Anda di halaman 1dari 9

Aku Belajar dari Perbedaan

Pagi-pagi sekali sudah terdengar suara bising di depan rumahku. Aku segera bangun
dari tempat tidurku dan menuju sumber keributan. Di sana ada ayahku, kakakku, dan juga
beberapa warga yang berkumpul. “Ada apa, Yah?” tanyaku pada ayah. “Tetangga kita, Pak
Irfan, pindah rumah. Sekarang ayah sedang membantu mengangkat barang-barangnya ke
truk.” Jawab ayah.
Mendengar jawaban ayah, tiba-tiba ada perasaan kaget yang kurasa. Anak Pak Irfan,
Syakir, dia adalah sahabatku sejak kecil. Kami selalu bersama, baik ketika susah atau pun
senang. Syakir dan aku sudah saling memahami satu sama lain. Aku pun langsung bergegas
menacari sosoknya yang dari tadi tak aku temui. Mataku melihat ke segala arah, kakiku aku
jinjitkan, dan kepalaku aku putarkan mencari sosok sahabatku ini.
“Roy!” Suara yang tak asing aku dengar dari arah belakang. Aku segera membalikkan
badanku. Kulihat sosoknya dengan menggunakan baju persahabatan kami. Dia pasangkan
gelang persahabatan kami di lengan kirinya, kemudian menghampiriku.
“Maafkan aku, Roy.” Suara Syakir semakin serak. Air mata pun akhirnya menetes.
“Aku tidak tahu kalau ayahku akan dipindahtugaskan secepat ini.” Ucapnya sambil langsung
mendekap tubuhku.
Aku pun tak bisa menahan air mata yang sedikit demi sedikit mulai membasahi pipiku.
“Kamu mau pindah ke mana?” tanyaku sambil menahan tangis.
“Ayahku dipindahtugaskan ke Papua, Roy. Kepala cabang perusahaan ayahku yang di Papua,
meninggal. Sebagai gantinya, ayahku terpilih untuk menjadi kepala cabang di sana. Kami
sekeluarga pun akan ikut dan tinggal di sana, Roy.”
Mendengar penjelasan Syakir, membuat pikiranku melayang. Betapa tidak, hampir
sepuluh tahun sudah kami bersama. Bahkan ibuku selalu berkata bahwa sejak kami bayi,
ibuku dan ibunya Syakir selalu membawa kami bermain bersama. Sejak kami TK, sampai
sekarang sudah menginjak kelas 5 SD, kami tak pernah berpisah. Kami lahir hanya berbeda
satu hari. Bahkan tidak sedikit orang yang menyangka kami adalah anak kembar.
Syakir adalah keturunan Jawa-Sunda. Ayahnya seorang prajurit, menikahi ibunya
seorang guru TK di kampung kami. Dia adalah anak tunggal. Sebagai anak tunggal, ia
memiliki sifat yang baik. Dia sangat mudah bergaul dengan siapa pun. Dia adalah seorang
yang rajin beribadah. Ayahnya sangat ketat dalam urusan agama. Bahkan suatu hari pernah
ketika kita bermain, dan azan asaar berkumandang, ayah Syakir datang ke lapangan sambil
membawa kayu, menyuruh anaknya untuk berhenti bermain, dan melaksanakan solat terlebih
dahulu. Namun dibalik didikan kerasnya, ayah Syakir merupakan ayah yang baik. Dia
berteman baik dengan ayahku. Ayahku seorang penjaga keamanan perumahan. Namun antara
ayahku dan ayahnya Syakir, mereka memiliki kesamaan hobi, yaitu memelihara burung.
Setiap kali bertemu, pasti burunglah yang mereka bahas.
Sedangkan aku, Roy. Aku adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Kedua kakakku
tinggal di Jakarta, untuk melanjutkan pendidikan dan diurus oleh pamanku yang bekerja
sebagai pastor. Kedua orang tuaku penganut katolik. Tapi dibalik semua perbedaan aku dan
Syakir, ada banyak hal yang selalu membuat kami saling memahami dan menghargai satu
sama lain.
Kedekatan aku dan Syakir sudah tidak bisa terbantahkan. Bahkan ketika Syakir solat
di masjid, aku selalu menunggunya di depan masjid, mendengarkan dia mengaji, bahkan
melihat cara dia solat. Namun aku tidak pernah mengajak Syakir ke gereja. Karena Syakir
bilang bahwa di dalam keyakinannya, seorang muslim dilarang memasuki tempat ibadah
nonmuslim. Aku pun menghargai semua itu.
Kami bersekolah di sekolah yang sama di SDN I Pameuntasan, Soreang, Kabupaten
Bandung. Walaupun rumahku berada di daerah yang mayoritas muslim, aku sangat senang
karena penduduk di sana bisa menerima perbedaan dengan sangat baik. Bahkan jika lebaran
tiba, tidak jarang kami mendapatkan jatah daging kurban. Kami pun sering mendapatkan
bingkisan dari orang-orang yang mengadakan syukuran. Berada di sini menjadikan aku dan
keluargaku kerasan dan betah.
Setiap pulang sekolah, aku dan Syakir selalu bermain di lapang bola dekat kantor
RW. Di sana ada lapangan luas, yang biasa kami jadikan sebagai area bermain. Maklum,
semakin hari, keberadaan lahan kosong di desa kami pun sudah mulai berkurang. Banyaknya
pendatang, kemudian banyaknya pabrik, serta proyek-proyek pemerintah, menjadikan lahan
di desa kami pun berkurang. Kami pun harus pintar-pintar memanfaatkan lahan untuk
bermain bersama.
Di lahan inilah kami selalu berkumpul. Tidak jarang kami belajar bersama, atau hanya
menikmati rujak buatan kami sendiri. Bahkan jika hari Minggu tiba, kami biasanya makan
bersama dengan membawa bekal masing-masing dari rumah. Kami saling berbagi makanan,
minuman, bahkan tidak jarang juga kami makan dalam satu wadah bersama. Teman-teman
kami selalu menjuluki kami dengan julukan “Kembar beda bapa ibu”. Karena di mana ada
Syakir, disitulah ada Roy.
Lamunanku terhenyak, ketika Syakir memukul pundakku.
“Ayolah, Roy. Aku tidak pergi untuk selamanya. Jika memang Tuhan mengijinkan, mungkin
beberapa tahun lagi kita bisa bertemu. Lagian kan keluarga besarku pun masih di sini.”
Aku sedikit tenang mendengar ucapan Syakir tadi. Hatiku pun mulai sedikit lega.
“Kamu benar Syakir, nanti kalau lebaran kamu pasti pulang kan?” Syakir pun membalasnya
dengan menganggukkan kepalanya, sembil tersenyum.
Memang, sahabatku ini tak pernah lepas dari senyum di bibirnya.
“Aku pergi dulu, Roy. Jaga dirimu baik-baik, ya. Nanti aku kabari kalau sudah sampai
di sana!” ucap Syakir.
“Ok. Kamu juga hati-hati.”jawabku.
Mobil rombongan Syakir pun berlalu dan orang-orang pun mulai kembali ke rumahnya
masing-masing. Aku pun melangkahkan kakiku untuk kembali ke rumahku. Masih merasa
belum percaya, Syakir, sahabatku sejak kecil tak lagi dekat denganku. Setiap pagi yang
biasanya kami pergi ke sekolah bersama, berlarian di pematang sawah, atau loncat-loncat di
atas genangan air hujan yang ada di jalanan. Tak jarang kami datang ke sekolah terengah-
engah karena di kejar anjing pak RT. Atau pernah sesekali baju kami dipenuhi pasir karena
ikut naik ke truk pengangkut pasir.
Aku pun bergegas menuju kamar mandi, melihat jam yang telah menunjuk pukul
7.00. Setelah selesai mandi, berpakaian, dan sarapan, aku pun bergegas menuju pos untuk
pergi ke sekolah bersama teman-temanku. Ada perasaan sedikit hampa pagi itu. Teman-
temanku pun mungkin merasakannya. Sosok Syakir yang ceria, kini sudah tidak ada. Sosok
Syakir yang periang, kini telah pergi. Kami pun melanjutkan perjalanan kami hingga kami
akhirnya sampai di sekolah.
Ada pemandangan tidak biasa pagi itu di sekolah. Terparkir sebuah mobil tepat di
depan sekolahku. Dari luar aku bisa melihat ada beberapa orang di mobil itu. Seorang anak,
seorang ibu, dan seorang lelaki seumuran ayahku yang berada di jok supir. Sepintas ku
melihat wajah anak itu. “Murid barukah?” kataku dalam hati.
Bel masuk pun berbunyi, aku pun berlari menuju kelasku di ujung lorong sebrang
lapangan upacara.
Pelajaran pun berjalan seperti biasa. Namun di tengah-tengah jam pelajaran, terdengar
suara pintu kelas di ketuk dari luar. “Tok, tok, tok!” Terlihat dari luar Pak Aji membawa
seorang siswa laki-laki. Aku pun teringat seseorang yang tadi kulihat berada di mobil depan
sekolah. “Anak itu.“ gumamku dalam hati.
“Selamat pagi anak-anak. Perkenalkan murid baru di sekolah kita. Sekarang dia akan belajar
bersama dengan kalian di kelas V ini. Semoga kalian bisa berteman dengan baik. Silakan,
Nak, perkenalkan dirimu.”
“Halo selamat pagi teman-teman. Namaku Syahdan. Aku pindah dari Jakarta. Salam kenal
buat semua.” Ucap Syahdan sambil tersenyum.
Sepintas pikiranku teringat pada sosok Syakir, sahabat terbaikku. Senyum ramahnya,
sorot matanya, dan suaranya yang mirip menghidupkan lamunanku pada sahabatku itu.
“Silakan Syahdan, kamu duduk sebelah Roy.” Perintah Ibu Dewi, wali kelas kami. Aku pun
menggeser tempatku dan memberikan tempat untuk Syahdan. Syahdan pun duduk, dan
tersenyum kepadaku.
“Roy. Senang berkenalan denganmu. Mudah-mudahan kita bisa jadi teman baik.” Ucapku
sambil mengulurkan tanganku yang dibalas dengan uluran tangannya.
“Syahdan. Aamiin. Semoga kita bisa berteman baik.”
Hari itu kuakhiri dengan bahagia. Karena setelah kehilangan sosok Syakir, akhirnya
ada sosok baru yang menggantikan kehadiran Syakir dalam hari-hariku. Aku dan Syahdan
pun tak perlu waktu lama untuk saling mengenal. Dari obrolan kami saat istirahat, aku tau
bahwa Syahdan adalah seorang anak keturunan Cina. Ayahnya mualaf. Sedangkan ibunya
seorang ustazah di Jakarta. Mereka pindah ke Bandung karena urusan bisnis ayahnya sebagai
pengembang properti. Dia dan keluarganya harus pindah untuk menyelesaikan proyek Jalan
Tol Seroja.
“Kalau begitu, kamu tidak selamanya di sini, Syahdan?” tanyaku.
“Aku tidak tahu. Jika memang di sini betah, mungkin kami sekeluarga akan tetap
tinggal di Bandung.”
“Kamu tinggal di mana, Roy?”
“Rumahku tidak jauh dari sekolah. Dekat rumah pak RT. Kalau kamu sekarang
tinggal di mana?”
“Aku tinggal di RW 04, nomor 4. Katanya pemilik rumah itu pindah ke Papua.
Apakah kamu tau, Roy?”
Terpintas wajah Syakir ketika Syahdan menjelaskan rumahnya itu.
“Oh itu bersebelahan dengan rumahku. Kalau begitu kita nanti pulang bareng saja.
Akan aku tunjukkan jalan-jalan di kampung ini. Bagaimana? Kamu mau?”
“Asyiik, Alhamdulillah. Iya, aku ikut, Roy!”
Dari ucapan dan ceritanya, aku juga bisa mengira bahwasannya Syahdan juga pasti
berasal dari keluarga yang taat menjalankan ajaran islam.
Bel kepulangan pun berbunyi. Syahdan meminta izin kepadaku untuk menemui
papahnya yang sudah menjemputnya. Dia meminta izin untuk pulang bersamaku. Ayahnya
sambil tersenyum mengizinkan Syahdan untuk pulang bersamaku. “Hati-hati, ya! Tolong jaga
Syahdan!” teriaknya.
Kami pun mulai menelusuri jalan-jalan di kampungku. Aku bawa Syahdan ke tempat
kami biasa bermain, selain itu juga aku tunjukkan jalan pintas melewati sawah. Tidak lupa
aku beritahukan juga jalan melewati gang-gang rumah penduduk. Kami lalui semua itu
dengan penuh suka cita dan canda tawa. Tak jarang aku tinggalkan Syahdan, sampai dia
kebingungan mencariku. Tak terasa kami pun sudah sampai di depan rumah Syahdan.
Syahdan mengajakku untuk masuk dan diperkenalkan kepada keluarganya.
“Assalamualaikum. Umi, Abi, Syahdan pulang.”
“Waalaikumsalam” suara perempuan terdengar menjawab salamnya.
“Ayo, Roy. Masuk!” ajak Syahdan
Aku pun masuk melewati teras dan masuk ke ruang tamu yang di dalamnya masih tersimpan
tumpukkan dus. Nampaknya keluarga Syahdan masih sibuk berbenah.
“Putra Umi sudah pulang. Eh ini siapa?” tanyanya kepadaku sambil menjulurkan tangannya.
“Aku, Roy, Umi. Teman sekelasnya Syahdan.” Jawabku
“Assalam…” dengan cepat Syahdan menghentikan ucapan Uminya dan berbisik.
“Umi, Roy itu nonmuslim” bisik Syahdan.
“Oh, maafkan Umi. Tapi dalam ajaran kami, kami tidak boleh mengucapkan salam kepada
nonmuslim.”
“Iya Umi, tidak apa-apa. Saya sudah tau koq.” Jawabku.
Aku memang sudah mengenal betul hal tersebut. Selama ini aku adalah non muslim yang
dikelilingi oleh keluarga muslim taat. Aku pun tak pernah sakit hati, karena masalah ajaran
itu tidak bisa dipaksakan. Begitu kata ayahku.
Syahdan pun mengajakku ke kamarnya. Dia ingin memperlihatkan koleksi komik
yang dimilikinya. Aku kagum dengan teman baruku ini. Dia tidak pernah sungkan
mengajakku, teman yang baru ia kenal, bahkan kami berbeda agama, untuk bermain bersama.
Ia bahkan memperlihatkan foto-foto saat ia menunaikan ibadah haji. Dia memperlihatkan
keluarga ayahnya yang berasal dari Cina.
“Apakah keluarga ayahmu ada yang nonmuslim, Syahdan?” tanyaku.
“Ada. Nenekku dan kakekku pun masih non muslim. Tapi ayah dan seluruh keluarga adiknya
sudah memeluk agama islam. Bahkan mereka mendirikan masjid di sana.” Jelas Syahdan.
“Wah, hebat.”
“Di keluargamu ada yang muslim, Roy?” Tanya Syahdan.
“Pamanku menikahi bibiku yang beragama islam. Dari sejak itu, pamanku beragama islam.
Tapi kami ketika berkumpul tidak pernah mempermasalahkan itu. Bahkan keluarga pamanku
sering berkunjung ke rumahku.”jelasku.
“Kamu punya adik,, Syahdan?”
“Adikku berumur dua bulan. Tapi kakakku baru aja meninggal dua minggu yang lalu akibat
kecelakaan di Puncak, Bogor.” Jelas Syahdan.
Aku merasa bersalah karena menanyakan hal itu.
“Maafkan aku, Syahdan. Aku turut berduka cita.” Sesalku.
“Tidak apa-apa, Roy. Itu sudah takdir. Di dalam ajaran agamaku, kita tidak boleh terlalu
bersedih atas kehilangan seseorang.” Jelas Syahdan.
Syahdan pamit untuk melaksakan solat duhur. Aku pun pamit untuk pulang karena takut
ayahku mencariku. Kita pun berjanji akan bermain nanti sore. Bada asar kalau orang muslim
bilang. Artinya setelah melaksanakan solat asar. Sekitar jam empat sore.
Aku pun pulang dan menceritakan tentang Syahdan kepada ayahku. Ayahku pun akhirnya
merasa lega, karena ternyata ada yang bisa menggantikan Syakir.
Aku pun pamit untuk ganti pakaian dan makan siang. Di meja makan, ibuku sudah
menunggu. Dengan masakan khas ibuku yang paling aku suka. Siang itu ibuku memasak
makanan kesukaanku. Tempe oreg, sayur kacang merah, dan goreng ikan asin. Harumnya
masakan ibuku selalu membuat selera makanku bertambah. Aku pun makan dengan lahap.
Ditengah-tengah aktivitas makan siangku, telepon rumahku bordering. Ayahku
mengangkatnya, lalu tak lama kemudian terdengar suara ayahku memanggilku. Aku pun
bergegas menuju ayahku. Dan ternyata suara di ujung telpon sana adalah suara Syakir. Dia
mengabari bahwa telah sampai di tempat tinggal mereka di Papua. Aku pun senang
mendengar suara sahabatku ini. Tak lupa aku memberitahukannya bahwa aku punya teman
baru bernama Syahdan. Dia pun sangat senang mendengar kabar itu. Bahkan Syakir
menitipkan salam kenal untuk Syahdan. Tak lupa aku pun titip salam untuk keluarganya di
sana. Dan mendoakan semoga dia betah di sana.
Ku tutup pesawat telepon rumahku. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan jam
14.00. Aku pun menuju kamarku untuk beristirahat sejenak.
Terdengar sayup-sayup suara ibuku memanggilku dari luar kamarku. Aku pun
terbangun dan melihat jam di kamarku. Jarum jam sudah menunjuk ke angka empat, itu
berarti aku harus segera bangun. Ibuku berteriak bahwa Syahdan sudah menungguku di teras.
Aku pun bergegas menuju kamar mandi dan mencuci muka serta mengganti bajuku.
“Aduh, maaf, Syahdan. Aku ketiduran”
“Hahaha, tidak apa-apa, Roy. Aku ingin mengajakmu untuk bermain di lapangan. Aku belum
berani ke sana sendiri. Mau, ga?”
“Pasti mau, dong. Kan aku sudah janji tadi di sekolah akan mengajakmu bermain bersama
teman-teman di sini.”
“Ok, kalau begitu, mari kita pergi.” Ajak Syahdan.
Kami pun berlari menuju ke lapangan bermain, setelah sebelumnya pamit terlebih dahulu
kepada ibuku. Di sana anak-anak sudah berkumpul bersama. Mereka menungguku yang biasa
dijadikan kapten oleh timku. Mereka pun tampak girang melihat aku bersama Syahdan.
Artinya tim kami tidak akan kekurangan orang karena Syakir telah pindah. Memang,
walaupun aku seorang nonmuslim, tapi anak-anak di desaku tidak pernah membeda-bedakan
aku dengan anak-anak lainnya. Mereka bergitu terbuka menerimaku. Padahal sebelumnya
aku selalu merasa takut dengan berbagai kejadian diluar sana di mana konflik banyak terjadi
salah satunya karena ada perbedaan agama. Aku sangat beruntung berada di sini.
Permainan pun dimulai. Aku tak pernah tahu kemampuan sepak bola Syahdan seperti
apa. Tapi baru saja peluit berbunyi, Syahdan sudah meliuk-liuk melewati hadangan tim
lawan. Permainan anak baru ini sungguh membuat teman-temanku kaget. Dia bisa dengan
mudah melewati hadangan lawan, bahkan dengan mudah juga tendangan kerasnya membobol
gawang lawanku.
“Goolll… Goooll…” Teriaknya
Syahdan pun disambut oleh pelukan satu timku. Dia seakan menjadi bintang baru di
lapangan kami. Kehadiran Syahdan pun mulai bisa menggantikan Syakir di lapangan.
Aku dibuat kagum pada sosok Syahdan. Dia begitu mudah menyatu dengan lingkungan
barunya. Terlebih Syahdan merupakan orang yang ramah. Dia tidak pernah berhenti menebar
senyumnya ke semua orang yang ia temui. Ia pun tidak sombong dengan kemampuannya.
Bahkan beberapa kali ia memberikan umpan kepada teman setimnya dan tak jarang menjadi
gol. Ia begitu menyenangkan. Tak akan ada seorang pun yang menyangka bahwa Syahdan
adalah orang baru di kampung kami.
Aku pun sangat bangga padanya. Kami berbeda agama, tapi tak sedikitpun ia merasa
canggung kepadaku. Bahkan tak jarang ia mengingatkanku apabila apa yang aku lakukan
tidak baik. Ia pun bisa menerima apabila ada orang yang memberikan saran kepadanya. Ia
akan berterima kasih kepada orang-orang yang mau menasihatinya.
Sosok seperti itulah yang saat ini jarang ditemui di dalam kehidupan zaman sekarang.
Bagaimana anak lebih memilih hidup menyendiri dan menyibukkan dirinya dengan
gawainya. Betapa banyak konflik yang terjadi karena adanya gesekan kecil yang seharusnya
bisa diselesaikan dengan cara berbicara dan bersikusi. Betapa banyak permusuhan tercipta
karena perbedaan pendapat yang justru dihadapi dengan merasa menjadi yang paling benar
diantara yang lainnya.
Permainan kami pun larut dalam tawa dan ceria. Tidak ada permusuhan dari
kekalahan, dan tidak ada kesombongan dari kemenangan. Kami akhiri permainan kami
dengan peluk hangat persahabatan.
Langit mulai redup. Kami pun akhirnya membubarkan diri. Di jalan aku pun
berbincang dengan Syahdan.
“Kamu hebat, Syahdan. Aku pikir kamu tidak pandai bermain bola.” pujiku.
“Ah, biasa aja, Roy. Kebetulan aku di Jakarta ikut SSB (Sekolah Sepak Bola). Aku juga
sangat suka sepakbola. Kamu juga tadi hebat, Roy. Tendangan kamu keras, Roy.” Jawabnya
Kami pun tertawa bersama.
Terima kasih Tuhan. Engkau berikan sosok sahabat yang luar biasa dalam hidupku pada
sosok Syakir. Terima kasih Tuhan, Engkau berikan sosok teman terbaikku pada sosok
Syahdan. Dari mereka aku bisa mengerti bahwa untuk menjadi bahagia itu, kita tidak selalu
harus sama. Dari perbedaan kami belajar bersahabat. Dari perbedaan pula kami belajar
berteman.
Terima kasih Tuhan.
BIODATA PENULIS
Irfan Rosyidin adalah nama yang diberikan oleh kedua orang tua saya saat saya lahir 29 tahun
yang lalu. Saya lahir pada tanggal 08 Juli 1987. Masa kecil saya sampai sekarang dihabiskan
di rumah saya daerah Kampung Muara Ciwidey , Desa Pameuntasan, RT 01/04, Nomor 5
Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung.
Saya lahir sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Kini telah menikah dan memiliki dua
orang anak. Istri tercinta saya bernama Sarah Regina Virgiani, kemudian kedua anak saya,
sebagai inspirasi saya, yang pertama bernama Muhammad Syahdan Haidar Alghifari (dua
tahun) dan yang kedua bernama Muhammad Syakir Irsyad Alfatih (tiga bulan).
Sekolah Dasar saya habiskan di SD N Pameuntasan II (1994-2000), kemudian dilanjutkan ke
SMPN I Katapang (2000-2003), lalu SMA di SMAN I Margahayu Kabupaten Bandung
(2003-2006). Setelah tamat SMA, saya melanjutkan kuliah di Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) Bandung jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan lulus pada
tahun 2011.
Riwayat pekerjaan
Pada tahun 2009, sambil kuliah pernah mengajar di SD Ciseah.
Pada tahun 2010, mengajar di Prosus Intens
Pada tahun 2011, mengajar di SMP Al Azhar Syifa Budi Parahyangan, Padalarang Bandung
Barat.
Pada tahun 2012-sekarang, masih tercatat sebagai staf pengajar di SD Al Azhar Syifa Budi
Parahyangan, Padalarang, Bandung Barat.

Kontak
Telepon/WA (0896-2487-8171)
Email (royz_87@yahoo.com)
FB/ Instagram (Irfan Rosyidin)

Anda mungkin juga menyukai