Anda di halaman 1dari 17

KENANGAN AYAH DAN KUMIS LEBATNYA

Waktu bagaikan penentu perjalanan manusia yang terjadi dimasa lalu,sekarang hingga
masa depan.Waktu dapat dikatakan sebagai perekam yang merekam perjalanan hidup
dan proses yang dialami oleh setiap umat manusia yang dapat teringat kembali dimasa
yang akan datang. Berbagai waktu senang,waktu sedih, hingga waktu susahpun
terselip di antara waktu yang menceritakan perjalanan seseorang yang kemudian
terangkai menjadi sebuah kisah yang disebut dengan kenangan . Hal inipun tak luput
terjadi pada diriku sendiri, kenangan itu kujadikan sebagai salah satu pelajaran hidup
yang berarti maupun candaan yang tak akan terulang kembali dalam perjalanan
hidupku. Banyak kenangan masa kecil yang selalu telintas dalam ingatanku seperti
salah satunya kenangan ketika aku masih duduk ditaman kanak-kanak, masih teringat
dengan jelas bagaimana banyak kenangan yang terjadi pada masa itu padahal sekarang
aku telah duduk dibangku sekolah menengah atas ,entah mengapa kenangan ini tak
dapat lepas dari ingatanku . Kini kenangan itu kuceritakan kembali

untuk

mengenangnya.
Inilah salah satu pengalamanku. Ketika aku masih duduk disalah satu taman kanakkanak di daerah tempat tinggalku, aku selalu dijemput oleh ayahku. Ayahku adalah
orang yang sangat baik dan penyayang. Ayahku memiliki badan yang cukup tinggi
dan besar serta berkumis lebat. Ayahku bekerja sebagai seorang pegawai negeri yang
mengabdi didaerah tempat tinggalku. Setiap aku pulang sekolah dari taman kanakkanak ,ayahku selalu menjemputku dengan mobil dinasnya dan aku selalu
menunggunya didepan kelasku. Seperti biasa yang kulakukan

ketika lonceng

sekolahku berbunyi disiang hari, aku menunggu ayahku untuk menjemputku.


Namun hari itu tampak berbeda dengan hari-hari biasanya karena aku tak melihat
ayahku sehingga membuatku gelisah bukan main .Oleh karena itu kuputuskan untuk
berjalan menuju pintu gerbang sekolahku, ketika kuberjalan aku berpapasan dengan
sesosok laki-laki yang menyerupai ayahku berbadan besar dan tinggi namun tak
berkumis lebat. Lalu orang tersebut berkata Ayo, Hana mari pulang! langkahku
terhenti sejenak sambil memerhatikan wajah orang itu, namun tak kukenal sama sekali
siapa orang itu .Sehingga membuat begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam
kepalaku, siapakah dia? Apakah ia adalah orang utusan ayahku untuk menjeputku?.
Tak ada satupun jawaban yang terlintas untuk menjawab pertanyaan pertanyaan itu.
Tetapi aku masih merasa bahwa aku mengenalnya ,lalu kucoba memperhatikan

wajahnya kembali. Betapa terkejutnya dan malunya aku waktu itu.Orang tersebut
adalah ayahku namun ayahku tanpa kumis lebatnya. Lalu ayahku merangkul bahuku
mengajakku jalan bersamanya menuju mobil dan pulang

kerumah. Dalam

rangkulannya aku tak berani melihat mukanya karena perasaan sangat malu yang
bercampur dengan rasa tawa. Selama perjalanan aku masih terheran-heran terhadap
diriku sendiri karena aku tak bisa mengenali ayahku ketika ia tidak memiliki kumis,
apalagi jika ia botak mungkin aku benar-benar tak mengenalinya sama sekali dalam
benakku .
Oleh karena itu,jika kuteringat kejadian ini kembali aku ingin tertawa yang bercampur
malu,namun itu adalah salah satu kenangan yang mungkin tak akan kulupakan hingga
sekarang dan aku tahu sekarang alasan ayahku tak pernah mencukur habis kumis
lebatnya itu,ia takut aku tak mengenalinya lagi hingga sekarang sehingga ia memilih
untuk memeliharanya. Itu merupakan salah satu kenangan yang kualami ketika
kumasih kecil,mudah-mudahan pengalaman ini
membacanya.Salam kenal

dapat menghibur kalian yang

Arin dan Mimpinya

Arin berasal dari keluarga yang cukup harmonis yang terdiri dari ayah ibu dan dengan
2 anak perempuan mereka yaitu Arin dan Raty. Karena keterbatasan dana, sejak SMP
Arin sudah bersekolah jauh dari orang tuanya. Dia tinggal bersama saudara dikeluarga
ibunya. Seringkali ia merasa ingin bersekolah bersama keluarga, ibu, ayah dan 1
adiknya. Tapi sayangnya, ia sudah terlanjur meminta kepada orang tuanya untuk
tinggal dan bersekolah dengan bibinya yang tinggal sangat jauh dari tempatnya
berada.
Tiga tahun sudah berlalu, Arin meminta kepada orangtuanya supaya setelah lulus SMP
ia melanjutkan kesekolah negeri dekat dengan orang tuanya. Permintaan itu
dikabulkan oleh ibunya tetapi ayahnya sedikit keberatan. kenapa kamu pindah, Rin ?
apakah ada masalah di sekolahmu sehingga kamu ingin pindah? tanya ayahnya.
Tidak yah, Arin ingin pindah sekolah karna Arin ingin mencari pengalaman lebih
banyak lagi di sekolah lain jawab Arin. Lalu bagaimana dengan bibi mu, apakah dia
setuju dengan keputusanmu itu? tanya ayahnya. Dengan berat hati Arin menjawab,
Aku belum bicara kepad bibi, tetapi pasti aku akan mengatakan padanya segera
Arin sebenarnya tahu jika orang tuanya merasa keberatan bukan karena dia harus
tinggal bersama bibinya. Namun karena mereka tidak mampu untuk mensekoahkan
Arin di sana. Arin pun bimbang dan ragu. Di satu sisi dia ingin kumpul lagi bersama
orang tuanya, di sisi lain dia tahu ayahnya tak punya uang untuk menyekolahkannya.
Hari demi hari berlalu, Arin semakin rindu kepada keluarga kecilnya. Tak jarang dia
selalu menangis hingga larut malam.
Bibi Arin pun menyadari apa yang Arin rasakan saat ini. Kamu kenapa nak? tanya
bibinya. Aku baik-baik saja kok bulek, aku hanya sedang kelelahan, jawab Arin.
Sebenarnya Bibinya pun sudah mengetahui apa yang sedang Arin rasakan tetapi dia
tak mau menambah beban Arin saat ini. Nak bibi akan selalu mendoakanmu, Bibi
juga akan selalu mendukung apa yang ingin kau lakukan, berusahalah dengan giat
untuk mendapatkan keinginanmu, nasehat bibinya. Setelah mendapatkan nasehat itu,
Arin menjadi semangat. Meskipun Arin belum membicarakan masalah kepada

bibinya, dia tahu bahwa bibinya akan selalu mendukungnya.


Beberapa hari setelah itu, Arin mendapat kabar bahwa sekolah SMAN 1 Bumi Putera
di dekat rumah orang tuanya mengadkan lomba pidato dan pemenangnya akan
diterima bersekolah disana dan mendapatkan beasiswa. Arin pun mengikuti lomba
pidato itu dan akhirnya keluar sebagai pemenang. Dia pun memberitahukan kabar
gembira itu kepada orang tua dan Bibinya.
Pada awalnya mereka belum menyetujuinya. Namun setelah mendapatkan penjelasan
dari Arin, akhirnya permintaanny diperbolehkan oleh orangtua dan bibinya. Tapi
sayang, pihak sekolah sempat menahan Arin karena prestasi-prestasi dari dirinya.
Sekolah tidak mengizinkan Arin pindah ke SMA lain karna ia membawa prestasi
cemerlang. Tetapi setelah mendesak kepala pimpinannya, akhirnya Arin diperbolehkan
pindah. Ia sangat senang sekali. Ia juga sedih ketika ia berpamitan dengan temantemannya yang sayang padanya. Arin berpesan kepada teman-temannya untuk selalu
semangat dan giat dalam belajar dan juga tidak melupakannya.
Ketika masuk tahun ajaran baru, Arin pun bisa kembali berkumpul bersama orang
tuanya. Ia berkumpul bersama ayah, ibu, dan adiknya. Rasa rindu yang sangat
mendalam dapat berkumpul bersama keluarga walaupun makan dengan lauk sambal
akan terasa lebih nikmat bila berkumpul bersama.

Indahnya Persahabatan
Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi.
Karena semua tersedia. Seperti Tyas. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang
sekolah selalu diantar mobil mewah dengan supir pribadi.
Meskipun demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat
ramah. Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Tyas
yang datang ke rumahnya. Mereka menyambut seolah keluarga. Sehingga kawankawan banyak yang betah kalau main di rumah Tyas.
Tyas sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Dwi. Rumahnya masih satu
kelurahan dengan rumah Tyas. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu
Dwi tidak main ke rumah Tyas.
Ke mana, ya,Ma, Dwi. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen.
Selalu datang.
Mungkin sakit! jawab Mama.
Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin menengoknya!
katanya bersemangat
Sudah tiga kali pintu rumah Dwi diketuk Tyas. Tapi lama tak ada yang membuka.
Kemudian Tyas menanyakan ke tetangga sebelah rumah Dwi. Ia mendapat keterangan
bahwa Dwi sudah dua minggu ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar,
bapak Dwi di-PHK dari pekerjaannya. Rencananya mereka akan menjadi petani saja.
Meskipun akhirnya mengorbankan kepentingan Dwi. Terpaksa Dwi tidak bisa
melanjutkan sekolah lagi.
Oh, kasihan Dwi, ucapnya dalam hati,
Di rumah, Tyas tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang
sekolah ia selalu murung.
Ada apa, Yas? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah
selalu tegar dan ceria! Papa menegur
Dwi, Pa.
Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia? Tyas menggeleng.
Lantas! Papa penasaran ingin tahu.
Dwi sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke
desa. Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja.
Papa menatap wajah Tyas tampak tertegun seperti kurang percaya dengan omongan
Tyas.
Kalau Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah! ujarnya.
Lalu apa rencana kamu?
Aku harap Papa bisa menolong Dwi!
Maksudmu?
Saya ingin Dwi bisa berkumpul kembali dengan aku! Tyas memohon dengan agak
mendesak.
Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Dwi di desa itu! kata Papa.
Dua hari kemudian Tyas baru berhasil memperoleh alamat rumah Dwi di desa. Ia
merasa senang. Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak
keluarga Dwi. Kemudian Tyas bersama Papa datang ke rumah Dwi. Namun lokasi
rumahnya masih masuk ke dalam. Bisa di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer.
Kedatangan kami disambut orang tua Dwi dan Dwi sendiri. Betapa gembira hati Dwi
ketika bertemu dengan Tyas. Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa
rindu. Semula Dwi agak kaget dengan kedatangan Tyas secara mendadak. Soalnya ia
tidak memberi tahu lebih dulu kalau Tyas ingin berkunjung ke rumah Dwi di desa.

Sorry, ya, Yas. Aku tak sempat memberi tahu kamu!


Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa
kembali!
Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya kepada
orang tua Dwi. Ternyata orang tua Dwi tidak keberatan, dan menyerahkan segala
keputusan kepada Dwi sendiri.
Begini, Wi, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke
Surabaya. Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana
Wi, apakah kamu mau? Tanya Papa.
Soal sekolah kamu, lanjut Papa, kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan
kamu saya yang akan menanggung.
Baiklah kalau memang Bapak dan Tyas menghendaki demikian, saya bersedia. Saya
mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu saya.
Kemudian Tyas bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Dwi. Tampak
mata Tyas berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul
kembali. Ternyata mereka adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan. Kini Dwi tinggal
di rumah Tyas. Sementara orang tuanya tetap di desa. Selain mengerjakan sawah,
mereka juga merawat nenek Dwi yang sudah tua.

Veteran Tua

Seorang lelaki tua menyandarkan sepeda bututnya di parkiran balai desa. Karena baru
saja datang, lelaki itu akhirnya duduk di antrian paling belakang. Satu jam sudah ia
duduk mengantri di tempat itu. Beberapa saat kemudian, tibalah kakek itu di antrian
paling depan. Ia mengeluarkan sebuah map berwarna merah yang ia bungkus dengan
kresek berwarna hitam dan menyerahkannya kepada si petugas kelurahan. Si
petugaspun langsung memeriksa satu per satu isi map merah milik kakek tadi.
Maaf pak, tapi syarat-syarat bapak kurang lengkap. Bapak harus meminta surat
keterangan tidak mampu dari ketua RT dan RW, baru bapak bisa kembali lagi kesini.
Kata si petugas kelurahan sambil menyerahkan kembali map merah milik kakek.
Lelaki tua itu tetap berusaha tersenyum, sudah lebih dari sejam ia duduk menunggu
disana namun ternyata semua itu sia-sia. Ia kembali menuju sepeda onthel tuanya yang
diparkir diantara beberapa mobil dan sepeda motor.
Kakek tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di pasar itu dulunya adalah
seorang pejuang kemerdekaan, sudah banyak pengalaman pahit manis yang
dialaminya. Ia telah kehilangan banyak sekali teman-teman seperjuangannya, tapi
kematian teman-temannya tersebut tidaklah sia-sia. Mereka semua adalah para
syuhada, mereka semua mati syahid, mati di jalan Illahi sebagai bunga bangsa.
Lelaki tua itu tiba-tiba tersentak mendengar klakson bis yang membangunkannya dari
lamunan masa lalunya. Tak terasa ternyata ia telah berada di jalan raya, itu artinya ia
harus lebih berhati-hati lagi.
Kakek itu sekarang tinggal bersama istrinya di kolong jembatan setelah rumah mereka
digusur polisi seminggu lalu. Tapi sayangnya sang istri sekarang sedang sakit keras
dan dirawat di rumah sakit, sementara si kakek sedang mengusahakan pengobatan
gratis bagi istrinya tersebut.
Tiba-tiba anngin berhembus semakin kencang, suara petir mulai terdengar dan
awanpun berubah menjadi hitam tanda akan turun hujan. Dan benar saja, hujan turun
dengan derasnya. Si kakek memutuskan untuk berteduh di emperan toko karena tak
ingin map yang dibawanya tersebut menjadi basah dan rusak.
Ternyata dari tadi lelaki tua itu berteduh di depan warung sate, pantas saja perutnya
merasa semakin lapar. Ia ingat bahwa terakhir ia makan sudah sejak tadi malam,
sedangkan sekarang sudah jam dua lebih. Sekilas ia menengok ke dalam warung sate
tadi, di dalamnya banyak orang sedang makan dengan lahapnya. Lelaki tua itu pun
tersenyum, ia merasa bangga karena perjuangannya dulu saat mengusir kompeni dari
tanah airnya tidaklah sia-sia. Bila ia dan teman-teman seperjuangannya dulu gagal
mengusir penjajah, mungkin mereka tak akan bisa menikmati suasana seperti ini.
Kakek tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke televisi yang dari tadi di setel
oleh seorang pedagang kaset yang berjualan tak jauh darinya. Televisi itu sedang
menyiarkan seorang berpakaian jas hitam rapi dengan mengenakan dasi sedang
berpidato di sebuah ruangan yang kelihatannya sangat mewah. Si lelaki tua itu
menebak bahwa orang yang sedang muncul di televisi tadi pastilah seorang pejabat
negerinya. Dalam pidatonya, orang itu mengatakan bahwa rakyat di negerinya sudah
kehilangan rasa nasionalisme, rakyat dinegerinya juga dikatakan sudah kehilangan
rasa cinta terhadap tanah airnya. Sejenak ia berpikir merenungi kata-kata pejabat itu.

Dalam hati ia bertanya, siapa sebenarnya yang tidak punya nasionalisme, rakyat
negerinya atau para pejabat itu?
Apakah pejabat yang bernasionalisme adalah pejabat yang makan kekenyangan saat
rakyatnya mati kelaparan? Apakah pejabat yang nasionalis adalah para pejabat yang
bebas liburan keliling dunia saat rakyat di negerinya antri bbm hingga berhari-hari?
Atau pejabat yang punya banyak mobil mewah saat rakyatnya berdesakan di gerbong
kereta api?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus memenuhi pikirannya, namun ia sadar ia harus
pergi sekarang. Istrinya di rumah sakit pasti sudah menunggunya dan hujan pun kini
telah reda, lelaki tua itu kembali mengayuh sepedanya.
Sesampainya di rumah sakit kekek tua itu memarkirkan sepedanya dan langsung
bergegas menuju kamar tempat istrinya dirawat. Entah kenapa kakek itu selalu merasa
tak tenang setiap jauh dari istrinya. Ia akan memastikan dulu bahwa istrinya tak
membutuhkan bantuannya, baru ia akan berangkat lagi untuk mengurus surat
keringanan ke ketua RT dan RW.
Saat sampai di depan kamar tempat istrinya dirawat, ia mendapati bahwa kamar sudah
dalam keadaan kosong. Pintu kamarpun dalam keadaan terkunci sehingga tak bisa
dibuka, padahal kakek itu yakin ia tidak salah kamar. Dalam hati ia berpikir bahwa
mungkin istrinya telah sembuh sehingga dipindahkan ke tempat lain oleh dokter.
Namun untuk memastikan, si kakek mencari seorang dokter yang tadi pagi memeriksa
keadaan istrinya. Si kakek pun menanyakan kepada dokter tadi dimana istrinya
sekarang berada. Dokter pun menatap wajah si kakek dengan mata berkaca-kaca.
Maaf pak, kami sudah berusaha sebisa kami tapi ternyata Allah berkehendak lain.
Istri bapak sudah meninggal sejam yang lalu. Kata si dokter yang tak bisa
menyembunyikan rasa sedihnya.
Si kakek pun meneteskan air matanya, tubuhnya bergetar hebat, map merah yang
dibawanya jatuh dari pegangan tangannya. Pandangannya pun menjadi semakin kabur
dan perlahan menjadi gelap gulita. Si kakek pun sekarang sudah tak ingat apa-apa lagi.
Keesokan harinya dua buah gundukan tanah baru muncul di kuburan. Yang satu
bertuliskan Darsono bin Atmo, seorang veteran tua yang sehari-hari bekerja sebagai
kuli panggul. Sedangkan nisan yang satunya lagi bertuliskan Pariyem binti Ngatijo,
istri dari sang veteran pejuang. Meskipun sang veteran miskin itu sekarang telah tiada.
Namun di negerinya, negeri dimana kayu dan batu bisa jadi tanaman, masih banyak
orang yang bernasib sama bahkan lebih tragis darinya. Mereka semua, para rakyat di
negeri itu, banyak yang rela bekerja keras membanting tulang memeras darah hanya
sekedar untuk makan sekali sehari.

LIANG HARIMAU

Karena pagi buta, tak ada yang tahu bagaimana peristiwa sebenarnya. Tapi seorang
wartawan, yang mengutip keterangan polisi, menulis berita begini:
Pembunuhan itu terjadi sekitar pukul 05.00. Sadim baru bangun tidur dan tiba-tiba
menusuk Rasikun. Dalam berita acara pemeriksaan oleh polisi disebutkan, Sadim
kalap dan menusuk si majikan karena persoalan upah. Masih menurut polisi, Sadim,
warga Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, itu marah karena Rasikun
menolak memberikan upah yang ia minta.
Dan hari ini, enam bulan kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim digiring ke ruang
sidang. Seperti sidang-sidang lalu, wajah Sadim masih tampak terheran-heran,
celingukan mencari-cari, atau kadang bagai termangu. Dan pakaian putih-putihnya
yang lusuhterlihat nyaris cokelat karena bekas-bekas tanah yang tak mau hilang;
cara duduknya yang anehmembungkuk dalam dengan dua tangan jatuh telentang
bagai ditampungkan di pangkuan, melengkapkan kesan lelaki 40-an tahun yang
menyebut diri urang Rawayan itu seolah tak berada di dalam ruang sidang.Dan
memang, sebenarnyalah, Sadim tidak sedang berada di dalam ruang sidang.Ia berada
pada suatu tempat dalam pikirannya: Liang Harimau.
Liang Harimau, atau dalam bahasa urang Rawayan disebut Liang Maung, terletak di
kaki Gunung Rorongocongok. Merupakan hutan lindung yang tak boleh dirambah,
tetapi entah bagaimana Rasikun bisa memiliki sebidang tanah sangat luas lalu
membuka ladang di sana. Dan Sadim, yang telah dua tahun ini bekerja serabutan di
kampung-kampung sekitar, pun menerima kontrak kerja dari Rasikun. Dengan upah
empat liter beras perhari, setiap dinihari, dari rumah si majikan, Sadim berangkat ke
Liang Harimau.
Sebetulnya, berat bagi Sadim menerima pekerjaan itu. Bukan karena luas atau liarnya
hutan yang harus dirambah, tetapi karena Liang Harimau bagi mereka urang-urang
Rawayan adalah salah satu hutan yang dipercayai sebagai tempat bersemayamnya ruh
nenek moyang. Orang-orang luar tangtu (kampung) seperti Rasikun mungkin hanya
mengenal lokasi itu sebagai angker, tetapi bagi urang-urang Rawayan Liang
Harimau adalah tempat ruh nenek moyang turun bermain setelah hidup abadi di lemah
bodas (surga). Tanpa harus ditegur Puun atau Kepala Adat pun, takkan ada urang
Rawayan yang berani sembarangan keapalagi mengganggu diLiang Harimau.
Tetapi begitulah, betapa sulitnya memperoleh pekerjaan. Sejak tanah humanya mulai
tandus dan hasil panennya tak pernah lagi cukup pengisi leuit atau lumbung padi
keluarga, Sadim terpaksa mencari kerja ke tangtu atau kampung-kampung luar untuk
mendapat tambahan atau upah apa saja. Kadang, melihat sawah atau tanah kampungkampung luar yang seperti bisa ditanami selamanya, ia berpikir dan kemudian heran,
kenapa adatnya tak membolehkan urang-urang Rawayan memakai apa yang disebut
orang-orang kampung luar sebagai pupuk? Dan juga, kenapa para leluhur tak
membolehkan mereka bertanam padi dengan cara bersawah? Ah, larangan-larangan
itu: tak boleh merokok, mandi menggunakan sabun, memiliki alat rumah tangga yang
terbuat dari barang pecah-belah; dilarang memelihara hewan berkaki empat kecuali
anjing; dilarang tidur berbantal dan bertikar, memakai pici, naik kendaraan.
Tetapi, larangan dari Rasikun, sungguh di luar perkiraan Sadim.
Tiga hari sebelum pembunuhan itu, Sadim dikunjungi saudaranya dari Cibeo yang
khusus datang ke rumah Rasikun mengabarkan bahwa orang-orang kampungnya akan
menggelar upacara Ngasep Serang. Inilah upacara adat sangat penting, upacara
membakar lahan sebelum musim tanam, yang harus diikuti oleh segenap warga urang

Rawayan. Bagi Sadim, larangan-larangan atau pantangan-pantangan lain yang sangat


banyak itudengan mencuri-curimasih bisa dirinya langgar. Tetapi upacara Ngasep
Serang, bahkan andai tak diwajibkan hadir pun, sungguh Sadim tak berani.
Ngasep Serang? Upacara apa itu? tanya Rasikun, dalam bahasa Sunda bercampur
Rawayan, ketika Sadim minta izin tak berangkat kerja ke Liang Harimau, nanti, di
hari upacara, karena harus pulang ke Cibeo.
Sadim pun menerangkan. Entah karena memang kurang peduli, atau entah karena
Sadim menerangkan dengan banyak kata dan istilah dalam bahasa Rawayan, Rasikun
tak begitu mengerti. Tapi dengan tahu bahwa Ngasep Serang adalah semacam upacara
agar tanaman urang Rawayan nantinya berhasil baik dan diberkati Sahiyang Tunggal
(Tuhan), Rasikun merasa cukup. Memang Sadim menyebut-nyebut Girang Puun, puun
tertua, Jaro Tangtu, jaro pengurus masalah-masalah adat, Tangkesan, pembantu Puun
yang mengurus masalah pertanian, dan Dukun dan Penujum yang mengurus masalah
keagamaan dan upacara-upacara adat, tetapi bukankah Sadim tidak salah seorang dari
mereka?
Kalau kau tak ada, Sadim, bukankah upacara itu tetap terselenggara? tanya Rasikun.
Sadim bingung. Diam, tak bisa menjawab.
Kau tak boleh pulang. Ladang di Liang Harimau sudah harus bisa ditanam sebelum
musim hujan.
Dan hari itu, Sadim berangkat kerja ke Liang Harimau dengan hati gundah. Di
sepanjang jalan, ia terbayang leuit yang kosong. Juga tanah huma yang tandus.
Ketakhadirannya di Ngasep Serang tak hanya akan membuat tanah dan tanaman
marah, tetapi, seperti pernah dibilang Penujum, Seluruh alam dan isinya bakal
melawan, jadi musuh urang, mengincar di kala sempat. Mengincar? Sebelum pulang,
senja itu, Sadim merasa ada sepasang mata mengawasinya. Saat ia menoleh ke
seberang sungaisungai kecil yang meliuk mengalir dari pinggang Gunung
Rorongocongok sekaligus pembatas tanah Rasikun, Sadim terkejut: seekor harimau!
Seekor harimau menatap nanap ke arahnya!
Sadim pulang dengan menggigil. Ketakutan. Saat ia ceritakan kepada Rasikun, si
majikan tertawa seraya bilang tentu saja wajar di hutan selebat itu hidup bermacam
binatang buas termasuk harimau. Kau tahu, mereka tak bakal mengganggu, takkan
melakukan apa-apa sepanjang kita juga tak mengganggu mereka, tambah Rasikun.
Tetapi, besoknya, senja juga, Sadim kembali mendapati si harimau ada di sana.
Menatap, bukan hanya nanaptetapi kini bagai mengancam, ke arahnya. Sungai itu
sungai kecil itu, tidakkah bisa saja dilompati olehnya?
Saat pulang, Sadim merasa harimau itu mengikutinya.
Dan lalu, besoknya, pembunuhan itu terjadi, di pagi buta.
Dan begitulah hari ini, enam bulan kemudian, untuk kesekian kalinya Sadim berada di
ruang sidang. Dan seperti sidang-sidang lalu, majelis hakim kembali tampak seolah
kebingungan, kehilangan akal, mendapati jawaban Sadim yang bagai tak nyambung,
tak runut, bahkan tak sesuai dengan berita acara pemeriksaan.
Nu maneh tempo harita teh saha (dulu, yang kau lihat itu siapa), tanya Kepala Desa
Kanekes menerjemahkan pertanyaan Ketua Majelis Hakim tentang siapa yang ditusuk
Sadim sekitar pukul 05.00 enam bulan lalu itu.
Maung (harimau), jawab Sadim, lirih .

BANGKIT
Cerpen Karangan: Alfred Pandie

Pandanganku pada langit tua. Cahaya bintang berkelap kelip mulai


hilang oleh kesunyian malam. Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi
nan gelap. Cahaya bulan malam ini begitu indahnya. Hari ini benar-benar
hari yang melelahkan. Konflik dengan orang tua karena tidak lulus sekolah.
Hari ulang tahun yang gagal di rayakan. Dan hadiah sepeda motor yang
terpaksa di kubur dalam-dalam karena tak lulus, belum lagi si adik yang
menyebalkan. Teman-teman yang konvoi merayakan kemenangan, sedang
aku?
Hari-hari yang keras kisah cinta yang pedas. Angin malam
berhembus menebarkan senyumku walau sakit dalam hati mulai mengiris.
Sesekali aku menghapus air mataku yang jatuh tanpa permisi. Sakit
memang putus cinta.
Rasanya beberapa saat lalu, aku masih bisa mendengar kata-kata
terakhirnya yang tergiang-ngiang merobek otak ku.
sudah sana Kejarlah keinginanmu itu!, kamu kira aku tak laku, jadi
begini sajakah caramu, oke aku ikuti.. Semoga kamu tidak menyesal
menghianati cinta suci ini. beberapa kata yang sempat masuk ke hpku, di
ikuti telpon yang sengaja ku matikan karena kesal atau muak.
Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit.
selamat malam..? Sorii mba kayanya lagi sedih banget boleh aku minta
duitnya.. seorang pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan
yang tak beraturan,
Ia mengeluarkan sebilah pisau lipat dan mengancamku. Aku hanya
terdiam tak berkata, membuatnya sedikit binggung. Aku meraih tas di
sampingku dan menyerahkan padanya. ini ambil semua.. Aku tak butuh
semua ini. Aku hanya ingin mati! Aku melemparkan tas ke hadapannya
yang di sambut dengan senyum picik dan iapun menghilang di gelapnya
malam.
Aku bangkit berdiri dan berjalan menyusuri malam, berdiri menatap
air suangai yang mengalir airnya deras.Di sini di atas jembatan tua ini.
Angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku. Aku berdiri menatap langit yang
bertabur bintang, rasanya tak ada yang penting bagiku sekarang.
Perlahan-lahan aku berjalan menaiki jembatan dan berdiri bebas. Menutup
mata dan tinggal beberpa senti lagi aku akan terjatuh. Aku perlahan
mengangkat kaki kananku dan?
Tiba-tiba sosok pemabuk yang menodong pisau padaku ku tadi, menarik
baju ku dan menampar pipiku kuat, keras sekali tamparannya
ini uang dan tas mu!! Aku tak butuh..! Aku lebih baik mati kelaparan
dari pada melihat wanita lemah sepertimu ia menarik ku turun dan
melemparkan tasku di atas tanah
Dan ia berlalu pergi. Aku bangkit dan meraih tas ku kembali menyusuri
tangga turun. Sosok yang tadi, pria mabok yang ternyata seumuran
denganku, di sekujur tubuhnya penuh tato dan tubuhnya kurus sekali. Ia
berdiri termenung pada tangga jalan. Sesekali menatap langit dan
menghapus air matanya.
boleh aku berdiri disini bersamamu? Aku menyapanya tapi ia hanya
terdiam membisu. Aku berdiri di sampingnya menunggu sampai kapan ia
akan berdiri pergi dari sini.
kenapa kamu menamparku..?
Kenapa kamu menolongku?
Aku sudah tak berarti lagi. Pria yang aku cintai bertahun-tahun
mencapakanku dengan tuduhan yang tak jelas, aku memulai
pembicaraan.

Dengan sesekali menghapus air mata akibat dari gejolak di hatiku. apa
kamu akan terdiam atau aku telah mengusikmu?. Aku melihatnya dan ia
balik menatapku tajam. Aroma alkohol dari mulutnya jelas tercium saat ia
bicara maafkan aku..? Sungguh aku minta maaf, menurut ku kamu terlalu
lemah, masalah apapun jangan berhenti untuk bangkit, bukankah setiap
hari kita merasakan hal yang sama? Ia berkata sembari mengulurkan
tangannya yang ternyata cuma 2 jari yang utuh, Aku mulai merinding
karena sedikit takut. Sehingga aku tak membalas uluran tangannya.
kaget ya mbak?. Jari ku yang lain di potong oleh preman karena
persaingan. Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh
nyali besar, bahkan untuk tertidur saja itu sulit. Harus rela kedinginan, Di
gigit nyamuk dan tempat ku tertidur hanya di emperan toko, Dan kalau
sudah penuh oleh gembel lain, terpaksa aku harus mencari tempat lain
yang menurutku layak. Maaf bila aku mengambil tas mu. Aku butuh
makan, sudah 3 hari aku tidak makan, sisa makanan di tong sampah
sudah membusuk karena hujan kemarin, Biasanya aku mencari secerca
kenikmatan disana yang masih bisa layak ku telan, rasa lapar tak akan
bisa membuatmu jijik. Setiap hari saat membuka mata yang anda ingat
hanya perut dan perut.Ia terdiam dan mengalihkan pandanganya luas
menembus angkasa, langit malam ini. Aku hanya terdiam terpaku dengan
mulut terbuka, betapa aku tak percaya setengah mati. Bagaimana
mungkin seandainya sekarang aku berada di posisi ini? Aku yang terlahir
dari keluar sederhana namun penuh kehangatan, uang bukan masalah,
aku hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku
mendapatkannya, semuanya cukup, tapi ternyata itu bukan kebahagian,
itu nafsu sesaat, Aku memang memiliki segalanya tapi tidak dengan cinta,
selalu ada yang kurang setiap hari. Tanpa kebersaman kita mati. Terutama
pentingnya mensyukuri apa yang ada. Aku menarik tangan dan menjabat
tangannya kuat-kuat yang tinggal dua jari meski sedikit risih karena aneh
menurutku. Aku memberinya sedikit pelukan hangat. Ia tersenyum
memamerkan mulutnya yang bau alkohol dan bau wc umum. Aku
menyerahkan tas ku padanya. ambil lah.. Aku tak mengenalmu tapi kamu
memberi ku banyak alasan hari ini, kenapa aku harus kuat menghadapi
hidupku sekarang dan nanti, bukankah hidup harus tetap di jalani. Aku
sadar masih punya segalanya, bodoh sekali cuma karena cinta
semangatku hilang, belum tentu ia jodohku, belum tentu ia juga
memikirkan hal yang sama, rasa sakitku. Aku berlari menuruni tangga
meninggalkan ia sendiri yang masih terdiam menatap kembali langit yang
menampakan bintang-bintang kecil yang berkelip dengan jenaka, seakan
hari ini tak akan berlalu.
Ketika aku akan menapaki jalan. Kekasihku sedang berdiri di
depanku dengan bunga mawar banyak sekali di tangannya, sementara di
belakangnya orang tua dan adikku yang berdiri di samping mobil, kami
saling terdiam untuk beberapa saat ia memulai.maafkan aku sayang,
ternyata aku yang salah menilaimu, makasih ya?, sudah membuat hidupku
lebih berharga karena ini. Ia menyerahkan bunga dengan sebuah diary
usang punyaku, yang entah dari mana ia mendapatkannya. Tapi disinilah
aku bisa menulis menitikan setiap masalah, rasa banggaku atas kekasihku
ini. Aku memeluk erat tubuhnya lama kami terdiam di iringi tangis dan
canda menghiasi malam, sementara kedua orang tuaku tersenyum
senang. Aku mengajak kekasihku menaiki tangga untuk mengenalkan
pada orang yang mengajarkanku banyak hal. Khususnya arti
bersyukur.Kami menapaki jalan tangga dan melirik sekeliling dan mencari

namun sosok itu hilang tak berbekas? Kami turun dan kami pergi ke mall
bersama orang tua dan adik ku untuk merayakan ulang tahunku.
Walaupun tetap aku tak dapat sepeda motor karena tak lulus tapi bukan
berarti kehangatan ini harus berakhir
Tamat

SEBATANG KARA
Tanah di pekuburan umum itu masih basah ketika para pentakziah sudah pulang.
Sementara Ogal masih duduk sambil sesekali menyeka air matanya. Ibu yang selama
ini paling dia hormati dan cintai, tadi malam telah meninggal dunia, menghadap
Tuhan Yang Maha Esa.
Burung-burung camar terbang rendah dan sesekali mencelupkan paruhnya di air
laut.
Bu Tutik dan suaminya masih berdiri di belakang sambil menunggu Ogal. Kedua
orang tua asuh itu sangat setia kepada Ogal.
Rasanya saya sudah tidak punya siapasiapa lagi, Bu, tiba-tiba Ogal berkata
dengan suara agak berat.
Bu Tutik memegang lengan Ogal sambil mengelus rambutnya.
Jangan berkata begitu, anakku. Kami akan menjadi orang tuamu sampai kapan
pun.
Sampai saya mandiri? desak Ogal.
Sampai kapan pun. Aku tidak akan membatasi kamu, sebab pada hakikatnya engkau
adalah anakku juga.
Maksud Ibu? Ogal tidak mengerti.

Ya, rupanya engkau ditakdirkan untuk aku asuh dan menjadi anak kami. Tetapi kami
bertekad untuk menjadi orang tuamu, bukan sekedar orang tua asuh.
Ogal memeluk Bu Tutik. Air mata di pipinya tak henti-hentinya mengalir sehingga
membasahi bajunya. Sementara suami Bu Tutik turut berduka atas kematian Bu
Arpati.
Sebenarnya Ogal masih ragu-ragu, apakah dia akan ikut Bu Tutik atau bertahan
hidup dengan mandiri. Jika dia ikut Bu Tutik, tentu tidak dapat bekerja seperti ketika
ia masih hidup bersama ibunya. Hal itu menjadikannya manja. Tetapi jika menolak
kebaikan Bu Tutik, terasa tidak enak. Pengorbanan Ibu Guru itu sudah sedemikian
besarnya.
Dari pengalaman hidupnya selama ini, banyak hal yang dapat Ogal petik. Ia biasa
bekerja keras, tidak suka menggantungkan pada orang lain. Ia juga biasa hidup
prihatin sehingga tidak suka berfoya-foya.
Bolehkah saya menjajakan kue lagi, Bu? pinta Ogal kepada Bu Tutik.
Buat apa, Ogal?
Agar saya tetap bisa bekerja.
Kurasa tidak perlu, Ogal. Pusatkan perhatianmu untuk belajar. Sebentar lagi
engkau akan ujian.
Tapi, saya tidak enak kalau menganggur, Bu!
Di rumahku engkau tidak mungkin menganggur. Engkau bisa belajar menggunakan
komputer, mengetik, nonton TV, dan memelihara kebun.
Tapi, saya akan tidak bekerja, Bu!
Pada hakikatnya engkau bekerja juga. Memelihara kebun atau membantuku di
rumah juga bekerja.
Jadi, tidak harus menjajakan kue, Bu? Bu Tutik mengangguk.
Kalau begitu, tolong carikan pekerjaan yang bisa saya lakukan. Bu Tutik
tersenyum.
Jangan khawatir.
Bu Tutik ternyata dapat memenuhi harapan Ogal. Banyak pekerjaan yang dapat
dilakukan Ogal. Misalnya, memelihara kebun mangga, mencatat keluar masuknya
barang, dan sebagainya.
Kali ini Ogal tidak kalah sibuknya dengan sewaktu berada di desa nelayan. Bahkan
mungkin boleh dikatakan sangat sibuk.

Pekerjaan di rumah Bu Tutik tidak hanya satu, melainkan sangat banyak. Walaupun
begitu, Bu Tutik tidak pernah memaksa Ogal untuk bekerja. Semua itu hanya sematamata menuruti keinginan Ogal.
(Buah Keikhlasan, 1997)

Ada Kupu-Kupu, Ada Tamu


karya : Seno Gumira Adjidarma
Taman di depan rumah kami kecil, penuh bunga. Aku tidak
pernah tau nama-nama bunga itu. Aku tau semua bunga itu indah.
Aku duduk di teras rumah, merasakan hangat matahari yang
menerpaku. Aku sedang berpikir bagaimana bisa bunga ciptaan
manusia lebih mahal dari ciptaan Tuhan.
Aku sedang berpikir tentang keberadaan bunga dan kulihat
kupu-kupu itu datang, pergi dan datang lagi.
Wah, akan ada tamu kata istriku
Pasti?
Iya. Pasti
Kok bisa pasti ?
Bukankah kalau ada kupu-kupu tandanya pasti ada tamu
Aku melihat kupu-kupu itu dan berpikir tentang tamu.
Jangan-jangan tamu itu mau meminjam uang kataku
Tidak mungkin. Lihat kupu-kupu itu warnanya bagus, pasti
membawa keberuntungan
Keberuntungan dan bencana menjadi hal penting dalam
hidup kita. Kuamati kupu-kupu itu terbang kesana-kemari. Tidak
salah kalau kupu-kupu itu dibilang bagus. Apakah hal bagus selalu
membawa keberuntungan ?
Hidup ini di penuhi teka-teki. Apa arti hidup seekor kupukupu ? mengapa kita harus sibuk dengan tanda-tanda. Tamu macam
apa yang akan datang nanti.

Bagaimana kalau tamu itu bukan pembawa


keberuntungan ?
Tidak. Tamu itu pasti pembawa keberuntungan. Lihat kupukupu itu bagus
Tidak ada kupu-kupu yang tidak bagus
Ada. Sering sekali kupu-kupu jelek terbang sampai masuk
rumah. Setelah itu rumah kita kemalingan, setelah itu kamu
kehilangan pekerjaan, setelah itu kehormatan kita diinjak-injak
orang. Kali ini kupu-kupunya bagus, pasti tamu yang akan datang
membawa keberuntungan. Aku yakin sekali
Itu tidak ilmiah
Siapa bilang hidup ini ilmiah ?
Istriku pergi ke dapur. Dimasaknya apa saja yang ada di
dapur, karena ia merasa yakin tamu itu akan datang.
Bagaimana kalau tamu itu tidak jadi datang? Siapa yang
mau menghabiskan semua makanan ini ?
Pasti datang. Tamu itu pasti datang.
Aku sungguh tidak mengerti, bagaimana seseorang bisa
yakin akan sesuatu tanpa dasar-dasar yang jelas. Aku merasa
pemikiran tentang tamu benar-benar menggangguku. Jangan-jangan
tamu yang akan datang benar-benar membawa bencana.
Siap-siap barangkali tamu itu akan datang sesaat lagi
Jadi, kubuka pintu pagar. Membersihkan segala perabotan,
mengepel dan tanaman. Aku menengok ke tikungan jalan barangkali
tamu itu telah memasuki gerbang kompleks perumahan. Semuanya
segera di cek dan makanan pun sudah tertata rapi di meja.
Kami berdua duduk di tepi sungai menunggu kedatangan
tamu itu. Lalu ada kupu-kupu lain dari seberang sungai. Kami berdua
melompat memperhatikannya.
Wah kupu-kupu ini jelek. Bulukan lagi !
Sial kata istriku
Diusirnya kupu-kupu itu dengan penggepuk kasur.
Jadi, ada dua tamu? kataku.
Ya. Yang satu membawa keberuntungan, yang satu
membawa sial
Apa perlu kita masak lagi?
Tidak usah, yang membawa sial tidak perlu di jamu apaapa
Loh ?
Kalau perlu kita usir saja
Wah !!
Ketika tiba saat makan siang, kami memakan sebagian dari
masakan itu, sekadar untuk mengatasi lapar.
Kami pun berargumen tentang siapa tamu yang akan datang
ini, sampai suasana begitu terasa asing saat argumen kami memiliki
pendapat yang sama. Bagaimana kalau tamu itu bukan manusia.
Kemudian mendadak muncul puluhan, ratusan, bahkan mungkin
ribuan kupu-kupu aneka warna berterbangan dan memenuhi

pandanganku. Istriku berteriak dan memegang tanganku, kurasakan


pegangannya terlepas dan tak kudengar lagi suaraku sendiri.

Anda mungkin juga menyukai