Anda di halaman 1dari 5

Paskalis dan Arti Kehidupan

Sinar mentari menerobos masuk melalui celah jendela rumah yang terbuka. Langit
nan cerah memancarkan indahnya pagi, namun berbalik dengan keadaan hatiku ini.
Rasanya hati ini mendung meskipun suasana pagi ini begitu syahdu. Oh iya, aku lupa
memperkenalkan diriku.
Natania. Nama yang diberikan mama bagiku yang berarti pemberian Tuhan yang
dinantikan keluarga kecil kami. Sebenarnya kegelisahan dihatiku karena sepanjang
malam saat aku tidur, mimpi buruk itu kembali menggangu tidurku, kecelakaan yang
merenggut orang yang sangat aku cintai, papa. Hari-hari berjalan, tanpa ada suatu yang
berarti bagiku. Hidupku bagaikan angin lalu yang tidak berpengaruh dan lewat saja. Tak
jarang aku iri kepada teman-temanku yang memiliki orangtua yang lengkap. Kadang
hatiku menjerit, marah kepada-Nya tentang nasibku ini.
“Nia..Cepat kemari, sarapan bareng mama” suara mama memecah lamunanku.
“Iya ma, Nia turun sebentar lagi” jawabku sambil menghembuskan napas panjang,
mengambil tas, dan kemudian beranjak keluar dari kamar.
Aku pun segera turun menuju ke ruang makan menemui mama yang sudah dengan sabar
menungguku.
“Pagi Ma.. Nia hari ini enggak napsu makan nih, boleh bawa aja ga ke sekolah, Ma?”
tanyaku dengan memelas.
“Pagi Sayang. Jangan dong, sarapan disini aja dulu. Ini ada roti selai kacang kesukaan
kamu.” jawab mama sambil tersenyum.
“Baik, Ma.”kataku pelan. Aku segera melahap seiris roti selai dan meneguk segelas susu
cokelat yang terhidang. “Ma, Nia berangkat sekolah dulu ya. Dadah mama!” seruku
sambil menyalam mama.
“Sampai jumpa, Sayang. Oh iya, mama nanti malam ada rapat penting, mungkin mama
pulang larut yaa..” kata mama.
“Oke ma, semangat kerjanya!” kataku menyemangati mama.
Akupun bergegas menyambar sepeda dan melaju ke sekolahku, SMA Harapan
Bangsa. Sedikit tentang sekolahku, SMA Harapan Bangsa adalah salah satu sekolah
unggulan di daerah Jakarta Selatan. Kebanyakan siswa-siswi yang sekolah disini adalah
kalangan atas yang juga merupakan anak cerdas. Karena itu aku sangat bangga dapat
bersekolah disini. Dulu ketika aku dinyatakan diterima di sekolah ini, papa adalah sosok
yang paling bahagia. Sangking senangnya, ia mentraktir aku seharian di mall dan kami
bertiga bersama mama menghabiskan waktu yang indah saat itu. Sungguh, kenangan
yang manis.Tak terasa air mata menetes saat aku mengingat saat-saat bahagia itu.
“Dorrr!” teriak seseorang sambil memegang pundakku. Aku segera menghapus air mata
itu dan berbalik kembali mengagetkan dia.
Jasmine, sahabatku tidak kaget, melainkan tertawa keras.”HAHAHA kamu ini kan udah
tau kalo aku ga bisa dikagetin” canda Jasmine. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi
sahabatku itu..
“Kamu kenapa, Nia? Ga biasanya kaya gini..” tanya Jasmine cemas.
“Gapapa, Jas hehehe. Kamu udah belajar blom buat ulangan Sejarah hari ini?Materinya
banyak loh,Jas..” Ujarku mengalihkan topik.
“Kamu pasti teringat papamu.. Kamu yang sabar ya. Kan ada aku yang lucu dan imut ini.
Tapi.. Emang ada ulangan??”jeritnya histeris. Diapun berlari mengambil buku catatan
dan membacanya dengan cepat. Secepat motor Rossi, si pembalap.
“Jasmine.. Jasmine..Ada-ada aja sih ini orang” tuturku sambil menggelengkan kepala.
Kringggg kringgg kringg… Bunyi bel masuk sekolah berbunyi mengingatkan
semua murid agar segera masuk ke kelas mengikuti pelajaran pertama hari ini.Jam
pertama, pelajaran sejarah. Kami mengikuti ulangan dengan tenang. Soalnya cukup susah
dan membuatku harus berpikir keras mengingat kembali apa yang kupelarai kemarin
malam. “Puji Tuhan, akhirnya selesai juga” kataku seraya mengumpulkan kertas ulangan
itu. Beberapa menit berselang, teman-teman yang lain juga mengumpulkan ulangan
mereka ke Pak Eko, guru sejarah kami.
“Astagaaa.. Soal ulangannya susah banget. Masa disuruh jelaskan runtutan perang dunia
ke dua sih? Sampai mau patah ini tangan nulisnya. Banyak banget gilaaaa…” sembur
Jasmine tanpa ampun padahal disitu masih ada gurunya.
“Jasmine. Bapak tunggu kamu di ruangan bapak. Sekarang juga!” Pak Eko berteriak
cukup kencang.
“Aduh. Gue kira dia udah keluar kelas tadi. Apes banget ya hari ini.” keluh Jasmine.
“Lagian main ngomel aja ga liat-liat ada orangnya atau enggak. Lo sih..” tawaku.
“Yaudah buruan ke sana sebelum hukuman nambah lagi.” Kataku tergelak.
“Okay..Bye Niaaa..Doain gue ya!” serunya kencang.
Pelajaran selanjutnya, Bahasa Indonesia. Salah satu pelajaran kesukaanku karena
kita dapat berdiskusi ataupun berdebat mengenai suatu topic permaslaahan yang
diperbincangkan. Sangat seru bukan?
“Baik. Selamat pagi anak-anak semuanya. Sudah siap untuk memulai pelajaran kita pagi
ini?” tanya Bu Maya dengan semangat.
“SIAP BU..”jawab kami serentak.
“Nah, hari ini kita tidak akan melanjutkan pokok bahasan kita sebelumnya yaitu puisi
karena ibu berencana menjelaskan mengenai project yang akan kalian kerjakan untuk 3
bulan kedepan. Gimana kalian penasaran kan?” tanya Bu Maya sambil menaikkan
alisnya.
“Penasaran dong bu. Apa bu projectnyaa?” seru kami menggebu-gebu.
“Jadi..Ibu sangat menginginkan kalian sebagai anak-anak generasi penerus bangsa
menjadi anak-anak yang peduli terhadap lingkungan sekitar dan ikut mengembangkannya
dengan aksi nyata di berbagai bidang. Seperti yang kalian tahu di dekat kita masih banyak
teman-teman yang kurang berkecukupan terlebih di pinggiran kota. Ibu menugaskan
kalian untuk membuat laporan survey lapangan keadaan lingkungan yang kurang
berkecukupan dan membuat saran serta tidakan yang kalian rasa data dilakukan untuk
menaikkan potensi di tempat itu baik potensi sumber daya alam ataupun manusianya.
Project ini kalian kerjakan untuk 3 bulan ke depan dan akan ibu masukkan dalam nilai
akhir kalian. Bagaimana masih ada yang kurang jelas?” jelas Bu Maya panjang kali lebar.
“Bu untuk bidang pengembangannya kita menentukan sendiri atau diundi bu?” Tanya
Anita, anak terpintar di kelasku.
“Itu bisa kalian pilih sendiri, mau sama bidang boleh, asalkan jangan sama topik dan
pembahasannya.” Jawab Bu Maya. “Oke hanya itu yang hendak saya sampaikan, kita
berjumpa di pertemuan selanjutnya membahas topik project kalian dan presentasi rencana
yang akan kalian lakukan
Bu Guru memberi project untuk kami yaitu membantu dan mencoba merasakan
kehidupan teman-teman yang kurang berkecukupan. Aku melihat teman-temanku sedang
mencari ide dan lokasi yang tepat. “Mmm.. Dimana ya?”,tanyaku dalam hati. Tiba-tiba
pikiranku melayang ke kolong jembatan yang kulewati setiap hari. Aku melihat banyak
anak-anak usia pelajar disana. Pasti mereka membutuhkan pendidikan, sayangnya
keadaan memaksa mereka seperti itu. Aku memilih untuk mengajar anak-anak sekitaran
umur 7-10 tahun disana, yang setiap harinya datang ke bangunan sekolah yang sangat
memprihatinkan. Atap yang bolong, meja kursi yang sangat rapuh, lantai yang kotor, dan
fasilitas yang tidak memadai. Hal ini membuatku tertegun sekaligus bersyukur, karena
dapat bersekolah di tempat yang baik dan sangat berbeda dengan sekolah kolong ini.
“Pagi adik-adik sekalian. Apa kabar? Kenalkan nama kakak, Natania. Bisa
dipanggil Kak Nia.” Sapaku tersenyum cerah, mengamati wajah mungil mereka satu
persatu.
“Pagi Kak! Selamat datang di sekolah kolong ini” jawab mereka serempak. Seperti
paduan suara saja, pikirku dalam hati.
“Hai kak namaku Riri” kata seorang anak perempuan di barisan depan yang kelihatan
sangat manis dengan poni lucunya.
“Aku Bejo, disebelahku Dina, disana Bobi, dan yang terakhir Bagas. Senang bertemu Kak
Nia” kata seorang anak laki-laki dengan rambut cepak tersenyum.
“Hai semuanyaa! Semangat kan hari ini? Mmmmm, kita belajar Bahasa Inggris yaa..”
Kata ku dengan super semangat melihat perjuangan mereka untuk bisa belajar.
“Nah Bejo, Bahasa Inggris saya akan belajar dan mendapat nilai bagus apa?”tanyaku.
“Bentar,Bu.. I will study and get good score, bener ga,Bu?”tanyanya balik sambil nyengir
kuda.
“One hundred pont for you, it’s correct. Good job!”Serku mengancungkan jempol.
Sesi belajar kami diisi canda tawa, lontaran pertanyaam oleh bocah-bocah pengejar
mimpi ini membuatku sangat bahagia dan bangga melihatnya.
Riri, Bejo, Dina, Bobi, dan Bagas. Anak-anak pemimpi yang berambisi mengejar
impian mereka, walau kehidupan mereka keras, mereka tetap tersenyum menghadapinya.
Pagi, sang berjaualn di teriknya matahari ibu kota. Sore mereka harus belajar dan
menuntut ilmu, Seketika itu aku merasa malu dengan diriku yang kadang mengeluh ini
dan itu, padahal segala kecukupanku terpenuhi. Setelah selesai belajar, aku bercerita
tentang keluargaku dan sukaduka yang kualami,
“Gimana dengan kalian? Coba ceritain ke kakak dong” pintaku.
“Riri lahir di keluarga yang sederhana, tapi kami selalu saling melengkapi satu
sama lain. Riri sayang sekali dengan ayah dan ibu. Hanya mereka satu-satunya harta buat
Riri” kata Riri pelan sambil meneteskan air mata. Mendengar itu Bagas berlari keluar
kelas dengan cepat.
Akupun mengejarnya. Bagas berlari amat kencang, dan aku mengikutinya. Sekitar 20
menit berlari, sampailah kami disebuah gubuk reyot yang sangat kumuh dan disebelahnya
ada 3 buah makam yang terawat. Bagas terjatuh melungkup, menangis tersedu-sedu.
“Kak Nia, ini makam kedua orangtua dan adik Bagas. Mereka meninggal sekitar
3 tahun lalu karena kebakaran yang melanda rumah kami. Sejak itu Bagas ga tau lagi mau
berbuat apa, untuk makan saja susah sekali, sampai Bagas bertemu dengan Kakak.
Semangat itu timbul kembali untuk melanjutkan harapan ayah dan ibu.” Jelasnya panjang
lebar.
Aku memeluknya erat, merasakan kesepian dan beban yang ditanggung badan kecilnya.
“Kamu salah, Bagas dan teman-teman yang mengajari arti kehidupan bagi kakak untuk
selalu bersyukur kepada Tuhan karena masih memiliki keluarga yang selalu mencintai
kakak. Jangan lupa, Kak Nia selalu ada buat Bagas cerita dan minta tolong apapun”,
kataku terharu. Saat itu, satu janji terbersit dalam hati. Untuk menjalani makna kehidupan
indah ini, seperti Bagas, si bocah pengejar mimpi.

Anda mungkin juga menyukai