
dan juga, tubuhnya kuat. Dalam berbagai latihan dia bisa merobohkan teman-temannya.
Bermain cemeti curian dari rombongan kuda lumping tentu berbeda dengan menembak,
berbeda juga dengan main sulap. Berbeda, tapi, bagi dia, pasti banyak kesamaannya:
kecermatan, kecepatan, serta kelincahan tubuh.
Dan berbeda dengan teman-temannya, setiap ada kesempatan dia pasti membaca.
Semua bacaan dilahap dengan rakus, terutama riwayat hidup orang-orang besar. Dia mafhum
bagaimana cara Napoleon belajar bahasa Inggris: beli buku pelajaran bahasa Inggris yang
sama sekali tidak bermutu. Karena cerdas, maka dengan cepat dia menguasai bahasa Inggris
yang hancur-hancuran. Dia bisa menangkap bahasa Inggris, dan kalau dia berbicara dalam
bahasa Inggris, pasti pendengarnya bingung beberapa saat, tapi akhirnya tahu maksud dia.
Mengapa jenderal-jenderal musuhnya menganggap Napoleon serdadu bodoh, Jebule
juga tahu. Semua jenderal musuh menganggap perang adalah pekerjaan pegawai kantoran,
pagi bertempur, siang istirahat, lalu bertempur lagi, lalu malam hari tidur. Dan jenderal-
jenderal musuh menganggap perang adalah parade unjuk kekuatan: tambur ditabuh bertubi-
tubi, seruling mengikutinya, dan semua serdadu tampak akan berangkat ke festival. Bagi
jenderal-jenderal musuh, perang tidak lain harus berhadap-hadapan. Serdadu berbaris di
lapangan terbuka, serdadu musuh juga demikian, lalu kalau sudah dekat, mereka bertempur.
Itulah perang yang sesungguhnya, pikir jenderal-jenderal musuh. Tapi karena
Napoleon bodoh, dia suka menyerang dari belakang, dari kiri, dari kanan, dan kadang-kadang
mengepung musuh tanpa diduga. Malam pun, bagi Napoleon, bisa digunakan untuk
melancarkan serangan-serangan mematikan. Karena kebodohannya, maka Napoleon sanggup
mengalahkan musuh-musuhnya dengan mudah.
Jebule juga tahu, betapa hebatnya Xerxes, tokoh penting dalam sejarah pertempuran,
akhirnya kalah: Xerxes terlalu percaya diri, terlalu congkak, dan suka pamer. Beberapa hari
menjelang pertempuran, dia undang semua keluarga para pembesar untuk menyaksikan
kehebatan pasukannya. Akibatnya, hampir semua prajuritnya dikirim ke neraka oleh
musuhnya, dan keluarga mereka pun, dijadikan budak.
Tempat tidur Jebule selalu morat-marit, ditumpuki berbagai macam buku: ada buku
Machiavelli The Prince, mengenai bagaimana cara mendapat kekuasaan dan
mempertahankan kekuasaan, ada buku filsof Thomas Hobbes Leviathan, mengenai keharusan
seorang pemimpin untuk selamanya bertambah kuat, dan buku-buku mengenai kehidupan
jenderal-jenderal besar. Tentu saja, buku-buku tentang kejatuhan para diktator juga ada.
Dengan kepandaiannya bermain kata, menipu, berbohong, dan menjerumuskan
musuh-musuhnya, akhirnya dia menjadi presiden. Bukan hanya sekadar menyiksa,
membunuh pun bagi Jebule, adalah halal.
Jebule tahu, supaya semua orang tunduk, sebuah peraturan, yang tampaknya
sederhana, harus dilaksanakan: potongan rambut dia harus ditiru oleh semua laki-laki,
demikian juga cara berpakaiannya. Untuk menguji kesetiaan seluruh penduduk, dia pernah
gundul, pernah cukur rambut pendek, pernah juga agak gondrong. Semua laki-laki mulai
umur lima tahun sampai menjelang mati, harus ikut gaya rambutnya. Dan mereka yang botak
harus pakai wig model mutakhir potongan rambut Jebule, termasuk mereka yang botak akibat
kemo, dan yang pura-pura botak akan dihukum cambuk di depan khalayak.
Supaya kekuasaannya tidak luntur, semua perempuan, mulai umur lima tahun
sampai menjelang kematiannya, harus mengikuti potongan rambut istrinya. Dan seperti
Jebule, istri Jebule sering ganti potongan rambut.
Tentu saja, rakyat tidak akan selamanya diam, dan begitu ada gejala mengancam,
Jebule tahu cara memadamkannya. Tapi, rakyat adalah rakyat, dan penindasan adalah
penindasan. Maka, ketika Jebule dan pembesar-pembesar kuncinya melawat ke Mesir, rakyat
berontak. Dalam perjalanan pulang, pilot pesawatnya agak kurang ajar. Dengan sengaja
pesawat dibuat berputar-putar, supaya Jebule dapat melihat, bahwa rakyat sedang membakar
ibu kota. Dan ketika pesawat mendarat, borgol dan mulut-mulut senjata menyambut Jebule
dan pembesar-pembesar kunci.
Jebule bersumpah akan menyerahkan semua kekuasaannya kepada wakil presiden,
dalam upacara besar yang akan disaksikan oleh semua orang penting, termasuk para semua
diplomat dari luar negeri.
Pada saat yang sudah ditentukan, berjalanlah Jebule dengan gagah, langsung menuju
ke pengeras suara. Dengan suara berat dan tekanan-tekanan yang sangat jelas, Jebule
bersumpah, begitu selesai membaca teks pidato yang sudah disiapkannya, kekuasaannya akan
sepenuhnya diserahkan kepada wakil presiden.
Dengan mengutip berbagai kitab agama, undang-undang dasar, dan kata-kata para
filsuf, Jebule terus membaca, dengan tempo yang makin lama makin lambat. Beberapa kali
Jebule menekankan, dia harus membaca teks pidatonya sampai selesai.
Wakil presiden berdiri tegap, lalu makin lama wajahnya makin pucat, tubuhnya
bergoyang ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang, tapi tetap berdiri.
"Ingat, saya akan menyerahkan kekuasaan kepada wakil presiden setelah saya
selesai membaca teks pidato," kata Jebule berulang-ulang.
Tubuh wakil presiden makin bergoyang-goyang. Jantungnya, paru-parunya, hatinya,
ginjalnya, pankreasnya, dan semua isi dada dan perutnya melepuh. Akhirnya roboh.
Budi Darma lahir di Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937. Ia mendapat berbagai
penghargaan, antara lain SEAWrite Award, Satya Lencana Kebudayaan Presiden Republik
Indonesia, dan Anugerah Mastera dari Brunei. Sekarang bekerja sebagai Guru Besar
Emeritus di Pascasarjana Unesa.

Rujukan:
[1] Disalin dari karya Budi Darma
[2] Pernah tersiar di surat kabar "KOMPAS" edisi Minggu 5 Juni 2016
Potret Itu, Gelas Itu, Pakaian Itu
Oleh: Budi Darma

Sungguh menakjubkan, bahwa ketika hari sudah petang dan lampu jalanan mulai
dinyalakan, perempuan itu membuka jendela dan memandang keluar. Alis perempuan itu
hitam tebal, melindungi matanya, dan mata itu tajam dan sebentar bergerak-gerak. Ketika
melihat laki-laki bertubuh kurus jangkung berdiri di pinggir jalan, mata perempuan itu
bergerak-gerak cepat ke kanan dan ke kiri.
Laki-laki bertubuh kurus jangkung memang sudah menantikan saat-saat seperti ini,
kemudian meloncat ke pekarangan melalui pagar tanaman, pagar tanaman yang sebetulnya
tidak begitu tinggi.
Beberapa saat kemudian mereka berdua sudah berada di dalam kamar. Dengan
tangan gemetar, perempuan itu menutup jendela dengan hati-hati, dengan sebelumnya
menyelidik cepat-cepat apakah perbuatannya terintai oleh orang lain. Laki-laki bertubuh
kurus jangkung itu juga gemetar.
Lampu di dalam kamar sudah menyala, tapi sangat samar. Dengan tidak memandang
ke arah laki-laki itu, perempuan itu menuding ke arah dinding sebelah kanan. Di bawah potret
ada sebuah gelas, terletak di sebuah rak buku kecil. Dan di dalam rak terdapat beberapa buku,
dan judul buku-buku itu tidak mungkin dibaca karena sinar lampu sangat samar.
Laki-laki itu mengangguk mengerti. Dia mendekati dinding di sebelah kanan.
Matanya berganti-ganti melihat potret laki-laki itu, kemudian gelas, dan kemudian beberapa
buku. Tubuhnya agak membongkok manakala dia melihat-lihat buku-buku di dalam rak.
Ketika perempuan itu menjawil tangan kirinya, perhatian laki-laki bertubuh kurus
jangkung itu masih terlarut ke dalam potret laki-laki di dinding. Agak terkejut juga dia ketika
dia merasa dijawil. Dan tahulah dia sekarang, bahwa perempuan itu sedang me-nuding-
nuding ke arah sebuah tempat tidur kecil.
Ada sebuah meja kecil dengan bunga segar di dekat tempat tidur itu. Di dekat tempat
tidur ada pula sebuah kursi. Dan yang mengherankan laki-laki itu adalah, mengapa di dekat
tempat tidur tidak ada potret seorang laki-laki, misalnya saja potret laki-laki yang tergantung
di dinding sebelah kiri. Tapi laki-laki itu tidak bertanya, karena perempuan itu sudah
menjelaskan:
"Dia tidak mau potretnya dipasang di sini."
Belum sempat bertanya apa-apa, laki-laki itu sudah ditarik oleh perempuan itu untuk
mendekati sebuah almari. Dan ketika perempuan itu membuka almari, terasalah bau enak
menebar di dalam kamar remang-remang itu. Dan laki-laki itu tidak terkejut melihat,
beberapa pakaian laki-laki di dalam almari.
Laki-laki itu terus diam ketika perempuan itu mengudal-udal beberapa pakaian dari
dalam almari. Meskipun demikian, laki-laki itu agak terkejut, ketika melihat pakaian di
sebelah dalam almari itu ternyata penuh cipratan darah. Dan segeralah perempuan itu
mengguyurkan minyak wangi dengan khidmat dan hormat ke pakaian itu.
Setelah perempuan itu menutup almari dan laki-laki itu duduk dekat tempat-tidur,
perempuan itu berjalan ke arah tombol listrik, dan mematikan lampu bercahaya lemah itu.
"Apakah yang tadi kau lihat pada potret yang tergantung di dinding itu?" tanya
perempuan itu.
"Saya tidak pernah melihat laki-laki seagung itu. Sungguh agung dia. Jengkal demi
jengkal wajahnya menunjukkan keagungan luar biasa."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Tentu saja saya mengagumi dia. Matanya sungguh
menakjubkan. Alangkah senangnya kau menjadi istrinya."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya yakin dia laki-laki gagah, kendatipun nampaknya
tubuhnya hanyalah kurus jangkung. Dia pasti laki-laki ramah."
"Apa lagi?"
"Apa lagi? Ya, apa lagi? Saya kagum pada raut wajahnya. Dia pasti mempunyai
wibawa besar, wibawa tinggi. Saya mengaguminya."
"Hanya itu?"
Laki-laki itu kehabisan akal dan kehabisan kata. Maka berbicaralah dia asal
berbicara, tentunya tanpa mengetahui apa yang dikatakannya:
"Tentu saja tidak. Saya heran mengapa laki-laki semulia ini bisa mati terganyang
kanker. Heran. Saya heran mengapa takdir tidak memberinya umur panjang, untuk
memberikan kesempatan kepadanya guna lebih memuliakan cita-citanya dalam mengangkat
harkat, martabat, dan derajat sesamanya."
"Siapa yang mengatakan dia dihabisi kanker?"
Laki-laki itu diam. Dia ingat, pada suatu malam dia melihat seorang anak perempuan
kecil memotret dirinya. Kalau tidak keliru, dia dipotret sekitar tiga bulan lalu, di Balai
Wartawan ketika diadakan pertemuan antara beberapa pedagang dengan wartawan. Begitu
cepat anak perempuan itu memotretnya, kemudian berjalan bergegas dan menyelinap di
antara sekian banyak orang. Akhirnya laki-laki itu tahu, bahwa anak perempuan itu datang
bersama seorang perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam. Ketika laki-laki itu
berusaha menemui anak perempuan itu, pertemuan dinyatakan bubar. Dan karena dia harus
menemui beberapa temannya, perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam serta anak
perempuan itu terlepas dari tangannya.
"Laki-laki itulah yang saya cintai," kata perempuan itu. "Karena itulah potretnya
saya pasang di situ. Dan karena itu pulalah gelas peninggalannya saya taruh di bawah
potretnya. Dia selalu minum dari gelas itu setiap kali dia datang ke sini. Bekas-bekas bibirnya
masih ada di situ. Dan setiap kali saya merindukannya, selalu saya usap-usap mulut gelas itu
dengan pinggiran mulut saya. Sering mulut gelas itu saya lumat-lumat dengan bibir saya
seperti pada waktu saya melumat-lumat bibirnya. Dan sering juga mulut gelas itu saya gosok-
gosokkan ke payudara saya, seperti dia sendiri dahulu sering mengagumi payudara saya. Dan
buku-buku dalam rak itu adalah buku-buku kegemarannya. Setiap kali dia ke sini selalu dia
membuka-buka halaman-halaman buku itu. Begitu gemar dia membuka-bukanya, segemar
dia membuka-buka lembar demi lembar pakaian yang saya kenakan."
Laki-laki itu diam. Dia tidak tahu mengapa sekonyong-konyong siang tadi dia
menemukan sebuah surat tergeletak di meja kerjanya di kantor. Ketika dia menanyakan
kepada sekretarisnya, beberapa bawahannya, dan juga beberapa pesuruh siapa gerangan yang
menaruhkan surat itu di atas mejanya, tidak seorang pun tahu. Laki- laki itu hanya tahu
bahwa sudah beberapa hari ini ada seorang laki-laki mencurigakan secara berkala mengitari
kantornya. Setiap kali laki-laki itu akan masuk kantor, laki-laki mencurigakan selalu
menghadangnya dekat pintu, kemudian mengawasinya dengan pandangan tidak enak. Dan
setiap laki-laki itu akan meninggalkan kantor, laki-laki mencurigakan selalu menghadangnya
di dekat pintu dengan menggumamkan suara tidak jelas. Kemudian dia sering melihat laki-
laki mencurigakan berseliweran tidak jauh dari jendela kaca yang memi-sahkan kantornya
dengan kebun kacang. Dan setiap kali pandangan mata mereka bertemu, laki-laki
mencurigakan selalu memandanginya dengan sikap tertegun.
Surat itulah, yang mungkin telah disampaikan oleh laki-laki mencurigakan itu, yang
telah mengantarkannya ke rumah perempuan beralis hitam tebal dan bermata tajam.
"Dari sekian banyak laki-laki yang saya kenal, dialah laki-laki yang saya cintai,"
kata perempuan itu lagi. Dan kemudian perempuan itu bercerita mengenai gelas itu lagi,
mengenai buku-buku itu lagi, dan akhirnya mengenai payudaranya.
"Rupanya laki-laki lain yang pernah saya kenal tidak begitu menyukai payudara
saya. Hanya dialah yang sering membisikkan kata-kata aneh ke payudara saya segera setelah
dia menjelek-jelekkan sekian banyak perempuan lain. Senang sekali dia membanding-
bandingkan payudara saya dengan payudara mereka, dan tentu saja tubuh saya dengan tubuh
mereka. Dia bercerita mengenai perempuan-perempuan dan dengan sangat terbuka, dengan
nada sangat melecehkan mereka, dan tentu saja dengan nada mengagung-agung-kan saya.
Betul yang kau katakan tadi, dia laki-laki mengagumkan, sangat mengagumkan. Bagi saya,
mungkin dia jauh lebih agung dan jauh lebih mengagumkan dibanding dengan Nabi Yusuf.
Ingat, Nabi Yusuf tidak suka merayu, sementara dia suka merayu, yaitu merayu sekian
banyak perempuan, sampai akhirnya dia jatuh di hadapan saya, menjilati kaki saya. Setiap
kali didekati perempuan, Nabi Yusuf selalu mengingatkan perempuan yang mendekatinya
dan juga dirinya sendiri akan masa depan manusia, apabila manusia telah mati kelak. Ketika
seorang perempuan berusaha merayunya dan mengatakan bahwa rambut Nabi Yusuf sangat
indah, berkatalah Nabi Yusuf, 'Rambut inilah yang pertama kali akan berhamburan dari tubuh
saya setelah nyawa saya meloncat dari tubuh saya.' Dan ketika seorang perempuan
merayunya lagi, berkatalah Nabi Yusuf, 'Kelak tanah akan melumatkan wajah saya.'
Laki-laki yang potretnya di sana itu sangat berbeda. Dia selalu melihat ke depan,
tanpa mau mengerti bahwa pada suatu saat maut akan menjemputnya. Dia selalu
membisikkan kata-kata indah mengenai kegunaan dan kenikmatan hidup. Tanpa pernah
mengatakannya, dia selalu berpikir untuk memanfaatkan detik demi detik untuk berjasa,
memberi kenikmatan bagi orang lain, dan juga bagi dirinya sendiri. Sering dia bercerita
mengenai mimpi-mimpi indah, seperti misalnya memperluas usaha-usaha dagangannya kalau
perlu dengan menaklukkan musuh-musuhnya, kemudian membangun rumah-rumah yatim
piatu, mendirikan sekolah-sekolah, membantu rumah sakit-rumah sakit, dan entah apa lagi.
Dia sangat suka membantu orang-orang papa dan orang-orang yang ingin maju, tapi
sekaligus sangat membenci orang-orang malas dan tidak mempunyai otak. Dalam keadaan
lelah dia mendatangi saya, untuk menikmati tubuh saya dan sekaligus menghidangkan
kenikmatan bagi saya. Dia datang untuk mencari gairah hidup, agar dia menjadi lebih segar,
lebih bersemangat, dan lebih mampu beribadah dalam bentuk kerja keras. Setiap inci
tubuhnya adalah pertanda keagungannya, demikian pula setiap dengan nafasnya."
"Dan manakah anak perempuan yang memotret dahulu?"
"Ciumlah tangan saya sebelum saya menjawab pertanyaanmu."
Belum selesai dia mencium tangan kanan perempuan itu, perempuan itu sudah
menyodorkan tangan kirinya.
"Ulangilah pertanyaanmu tadi."
"Manakah anak perempuan yang memotret dahulu?"
"Anak perempuan? Maaf, saya tidak tahu ke arah mana pembicaraanmu. Andaikata
kau bermaksud untuk menanyakan apakah saya mempunyai anak perempuan, saya dapat
menjawab bahwa saya tidak mempunyai anak perempuan. Ketahuilah anak perempuan suka
rewel, demikianlah kata laki-laki yang saya cintai. Dan andaikata saya mempunyai anak, saya
tidak akan mengijinkannya memotret."
"Mengapa?"
"Menurut laki-laki yang saya cintai itu, memotret hanyalah menghabiskan uang.
Setiap orang harus berhemat. Dan mungkin karena itu pulalah dia tidak suka anak
perempuan, sebab dia sering mengatakan bahwa anak perempuan hanya memboroskan saja.
Dia juga tidak suka potret, karena potret hanyalah menghabiskan uang."
"Benarkah laki-laki seagung itu mempunyai jalan pikiran demikian?"
"Memang saya sering menemui kesulitan dalam mengorek apa yang sebenarnya
berkelebat di dalam nuraninya. Sering kata-katanya melompat demikian saja dari puncak
otaknya, sementara kelebat hati nuraninya yang sesungguhnya tidak terucapkannya. Saya
sendiri yakin dia sama sekali tidak pelit. Dia pasti menyimpan rahasia mengapa dia tidak
menyukai anak perempuan. Dan saya pernah berhasil mengoreknya, ketika dia mengigau
dalam tidurnya. Meskipun demikian, kata-katanya hanyalah pendek dan tidak jelas, sehingga
sulit bagi saya untuk menafsirkannya. Tapi saya tahu, dia berhati agung.
Bagi dia, laki-laki tidak bisa bebas dari perempuan, dan perempuan pada dasarnya
adalah beban. Eva sengaja diciptakan Tuhan untuk menemani Adam, tapi sekaligus untuk
melancarkan wahyu-wahyu setan. Istri paman Nabi Muhammad, Ummu Jamil namanya,
justru akan mencelakakan keponakan suaminya sendiri. Siapa yang akan mencelakakan Nabi
Nuh, tidak lain dan tidak bukan adalah istrinya sendiri. Negeri Sodom juga hancur lebur,
setelah istri Nabi Luth, nabi yang dipercaya oleh Tuhan untuk menegakkan ketaqwaan di
negeri itu, mengkhianati suaminya habis-habisan. Adalah pula Siti Qodariah, seorang wanita,
yang berusaha mencelakakan Nabi Yusuf setelah usahanya untuk menikmati keindahan tubuh
Nabi Yusuf gagal. Belasan tahun perang di Troya adalah juga perang untuk memperebutkan
perempuan. Laki-laki sudah ditakdirkan untuk tidak mampu mengalahkan nafsunya sendiri,
dan perempuan terlanjur sudah diciptakan untuk memperbudak nafsu laki-laki."
Belum sempat laki-laki itu bertanya, perempuan itu menyuruhnya berjongkok di
lantai dan menjilati kakinya.
"Setiap laki-laki harus menjilati kaki saya," katanya.
Setelah selesai menjilati seluruh bagian tubuh perempuan itu dan setelah selesai
mengucapkan selamat tinggal, laki-laki itu keluar lewat pintu, dan pintu itu segera ditutup
dari dalam, kemudian laki-laki itu meloncat keluar melalui pagar tanaman.
Laki-laki itu merasa bahwa malam telah larut benar. Ketika memasuki sebuah gang,
dia berjalan agak sempoyongan. Bau wangi tubuh perempuan yang baru saja ditinggalkannya
masih melekat pada seluruh bagian tubuhnya sendiri. Dan keringat dari celah-celah kulitnya
terasa begitu asing, karena yang tercium olehnya adalah keringat perempuan itu.
Heran benar laki-laki itu, mengapa tadi dia tidak menanyakan siapa nama
perempuan itu. Hapal-hapal ingat kalau tidak salah perempuan itu menamakan dirinya
Maemunnah. Atau mungkin Robinggah. Mungkin juga dia Jurbbah. Bukankah dia Immlah?
Ya, pokoknya pakai "ah", entah itu Siffiah, entah Monissah, atau Markammah.
Dia ingat, perempuan itu tidak pernah menyebut-nyebut nama laki-laki yang
potretnya tergantung di dinding. Dan laki-laki yang potretnya tergantung di dinding itu
bukanlah suami perempuan itu. Laki-laki itu hanya kadang-kadang datang ke sana untuk
menyibuk-nyibukkan dirinya. Ini sudah berlangsung selama beberapa tahun, ujar perempuan
itu.
Ketika laki-laki itu menanyakan siapa yang membuat potret di dinding itu,
perempuan itu hanya menceritakan bahwa pada suatu hari dalam sebuah musim kemarau
panjang ada seorang anak perempuan mengantarkan bingkisan besar ke rumahnya, dan
ternyata bingkisan itu adalah potret itu. Anak perempuan itu sama sekali tidak pernah datang
ke sana lagi.
Laki-laki itu terus berjalan tergontai-gontai. Ketika seekor kucing hitam melintas di
gang dan memotong jalannya, dia tidak menahan langkahnya. Kucing itu pun tidak perduli
bahwa dia sedang berpapasan dengan seorang laki-laki. Tetapi, ketika kucing itu melompat
ke tempat agak tinggi dan menyorotkan matanya ke arah laki-laki itu, laki-laki itu merasa
keringatnya keluar lebih deras. Dan keringat itu rasanya bukan keringatnya sendiri, karena
baunya sama benar dengan bau keringat perempuan tadi.
Sementara rasa hausnya memuncak sampai ke ubun-ubun kerongkongannya, laki-
laki itu terus berjalan. Kata perempuan tadi, setiap kali laki-laki itu minta minum karena
merasa haus. Dan setiap kali akan pulang, pasti laki-laki itu minta minum lagi untuk
meninggalkan bekas bibir pada mulut gelas. Dan gelas itu masih tergeletak di rak buku.
Tiba-tiba laki-laki itu merasa salah jalan. Ketika masih berada di jalan besar tadi,
seharusnya dia berjalan terus, kemudian membelok ke kiri. Ternyata tadi dia membelok ke
kanan sebelum waktunya. Dia membelok ke kiri. Setelah tertegun sejenak, dia memutuskan
untuk kembali menyusuri gang, dan untuk kemudian memasuki jalan yang benar.
Laki-laki itu masih berdiri tertegun ketika seekor kucing hitam kecil meloncat dari
dinding di atas sana, lalu lari cepat memintasi jalannya. Ternyata kucing itu lari ke sebuah
lorong di sebelah kanan. Dan ketika laki-laki itu melihat ke arah lorong, nampaklah olehnya
sebuah lampu kecil, menerangi sesuatu yang tidak asing baginya, yaitu sumur. Mengapa dia
tidak ke sana sebentar, menimba, dan minum?
"Maka berjalanlah dia agar cepat menuju ke sumur. Namun, sebelum dia benar-
benar dekat dengan sumur, seorang laki-laki menegor dia.
"Mengapa malam-malam begini kamu berada di sini?"
Dengan cepat dia mengenal siapa laki-laki itu: kedua matanya bulat seperti mata
burung hantu, lehernya kurus panjang dengan buah kuldi mendongkol dan selalu naik tu-run,
sementara urat-urat tangannya membengkak menutupi kedua tangannya, dan tangan-tangan
itu benar-benar kurus. Dialah laki-laki mencurigakan, dan dialah yang selalu menga-wasinya
di kantor.
"Mengapa malam-malam begini kamu berada di sini?" tanya laki-laki mencurigakan
sekali lagi.
Dia tidak dapat menjawab. Matanya menangkap buah kuldi laki-laki mencurigakan,
dan ingatannya melompat ke payudara perempuan tadi. Benar-benar payudara perempuan
tadi memberinya kenikmatan, dan benar-benar buah kuldi laki-laki mencurigakan itu
memuakkan. Dia seolah-olah melihat Adam, pada waktu mata Adam mendelik karena buah
terlarang yang dimakannya menyangkut di kerongkongannya. Tiba-tiba dia merasa sedang
berhadapan dengan iblis. Adam di hadapannya adalah iblis, demikian juga perempuan tadi.
Payudara perempuan tadi, tidak lain adalah buah terlarang yang terlanjur tersangkut,
kemudian menawarkan kenikmatan dan sekaligus tindak-tindak maksiat.
Rasa haus makin menggorok kerongkongannya. Dan ketika dia mengelus-elus
kerongkongannya sendiri, sadarlah dia bahwa buah kuldinya sangat besar, naik turun, dan
sangat menjijikkan. Tiba-tiba dia sadar, bahwa dia sendiri dan perempuan tadi tidak lain dan
tidak bukan adalah sepasang iblis juga. Dan dia merasa benci terhadap perempuan itu, karena
tadi dia tidak diijinkannya minum, karena, katanya, dia tidak mempunyai gelas lain kecuali
gelas di atas rak buku itu. Dan gelas itu, katanya lebih lanjut, hanyalah untuk menghidupkan
kenang-kenangan.
Ketika laki-laki mencurigakan menegurnya lagi, dia terus berjalan ke arah sumur.
Dan tepat ketika dia memegang tali timba, laki-laki mencurigakan berkata:
"Minumlah sepuas-puasmu, kalau perlu sampai meletus perutmu, karena sumur ini
adalah milik saya."
Dia melemparkan timba ke dalam sumur, dan ternyata sumur sangat dalam. Ketika
laki-laki mencurigakan menceritakan perihal dirinya sendiri, dia sama sekali tidak
mendengarkannya. Perlahan-lahan dan hati-hati sekali dia mengulur tali ke bawah, sampai
akhirnya timba menyentuh air. Kemudian perlahan-lahan pula dia menarik tali timba ke atas.
Laki-laki mencurigakan terus bercerita. Beberapa waktu lalu dia membeli kebun
kacang tidak jauh dari kantor laki-laki bertubuh kurus jangkung. Setelah melalui beberapa
perkelahian, barulah pemilik lama mau menyerahkan kebun kacang itu meskipun uangnya
telah lama diterima sebelumnya. Belum lama laki-laki mencurigakan itu berhasil memiliki
tanah miliknya sendiri, terdengar berita bahwa kebun kacang itu akan dicaplok oleh laki-laki
bertubuh kurus jangkung untuk perluasan kantornya. Laki-laki mencurigakan ini belum mau
percaya, dan karena itu berusaha mencari penjelasan. Setiap kali dia mendekati kantor untuk
mencari kabar, selalu dia diolok-olok oleh orang-orang kantor itu.
Selesailah sudah laki-laki bertubuh kurus jangkung minum. Tubuhnya merasa agak
segar, namun tidak satu kata pun dari laki-laki mencurigakan ini yang masuk ke telinganya.
Dia hanya berpikir, alangkah enaknya seandainya tadi dia diijinkan minum dari gelas di atas
rak buku, sebab, setiap kali perempuan itu merindukannya, pastilah bekas bibirnya akan di-
jilat-jilat.
Masih sempat dia melihat laki-laki mencurigakan, sebelum dia melangkah untuk
kembali ke gang tadi. Dia merasa benar-benar jijik melihat laki-laki mencurigakan. Mata
laki-laki mencurigakan itu, bulat dan besar, menyembunyikan kelicikan tanpa tara. Leher
laki-laki mencurigakan itu, yaitu leher yang panjang, mengingatkannya pada leher burung
onta yang diracunnya sewaktu dia berjalan-jalan di kebun binatang. Dan buah kuldi itu,
bagaikan buah kuldinya sendiri, adalah pertanda dosa Adam, yaitu dosa yang menurunkan
siksa bagi manusia entah sampai kapan.
Ingin sekali dia cepat-cepat meninggalkan laki-laki mencurigakan. Namun, belum
sempat dia melangkahkan kakinya lebih lanjut, laki-laki mencurigakan berlari-lari kecil ke
arahnya, kemudian menghadangnya. Rasa jijiknya makin meledak. Sambil berusaha keras
mengibaskan rasa jijiknya, dia mengambil jalan ke samping kiri.
Dia mempercepat langkah, tapi terpaksa terhenti ketika sekonyong-konyong terasa
punggungnya patah. Ketika laki-laki mencurigakan berdiri di hadapannya lagi, dia terpaksa
membongkokkan tubuhnya ke depan, karena terasa olehnya bahwa tubuhnya akan patah
menjadi dua bagian. Ketika akhirnya rebah ke tanah, masih sempat dia membalik tubuhnya,
dan melihat ke arah bulan. Memang bulan masih tetap di sana, di langit sana. Laki-laki
mencurigakan membongkok, sementara dia merasa makin jijik. Dia ingin muntah. Memang
akhirnya dia muntah, tapi yang dimuntahkannya adalah darah.
Dengan tenang, laki-laki mencurigakan menggumam:
"Ketahuilah, masalah kebun kacang hanyalah masalah permukaan. Perkelahian
dengan pemilik lama mengenai kebun kacang juga bukan masalah berat, Memang saya sering
berkelahi, tapi perkelahian-perkelahian itu, sekali lagi, bukan apa-apa bagi saya. Bagi musuh-
musuh saya segala macam perkelahian sebenarnya juga bukan apa-apa. Saya hanya
menikmati satu hal, yaitu kenyataan bahwa saya menyimpan jiwa iblis. Dan saya bangga
akan jiwa iblis saya. Kamu pun sebenarnya iblis. Ketahuilah, sesama iblis belum tentu bisa
bersekutu. Sesama iblis bisa saling mengganyang. Sudah semenjak pertama kali saya melihat
kamu, saya yakin bahwa iblis di dalam jiwamu jauh lebih kuat daripada jiwa iblis
kebanggaan saya. Benar-benar saya merasa takut terhadap kamu. Dan setiap kali merasa
takut, pasti saya bertindak terlebih dahulu, tentu saja dengan persiapan cermat agar saya
menang."
Dia menggumam dengan kesadaran penuh, bahwa laki-laki itu sudah tidak mungkin
lagi mendengarnya. Meskipun demikian, laki-laki itu masih sempat mengingat beberapa kata-
kata perempuan tadi:
"Laki-laki yang saya cintai itu tidak mati karena kanker seperti yang sering
dipergunjingkan. Dia mati dibunuh dekat sumur tidak berapa jauh dari sini. Saya selalu
menyimpan pakaiannya yang berlumuran darah."
Bulan tetap berputar-putar di atas sana.***
(Dimuat dalam Horison, Juli 1990)

Tangan taangan Buntung

Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam negeri
maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan sebagai presiden baru.
Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu
udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat
mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk
kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden.
Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan
sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R.
Sementara itu, teriakan-teriakan ”Hidup Presiden Nirdawat,” terus-menerus berkumandang
dengan nada penuh semangat, namun sangat syahdu.
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat, dan segera
menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk tampil di mimbar.
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat
merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak lain dan tidak bukan
adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden
Republik Demokratik Nirdawat (bukan salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat,
dan nama negaranya diambil dari nama presidennya).
Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati Nirdawat
berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan sebaik-baiknya, dan sebelum
masa jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa
pun. Banyak persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya
dengan sebaik-baiknya. Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi sederhana dan
pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak pemimpin negara
berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus untuk menemui Presiden
Nirdawat.
Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah diterka:
kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, industri, dan
kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga mudah diterka: dengan tulus tapi bersifat
mendesak, semua pemimpin negara mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan
kunjungan balasan. Semua kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari,
karena dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin negara dengan
bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya, dan juga kekurangan-
kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua negara, kerja sama harus segera
dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh.
Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai keengganan
Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai berita-berita besar, dan
menarik perhatian hampir semua warga negara Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya,
dengan berbagai cara, tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh
pemuda menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk kepentingan negara dan
bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan untuk memenuhi undangan sekian banyak
pimpinan negara-negara asing itu. Desakan demi desakan terus berlangsung.
Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden Nirdawat masuk ke
kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan
lembut isterinya memberinya beberapa ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu
melepas kaos dalam Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat
tidur. Kemudian, dengan lembut pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat.
”Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu. Kita berjalan-
jalan di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan lagi ke bawah pohon jejawi, dan
berbincang mengenai keinginan-keinginan kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi
teman-teman, keinginan itu merupakan cita-cita mulia.”
”Cobalah kita tengok peta dunia ini,” kata Nirdawat dalam sebuah pertemuan
dengan teman-temannya setelah membentangkan sebuah peta dan menggantungkannya di
dinding.
Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah nama
sekian banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara yang namanya beberapa
kali berubah. Setelah sekian lama nama ini berubah, akhirnya negara ini punya nama baru,
yaitu Republik Demokratik Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul,
lalu disusul oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong.
Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai dengan
nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar seseorang berwajah beringas
bernama Dobol, lalu ada bendera dengan gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul
oleh bendera bergambarkan wajah tolol Jiglong.
Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal negaranya sama?
Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini
masih kerajaan dan tidak mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan
negara itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili nama raja, dengan sendirinya adalah
wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan dengan wajah rajanya.
Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil menggulingkan
kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah menjadi Republik Demokratik.
Republik karena negara tidak lagi dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik
karena siapa pun berhak menjadi presiden asalkan memenuhi syarat.
Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang, semenjak
Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undang-undang dasar. Karena Dobol
beranggapan bahwa undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan
kebiasaan lama, maka dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun
dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama
presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah presiden.
Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya, maka, supaya
undang-undang dasar tidak sepenuhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam undang-
undang dasar negara republik demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun
tidak perlu dicantumkan.
Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan karena
masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang dasar, maka Dobol pun
menjadi presiden sampai lama sekali, sampai akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji
bernama tumor ganas dalam otak Dobol.
Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada undang-
undang dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh. Dalam undang-undang dasar
dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan
seseorang yang memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak Dobol,
tetapi sebagai warga negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik
demokratik ini.
Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik Abdul
Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai penguasa hukum alam:
sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak Abdul Jebul, dan tamatlah riwayat Abdul
Jebul.
Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan undang-
undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat sementara, maka jatuhlah kekuasaan
presiden republik demokratik ini ke tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk
menjadi presiden bukan karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi
karena sebagai warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi presiden.
Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka main
perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak mengenal batas, maka berjudi
pun dia lakukan dengan penuh semangat.
Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka Sang
Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan menanamkan bibit tumor ke
dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak
bisa lagi membedakan siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih
payah lagi, Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan.
Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung, berusaha memperkosa
perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia pun sudah agak acuh tak acuh.
Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan
tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui siapa yang memberi komando, tahu-
tahu Jiglong sudah diringkus dan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa
yang memberi komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun
televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu nama negara
diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera berwajahkan Nirdawat.
”Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu
mendampingimu,” kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat lagi dengan lembut
pula.
Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu mulai hari itu
nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh diubah-ubah lagi, yaitu Republik
Demokratik Nusantara. Itu butir pertama. Butir kedua, bendera Republik Demokrasi
Nusantara harus diciptakan dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa mencantumkan wajah
siapa pun juga. Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua periode,
masing-masing periode lima tahun.
Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu nama raja
dipuja-puji, lalu nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit, disusul dengan pujian-pujian
kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama Jiglong dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja
dengan gaya puja-puji. Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu
Republik Demokratik Nusantara.
Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering melawat ke luar
negeri.
Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di Amerika
Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara memberi penjelasan kepada
wartawan.
”Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat penting yang
kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik Nusantara adalah negara hebat,
perkembangan ekonominya luar biasa menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi
pemimpin dunia. Coba sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.”
”Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi,” kata sekian banyak wartawan dengan
serempak.
Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka dari mana
pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara mereka memang benar-benar
hebat, perkembangan ekonominya sangat mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar
pantas menjadi pemimpin dunia.
Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik
Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar ditebarkan di sekian
banyak negara yang dulu sama sekali belum mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat,
dengan sendirinya, harus hadir tanpa boleh diwakilkan.
Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh Republik
Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan pemimpin-pemimpinnya
hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatan-catatan resmi. Para pemimpin sekian banyak
negara berkali-kali memuji keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan
kemakmuran negara itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden Nirdawat ke negara
itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara yang sangat makmur ini, banyak pemimpin
bertangan buntung. Hukum memang tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum
potong tangan.
Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat terkagum-
kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga. Kendati mereka kena hukuman
potong tangan, mereka tetap bisa menjadi pemimpin, dan tetap dihormati.

Lelaki Pemanggul Goni

Tidak tergantung apakah fajar, tengah hari, sore, senja, malam, ataupun selepas
tengah malam, mata laki-laki pemanggul goni selalu menyala-nyala bagaikan mata kucing di
malam hari, dan selalu memancarkan hasrat besar untuk menghancurkan.
Tubuh laki-laki pemanggul goni tidak besar, tidak juga kecil, dan tidak tinggi namun
juga tidak pendek, sementara goni yang dipanggulnya selamanya tampak berat, entah apa
isinya. Pada waktu sepi, laki-laki pemanggul goni pasti berdiri di tengah jalan, dan pada
waktu jalan ramai, pasti laki-laki pemanggul goni berdiri di trotoir, tidak jauh dari semak-
semak, yang kalau sepi dan angin sedang kencang selalu mengeluarkan bunyi-bunyian yang
sangat menyayat hati.
Beberapa kali terjadi, ketika jalan sedang ramai dan laki-laki pemanggul goni
menembakkan mata kepadanya, Karmain dengan tergesa-gesa turun, lalu mendekati semak-
semak dekat trotoir, tetapi laki-laki pemanggul goni pasti sudah tidak ada lagi. Dan ketika
Karmain bertanya kepada beberapa orang apakah mereka tadi melihat ada seorang laki-laki
pemanggul goni, mereka menggeleng.
Apabila hari masih terang, beberapa kali laki-laki pemanggul goni membaur dengan
orang-orang yang sedang menunggu bus, sambil menembakkan matanya ke arah Karmain.
Tapi, ketika Karmain tiba di tempat orang-orang yang menunggu bus, laki-laki pemanggul
goni sudah tidak ada, dan orang-orang pasti menggelengkan kepala apabila mereka ditanya
apakah tadi mereka menyaksikan ada laki-laki pemanggul goni.
Pada suatu hari, ketika hari sudah melewati tengah malam dan Karmain sudah
bangun lalu membersihkan tubuh untuk sembahyang, korden jendela seolah-olah terkena
angin dan menyingkap dengan sendirinya. Maka Karmain pun bergegas mendekati jendela,
dan menyaksikan di bawah sana, di tengah-tengah jalan besar, laki-laki pemanggul goni
berdiri membungkuk mungkin karena goninya terlalu berat, sambil menembakkan matanya
ke arah dirinya. Kendati lampu jalan tidak begitu terang, tampak dengan jelas wajah laki-laki
pemanggul goni menyiratkan rasa amarah, dan menantang Karmain untuk turun ke bawah.
Karena sudah terbiasa menyaksikan laki-laki pemanggul goni bertingkah, dengan
lembut Karmain berkata: ”Wahai, laki-laki pemanggul goni, mengapakah kau tidak naik saja,
dan ikut bersembahyang bersama saya.” Kendati jarak antara jendela di lantai sembilan dan
jalan besar di bawah sana cukup jauh, tampak laki-laki pemanggul goni mendengar ajakan
lembut Karmain. Wajah laki-laki pemanggul goni tampak berkerut-kerut marah, dan matanya
makin tajam, makin menyala, dan makin mengancam.
”Baiklah, laki-laki pemanggul goni, kalau kau tak sudi naik dan sembahyang
bersama saya, tunggulah saya di bawah. Saya akan sembahyang dulu. Sejak saya masih kecil
sampai dengan saatnya ibu saya akan meninggal, ibu saya selalu mengingatkan saya untuk
sembahyang dengan teratur lima kali sehari. Fajar sembahyang satu kali. Itulah sembahyang
subuh. Tengah hari sembahyang satu kali. Itulah sembahyang lohor. Sore satu kali, itulah
sembahyang ashar. Senja satu kali. Itulah sembahyang maghrib. Malam satu kali. Itulah
sembahyang isya. Lima kali sehari. Dan kalau perlu, enam kali sehari, tambahan sekali
setelah saya bangun lewat tengah malam dan akan tidur lagi. Itulah sembahyang tahajud. Dan
kamu selalu mengawasi saya, seolah-olah kamu tidak tahu apa yang patut aku lakukan dan
apa yang tidak patut aku lakukan.”
Dengan tenang Karmain menutup korden, namun karena sekonyong-konyong angin
bertiup keras, korden menyingkap kembali. Laki-laki pemanggul goni tetap berdiri di tengah
jalan, tetap menampakkan wajah penuh kerut menandakan kemarahan besar, dan tetap
menembakkan matanya dengan nyala mengancam. Di sebelah sana, dekat trotoir di sebelah
sana, semak-semak bergoyang-goyang keras tertimpa angin, dan mengirimkan bunyi-bunyi
yang benar-benar menyayat hati.
Karmain melayangkan pandangannya ke depan, ke gugusan apartemen-apartemen
besar, dan tampaklah semua lampu di apartemen sudah padam, sejak beberapa jam yang lalu.
Lampu yang masih menyala hanyalah lampu-lampu di gang-gang yang menghubungkan
apartemen-apartemen itu, sementara lampu merah di tiang tinggi di sebelah sana itu,
berkedip-kedip seperti biasa, seperti biasa menjelang hari menjadi gelap, atau mendung, atau
hujan lebat.
Seperti biasa pula, lampu di tempat pemberhentian bus menyala, sebetulnya terang,
tetapi tampak redup. Selebihnya sepi, kecuali angin yang tetap menderu-deru. Karmain
pindah ke kamar lain, yang korden jendelanya ternyata juga terbuka, kemudian melihat jauh
ke sana. Di sana itu, ada laut, dan meskipun gelap, terasa benar bahwa laut benar-benar
sedang gelisah.
Sembahyang selesailah, lalu Karmain mendekati jendela, dan laki-laki pemanggul
goni masih di sana, masih menunjukkan wajah marah, masih menembakkan pandangan
mengancam. Maka Karmain turunlah. Dan ketika Karmain tiba di tepi jalan, laki-laki
pemanggul goni tidak ada. Angin masih bertiup keras. Seekor anjing hitam, besar dan tinggi
tubuhnya, mengawasi Karmain sekejap, kemudian menyeberang jalan, dan di tengah jalan
berhenti lagi sebentar, mengawasi Karmain lagi, lalu lari ke arah kegelapan. Lalu terdengar
lolongan-lolongan anjing, lolongan kesakitan, lolongan pada saat-saat meregang nyawa.
Dulu, ketika masih kecil, Karmain bersahabat karib dengan Ahmadi, Koiri, dan
Abdul Gani, semuanya dari kampung Burikan. Dan di kampung Burikan tidak ada satu orang
pun yang memelihara anjing, dan anjing dari kampung-kampung lain pun tidak pernah
berkeliaran di kampung Burikan. Terceritalah, ketika mereka sedang berjalan-jalan di
kampung Barongan, mereka tertarik untuk mencuri buah mangga di pekarangan rumah
seseorang yang terkenal karena anjingnya sangat galak. Belum sempat mereka memanjat
pohon mangga, dengan sangat mendadak ada seekor anjing hitam, tinggi dan besar tubuhnya,
menyalak-nyalak ganas, kemudian mengejar mereka.
Sebulan kemudian, anjing hitam bertubuh tinggi dan besar mati, setelah
terperangkap oleh racun hasil ramuan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani.
Karmain menunggu beberapa saat, sambil berkata lembut dan perlahan-lahan:
”Wahai, laki-laki pemanggul goni, di manakah kau sekarang. Marilah kita bertemu, dan
berbicara.”
Karena tidak ada kejadian apa-apa lagi, Karmain berjalan menuju semak-semak,
dan, meskipun tiupan angin sudah meredup, semak-semak masih bergerak-gerak,
menciptakan bunyi-bunyi yang menyayat hati.
Karmain kembali ke lantai sembilan, masuk ke dalam apartemen, kemudian mencari
berkas-berkas lama yang sudah lama tidak ditengoknya. Setelah membuka-buka sana dan
sini, Karmain menemukan album lama. Ada foto ibunya ketika masih muda, seorang janda
yang ditinggal oleh suaminya karena pada hari raya Idul Adha, suaminya tertembak ketika
sedang berburu babi hutan bersama teman-temannya di hutan Medaeng. Ada lima pemburu,
termasuk dia, ayah Karmain. Mereka berlima masuk hutan bersama-sama, kemudian melihat
seekor babi hutan berlari kencang, menabrak beberapa semak-semak. Untuk mengejar babi
hutan itu, mereka berpisah, masing-masing lari ke berbagai arah. Siapa di antara empat
temannya yang dengan tidak sengaja menembak ayah Karmain, atau justru dengan sengaja
menembaknya, tidak ada yang tahu.
Karmain terpaku pada foto ibunya sampai lama, kemudian, tanpa sadar, dia terisak-
isak. Dulu ibunya pernah bercerita, bahwa pada waktu-waktu tertentu akan ada laki-laki
pemanggul goni, mengunjungi orang-orang berdosa. Pekerjaan laki-laki pemanggul goni
adalah mencabut nyawa, kemudian memasukkan nyawa korbannya ke dalam goni. Ibunya
juga bercerita, beberapa hari sebelum suaminya tertembak, pada tengah malam laki-laki
pemanggul goni datang, mengetuk-ngetuk pintu, kemudian pergi tanpa meninggalkan jejak.
”Pada hari Idul Adha,” kata ibu Karmain dahulu, sebelum ayahnya pergi berburu.
”Tuhan menguji kesetiaan Nabi Ibrahim. Anaknya, Ismail, harus disembelih oleh ayahnya,
oleh Nabi Ibrahim sendiri.”
Karmain tertidur, dan ketika terbangun, waktu sembahyang fajar sudah tiba. Dan
setelah Karmain membersihkan tubuh, siap untuk sembahyang, korden jendela menyingkap
lagi. Laki-laki pemanggul goni berdiri di tengah jalan lagi, wajahnya menunjukkan
kemarahan lagi, dan matanya menyala-nyala, menantang lagi.
”Baiklah, laki-laki pemanggul goni, harap kamu jangan lari lagi.”
Dengan sangat tergesa-gesa Karmain turun, langsung ke pinggir jalan, dan laki-laki
pemanggul goni sudah tidak ada.
Ketika Karmain tiba kembali di apartemennya, ternyata laki-laki pemanggul goni
sudah ada di dalam, duduk di atas sajadah, melantunkan ayat-ayat suci, sementara goninya
terletak di sampingnya.
Setelah selesai berdoa, tanpa memandang Karmain, laki-laki pemanggul goni
berkata lembut: ”Karmain, kamu sekarang sudah menjadi orang penting. Kamu sudah
menjelajahi dunia, dan akhirnya kamu di sini, di negara yang terkenal makmur. Bahwa kamu
tidak mau kembali ke tanah airmu, bukan masalah penting. Tapi mengapa kamu tidak pernah
lagi berpikir tentang makam ayahmu? Tidak pernah berpikir lagi tentang makam ibumu.
Makam orangtuamu sudah lama rusak, tidak terawat, tanahnya tenggelam tergerus oleh banjir
setiap kali hujan datang, dan kamu tidak pernah peduli.”
Laki-laki pemanggul goni berhenti sebentar, kemudian bertanya:
”Apakah kamu beserta sahabat-sahabatmu, Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, pernah
tersesat di hutan Gunung Muria?”
”Ya.”
”Tahukah kamu ke mana sahabat-sahabatmu itu pergi?”
”Tidak.”
”Mereka saya ambil. Saya tahu, kalau mereka tidak saya ambil, pada suatu saat
kelak dunia akan gaduh. Gaduh karena, kalau tetap hidup, mereka akan mengacau,
membunuh, dan menyebarkan nafsu besar untuk berbuat dosa. Saya tidak mengambil kamu
karena kasihan. Kamu habis kehilangan ayah. Ayah bejat. Pada saat seharusnya dia di masjid,
bersembahyang, dan kemudian membantu orang-orang menyembelih kambing, ayahmu
berkeliaran di hutan. Bukan untuk menyembelih kambing, tapi mengejar-ngejar babi hutan
untuk dibunuh. Ingatlah, pada hari Idul Adha, ketika Nabi Ibrahim sedang menyembelih
anaknya sendiri, Ismail, datang keajaiban. Bukan Ismail yang disembelih, tapi kambing.”
Berhenti sebentar, kemudian laki-laki pemanggul goni bertanya dengan nada
menuduh:
”Apakah benar, ketika kamu masih remaja, kamu menjadi penabuh beduk masjid
kampung Burikan? Setiap saat sembahyang tiba, lima kali sehari, kamu menabuh beduk
mengingatkan semua orang untuk sembahyang?”
Karmain ingat, ketika masih umurnya memasuki masa remaja, dia bercita-cita, kelak
kalau sudah dewasa, dia akan memiliki gedung bioskop. Maka, dengan caranya sendiri, dia
menciptakan bioskop-bioskopan. Kertas tipis dia gunting, dia bentuk menjadi orang-orangan.
Lalu dengan tekun dia membuat roda kecil dari kayu. Orang-orangan dari kertas tipis dia ikat
pada benang, benang ditempelkan pada roda kayu. Lalu dia memasang kertas minyak,
menutup semua jendela supaya gelap, menyalakan lilin, menggerak-gerakkan orang-orangan.
Dari balik kertas minyak terpantulah bayangan orang-orangan. Mereka bisa berlari-lari,
berkejar-kejaran, dan saling membunuh, seperti yang terjadi pada tontonan wayang kulit.
Demikianlah, pada suatu hari, ketika sedang asyik-asyiknya bermain bioskop-
bioskopan, tiba-tiba Karmain ingat, waktu untuk menabuh beduk sudah tiba. Maka berlarilah
dia ke masjid, meninggalkan kertas-kertas tipis berserakan di lantai. Seorang anak kampung
Burikan pula, Amin namanya, telah datang terlebih dahulu, dan telah menabuh beduk.
Setelah selesai sembahyang, Karmain dan beberapa orang pulang. Dalam perjalanan pulang
itulah, mereka melihat asap hitam pekat membubung ke langit. Udara pun menjadi luar biasa
panas.
Hampir seperempat rumah di kampung Burikan terbakar, dan dua laki-laki lumpuh
meninggal, terjebak oleh kobaran-kobaran api.
”Karmain,” kata laki-laki pemanggul goni sambil menunduk, ”Janganlah kamu pura-
pura tidak tahu, kamu lari ke masjid, sementara lilin masih menyala.”
Sunyi senyap, dan laki-laki pemanggul goni tetap tertunduk.
”Wahai, laki-laki pemanggul goni,” kata Karmain setelah terdiam agak lama. ”Ibu
saya dulu pernah berkata, ada laki-laki pemanggul goni yang sebenarnya, ada pula
pemanggul goni yang sebetulnya setan, dan menyamar sebagai laki-laki pemanggul goni.”
Laki-laki pemanggul goni tersengat, kemudian memandang tajam ke arah Karmain.
Wajahnya penuh kerut-kerut menandakan rasa amarah yang sangat besar, dan matanya benar-
benar merah, benar-benar ganas, dan benar-benar menantang.
Setelah membisikkan doa singkat, Karmain berkata lagi: ”Bagaimana kamu bisa
tahu, wahai laki-laki pemanggul goni, bahwa kelak Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani akan
menyebarkan dosa yang membuat orang-orang tersesat?”
Laki-laki pemanggul goni, dengan kerut-kerut wajahnya dan nyala matanya, dengan
nada ganas berkata: ”Hanya sayalah yang tahu apa yang akan terjadi seandainya mereka saya
biarkan hidup.”
”Wahai, laki-laki pemanggul goni, hanya Nabi Kidirlah yang tahu apakah seorang
anak kelak akan menciptakan dosa-dosa besar atau tidak. Apakah kamu tidak ingat, Nabi
Kidir menenggelamkan perahu seorang anak muda yang tampan? Nabi Kidir tahu, kelak anak
tampan ini akan menjadi pengacau dunia. Dan Nabi Kidir pun mempunyai hak untuk
menghancurleburkan sebuah rumah mewah. Sebuah rumah mewah yang dihuni oleh seorang
bayi yang kelak akan membahayakan dunia.”
Dan Karmain ingat benar, dulu, menjelang kebakaran hebat melanda kampung
Burikan, kata beberapa orang saksi, laki-laki pemanggul goni datang. Lalu, kata beberapa
saksi pula, laki-laki pemanggul goni masuk ke rumah Karmain, kemudian bergegas-gegas ke
luar, dan melemparkan bola-bola api ke rumah Karmain. Dan setelah api berkobar-kobar
ganas menjilati sebagian rumah di kampung Burikan, beberapa orang dari kampung Burikan
dan kampung Barongan sempat melihat, laki-laki pemanggul goni melarikan diri di antara
lidah-lidah api yang makin membesar.

POHON JEJAWI

Seolah-olah jatuh dari langit biru, tiba-tiba saja Kedung Gang Buntu ada di situ, di
sebuah kawasan dari sekian banyak kawasan di kota Surabaya. Dinamakan ”kedung” karena
di situ ada sebuah ”kedung”, yaitu sumber air jernih, dan dinamakan ”buntu”, karena
memang gang ini buntu. Buntu karena ujung gang ini bertemu dengan sebuah makam kuno,
dan di sebelah makam kuno ada sebuah sumber air bersih, dan di seberang sana sumber air
bersih ada sebuah hutan lebat.
Untuk masuk ke Kedung Gang Buntu, seseorang harus melewati sebuah jalan,
Kroepen Straat namanya. Di tengah-tengah Kroepen Straat, tepat di mulut Gang Kedung
Buntu, ada sebuah pohon jejawi yang asal-usulnya, seperti juga asal-usul Kedung Gang
Buntu, sama sekali tidak jelas. Mungkin di seluruh dunia hanya ada beberapa pohon yang
sama tua, sama besar, sama kokoh, sama tinggi, dan sama anggun dengan pohon jejawi di
hadapan mulut Kedung Gang Buntu.
Sudah beberapa kali pohon jejawi ini memakan korban, semuanya orang Belanda.
Pernah ada seorang pemuda Belanda naik kuda putih besar dan anggun tiba-tiba raib, konon
diisap dan kemudian dikunyah-kunyah oleh arwah-arwah gaib penghuni pohon jejawi. Ada
pula seorang pemuda Belanda bertubuh gagah, naik sepeda motor besar, melintasi Kroepen
Straat dengan kecepatan setan, tiba-tiba tersandung batu besar yang sebelumnya tidak ada,
lalu tubuhnya melesat ke udara, dengan cekatan didekap akar-akar pohon jejawi yang
bergelantungan di dahan-dahannya, dijepit keras-keras tanpa ampun, kemudian dibanting ke
tanah dengan kecepatan setan pula. Tercatat pula paling sedikit lima orang Belanda gantung
diri, salah satunya tidak lain adalah seorang perempuan muda yang ketahuan bunting, entah
dibuntingi siapa.
Pemuda penunggang kuda tiba-tiba raib, sebetulnya tidak masuk akal, demikian pula
mengapa ada paling sedikit lima orang Belanda mati gantung diri. Di bawah pohon jejawi
selalu ada orang bergerombol-gerombol, bukan hanya dari Surabaya, tapi juga dari tempat-
tempat jauh, bahkan dari luar pulau, untuk bersemadi. Pribumi, Cina, Arab, dan entah bangsa
apa lagi pasti ada. Seharusnya ada kesaksian mengenai penunggang kuda, dan seharusnya
bunuh diri dapat dicegah
***

Kamis, 31 Maret 1927, pukul 2.47 siang, seorang insinyur Belanda asal Amsterdam
turun di stasiun kereta api Semut, Surabaya, setelah menginap dua malam di Semarang dalam
perjalanannya dari Batavia menuju ke Surabaya. Wajah insinyur ini tampan tapi sombong,
tampak pandai tapi konyol pula, jalannya digagah-gagahkan, potongan tubuhnya mirip
pemain sepak bola, tapi bukan sepak bola kelas nasional, cukuplah kelas kampung saja.
Insinyur Henky van Kopperlyk, inilah wali kota baru Surabaya, menggantikan wali
kota lama, Justin Verhaar, yang masih muda tapi uzur karena penyakit tuberkulosis. Dalam
hati Henky van Kopperlyk berkata garang: ”Vini, Vidi, Vici,” dengan lagak Julius Caesar
ketika Julius Caesar pada tahun 47 Sebelum Masehi dengan mudah mengalahkan Raja
Parnaces II di Zile, wilayah Turki sekarang.
Tapi ingat, kendati sudah punya istri, Henky van Kopperlyk masih menyembunyikan
istrinya di Batavia. Bukan saja dia tidak bangga mengenai istrinya, tapi juga, dan inilah yang
penting, dia agak malu. Nanti-nanti sajalah, barang satu dua minggu setelah dia datang,
istrinya akan diselundupkan ke Surabaya, langsung dibawa masuk ke rumah dinas wali kota.
Pikiran utama Henky van Kopperlyk terpaku pada, tidak lain dan tidak bukan, pohon
jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Mungkin pohon ini sudah berumur lebih dari empat
ratus tahun, pikirnya. Andaikata lima belas orang berjejer-jejer sambil merentangkan tangan
mengelilingi lingkaran pohon ini, tidak akan cukup. Dua puluh orang pun mungkin masih
kurang. Dan Henky van Kopperlyk tahu, di semua kawasan di Afrika, Asia, dan Amerika
Latin bagian selatan, pohon jejawi dianggap keramat.
Tapi, mestikah pohon jejawi itu dibiarkan tegak, menelan korban orang-orang
Belanda, dan siapa tahu. Siapa tahu karena dia sudah mendengar, banyak orang suka
berkumpul di bawah pohon jejawi, menyembah-nyembah pohon jejawi, meletakkan sesaji
dengan penuh khidmat di bawah pohon jejawi, dan saling berbisik.
Orang berdatangan kemudian berbisik-bisik, itulah yang terjadi menjelang Perang
Diponegoro, sebuah perang dahsyat pada tahun 1825-1830, pemberontakan Sitti Margopoh di
Lubukbasung, Kabupaten Agam, Minangkabau, pada tahun 1908-1910, serta perkelahian
antara kelasi-kelasi pribumi dan perwira-perwira Belanda di atas kapal perang Belanda Lucas
Roemeltje pada tanggal 4 Februari 1924 di Laut Jawa, tidak jauh dari Surabaya.
Contoh lain masih banyak. Semuanya diawali dengan segerombolan orang datang ke
tempat-tempat tertentu, disambung bisik-bisik. Semua merugikan Belanda. Memang,
akhirnya Belanda menang, tapi melalui akal-akal licik, yang menurut hukum internasional
diharamkan. Pangeran Diponegoro, misalnya, diundang untuk berunding, dan sesuai dengan
kesepakatan, Pangeran Diponegoro datang sendirian, sama sekali tanpa pengawal. Ternyata
Pangeran Diponegoro tidak diajak berunding, tapi langsung ditangkap, digebuki, dirantai,
kemudian dibuang ke Makassar.
Sudah beberapa kali Henky van Kopperlyk membaca laporan mengenai pohon
jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Beberapa orang bergantian datang dan berbisik-bisik.
Inilah awal gerakan sebuah komplotan. Dan yang berbisik-bisik itu datang dari berbagai
suku. Inilah awal gerakan nasional Indonesia, yang menyangkut semua suku bangsa di
Indonesia. Beda dengan Perang Pangeran Diponegoro, yang hanya melibatkan orang-orang
Jawa. Tidak sama pula dengan pemberontakan Sitti Margopoh, sebuah pemberontakan suku
bangsa Minang di Sumatera Barat, dan sama sekali tidak menyuarakan ke-Indonesia-an.
Henky van Kopperlyk juga sudah banyak mendengar mengenai ilmu-ilmu gaib di
berbagai daerah di Indonesia. Ilmu ini diciptakan dengan melalui berbagai sesajen dan doa-
doa yang diucapkan dengan berbisik-bisik pula. Setengah tahun sebelum Henky van
Kopperlyk tiba di Surabaya, misalnya, ada seorang laki-laki Belanda yang tiba-tiba
kehilangan kemaluannya. Konon laki-laki Belanda ini bertualang di Kalimantan, menginap di
tempat tinggal kepala suku, lalu meminang anak perempuan kepala suku. Malam itu juga
keperawanan anak kepala suku dirusak, kemudian laki-laki Belanda ini, dengan bantuan
serdadu-serdadu Belanda, melarikan diri ke Surabaya.
Di atas kapal laki-laki ini dengan bangga bercerita mengenai cara dia memperdaya
kepala suku dan anak gadisnya, sambil beberapa kali tertawa terbahak-bahak. Tidak ada
peristiwa apa-apa pada laki-laki Belanda ini selama perjalanan dari Banjarmasin ke Surabaya.
Sampai tiba di Surabaya pun dia tidak mengalami apa-apa. Malam harinya, ketika dia akan
kencing, barulah dia tahu bahwa kemaluannya telah hilang, tanpa merasa apa-apa.
Peristiwa laki-laki Belanda kehilangan kemaluan ini makin meyakinkan Henky van
Kopperlyk, bahwa tindakan tegas harus segera diambil: binasakanlah pohon jejawi itu sampai
ke akar-akarnya, sampai tidak ada sisanya lagi.
Di luar dugaan, ketika Henky van Kopperlyk dengan menggebu-gebu memutuskan
untuk membabat habis pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu, semua anak buahnya,
baik langsung maupun menyindir-nyindir, menyatakan tidak setuju. Berbahaya. Maka,
setelah memberanikan diri, beberapa pembantu Henky van Kopperlyk memberi tahunya
terang-terangan. Ada pembesar yang mati terpatuk ular liar, ada pembesar lain yang tiba-tiba
linglung, ada pula pembesar yang tampak sehat-sehat belaka, tapi ternyata tanpa alasan jelas
anak laki-lakinya lumpuh, dan banyak contoh lain.
Henky van Kopperlyk pura-pura dengan sungguh-sungguh mendengarkan semua
peringatan itu, dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Selama beberapa hari dia tidak mau
diajak bicara oleh siapa pun, termasuk pembantu-pembantu dekatnya mengenai masalah-
masalah penting di Surabaya. Dia menutup mulut, dan dengan matanya terbuka, dia sengaja
tidak melihat apa-apa.
Selama beberapa malam berturut-turut dia membaca laporan-laporan wartawan
Belanda, Willem Coorvaben, dan juga surat-menyurat Wille Coorvaben dengan beberapa
orang Belanda di Indonesia, antara lain dengan Rob Nieuwenhuys, pengarang Indo Belanda
kelahiran Semarang.
Willem Coorvaben sangat jijik dengan orang-orang pribumi, orang-orang yang
menurut dia ”inlander”, yaitu orang-orang kawasan pedalaman hutan belantara dan karenanya
sangat primitif, biadab, malas, dan, ini yang berbahaya, anarkis. Dalam suratnya kepada Rob
Nieuwenhuys dia menyatakan, dalam kedudukannya sebagai wartawan, dia akan berjuang
mati-matian lewat tulisan-tulisannya, agar Belanda, sampai kapan pun, kalau perlu sampai
dengan terompet tanda kiamat ditiup para malaikat, harus tetap mencengkeram Indonesia.
Bangsa inlander ini, tegas Coorvaben dalam suratnya, akan sangat berbahaya apabila
dibiarkan di luar kendali Belanda. Karena biadab dan malas, kalau dibiarkan, maka bangsa
inlander akan menjadi bangsa yang korup, dan apabila dibiarkan terus, akan menjadi bangsa
anarkis, yang kalau dibiarkan terus-menerus justru akan menghancurkan bangsa ini sendiri.
Akan tetapi, Henky van Kopperlyk tidak habis pikir mengapa Willem Coorvaben
justru bukan hanya mengkhianati dirinya sendiri, tapi malahan menusuk sesama bangsa
Belanda dari belakang. Dia menusuk bangsanya sendiri bukan pada jantungnya, tapi pada
punggungnya. Coorvaben justru jatuh cinta kepada Imih, perempuan pribumi asal Jawa
Timur, dan akhirnya mengawini perempuan hina-dina ini. Kawin resmi, bukan kawin
bohong-bohongan. Kawin resmi, bukan kawin dengan nyai, sebutan resmi gundik-gundik
Belanda.
”Willem Coorvaben, binatang terkutuk itu, tidak lain hanyalah calon penghuni
neraka,” pikir Henky van Kopperlyk, bukan sambil bergidik, tapi justru sambil tersenyum,
seolah-olah habis memenangi sebuah pertandingan berbahaya. Henky van Kopperlyk merasa
menang, karena, sebetulnya, setiap kali dia berhadapan dengan perempuan pribumi,
jantungnya selalu berdegup-degup, dan semangatnya untuk mengawini pribumi ini hampir-
hampir tidak dapat dikendalikan. Dalam kepalanya, hampir setiap hari, dia membayangkan
mempunyai istri pribumi. Karena setiap kali dia melihat perempuan pribumi, orangnya atau
gambarnya, langsung jatuh cinta dan ingin mengawininya, maka istri dia di kepala dia hampir
setiap hari berganti-ganti pula. Hari ini dia membayangkan punya istri pribumi asal
Krembangan, besok dia membayangkan sedang bercumbu dengan istri pribumi dari Perak,
lusa dia membayangkan sedang bergulat dengan istri pribumi asal Mojokerto, atau mungkin
Jombang, atau mungkin juga Sidoarjo.
Semua bayangan indah selalu membawanya kembali ke bumi tempat dia berpijak,
yaitu bumi nyata penuh penindasan. Henky van Kopperlyk adalah suami, tapi istrinya,
Anneke von Hubertus, anak saudagar kaya asal Tilburg, selalu siap menginjak-injak kepala
suaminya.
Sebagai seorang laki-laki yang menurut dirinya sendiri cerdik, tentu saja Henky van
Kopperlyk tidak kehabisan akal. Sekali tempo dia berhasil memperdaya perempuan pribumi,
dan memperlakukannya sebagai kuda tunggangan. Bagaikan seorang joki gagah perkasa, dia
tunggangi perempuan pribumi itu dengan gaya naik turun, seperti gaya naik turunnya seorang
joki benaran di atas kuda pada pawai festival. Joki benaran pasti menengok ke kanan dan ke
kiri sambil melambaikan-lambaikan tangan, dan Henky van Kopperlyk menengok ke kanan
dan ke kiri dengan bangga, karena, inilah kebiasaannya, setiap kali dia berhasil menjerat
perempuan pribumi, di kiri kanannya pasti dia pasang cermin ukuran besar.

***

Pagi itu, ketika cuaca Surabaya benar-benar cerah, Henky van Kopperlyk datang ke
kantor lebih awal, dengan gaya percaya diri, dan jalan agak digagah-gagahkan. Bahkan,
beberapa saksi mata menuturkan, sambil berjalan menuju ke ke ruang kerjanya, Henky van
Kopperlyk sempat menggumamkan lagu ”Penebang Pohon Tua”. Untuk mendirikan kincir-
kincir angin, babat habislah pohon-pohon tua. Kincir angin sumber kemakmuran, kincir angin
sumber ketenangan. Pohon tua hanyalah sarang burung-burung jahat, pohon tua hanyalah
rumah para iblis, pohon tua hanyalah persinggahan kelelawar-kelelawar besar sebelum
menjadi vampir. Babat habislah pohon tua, babat habislah pohon tua. Gumam Henky van
Kopperlyk benar-benar bersemangat.
Demikianlah, pagi itu juga dia memerintahkan anak buahnya untuk membabat habis
pohon jejawi di mulut Kedung Gang Buntu. Alat-alat berat harus didatangkan. Dalam waktu
paling lama lima jam, pohon jejawi beserta seluruh akar dan udara yang mengelilinginya,
serta burung-burung jahat yang menghuninya, harus sudah selesai.
Sebelum gergaji raksasa digerakkan, Henky van Kopperlyk naik ke kendaraan berat,
lalu berpidato. Suasana tenang, sunyi, senyap. Hanya kata-kata lantang Henky van
Kopperlyklah yang menyalak-nyalak. Alam tetap tenang. Tidak ada satu burung pun yang
terbang, tidak ada satu burung pun yang berkicau. Dan juga, tidak ada satu burung pun yang
tampak. Lalu Henky van Kopperlyk turun dari kendaraan berat, memberi aba-aba: ”satu…
dua… tiga!”
Mesin gergaji raksasa mulai meraung-raung.
Barulah ketika tangan-tangan raksasa gergaji akan menyentuh pohon jejawi, dengan
sangat mendadak angin berderak-derak ganas, dan sekian ratus burung yang mula-mula
bersembunyi dengan serentak beterbangan, sambil menjerit-jerit, memuntahkan sumpah
serapah. Dalam waktu yang sangat singkat, hampir semua burung di seluruh Surabaya dan
sekitarnya berdatangan dengan sangat cepat sekali. Langit gelap, bagaikan mendung yang
menggantung.
Lalu, bagaikan mendapat komando dari kekuatan gaib, sekian banyak burung
melayap mendekati Henky van Kopperlyk, tidak untuk memagut-magutnya, tapi hanya untuk
mengelilingi tubuhnya, sambil menjerit-jeritkan sumpah serapah.
Penebangan pohon jejawi gagal. Gubernur Jenderal di Jakarta memarahinya, dan
Gubernur Pantai Timur Jawa, berkedudukan di Surabaya, pura-pura memuji-mujinya. Istri
Henky van Kopperlyk, yang sudah didatangkan secara sembunyi-sembunyi, seorang
perempuan gendut dan berwajah berantakan, menertawainya dengan bumbu kata-kata ”sejak
dulu saya sudah tahu kamu goblok.”
Sebagai wali kota yang ingin menunjukkan kepandaian dan wibawa besarnya,
Henky van Kopperlyk berusaha keras untuk menutupi kelemahannya. Dia bersumpah untuk
mengguncang-guncang bumi dan langit sambil berseru-seru dalam hati: ”Inilah Henky van
Kopperlyk, wali kota yang namanya akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah
kolonialisme Belanda!”
Benar juga. Hanya dalam waktu beberapa bulan Henky van Kopperlyk sudah siap
untuk melaksanakan gagasan besarnya: semua klub sepak bola Belanda di seluruh Jawa
dikumpulkan di Surabaya untuk bertanding memperebutkan Piala Gubernur Jenderal. Hari
dan tanggal pembukaannya sudah ditentukan, yaitu Minggu, 17 Juli 1927, tepat pada hari
ulang tahun Gubernur Jenderal. Acara pembukaan pun dirancang dengan sangat teliti: tempat
duduk Gubernur Jenderal, para gubernur, para bupati, pawai drumband, paduan-paduan suara
lengkap dengan lagu-lagu marsnya, penyanyi-penyanyi, penari-penari, dan semuanya sudah
siap.
Seluruh kota Surabaya dihiasi lampu pijar, gedung-gedung pemerintah dibersihkan
dan dicat baru, demikian pula semua sekolah, toko, rumah, dan bangunan lain. Gedung-
gedung klub Belanda, kolam-kolam renang untuk orang Belanda, ruang tunggu khusus untuk
orang Belanda di tiga stasiun kereta api Surabaya, dipasangi papan dengan huruf-huruf besar:
”Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk”.
Tidak boleh ada satu acara pun yang gagal. Jangan sampai Gubernur Jenderal
menganggapnya goblok. Tidak boleh ada satu gubernur pun di seluruh Indonesia yang tidak
memuji-mujinya. Semua bupati harus bertekuk lutut memberi hormat kepada dia. Henky van
Kopperlyk adalah nama yang tidak boleh dipandang sebelah mata oleh siapa pun, tidak pula
oleh Anneke von Hubertus, istrinya.
Henky van Kopperlyk sadar perempuan bernama Anneke von Hubertus bukan hanya
berwajah berantakan, tapi juga berhati duri, congkak, selalu menganggap dirinya benar, dan
orang lain hanyalah kera tanpa otak. Ayahnya, Henricus von Hubertus, di mana-mana
berusaha meyakinkan, darah dalam tubuhnya darah Belanda tulen asal Tilburg, dan sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan darah Jerman. Hubertus nama Jerman, tapi dalam
darahnya justru mengalir kebencian terhadap Jerman.
Di ruang tamu dan ruang kerja rumah Henricus von Hubertus terpampanglah iklan
rokok yang sudah dibesarkan, dan dibingkai dengan lapisan emas. Iklan rokok merek Ogden.
Dalam iklan ada gambar kapten JR Jellicoe RN, seorang kapten kapal perang Inggris yang
terkenal berani, dan terkenal pula sebagai perokok berat. Kapten Jellicoe ini, tidak lain,
adalah nenek moyang Jenderal Angkatan Laut Inggris, yang dengan kapalnya, His Majesty
Ship Centurion, mengobrak-abrik angkatan laut Jerman dalam Perang Dunia I.
Henky van Kopperlyk insinyur tamatan Universitas Delft, muda, berambisi, dan
merasa tahu jalan paling baik untuk sampai ke puncak. Dia mengenal nama Henricus von
Hubertus sebagai saudagar sombong tapi kaya, tidak punya saudara, keponakan, dan apa pun
juga, kecuali istrinya yang raut wajahnya seperti orang akan menangis, tapi tahu bagaimana
memuaskan suaminya pada waktu malam. Anneke von Hubertus satu-satunya anak Henricus
von Hubertus, dan karena itu, tidak ada orang lain yang dibenarkan oleh undang-undang
untuk menerima harta karun warisan kecuali Anneke.

***
Setiap hari, paling sedikit tiga kali, Henky van Kopperlyk berkeliling kota
mengontrol persiapan acara besar hari ulang tahun Gubernur Jenderal. Dia sering naik kuda
dengan sikap digagah-gagahkan, diiringi oleh beberapa ajudannya. Di tempat-tempat ramai
dia memerintah kudanya berjalan perlahan-lahan bagaikan dalam sebuah parade, sambil
mengangkat hidungnya tinggi-tinggi dan melambai-lambaikan tangan kepada khalayak
ramai.
Dia selalu kurang puas melihat papan-papan besar ”Anjing dan Pribumi Dilarang
Masuk” di tempat-tempat umum. Terlalu kecil, atau hurufnya kurang mencolok, atau
tempatnya terlalu tersembunyi. Maka, atas perintahnya, papan-papan ”Anjing dan Pribumi
Dilarang Masuk” menjadi benar-benar mencolok. Kisah tentang Belanda kehilangan
kemaluannya dan pengalamannya sendiri dikerubuti sekian banyak burung membuat hatinya
terbakar. Pribumi harus dihina, dilecehkan, dan dipermalukan, sebelum mereka dibakar
hidup-hidup.
Para bupati adalah pribumi, kendati bangsawan, bagaimanapun mereka pribumi.
Perintah langsung dari Gubernur Jenderal menegaskan, semua orang Belanda harus berbuat
baik kepada para bupati, dan harus mampu membuat mereka makin setia kepada Belanda dan
makin jijik kepada sesama pribumi. Henky van Kopperlyk akan membuktikan bahwa para
bupati nanti akan bertekuk lutut menghadapinya.
Sejak hari pertama perkawinannya, Henky van Kopperlyk sudah bertekad untuk
tidak mempertontonkan istrinya di depan umum, kecuali kalau terpaksa sekali. Dia tahu
orang-orang akan mengejek-ejek istrinya dan menganggap dia goblok karena tidak mampu
mencari istri yang pantas. Dan dia sadar orang-orang mempunyai hak penuh untuk
mengolok-olok istrinya karena memang wajah istrinya berantakan, dan kalau berbicara
kadang-kadang seperti anjing geladak sedang menyalak. Demikianlah, pada hari ulang tahun
Gubernur Jenderal, Henky van Kopperlyk datang ke lapangan sepak bola, seperti biasanya,
tanpa istri. Bagi pembesar-pembesar Belanda, datang ke acara resmi tanpa istri adalah
perbuatan bejat. Tapi semua tamu sudah mafhum, Henky van Kopperlyk tidak akan berani
mempertontonkan istrinya di depan umum.
Upacara pun dimulai. Drumband berjalan keliling lapangan. Anak-anak sekolah
Belanda berjalan dengan semangat membara di belakangnya. Berangkai-rangkai mercon
meledak-ledak di udara. Dua pesawat kecil pun berkeliaran ke sana kemari, menyebarkan
potongan-potongan kertas beraneka warna. Lalu, pidato-pidato pun dimulai.
Akhirnya, tibalah acara yang amat penting bagi Henky van Kopperlyk. Bola
dipasang tepat di tengah lapangan. Bunyi terompet dan tambur menggetarkan udara. Lalu,
senyap. Henky van Kopperlyk berdiri dengan sikap gagah tidak jauh dari bola. Pistol pertama
meledak. Senyap. Henky van Kopperlyk mengambil ancang-ancang untuk menendang bola.
Pistol kedua meledak. Senyap. Henky van Kopperlyk makin siap menendang, menunggu
pistol ketiga meledak. Begitu pistol ketiga meledak, dengan penuh semangat Henky van
Kopperlyk lari menuju ke arah bola.
Nah, Henky van Kopperlyk makin mendekati bola, kemudian menyepak bola
dengan kekuatan penuh. Karena tali sepatunya entah mengapa kurang kencang, bukan
bolanya yang terkena tendangan. Justru sepatu Henky van Kopperlyklah yang terlepas, lalu
melayang di udara, terus melayang, seolah-olah ingin menggedor-gedor pintu surga. Bola
tetap berada di tempatnya semula.
DUA PENARI

Di sebuah kota yang tidak perlu disebut namanya, ada dua rumah sakit besar dan
terkenal, yaitu Rumah Sakit Kandang Kerbau di kota bagian barat, dan Rumah Sakit
Kandang Lembu di kota bagian timur. Kendati tidak khusus mengurusi kelahiran, dua rumah
sakit itu menjadi terkenal karena banyak bayi yang dilahirkan di sana akhirnya menjadi
orang-orang terkenal.
MENURUT catatan, dua Menteri Luar Negeri India, tiga Duta Besar Filipina untuk
PBB, dan seorang Perdana Menteri Australia lahir di Rumah Sakit Kandang Kerbau, dan
seorang Perdana Menteri Thailand, seorang Menteri Luar Negeri Malaysia, seorang Duta
Besar Indonesia untuk Amerika, dan seorang konglomerat paling kaya di Indonesia lahir di
Rumah Sakit Kandang Lembu.
Jangan heran, manakala begitu banyak calon ibu di banyak negara bermimpi-mimpi
untuk melahirkan bayi mereka di salah satu rumah sakit itu. Tentu saja, di samping orang-
orang besar itu, banyak pula bayi kelahiran dua rumah sakit itu yang akhirnya tidak menjadi
apa-apa, tidak punya nama, dan sama sekali tidak perlu dibanggakan.
Terceritalah, di kota bagian barat ada seorang laki-laki bernama Latiff Ariffin, dan di
kota bagian timur ada seorang laki-laki bernama Latif Arifin. Dengan mengendarai sepeda
motor besar, setiap hari kerja Latiff Ariffin mengantarkan istrinya, Latifa, ke kantornya di
kota bagian timur, dan setiap hari kerja pula, dengan mengendarai sepeda motor besar, Latif
Arifin mengantarkan istrinya, Latifah, ke kantornya di kota bagian barat.
Dua pasangan ini, Latiff Ariffin dan Latifa, tidak saling mengenal dengan Latif
Arifin dan Latifah, tapi dalam catatan pernikahan di Kantor Agama, dua pasangan ini
menikah pada hari, tanggal, dan jam yang sama di dua tempat berbeda. Kalau ditelusur lebih
lanjut akan ketahuan bahwa Latiff Ariffin dan Latif Arifin lahir pada hari, tanggal, dan jam
yang sama pula, di dua rumah sakit berbeda. Latiff Ariffin lahir di Kandang Kerbau, dan
Latif Arifin lahir di Kandang Lembu.
Kalau ditelusur, ternyata istri mereka, Latifa dan Latifah, juga lahir pada hari,
tanggal, dan jam yang sama, di dua rumah sakit berbeda. Latifa lahir di Kandang Lembu, dan
Latifah lahir di Kandang Kerbau.
Latiff Ariffin benar-benar mirip Latif Arifin, dan Latifa betul-betul mirip Latifah.
Seandainya mereka berjumpa bersama-sama, mereka tidak akan tahu mana yang mana.
Sudah lama mereka menginginkan anak, tapi anak yang mereka tunggu tidak pernah
datang. Akhirnya, setelah menunggu sepuluh tahun dan tidak ada ujungnya, masing-masing
mereka setiap malam berzikir, memohon kepada Tuhan Seru Sekalian Alam, agar mereka
segera memperoleh keturunan. Akhirnya Tuhan Seru Sekalian Alam mengabulkan
permohonan mereka.
Setelah mengandung, Latifa sering bergaduh dengan suaminya, demikian pula
Latifah dengan suaminya. Latifa ingin melahirkan di rumah sakit Antonio Barabak, dan
Latifah ingin melahirkan di rumah sakit Antonio Barabak pula. Suami Latifa ngotot ingin
Latifa melahirkan di Kandang Kerbau atau Kandang Lembu, demikian pula suami Latifah.
”Wahai, Latiff Ariffin, kamu lahir di Kandang Kerbau karena orangtuamu ingin
kamu menjadi orang besar,” seru Latifa. ”Ternyata kamu bukan apa-apa. Saya lahir di
Kandang Lembu karena orangtua saya ingin saya menjadi orang besar. Ternyata saya juga
bukan apa-apa.”
Dalam bergaduh dengan suaminya, seruan Latifah sama dengan seruan Latifa
kepada suaminya.
Pada suatu hari, dalam bergaduh, Latifah berseru: ”Wahai, Latif Arifin, janganlah
kau bergantung pada nama orang-orang besar. Bergantunglah pada dermawan-dermawan
besar. Yang banyak jasanya. Yang tidak ingin dikenal. Bergantunglah pada Antonio Barabak.
Dia datang ke negeri kita dengan tujuan mulia. Menyembuhkan orang-orang sakit. Tanpa
pamrih. Dia meninggal di negeri kita. Tertular lepra ketika wabah lepra menyerbu negeri ini.”
Tepat pada saat yang sama, Latifa juga menyeru kepada suaminya dengan nada
sama.
Kata orang-orang bijak, manusia bisa merencanakan, takdir menentukan, demikian
pulalah yang terjadi pada Latifa dan Latifah. Pada saat yang sama, Latifa dan Latifah merasa
nyeri pada selangkangan, perut sakit, serta mulas. Latifa merasa akan segera melahirkan,
demikian pula Latifah. Sementara itu, sebagaimana yang terjadi selama beberapa hari
sebelumnya, langit mengamuk, kilat demi kilat saling bersambaran, hujan deras pun yang
sudah berlangsung tujuh jam menolak untuk berhenti.
Latifa segera memberi aba-aba kepada suaminya agar segera memanggil taksi untuk
membawanya ke Rumah Sakit Antonio Barabak, demikian pula Latifah. Begitu mendekati
Rumah Sakit Antonio Barabak, mereka melihat pemandangan mengerikan: sebuah tiang
listrik roboh menimpa atap rumah sakit, memercikkan lidah-lidah api, lalu cepat menyebar ke
sudut-sudut lain.
Latiff Ariffin segera melarikan istrinya ke Kandang Kerbau, dan Latif Arifin segera
melarikan istrinya ke Kandang Lembu.
Dua bayi, satu anak Latiff Ariffin dan yang lain anak Latif Arifin, tepat pada detik
yang sama lahir. Anak Latiff Ariffin diberi nama Sulaiman bin Ariffin, dan anak Latif Arifin
diberi nama Sulaiman bin Arifin. Dua bayi ini menimbulkan rasa heran: tangis mereka
bagaikan nyanyian-nyanyian syahdu yang menyayat hati, jauh berbeda dengan tangisan bayi-
bayi lain ketika mereka baru lahir.
Meskipun wajah Latifa sangat pucat, demikian pula wajah Latifah, dokter di dua
rumah sakit berbeda itu menjamin, berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan yang sangat teliti,
ibu-ibu muda ini benar-benar sehat.
Keesokan harinya ketika Latiff Ariffin naik sepeda motor besar menuju ke
kantornya, demikian pula Latif Arifin, hujan makin deras, langit makin gelap, angin makin
menderu-deru, dan halilintar demi halilintar saling bertabrakan. Tepat pada waktu bersamaan,
malaikat Izrail mencabut nyawa Latiff Ariffin di Labuh Raya 15 A, dan nyawa Latif Arifin di
Labuh Raya 15 B. Sepeda motor dua laki-laki ini tergelincir, helm mereka melesat, mereka
jatuh, lalu kepala mereka terlindas truk.
Dalam kisah mengenai raja-raja, tertulislah sebuah kalimat: ”Raja wafat, dan karena
sedih, permaisuri pun menyusul wafat,” dan inilah yang terjadi pada Latifa dan Latifah.
Dalam keadaan lemah sehabis melahirkan mereka menerima berita yang tidak pernah mereka
duga, dan tanpa sempat mengurusi bayi mereka, mereka meregang nyawa menyusul suami
mereka.
Apa yang kemudian terjadi pada dua bayi itu tidak diketahui, tapi, setelah mereka
berumur 20 tahun, takdir mereka menjadi jelas. Mereka sama-sama pandai menyanyi dan
memainkan berbagai alat tabuh-tabuhan. Yang satu, entah yang mana, buta, dan lainnya,
entah itu Sulaiman bin Ariffin atau Sulaiman bin Arifin, matanya tidak buta.
Mereka menjadi penyanyi, dan dua-duanya mencari nafkah di stasiun bawah tanah
yang sama. Kendati stasiun ini paling ramai, jalan keluar-masuknya hanya dua, satu di barat,
satu di timur. Penyanyi buta mengamen di pintu barat, penyanyi yang tidak buta mengamen
di pintu timur.
Dua penyanyi ini tidak saling mengenal, tapi saling mendengar. Dari tahun ke tahun
keadaannya sama: setiap hari penyanyi buta selalu mendapat uang banyak, dan setiap hari
penyanyi yang tidak buta tidak pernah mendapat uang banyak.
Pada suatu malam, tepat pada waktu sama, dua penyanyi ini tertimpa oleh mimpi.
Dalam mimpi, dua penyanyi ini mendengar suara bisik-bisik: ”Dua orang yang berbeda bisa
menjadi saudara bukan karena darah, tapi karena takdir. Kau penyanyi, dan saudaramu juga
penyanyi.”
Bisik-bisik ini berlanjut terus, sampai akhirnya, penyanyi yang tidak buta mendengar
bisik-bisik: ”Takdirmu buruk, karena kamu tidak buta. Takdir saudaramu bagus, karena dia
buta.” Tanpa sadar, dalam keadaan masih bermimpi, penyanyi yang tidak buta mengambil
pisau, lalu menusuk-nusuk matanya.
Maka, di stasiun bawah tanah itu sekarang ada dua penyanyi, sama-sama buta. Dua
penyanyi tetap tidak saling mengenal, tapi tetap saling mengetahui.
Pada suatu malam, tepat pada waktu bersamaan, dua penyanyi ini di rumahnya
masing-masing bersembahyang memohon ampunan kepada Tuhan Seru Sekalian Alam.
Begitu selesai bersembahyang, tubuh dua penyanyi ini bergetar-getar hebat, dan mereka
segera teringat pada bisik-bisik lain dalam mimpi mereka beberapa hari lalu: ”Apabila
tubuhmu bergetar-getar hebat, kamu akan segera bergabung dengan ayah bundamu.”
Malam makin gelap, angin bertiup tenang, dan hampir semua rumah di kota yang
tidak perlu disebutkan namanya ini sudah padam lampunya. Lampu-lampu jalan yang
dianggap tidak begitu penting juga sudah dimatikan.
Dalam waktu bersamaan dua penyanyi keluar dari rumah masing-masing,
melangkahkan kaki dengan dibantu oleh tongkat mereka, tanpa tahu harus ke mana. Hanya
kaki merekalah, dengan dibantu tongkat, yang menuntun mereka.
Suara bisik-bisik terdengar: ”Takdir telah membuat kamu lahir tepat pada saat yang
sama dengan saudaramu, dan akhir hidup kalian akan datang bersama-sama pula.”

Budi Darma. Sehari-harinya bekerja sebagai Guru Besar Ubesa (Universitas Negeri
Surabaya). Budi Darma pernah menerbitkan beberapa kumpulan esai, cerpen, dan novel, dan
pernah mendapatkan penghargaan anatra lain dari Balai Pustaka, Kompas, SEA-Write Award
(Bangkok), Anugerah Seni Pemerintah RI, Satya Lencana dari Presiden republik Indonesia,
dan Anugerah MASTERA (Brunei).

Rujukan:
[1] Disalin dari karya Budi Darma
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Kompas" Minggu 6 Desember 2015
HOTEL TUA

RAPAT berlarut-larut sampai malam, tidak mungkin saya pulang ke Surabaya.


Kebetulan di pekarangan gedung rapat ada sopir taksi berwajah kocak, berlagak seolah-olah
sedang khusus menunggu saya. ”Tadi banyak yang akan naik taksi saya, tapi saya tolak,”
katanya.
Lebih kurang setengah jam kemudian, taksi masuk ke pekarangan sebuah hotel tua
dan kumuh.
Sopir taksi berkata, ”Hotel baru, dibikin seperti tua. Klasik. Kumuh tampaknya, tapi
bersih.”
Seorang pegawai berpakaian badut buru-buru menjemput saya, mengarahkan saya
ke resepsionis. Dengan mata tajam resepsionis memandang saya, lalu dengan senyum
tersembunyi mempersilakan saya mengisi daftar tamu, lalu berkata, ”Bos memberi titah, tamu
terhormat tidak perlu membayar. Nginap, makan, cuci,tilpun ditanggung hotel.”
Lift menuju ke kamar saya di tingkat lima berjalan sangat lamban, berguncang-
guncang, dan mengeluarkan bunyi gaduh. Rasanya hampir jatuh berantakan. Lampunya
redup, baunya apek.
Ternyata kamarnya bagus, lapang, dan bersih. Ada panci dan wajan penggorengan,
tapi tidak ada dapurnya. Ada palu, tapi tidak ada pakunya. Ada penumbuk padi, tapi tidak ada
lesungnya. Ada senapan angin, tapi kosong. Dan ada macam-macam lagi yang tampaknya
bisa membuat gaduh.
Di laci meja tersembul tulisan kabur pada kertas tipis: ”Penggunaan semua alat
dalam kamar di luar tanggung jawab hotel”.
Tidak lama kemudian dua pegawai hotel mengetuk pintu, mengajak saya bertemu
bosnya di lantai 10. Seperti tadi, lift bergerak lamban, bergoyang-goyang, berbunyi gaduh,
rasanya akan segera jatuh. Lampunya redup, baunya apek.
Bos mereka duduk di kursi roda dan begitu melihat saya, dia berseru, ”Selamat
datang, Burhan.”
Dia memperkenalkan diri dengan nama Wibowo, nama Indonesia, dan dia
menamakan diri Pedro di Filipina, Prangsang di Thailand, Nikimura di Jepang, dan Sagan di
Perancis. Tergantung di negara mana dia berada. Lalu dia pamer, dia menguasai banyak
bahasa.
”Mungkin kamu tidak kenal saya. Beberapa tahun setelah kamu lulus sebagai doktor
filsafat dari Indiana University, saya masuk.”
Dia memencet laptop dan terpampanglah data mengenai saya lengkap dengan
gambar yang sebagian kusam dan sebagian meyakinkan. Ada juga video agak gelap ketika
saya menolong anjing di Sungai Jordan.
”Wajah kamu tampak tenang ketika kamu berhadapan dengan perempuan-
perempuan telanjang,” katanya, bergantian menuding-nuding saya dan gambar di layar
dinding.
Memang, ketika saya menjadi mahasiswa, beberapa kali saya diminta oleh biro iklan
untuk ikut memilih model, tapi saya tidak menduga semua gerak-gerik saya ditangkap oleh
kamera foto dan video.
”Kalau kamu ingin tahu nama saya yang sebenarnya, saya Johny, Johny Gallagher.
Karena dalam tubuh saya mengalir berbagai darah, saya tidak pernah tahu siapa saya
sebenarnya. Darah Perancis ada, darah Jerman ada, darah Ukraina ada, dan darah-darah lain.
Kamu pasti tahu, di Ngagel Surabaya dulu ada pabrik tekstil. Tidak jauh dari makam. Di
pojok perempatan. Pemiliknya pernah menjadi serdadu Perang Dunia I. Dia salah seorang
nenek moyang saya.”
Setelah memandangi saya agak lama dia berkata, ”Mengapa kamu diam, Burhan?”
”Saya tertarik cerita kamu. Rasa-rasanya saya mengenal kamu.”
Dia diam sebentar, kemudian meluncurkan kursi rodanya menuju ke piano. Dia
mainkan lagu Madonna, ”Don’t Cry for Me Argentina”, dari film Evita Peron. Evita lahir
dalam keluarga melarat, pernah menjadi pelacur murahan untuk mempertahankan hidupnya.
Karena pribadinya kuat dan otaknya cerdas, dia diperistri oleh Juan Peron, Presiden
Argentina yang mampu bertahan dengan tangan besi sampai tiga masa jabatan. Di bawah
pengaruh Evita, Argentina menjadi makmur. Dalam lagu ”Don’t Cry for Me Argentia”
Madonna mampu menghayati pahit getirnya kehidupan Evita dan rakyat Argentina, dan laki-
laki di kursi roda itu juga mampu menghayati jiwa Evita melalui permainan pianonya.
Setelah usai memainkan piano, dia kembali ke laptopnya, kemudian memutar
cuplikan film, dan berkata, ”Tengok! Salah seorang di antara kerumunan orang itu adalah
saya. Itu dia, yang menyanyi dengan suara lirih. Mengiringi suara menyayat hati Madonna.”
”Kamu hebat, Johny,” kata saya.
Wajahnya biasa-biasa saja, lalu berkata, ”Kamu lebih hebat, Burhan. Saya tahu
kamu pengagum ayah kamu, seorang pedagang keliling. Kamu diajari cara tepat untuk
menembak burung terbang dengan senapan angin. Dalam tujuh kali tembakan, tujuh burung
rontok satu-satu, seolah-olah jatuh dari surga ke neraka. Ingat, saya punya banyak data
mengenai kamu.”
Diam sebentar. Kemudian dengan kursi rodanya dia meluncur ke sebuah almari,
mengambil sebuah buku, lalu meluncur kembali ke arah saya, lalu meletakkan buku itu di
meja.
”Saya tahu, sesudah kamu lulus dari Indiana University di Bloomington, sudah
beberapa kali kamu balik ke Bloomington.”
”Saya punya banyak mata dan saya punya banyak kuping di Bloomington. Dan saya
bisa membayangkan, ada seorang mahasiswa cerdas, mampu membuat onar. Pada suatu
malam di bulan Desember, ketika musim salju sedang mencapai puncaknya dan salju sedang
berguguran dengan amat lebatnya, segerombolan mahasiswa laki-laki telanjang menggedor-
gedor pintu asrama mahasiswa perempuan, pura-pura takut dikejar gerombolan serigala.
Pintu dibuka, beberapa mahasiswa perempuan pingsan. Ketika polisi dilapori, mereka malah
tertawa terbahak-bahak. Saya bisa membayangkan, komandan gerombolan mahasiswa
telanjang itu pasti cerdas.”
Sesudah itu, seolah-olah terkena sihir, saya kurang tahu apa yang saya lakukan. Saya
merasa berjalan dalam mimpi, diikuti dua pegawai hotel dengan sembunyi-sembunyi. Dan
saya juga merasa ternyata jumlah tamu hotel cukup banyak. Di setiap lantai saya melihat
banyak tamu keluar masuk kamar mereka.
Begitu masuk kamar, rasa kantuk saya hilang dan pikiran melayang ke peristiwa
dalam lift. Semua lift itu merek Otis. Saya buka laptop, lalu saya ketik Otis dan
bermunculanlah begitu banyak data mengenai Elisha Otis, pencipta lift pertama di dunia. Lift
pertama ciptaan Otis selalu lambat, bergoyang-goyang, dan suaranya gaduh. Dan sekarang
banyak orang ingin memakai lift Otis yang aman, tapi lambat, bergoyang-goyang, terasa akan
jatuh, dan gaduh. Banyak orang, terutama yang kaya, tidak bisa membebaskan diri dari
kerinduan masa lampau.
Tidak lama kemudian, tiga pegawai hotel mengetuk pintu, menyampaikan
permohonan maaf karena bos mereka lupa memberikan buku di meja tadi. Buku ditulis oleh
Johny Gallagher, judul Psycho-Revenge: The Imperative Human Needs, didedikasikan
kepada Burhan, penulis buku New Paradigm of Psycho-Revenge. Balas dendam, demikianlah
bunyi sebagian kalimat dalam buku itu, tidak bisa dinafikan dalam naluri manusia. Ada pula
kutipan kisah mengenai surat yang dicuri, saduran cerpen Edgar Allan Poe, ”The Purloined
Letter”, tentang persaingan cinta dan dendam, sampai akhirnya membuahkan kematian.
Demikianlah kisahnya.
1. Menteri sedang berdiskusi dengan Ratu, lalu dengan mendadak dan tanpa
diduga, Raja datang. Raja tahu bahwa Ratu berusaha agar Raja tidak mengetahui
surat di tangan Ratu, namun Ratu tidak dapat menyembunyikannya. Ketika
perhatian Raja dan Ratu sedang tidak berada pada surat itu, Menteri mengganti
surat itu dengan surat lain yang mirip dari sakunya.
2. Ratu kemudian sadar bahwa surat di tangannya tadi telah hilang dan dia
langsung mencurigai Menteri. Begitu Menteri pergi, Ratu memberi titah kepada
Kepala Polisi dan anak-buahnya untuk menggeledah tempat-tinggal Menteri.
Kepala Polisi beserta anak-buahnya dengan segala daya dan cara berusaha untuk
menemukan surat itu, namun, ternyata, mereka tidak dapat menemukan apa-apa.
3. Karena putus asa, Ratu minta tolong Dupin. Menurut kesimpulan Dupin, tidak
mungkin surat itu disembunyikan di rumah Menteri. Kalau memang
disembunyikan, surat itu pasti akan ditemukan. Karena tidak ditemukan, maka
pasti surat itu tidak disembunyikan. Akhirnya memang dia menemukan surat itu,
lalu surat itu diletakkan sedemikian rupa sehingga nanti kalau dia kembali lagi
ke rumah Menteri, dia dapat mengganti surat itu dengan surat serupa.
4. Dupin datang lagi, lalu mengganti surat itu dengan surat palsu yang serupa. Oleh
Dupin surat dikembalikan ke Ratu dan sadarlah Menteri kemudian bahwa dia
akan segera jatuh. Sebuah catatan dalam surat palsu tersebut menyatakan bahwa
tindakan Dupin terhadap Menteri adalah sebuah balas dendam. Dulu, ketika
Dupin dan Menteri masih sama-sama muda, mereka rebutan pacar dan dengan
akal bulus Menteri dapat mengalahkan Dupin.

Kantuk menyerang lagi. Beberapa saat sebelum tertidur saya masih sempat bertanya-
tanya mengapa wajah Johny Gallagher tampak kosong ketika saya bercerita mengenai
gerombolan mahasiswa telanjang. Seolah-olah dia tidak merasa bahwa saya berbicara
mengenai dia.
Sekonyong-konyong saya terlempar dan tahu-tahu sudah berdiri dekat meja,
memegang kertas dengan tulisan kabur, ”Penggunaan semua alat dalam kamar ini di luar
tanggung jawab hotel”. Hotel terasa bergetar oleh teriakan-teriakan kasar, suara saling
beradu, dan benda-benda keras dibentur-benturkan ke tembok dan entah ke mana lagi.
Apa yang pernah saya bayangkan menjadi kenyataan. Johny Gallagher dulu menjadi
pemimpin asrama Beta Kapa Kapa dan dia mempunyai resep jitu untuk meredam rasa
tertekan mahasiswa. Salah satunya dengan cara mengirim gerombolan mahasiswa telanjang.
Dia mengatasnamakan mahasiswa, tapi sebetulnya untuk kepentingannya sendiri. Dia
bermasalah, dan atas nama mahasiswa, dia memperalat mahasiswa. Lalu, pada malam-malam
tertentu dia memerintah teman-temannya untuk berteriak keras-keras, memaki-maki,
memukul-mukul dengan apa pun dan kepada siapa pun, selama sepuluh menit. Juga untuk
meredam rasa tertekan. Itu dulu. Sekarang dia pasti lebih licin.
Dengan memencet tombol dan menimbulkan dering memukau di seluruh bagian
hotel, Johny Gallagher menyihir semua tamu untuk berteriak keras-keras, memaki-maki,
kalau perlu sesama tamu saling gebuk. Semua alat untuk menggebuk sudah tersedia di kamar.
Maka mereka pun saling tinju, saling pukul, kalau perlu saling hantam kepala dengan palu.
Dan mereka dipersilakan keluar kamar untuk mengejar tamu-tamu lain.

Rujukan:
[1] Disalin dari karya Budi Darma
[2] Pernah tersiar di surat kabar "Kompas" pada 7 September 2014
Cerpen Pilihan
Gauhati
Budi Darma
DENGAN sangat mendadak tiga bidadari menemui saya. Untuk beberapa saat, saya
terkesiap. Namun, segera saya ingat pesan ibu, hanya beberapa saat setelah ibu merasa bahwa
maut akan segera menjemputnya.
“Gauhati, pada suatu saat tiga bidadari akan mendatangi kamu. Kalau tiba saatnya
tiga bidadari datang, janganlah berbuat macam-macam. Ikutilah segala kehendak tiga
bidadari.”
Karena itu, kepada tiga bidadari saya berkata, “Katakanlah, apa saja, dan saya akan
menurut.”
“Kami sudah tahu bahwa kamu akan berbuat bijak.”
“lalu, apa yang harus saya lakukan?”
“Kami datang untuk bertanya mengenai Kuthari, Gauhati.”
“Saya makhluk biasa. Bidadari pasti lebih tahu. Kuthari mati ditembak. Itu saja.
Bagaimana sebenarnya, saya tidak tahu.”
Kemudian saya bercerita, bahwa hubungan saya dengan Kuthari tidak dekat. Kami
memang kadang-kadang bertemu, namun hanya secara kebetulan. Setiap kali kami bertemu,
kami saling menyapa. Hanya itu.
Kemudian, pada suatu hari Kuthari datang, khusus untuk memberikan surat
undangan. Dalam undangan itu dia katakan, dia akan memperingati ulang tahunnya. Dia
datang serba mendadak, pergi pun serba mendadak.
Tepat pada hari ulang tahun dia, sesuai dengan undangannya, saya datang.
Rumah Kuthari memang agak besar. Namun, di sana sini sekian banyak barang
bekas bertebaran. Maka, rumah itu tampak sempit.
Kata Kuthari, sebenarnya semua barang itu bukan sekadar barang bekas, tapi barang
kuno. Masing-masing barang, kata dia pula, mempunyai makna. Lalu, dia menunjuk sebuah
senapan tidak jauh dari pintu masuk ke kamar tidur.
“Senapan ini sudah memakan banyak korban. Dan semua korban adalah orang-orang
yang sama sekali tidak mempunyai dosa. Mereka menjadi korban justru karena mereka
adalah orang-orang jujur.”
“Dari mana kamu peroleh senapan ini, Kuthari?” tanya saya.
“Saya tidak tahu. Dengan sangat mendadak senapan ini datang ke sini. Lengkap
dengan pelurunya.”
“Lalu, Kuthari, bagaimana kamu tahu bahwa senapan ini telah banyak memakan
korban?”
“Dengan mendadak memang saya tahu. Tapi mengapa saya tahu, saya tidak mampu
menjelaskan. Dengan mendadak saya tahu, itu saja.”
“Lalu, Kuthari, bagaimana pula kamu tahu bahwa semua korban senapan ini adalah
justru orang-orang tanpa dosa?”
“Seperti yang saya jelaskan tadi, Gauhati, dengan mendadak saya tahu. Mengapa
demikian, jangan tanya saya.”
Karena jumlah tamu tidak banyak, hanya sekitar delapan orang, semua tamu
mendengar percakapan kami. Tampak mereka berminat untuk menanyakan lebih lanjut
mengenai senapan dekat pintu kamar tidur itu, namun tampak pula Gauhati berusaha untuk
mengalihkan arah percakapan.
“Menjelang pukul sebelas malam nanti, saya akan genap berusia tiga puluh tahun,”
kata Kuthari.
“Usia yang sangat bagus,” kata saya. Semua tamu setuju.
“Saya tidak yakin,” kata Kuthari.
“Mengapa?”
“Karena beberapa hari yang lalu saya berhadapan dengan teka-teki. Entah mengapa,
dengan sangat mendadak seorang tua datang ke sini. Tahu-tahu dia sudah duduk di lantai,
bersimpuh, sambil memegang biola. Bagaimana cara dia datang, entahlah. Namun saya
segera tahu, bahwa dia buta. Lalu, tanpa berkata apaapa sebelumnya, dengan mendadak dia
menggesek biola. Dia benar-benar mahir. Perasaan saya benar-benar terhanyut. Seolah dia
datang dari langit, khusus untuk membawa lagu-lagu curian dari para dewata. Kemudian,
dengan sangat mendadak pula dia berhenti. Sampai agak lama dia diam. Tampak dia
merenung.
Tanpa saya duga, kemudian dengan mendadak dia mulai menggesek lagi. Tanpa
terasa, saya menangis. Saya mengenal betul lagu itu, lagu nina-bobok ibu. Dengan lagu itulah
saya ditidurkan, dan diantar ke alam mimpi indah. Dalam mimpi saya selalu merasakan
belaian kasih sayang, kasih sayang ibu. Itulah ibu yang melahirkan saya, merawat saya,
membesarkan saya, dan membisikkan kata-kata indah agar saya sanggup menjadi manusia
berbudi luhur.”
“Lalu, bagaimana dengan penggesek biola buta itu?” tanya saya.
“Setelah selesai dia berhenti agak lama, kemudian menangis.”
“Siapa sebenarnya dia?”
“Tidak tahu. Dia juga tidak mau mengatakan siapa dia. Tanpa mau saya bayar, dia
pergi.”
***
SELAMATAN ulang tahun Kuthari berlangsung biasa-biasa saja. Semua tamu
tampak setengah kecewa, setengah puas. Mereka tidak menyangka akan diundang. Dan
ketika diundang, mereka merasa tidak rugi untuk datang. Hubungan mereka dengan Kuthari
sama dengan hubungan saya dengan Kuthari, demikian juga hubungan mereka dengan saya.
Kami semua tidak pernah akrab, dan saling tidak peduli.
“Saya tahu bahwa Kuthari tidak mempunyai teman dekat,” kata saya kepada tiga
bidadari.
“Sama dengan kamu, Gauhati?” tanya tiga bidadari serempak.
“Bukan hanya sama, tetapi juga mirip. Dan tamu-tamu lain juga mirip satu sama
lain. Kadang-kadang saya merasa saya tidak lain adalah Kuthari, dan Kuthari adalah saya.
Dan masing-masing tamu adalah saya, dan saya tidak lain adalah juga masing-masing tamu.”
“Bagaimana mengenai wajah kamu, Gauhati?”
“Akhirnya saya juga merasa, bahwa wajah Kuthari, wajah para tamu, dan wajah
saya sendiri sebetulnya sama.”
“Kalau memang demikian dugaan kamu, Gauhati, kami tiga bidadari tidak akan
menyalahkan kamu, dan juga tidak akan membenarkan kamu.”
“Demikian pula saya.”
“Maksud kamu?”
“Saya hanya merasa begitu, tanpa ada keinginan untuk membenarkan atau
menyalahkan perasaan saya sendiri.” “Bagus. Lalu, apa yang terjadi menjelang pukul sebelas
malam?”
“Kuthari mengajak semua tamu diam, merenung, dan bersemedi. Kata dia, dia minta
agar semua tamu berdoa untuk keselamatan dia. Untuk itulah dia mengundang kami.”
“Lalu?”
“Setelah lama diam, Kuthari bercerita kembali mengenai penggesek biola.”
“Mohon maaf, penggesek biola,” kata Kuthari kepada tamu-tamunya. “Siapakah
sebenarnya kamu?”
“Saya tidak tahu,” jawab penggesek biola menurut Kuthari.
“Tahu-tahu saya sudah ada, dan dalam keadaan buta. Dan saya tidak mempunyai
apaapa, kecuali biola. Saya juga tidak sanggup menggeseknya, manakala tidak ada sesuatu
yang mendesak saya untuk menggeseknya.”
“Ketahuilah, penggesek biola, saya tidak mengundang kamu. Apakah kamu merasa
saya mendesak kamu untuk menggesek biola? Saya bahkan tidak pernah tahu bahwa kamu
pernah ada.”
“Janganlah bersikap congkak, Kuthari. Orang macam kamu tidak mempunyai
kemampuan untuk mendesak saya. Ketahuilah, yang mendesak saya adalah kekuatan gaib,
bukan orang.”
“Lalu, mengapa kamu mendatangi saya?”
“Karena kehidupan manusia adalah bagaikan nyala lilin. Dan alam semesta
adalah perlambang. Makin lama lilin menyala, makin pendek lilin itu.”
Kepada para tamu, Kuthari berkata, “Saya juga tidak tahu siapa sebenarnya saya.
Dulu saya mempunyai ibu. Siapa ayah saya, saya tidak tahu. Ibu saya meninggal
sebelum saya dewasa. Bagaimana wajah ibu saya juga ragu, sebab kadang-kadang saya ingat,
kadangkadang tidak. Hanya suara ibu, elusan tangan ibu, dan kelembutan ibu yang selalu
membayangi saya, dan membimbing saya. Sering saya menangis. Tidak lain, karena saya
merindukan ibu. Dan lagu nina bobok ibu, saya masih benarbenar ingat. Sering lagu-lagu ibu
berkumandang kembali dalam ingatan saya.”
“Lalu?” tanya saya kepada Kuthari.
“Sekali lagi, Gauhati, ibu saya meninggal pada saat saya belum dewasa. Lalu ada
seorang perempuan berbudi luhur memungut saya. Dia mengajak saya bepergian ke banyak
kota. Kata perempuan berbudi luhur ini, saya harus belajar banyak dari pengalaman langsung.
Karena itu saya harus melihat banyak hal. Pada suatu malam, di sebuah kota besar, kami
mengunjungi pasar malam. Entah mengapa, perempuan berbudi luhur itu berpisah dari saya.
Memang pasar malam itu sangat ramai, sangat banyak orangnya, dan sangat luas. Bukan
hanya itu. Pasar malam itu juga mempunyai sekian banyak toko-toko untuk menjual sekian
banyak macam barang, dan juga untuk sekian banyak macam pertunjukan. Di antara sekian
banyak deret toko itu, terdapat pula jalan-jalan sempit. Ada pula jalan-jalan sempit yang
gelap, kotor, dan menakutkan. Lalu, saya mencari perempuan berbudi luhur itu. Sekian
banyak sudut pasar malam saya teliti, termasuk pula tempat-tempat yang kotor dan gelap.
Semua serba asing bagi saya. Bagaimana dan mengapa akhirnya saya sampai di sini, saya
tidak tahu. Tentu saja saya tahu, kalau saya mau mengingat-ingat kembali. Tapi, apa gunanya
mengingat-ingat kembali pengalaman yang serba pahit, penuh onak, dan penuh duri?
Daripada saya menangis dan sengsara berkepanjangan, saya selalu berusaha kuat untuk tidak
mengingat masa lampau, kecuali mengingat ibu kembali.”
“Lalu, Kuthari, bagaimana kamu tahu tanggal, hari, dan jam kelahiran kamu?”
“Karena saya pernah mendengar bisikan ibu.”
***
MAKA, kepada tiga bidadari saya berkata, “Itulah pertemuan terakhir saya dengan
Kuthari. Entah ke mana dan di mana Kuthari, saya tidak tahu. Lalu, dengan sangat mendadak
ada sebuah berita datang entah dari mana. Kuthari, menurut berita itu, sudah meninggal.
Tertembak. Malam itu, demikianlah kata berita itu, setelah para tamu termasuk saya pulang,
Kuthari mendengar ringkik kuda dari tempat jauh. Tapi, kendati ringkik kuda datang dari
tempat jauh, Kuthari sanggup men-dengarnya dengan baik. Ternyata, kata berita itu, Kuthari
memang pencinta kuda. Segala seluk-beluk kuda dia kuasai dengan baik. Dan dia tahu,
ringkik kuda itu memang melan-tunkan nada untuk memanggil.”
Betul, kuda itu memang sedang menunggu Kuthari. Begitu merasa Kuthari datang,
kuda itu melenguhkan ringkik-ringkik bahagia. Maka, tidak lama kemudian, bagaikan dua
sahabat yang saling mencari dan saling merindukan, bertemulah Kuthari dengan kuda itu.
“Hai, kuda yang gagah, siapakah kamu sebenarnya?”
Sebagian hidup Kuthari ternyata, menurut berita itu, memang pernah dihabiskannya
bersama kuda. Seorang saudagar kuda pernah mengangkat Kuthari menjadi punggawa.
Pekerjaan Kuthari adalah merawat kuda. Dan karena Kuthari setia dan jujur, semua kuda dia
rawat dengan baik, dengan kasih sayang. Karena itu, semua kuda juga menunjukkan rasa
kasih sayang kepada Kuthari.
Bukan hanya itu. Kuthari juga tahu, bahwa alam semesta sebenarnya menciptakan
jodoh bagi apa pun, dan bagi siapa pun. Kuda yang buruk mencari beban yang berat. Itulah
jodoh kuda yang buruk. Dan kuda yang gagah mencari penumpang yang gagah pula. Semua
kuda akan gelisah, manakala mereka tidak memperoleh jodoh. Dan jodoh itu sesuai dengan
harkat masing-masing kuda.
Kuda yang gagah itu meringkik-ringkik senang, kemudian mendepak-depakkan kaki
depan ke tanah. Kuthari tahu apa maksud kuda gagah itu, apalagi setelah kuda gagah
merendahkan tubuhnya. Maka, naiklah Kuthari ke atas kuda gagah.
Tepat pada saat Kuthari duduk di punggung kuda, kuda pun melesat dengan
kecepatan yang mungkin lebih cepat daripada kilat.
“Kuda gagah, ke mana kita pergi? Saya
tidak tahu pemilik kamu. Janganlah sampai ada satu orang pun yang menuduh saya
mencuri. Kamu tahu, kuda gagah, saya benar-benar jujur, dan tidak mau berusaha menyakiti
siapa pun. Semua perbuatan jahat, harus saya hindari.”
Kuda gagah terus melaju.
“Baiklah kuda gagah, kalau kamu tidak mau menjawab pertanyaan saya. Kalau
kamu mengajak saya untuk menyelamatkan seseorang yang sedang dalam keadaan
berbahaya, saya bersedia. Kamu tahu, kuda gagah, saya sudah sering berkorban. Dan saya
tidak pernah menyesal, selama pengorbanan saya adalah untuk kebaikan sesama.”
Sekonyong Kuthari sadar, bahwa di depan sana ada sebuah pohon besar roboh
melintang di jalan. Bagi Kuthari, pohon besar semacam ini sama sekali bukan merupakan
hambatan. Bagaimana menghadapi bahaya mendadak di atas punggung kuda, dia tahu benar.
Dan memang, dengan sangat mudah, kuda gagah melompat, seolah terbang di atas
pohon melintang. Pada saat itulah, sebuah ledakan dahsyat meletus. Kuthari tahu apa yang
telah terjadi.
“Kuda gagah, kamu tahu saya kena. Baringkanlah saya di tempat yang layak. Sudah
lama saya merindukan ibu saya.”
Dalam bayangan Kuthari, tampak penggesek biola buta duduk termenung-menung di
hadapan lilin yang senar-benar akan binasa.
“Semua sudah saya ceritakan,” kata saya kepada tiga bidadari. “Tiga bidadari pasti
lebih tahu daripada saya. Sekarang ceritakanlah kepada saya perihal Kuthari.”
“Cerita kamu benar-benar menarik,
Gauhati. Kamu sudah menceritakan semuanya tanpa menambah-nambah, dan tanpa
mengurangi. Tapi, mengapakah dalam bercerita mengenai Kuthari, kamu tampak benar-benar
bersemangat?”
“Karena saya merasa, saya tidak lain adalah Kuthari.”
“Orang-orang berbudi luhur, sebagaimana halnya kamu, memang benar-benar peka.
Kamu dapat merasa dan mendengar segala sesuatu yang tidak mungkin dirasakan dan
didengar oleh orang-orang yang culas, kotor, dan tidak berbudi. Dan semua orang yang
berbudi luhur, memang, merasa dirinya masingmasing adalah Kuthari.”
“Mula-mula sebenarnya saya tidak peduli. Apakah Kuthari ada atau tidak,
bagi saya sama. Tetapi, setelah saya mendengar bahwa Kuthari meninggal, saya sering
merasa bahwa saya tidak lain adalah Kuthari sendiri.”
“Gauhati, kamu pernah punya ibu, bukan?”
“Ya. Ibu mengajarkan kepada saya
sesuatu yang sangat berharga. Kalau saya bertemu dengan tiga bidadari, kata ibu,
saya harus menurut.”
“Tapi, bagaimana kamu dapat yakin bahwa kami benar-benar tiga bidadari?”
“Andaikata kamu hanyalah tiga bidadari palsu, pasti saya akan merasa.”
“Bagaimana mungkin kamu dapat merasa?”
“Karena saya tidak pernah menipu. Setiap kali akan ditipu, pasti saya tahu. Karena
itu, saya selalu berusaha hanya berteman dengan orang-orang yang berbudi luhur.” “Baik.
Lalu, apa lagi kata-kata ibu kamu?”
“Kata-kata yang berharga. Kehidupan bagaikan sebuah rumah. Pada saat lahir,
seseorang masuk dari pintu depan. Kalau sudah tiba saatnya meninggalkan, dia akan keluar
lewat pintu belakang.”
“Apa bedanya?”
“Tidak ada. Pintu depan dan pintu belakang adalah sama. Berapa lama seseorang
berada di dalam untuk kemudian keluar lagi, juga bukan masalah.”
“Benarkah?”
“Ya. Segala sesuatunya tergantung pada amal dan ibadah seseorang. Bukan pada
berapa lama.”
“Kamu memang bijaksana, Gauhati. Tapi kamu belum bercerita, apa sebenarnya
ajaran ibu kamu. Sekarang, katakan.”
“Ibu sering membisiki saya.” “Apa?”
“Takdir tidak lain adalah tiga bidadari.
Siapa yang memilihkan kehidupan tidak lain adalah bidadari pertama. Apakah saya
lahir sebagai anak raja, anak saudagar atau anak tukang binatu, bidadari pertama memilih-
kannya buat saya. Demikian pula, apakah saya lahir di Cina, atau Babilonia, atau mana saja.
Bidadari kedua, sementara itu, memintal kehidupan. Apakah saya akan memperoleh pangkat
tinggi atau melata, pindah ke Maroko atau tetap di sini, bidadari kedualah yang memintal.
Lalu, siapakah yang akan meutus tali-temali kehidupan, tidak lain adalah bidadari ketiga.”
***
SANG PEMAHAT

Ini dia, sang pemahat terkenal, Jiglong namanya, nama asli dari kedua orangtuanya
di desa, bukan nama buatan setelah dia terkenal atau ingin terkenal. Dua gigi depan Jiglong
sudah lama rontok, dan tidak pernah diperbaiki. Wajahnya memendam bekas luka-luka lama,
yang juga tidak pernah diobati. Cara Jiglong berjalan biasa, tapi kalau diamat-amati akan
tampak, dia agak pincang.
KENDATI memendam bekas luka-luka lama, wajah Jiglong memberi kesan teduh,
damai, dan pasrah. Barang siapa berdekatan dengan dia dan mau berkata dengan jujur, pasti
mengaku terus terang bahwa wajah Jiglong memancarkan rasa tenang.
Rumah Jiglong terletak di Ketintang Wiyata, dari depan tampak biasa, tapi begitu
seseorang masuk ke dalam rumah akan mengetahui, bahwa bagian belakang rumah itu luas,
dan seperti wajah Jiglong sendiri, terasa teduh. Di bagian belakang rumahnya itulah Jiglong
bekerja sebagai pemahat. Dia tidak mau gagah-gagahan, tidak mau memasang papan nama
sebagai pemahat, tapi, awalnya, dari cerita dari mulut ke mulut, nama dia dikenal di banyak
kota di Indonesia, kemudian menyebar ke beberapa negara di luar negeri, apalagi setelah dia
mengunggah gambar karya-karyanya melalui internet.
Berapa umur Jiglong tidak ada yang tahu, bahkan Jiglong sendiri pun tidak tahu. Dia
lahir dari rahim seorang perempuan desa, buta huruf, dan tidak mempunyai pekerjaan kecuali
kalau disewa untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar. Ayahnya, Sowirono namanya,
sama dengan istrinya, buta huruf, tidak mempunyai apa-apa.
Kendati tidak tahu umur tepatnya, Jiglong sadar, pada suatu saat dia harus memiliki
istri, dan memiliki anak dari darah Jiglong dan istrinya.
Pada suatu malam Jiglong bermimpi, naik sepeda tanpa arah, dan ketika sampai di
kawasan Kawatan tidak jauh dari Tugu Pahlawan, tampaklah sebuah pemandangan yang
menakjubkan. Ada pengemis perempuan, buta, duduk di pinggir jalan. Kemudian lewatlah
seorang perempuan rupawan, wajahnya memancarkan rasa tenang, mendekati pengemis buta,
lalu memberi sedekah berupa uang dalam jumlah besar. Jiglong terbangun, lalu berkata
kepada dirinya sendiri, ”Mungkin perempuan itulah yang kelak akan menjadi istri saya.”
Jiglong sadar, menolong sesama, apalagi kepada orang-orang duafa, adalah
kewajiban hidup sebagaimana telah digariskan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam melalui para
Nabi-Nya. Dan Jiglong juga benar-benar tahu, penghasilan dia bukanlah milik dia, tetapi
milik Tuhan Seru Sekalian Alam yang dititipkan kepada dia, sementara sebagian dari
penghasilan itu wajib diteruskan kepada orang-orang jujur yang memerlukannya. Tidak
seperti kebanyakan orang, memberi dengan harapan mendapat pahala setelah nyawanya
dicabut oleh Malaikat Maut, Jiglong memberi karena memberi adalah kewajiban.
Jiglong punya beberapa mobil, semuanya mobil untuk bekerja, bukan untuk
bermewah-mewah. Tapi, kalau ada waktu senggang Jiglong suka naik sepeda, entah ke mana
tidak peduli, semua diserahkan kepada kehendak hati dan kakinya. Kadang-kadang, setelah
naik sepeda ke sana kemari, Jiglong duduk tidak jauh dari rel kereta api Surabaya-Yogya di
kawasan Ketintang Selatan. Jiglong melamun, kadang-kadang meneteskan air mata. Dulu,
ketika masih kecil, oleh saudara angkat dan teman-temannya, Jiglong pernah dilemparkan ke
rel kereta api, ketika kereta api sudah benar-benar mendekat.
Kalau teringat peristiwa mengerikan itu, Jiglong tidak sekadar menangisi dirinya
sendiri, tapi juga menangisi kedua orangtuanya. Orangtua yang baik hati itu, selalu siap untuk
berkorban, tanpa memikirkan pahala. Berbuat baik adalah kewajiban yang digariskan oleh
Tuhan Seru Sekalian Alam, kewajiban yang memang harus dilaksanakan.
Pada suatu hari, ketika sedang iseng membaca koran, dengan mendadak Jiglong
terperanjat ketika melihat potret seseorang mirip Jiglong sendiri bersama istrinya. Mereka
suami istri, sama-sama ahli bedah jantung terkemuka, tamatan Fakultas Kedokteran
Hannover, Jerman, sudah pernah praktek di banyak negara di Eropa, Amerika, dan Kanada.
Karena mereka sadar bahwa dokter bedah jantung di Indonesia sangat jarang, mereka merasa
berkewajiban untuk pulang ke Indonesia. Nama dokter itu Gerry Dewata Raja, dan istrinya
dokter Ruth Anita Dewayani. Jiglong yakin berita mengenai dua dokter ini tidak murni,
semacam iklan terselubung.
Sebetulnya malam itu Jiglong mengantuk, tapi karena gelisah, tidak bisa tidur.
Dokter suami istri itu praktek di sebuah rumah besar di Citraland, kawasan mewah
dan sepi, bertetangga dengan tiga atau empat rumah saja, masing-masing dijaga satpam.
Serangan jantung bisa terjadi setiap saat, tidak peduli jam berapa. Karena itu pasien boleh
datang jam berapa pun, dan karena pasiennya banyak, tempat praktek itu tidak pernah sepi.
Dua dokter itu menyewa beberapa dokter, perawat, dan pegawai, datang bergiliran, dua puluh
empat jam setiap hari. Rasa mengantuk datang merayap-rayap, dan Jiglong pun tertidur, dan
bermimpi masa anak-anak di desa dulu. Pada suatu malam, rumah bobrok ayahnya dimasuki
dua orang dari Desa Gelambir, memberi tahu bahwa Pak Jalidin, abang kandung ayah
Jiglong, meninggal tadi pagi. Istri Pak Jalidin sudah lama meninggal, dan anak satu-satunya,
Juntrung namanya, akan telantar kalau tidak ditolong, dan karena itu tidak ada yang merawat
Juntrung. Setelah berbisik-bisik beberapa saat kepada ayah Jiglong, dua orang itu minta diri
karena mereka mendapat panggilan untuk bekerja di kapal pesiar berbendera Turki.
Malam itu juga Jiglong diajak ayahnya menuju Desa Gelambir, dengan bekal dua
batang gula jawa utuh, dan pecahan-pecahan gula jawa yang sorenya rontok di jalan menuju
ke pasar. Gula jawa adalah senjata ampuh untuk menahan rasa lapar.
Pagi hari mereka tiba di Desa Gelambir, menuju ke rumah mBok Minem, janda
tanpa anak, sambil membawa dua batang gula jawa utuh. Di rumah mBok Minem mereka
menemukan Juntrung, anak yang, menurut mBok Minem dan beberapa tetangga, tidak
disenangi oleh siapa pun.
Mulai pagi itulah ayah dan ibu Jiglong menganggap Juntrung sebagai anaknya,
sebagai saudara Jiglong. Dan mulai saat itulah, ayah dan ibu Jiglong merasakan kesengsaraan
karena Juntrung benar-benar kurang ajar, suka berkelahi, berbohong, dan kadang-kadang
mencuri. Dan mulai saat itulah, Jiglong sering disakiti dan difitnah oleh Juntrung.
Jiglong menaruh curiga, dokter Gerry Dewata Raja tidak lain adalah Juntrung. Sejak
kecil Juntrung memang pandai, dan disegani teman-teman sekolahnya. Hampir semua
perintah Juntung dituruti oleh teman-temannya. Mula-mula semua guru menyayangi
Juntrung, tapi lama-kelamaan mereka sadar bahwa Juntrung tidak lain adalah anak
berbahaya.
Untuk membuktikan kecurigaannya, pada hari Kamis, 13 Agustus 2015, sekitar jam
enam senja, Jiglong mendatangi tempat praktek dokter Gerry Dewata Raja, menyamar
sebagai pasien. Dari layar di komputernya, penerima tamu melihat kedatangan Jiglong
dengan mobil kotornya, dan melihat Jiglong berpakaian sembarangan.
Ketika Jiglong mendekat, penerima tamu berbisik: ”Maaf, Bapak, sebaiknya Bapak
ke dokter lain saja.”
Senyum, wajah, dan kilat mata Jiglong yang serba teduh justru membuat penerima
tamu gugup.
Dengan sabar Jiglong antre, dan begitu dipersilakan masuk oleh perawat, mata
Jiglong langsung bertabrakan dengan mata dokter Gerry Dewata Raja. Sama dengan dahulu,
mata dokter Gerry Dewata Raja memancarkan sinar yang sangat merendahkan Jiglong.
”Ayah kamu selamanya sok bijaksana, ya. Mengutip kata-kata Nabi, ’nasib tidak
ditentukan oleh Tuhan, tapi oleh usaha diri sendiri.’ Apa ayah kamu mampu mengubah
nasibnya, he?”
Jiglong pulang, hatinya terketar-ketar, keringat dingin membasahi tubuhnya.
Setelah tiba di rumah, dengan perasaan tidak jelas Jiglong membongkar setumpukan
koran, dan tampaklah koran hari Kamis, tanggal 16 Juli 2015, tepat sehari sebelum Hari Raya
Idul Fitri 1436 tahun Hijriah. Mata Jiglong tertumbuk pada berita di halaman pertama,
”Warna Kulit Berubah Sama Dengan Donor Liver”. Terceritalah, seorang laki-laki bernama
Igor Semen Glender dari kota Krasnodar, barat daya Rusia, pernah menderita kanker hati.
Lalu dia terbang ke Amerika, ganti hati, donornya seorang kulit hitam keturunan Afrika.
Ternyata, kulit Igor makin lama makin hitam, dan wajahnya pun lama-kelamaan berubah,
mirip wajah donor. Sumber berita mirror.co.uk/c6/sof.
Jiglong tertidur, dan dalam mimpinya terputarlah pengalaman masa lalu. Kepala
Sekolah membeli bekas alat suntik dari seorang tukang rombeng. Karena merangkap sebagai
guru Ilmu Kesehatan, Kepala Sekolah merasa tahu bagaimana membuat orang sakit jadi
sehat. Dengan disaksikan Wakil Kepala Sekolah, Kepala Sekolah memanggil Juntrung dan
Jiglong.
”Juntrung,” kata Kepala Sekolah. ”Jiglong adalah saudara kamu. Dia anak baik.
Berhati mulia. Kamu anak jahat. Darah kamu busuk.”
Dengan alat suntik bekas, darah Juntrung disedot banyak-banyak, lalu dibuang.
Darah Jiglong disedot banyak-banyak, lalu dimasukkan ke tubuh Juntrung.
Lalu dengan nada penuh keyakinan Kepala Sekolah berkata: ”Mulai hari ini,
Juntrung, kamu akan menjadi anak baik seperti saudara kamu, si Jiglong.”
Selama berminggu-minggu Juntrung dan Jiglong sakit keras. Kepala Sekolah
ditangkap polisi, dan keesokan harinya kena serangan jantung, meninggal.
Begitu terbangun dari mimpi, tanpa sadar Jiglong mengambil alat-alatnya, lalu
dengan sedu-sedan memahat dua pasang nisan dengan ukiran yang sangat indah. Nisan
pertama ditandai ”Dokter Gerry Dewata Raja alias Juntrung, meninggal pada hari Jumat pagi,
jam 03.17, tanggal 14 Agustus, 2015,” dan nisan kedua mengabarkan, dokter Ruth Anita
Dewayani, meninggal pada hari dan tanggal sama, jam 03.45.
Malam itu, Kamis, 13 Agustus, 2015, tanpa alasan yang jelas semua dokter
pembantu, perawat, pegawai, dan satpam pulang hanya beberapa saat setelah Jiglong diusir.
Mereka merasa udara tiba-tiba menjadi panas, padahal angin bertiup dengan kencang, tidak
seperti biasa. Dan, beberapa jam kemudian, Jumat, tanggal 14 Agustus, sekitar jam 03.00
pagi, dua perampok membunuh dua orang dokter itu.
Budi Darma, sehari-hari bekerja sebagai guru besar UNESA (Universitas Negeri
Surabaya). Budi Darma pernah menerbitkan beberapa esai, cerpen, dan novel, dan pernah
mendapat penghargaan antara lain drai Balai Pustaka, Kompas, SEA-Write Award
(Bangkok), Anugerah Seni Pemerintah RI, Satya Lencana dari Presiden Republik Indonesia,
dan Anugerah MISTERA (Brunei Darussalam).
Rujukan:
[1] Disalin dari karya Budi Darma
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” Minggu 2 Agustus 2015

Anda mungkin juga menyukai