Satu demi satu motor yang terparkir di garasi samping rumah, aku keluarkan ke teras depan.
Memang hari masih pagi, teman-teman yang lain masih tertidur dengan pulasnya. Kecuali Andy
yang semenjak subuh tadi pergi untuk mengantar koran, dia memang nyambi kerja sebagai loper
koran. Jam di dinding masih menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Tak mengherankan
memang, tadi malam kita begadang sampai adzan subuh terdengar. Entah mengapa, tiba-tiba kami
berkeinginan untuk sekedar berbagi cerita. Sesuatu yang sudah mulai jarang kita lakukan. Terutama
ketika berbagai macam praktikum dan laporan sudah mulai menerjang tanpa henti. Memang berbagi
cerita menjadi hal yang sering kami lakukan ketika memasuki masa awal-awal kuliah.
Kami tinggal berenam di rumah kontrakan ini. Aku dan tiga temanku, Ahmad, Dzakir dan
Rifai, memang sudah sahabat lama. Kami berteman semenjak masih duduk di bangku SMA.
Sedangkan satu orang yang lain, Ivan, adalah teman kuliahku satu angkatan dan satunya lagi, Andy,
teman kuliah dari Dzakir. Andy dan Ivan sebenarnya kami ajak tinggal di kontrakan ini hanya untuk
memenuhi kuota dan memperingan biaya urunan kontrakan. Lumayan, kami mengontrak rumah
mungil dengan tiga kamar ini empat juta pertahunnya. Kami sudah terhitung satu tahun lewat
Pertama kali memang hubungan antara kami berempat dengan Ivan dan Andy kurang begitu
dekat. Namun seiring berjalannya waktu, mereka berdua pun akhirnya bisa dekat dengan kami
berempat. Semenjak itulah, kami berenam suka berbagi cerita. Kami berenam kebetulan sama-sama
kuliah di UGM. Aku dan Ivan kebetulan kuliah di Jurusan Ilmu Komputer, Fakultas MIPA. Dzakir
dan Andy kuliah di Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian. Sedangkan Ahmad kuliah di Fakultas
nonton bareng pertandingan sepakbola Liga Inggris antara Chelsea lawan Manchester United.
Kebetulan aku penggemar berat Chelsea, sedangkan Ivan penggemar berat Manchester United.
Agar suasana nonton jadi lebih seru, kami bertaruh kecil-kecilan. Yang menang dapat jatah dipijat
oleh yang kalah. Seusai nonton, kami berdua memasak mie yang ternyata diikuti oleh yang lainnya,
kecuali oleh Andy. Memang selama beberapa hari ini, Andy terlihat murung dan suka menyendiri.
Beberapa kali kami secara bergantian bertanya, namun tak satupun jawaban kami dapat.
Acara makan mie bersama akhirnya berlanjut menjadi acara curhat bersama. Mulai dari
praktikum yang gagal, dosen yang galak, makanan di kantin kampus yang semakin hari semakin
mahal, sampai kisah cinta Ivan yang selalu kandas sebelum sempat “proklamasi”.
Selama kami curhat, Andy memilih untuk tiduran di kamarnya. Tak bergabung dengan
kami. Sampai akhirnya, Dzakir yang sekamar dengan Andy, lebih memilih tidur di karpet ruang
tengah.
Sesuai kesepakatan tadi malam, hari ini kami berencana untuk jalan-jalan bersama ke pantai.
Meskipun hari minggu, kami kesulitan untuk bisa menghabiskan hari bersama seperti ini. Kami
berenam, memang punya aktifitas lain di luar kuliah. Aku, Andy, Dzakir dan Rifai memilih untuk
aktif di lembaga intra kampus. Sedangkan Ivan dan Ahmad memilih aktif di lembaga ekstra
kampus. Rencana dadakan jalan-jalan ke pantai hari ini saja, membuat kami harus menunda agenda
masing-masing. Hari ini saja, aku sudah berjanji dengan teman-teman BEM untuk memperbaiki
majalah dinding. Tak apalah, sekali-sekali kita perlu untuk sekedar menyenangkan diri sendiri.
Akhirnya pada pukul sepuluh kurang lima menit, kami berangkat menuju pantai Depok.
Pantai Depok terletak di sebelah barat Pantai Parangtritis. Di Pantai Depok juga terdapat tempat
pelelangan ikan. Sempat kami mengajak Andy ikut serta, tetapi ia enggan untuk ikut. Andy lebih
memilih tinggal di kontrakan. “Biar saya di sini saja, jaga kontrakan. Khawatir kalau ada apa-apa”,
Memang, keluarga Andy termasuk keluarga kurang mampu. Andy bisa kuliah di UGM juga
karena beasiswa. Uang kirimannya sangat terbatas, bahkan untuk makan sehari-hari saja kurang.
Membeli buku adalah sesuatu yang sangat istimewa baginya. Untunglah, Ivan yang orang tuanya
relatif berada, mempunyai sepeda onthel yang jarang ia pakai. Sepeda tersebut akhirnya ia berikan
pada Andy, karena Ivan sendiri juga membawa motor. Bagi Andy, sepeda sudah lebih dari cukup.
Dengan mempunyai sepeda, ia tak perlu mengeluarkan biaya transport ke kampus. Semenjak
mengetahui kondisi keluarganya, kami tak pernah lagi meminta Andy untuk ikut urunan biaya
Sekitar pukul setengah dua belas, kami sampai di Pantai Depok. Hari ini sangat cerah. Hari
ini pantai ini terlihat sangat penuh. Kami memutuskan untuk duduk-duduk terlebih dahulu di sisi
barat pantai. Kurang lebih selama satu jam kami bermain-main layaknya anak kecil. Bodoh amat
dengan komentar orang, yang penting hari ini memang kami gunakan untuk bersenang-senang.
Setelah kelelahan, kami memilih untuk memesan makanan di salah satu warung. Sembari makan,
kami membicarakan tentang apa yang terjadi tentang Andy. Jujur saja, aku sendiri merasa risih dan
kurang nyaman dengan sikap Andy akhir-akhir ini. Ternyata apa yang kurasakan tak jauh berbeda
“Beberapa hari yang lalu, sebelum tidur, aku pernah coba tanya pada Andy. Kamu kenapa? Kok
“Dia hanya menjawab. Nggak papa kok. Paling-paling cuma maag-ku lagi kumat. Sudahlah gak
usah dipikirin. Ntar paling sembuh-sembuh sendiri. Udah ah, aku ngantuk banget.”, lanjut Dzakir.
“Aku juga pernah tanya. Tapi yang gitu itu. Dia nggak ngomong apa -apa. Ditanya baik- baik, eh
dia malah mlengos. Kalau bukan temen sendiri udah aku damprat.”, tambah Ivan.
“Kelihatannya dia punya masalah. Tapi nggak mau ngomong ke kita. Mungkin dia minder atau
sudah merasa nggak enak dulu sama kita. Kan semenjak kita tahu kondisi keuangannya, kita nggak
pernah minta ke dia uang urunan listrik dan air.”, komentar Ahmad.
“Ya nggak bisa gitu, dong. Temen, ya temen. Kita kan sudah seperti keluarga sendiri. Kalau ada
masalah, ya ngomong. Siapa tahu kita bisa bantu. Kayak sama orang lain saja.”,keluh Rifai.
“Aku dulu pas waktu nabrak Reta, kan juga ngomong sama kalian. Akhirnya kita urunan untuk
“Iya. Tapi kamu untung, kita-kita yang buntung. Kamu yang nabrak orang, kita yang ikutan kena
getahnya. Udah gitu, yang ditabrak malah kamu jadiin pacar. Mrongos kita…”, timpal Dzakir.
Kami pun tertawa. Memang pernah pada suatu ketika. Rifai menabrak seorang gadis yang sedang
menyeberang. Walau pelan, namun tak ayal membuat gadis tersebut tangannya patah. Karena waktu
itu dalam kondisi mendesak, kami akhirnya memutuskan untuk urunan menutupi biaya operasi
gadis tersebut. Sampai-sampai pada waktu itu Andy merelakan sebagian besar uang jatah bulanan
dari beasiswanya. Memang gadis yang ditabrak Rifai wajahnya cukup manis bagi kebanyakan
orang. Dengan alasan agar terlihat bertanggung jawab, Rifai sering menengok gadis yang
ditabraknya itu. Gadis itu ternyata karyawati baru Fakultas MIPA dan bernama Reta. Karena sering
bertemu, lama kelamaan mereka berduapun jadian. Kata orang, itu sengsara membawa nikmat.
Pembicaraan kami mengenai Andy pun berlanjut. Sampai akhirnya kami sepakat, malam
nanti kami akan menyAningnya beramai - ramai. Terlihat kasar memang, namun apa boleh buat.
Hanya itulah alternatif penyelesaian yang tersisa. Tak lupa pula, lima kilogram ikan segar kami
bawa sebagai oleh-oleh. Tentu bukan untuk untuk Reta, tetapi untuk Bu Ani, tetangga depan kami
sekaligus pemilik rumah yang kami kontrak. Yang selama ini sudah kami anggap seperti ibu
sendiri.
Bu Ani memang jago masak. Balado ikannya memang dahsyat. Tak terasa dua piring nasi
sudah memenuhi perutku. Teman-teman yang lain juga sampai kekenyangan. Tinggal Andy saja
yang belum mencicipi balado ikan Bu Ani. Bu Ani hanya senyam-senyum saja melihat kelakuan
kami. Kebetulan waktu itu, Bu Ani mengajak kami makan di rumahnya. Beliau juga sempat
Seusai ngobrol sejenak, kami pun kembali ke kontrakan. Kelihatannya ini adalah waktu
yang tepat untuk melaksanakan rencana kami tadi siang. Memang pertama kali Andy terlihat malas
“Ndy, kita ini berteman walau nggak begitu lama, tapi juga nggak bisa dihitung sebentar. Kita ini
sudah seperti keluarga. Masalah satu orang, juga merupakan masalah bagi yang lain. Kita ini saling
bantu. Jujur, kami merasa risih dan nggak nyaman dengan sikapmu akhir-akhir ini. Walau kamu
masih tetap menjalankan tugas piket harian, tapi bukan hanyaitu yang kami minta. Dengan sikapmu
selama ini kami merasa semakin nggak nyaman tinggal di sini. Kayak ada orang lain saja yang
tinggal di sini. Selama beberapa hari ini, kalau kamu pergi juga nggak pernah bilang kemana,
pulang jam berapa. Pulang-pulang juga begitu, masukin sepeda, trus langsung ke kamar, baca buku,
nggak keluar-keluar seharian. Keesokan harinya juga begitu, sepulang dari loper koran, mandi, trus
plas… ilang entah kemana. Kayak nggak ada orang lain aja di sini.”, buka Rifai.
“Sebenarnya kamu ini kenapa? Ada masalah? Ngomong aja. Siapa tahu kita bisa bantu.”,tambah
Ahmad. Suasana berubah menjadi hening sejenak, Andy hanya bisa terdiam dan tertunduk lesu. Air
mata terlihat mulai meleleh di pipinya. Dengan terbata ia menjawab, “Jujur, aku beberapa hari ini
instropeksi diri. Aku merasa nggak enak dengan kalian. Selama ini aku nggak pernah ikut urunan
bayar listrik dan air. Mungkin bagi kalian nggak papa, tapi aku merasa nggak enak. Terus kemudian
beberapa hari yang lalu aku dapat kabar dari rumah. Tahun depan kelihatannya aku nggak bisa
bayar kontrakan, karena nggak ada jatah dari orangtuaku. Uang jatah kontrakanku akan dipakai
untuk biaya adikku yang mau masuk SMA. Aku bingung harus cari uang darimana untuk bayar
uang kontrakan. Uang kiriman ditambah honor loper koran ditambah dengan jatah bulanan dari
beasiswaku juga habis untuk makan sehari-hari. Sedangkan honor dari ngirim tulisan ke koran juga
“Ndy, kami semua tahu bagaimana kondisi ekonomi keluargamu. Kami sudah maklum dengan itu.
Kalau memang kamu nggak bisa urunan lagi untuk bayar kontrakan tahun depan, ya sudah, nggak
papa. Santai aja. Kita-kita nggak keberatan kalau harus menutupi bagianmu. Untuk tahun depan,
kamu nggak bisa urunan nggak papa. Kamu tetap tinggal di sini. Ntar bagianmu biar aku yang
“Jujur, Van. Aku makin nggak enak sama kamu. Sepeda yang aku pakai sehari-hari itu juga
punyamu. Terus ini ditambah kamu bayarin jatah kontrakanku. Itu uang orang tuamu, bukan
“Ndy, uang itu cuman titipan dari Tuhan. Bukan orang tuaku atau aku yang punya. Kamu nggak
usah merasa nggak enak begitu. Toh semenjak tinggal serumah dengan kamu aku juga banyak
belajar dari kamu. Bagaimana caranya bisa hidup prihatin dan hidup hemat. Jujur saja, mungkin
kalau nggak kenal kamu, mungkin tabunganku nggak akan pernah sebesar seperti sekarang ini.
Dulu sewaktu aku SMA, aku boros banget. Sehari aku bisa menghabiskan seratus ribu hanya untuk
nongkrong nggak jelas ngapain dengan teman-temanku. Sekarang uang segitu bisa aku buat hidup
selama tiga-empat hari. Itu juga karena kamu yang ngajari aku. Mana yang benar-benar kebutuhan,
mana yang hanya sekedar keinginan, bagaimana menentukan skala prioritas. Apa yang aku pelajari
dari kamu itu, kalau diuangkan nggak bakalan bisa keitung. Toh uang kiriman dari ortuku juga
Pembicaraan kamipun mengalir, terlihat Andy sudah mulai semakin tenang. Andy yang
ceria sudah mulai terlihat kembali. Bersahabat bukanlah bisnis, yang bisa dihitung secara sistematis,
apakah kita untung atau rugi. Persahabatan takkan pernah bisa dihitung dengan uang. Bersahabat
adalah hubungan antar manusia yang paling tulus, tanpa pamrih. Dengan sahabatlah kita berbagi
suka dan duka, dari sahabatlah kita belajar tentang kehidupan. Malam itu kami berenam melaluinya
dengan nonton bareng pertandingan sepakbola antara Arsenal melawan Tottenham Hotspur, the
derby of North London. Untuk kali ini gentian Ahmad dengan Rifai yang bertaruh. Ahmad
menjagokan Arsenal sedangkan Rifai merupakan penggemar berat Tottenham. Untuk kali ini, yang
kalah bakalan dapat tuga smasak untuk sarapan kita besok pagi.