Anda di halaman 1dari 4

APERAGA

Namira Belvana Siahaan - SMP N 1 Tangerang

Sedari kecil aku sangat menyukai perahu naga. Aku yang saat itu masih berumur 6 tahun
sangat terpesona dengan kegigihan awak perahu naga untuk memenangkan lomba, aku juga
ingin merasakannya.
Ooo…iya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Reina dan berumur 25 tahun. Sekarang
aku sudah menjadi atlet pendayung perahu naga.
Semua berawal saat aku berumur 6 tahun. Saat itu, ibu mengajakku untuk melihat festival
cisadane. Festival cisadene merupakan perayaan ulang tahun kota Tangerang serta peringatan
Peh Cun oleh masyarakat keturunan Tionghoa. Disanalah pertama kali aku melihat perahu
naga. Perahu naga merupakan perahu yang dihiasi kepala dan ekor naga di bagian depan dan
belakang serta memiliki genderang yang akan ditabuh saat didayung.
“Waaoooowwww….gokil!” gaduh suara penonton di sepanjang pinggir kali Cisadane. Sorak-
sorai masyarakat yang menonton terdengar saat salah satu perahu naga menang. Para awak
perahu terlihat lelah tapi tercetak senyuman bangga di wajah mereka. Aku menarik-narik
ujung baju ibuku, “Ibu, saat besar nanti aku mau menjadi pendayung perahu naga!” kataku
dengan senang kepada ibu, tapi tampaknya ibu tidak senang dengan cita-citaku itu. “Gak!!!,
jadi kayak gitu gak ada gunanya Rei, lebih baik kamu fokus belajar!” kata ibu dengan raut
tidak senang. Aku hanya menunduk sedih, tapi bukan Reina namanya kalau langsung
menyerah saat belum memulai apa-apa.
Berawal ketika aku masih menyandang sebagai siswa junior high school. Saat itulah, aku
pertama kali bertemu dengan teman seperahu nagaku. Winona…yang biasa dipanggil Nana,
dia manusia pertama di bumi yang aku kenal pada dunia perahu naga. Anak perempuan yang
duduk di bangku pojok kelas.
Pada saat itu, aku tidak sengaja melewati tempat duduknya dan melihat di kolong meja ada
sketsa perahu naga yang cantik. Saat kedua bola mataku mengarah kembali ke depan,
berdirilah Nana dengan sebungkus siomai di tangannya. Aku buru-buru menyingkir agar
Nana bisa lewat, lalu ia duduk dengan tenang di kursinya sambil makan siomai yang dibawa.
Sebenarnya aku tidak terlalu dekat dengannya, menngobrol pun sangat jarang. Semua ini
karena penasaranku yang tinggi, seketika kubulatkan tekadku untuk duduk di depannya dan
memulai obrolan, "Kamu suka perahu naga?" Tanyaku kepada Nana, "Gak juga sihhhh, aku
cuman iseng menggambarnya karena tidak punya objek gambar yang lain" jawab Nana datar.
Mulai dari situ aku sering mengajak Nana mengobrol, walaupun dia terkadang hanya
mendengarkan atau sekedar menjawab seadanya. Hatiku selalu berbisik, masa sih … Nana
hanya iseng menggambar perahu naga, karena setelah melihat buku sketsanya banyak sekali
model perahu naga yang indah.
Waktu terus meluncur seperti kereta, Ketika duduk sebagai siswa kelas delapan aku bertemu
dengan Nilendra dan Sandra, anak kembar yang bercita-cita menjadi pendayung perahu naga.
Aku juga mengenalkan mereka berdua kepada Nana, kita sering berkumpul di pinggir kali
cisadane. Sandra bercerita tentang festival Peh Cun, festival khusus untuk lomba mendayung
perahu naga, Nilendra dan sandra sering melihat kakak sepupunya berlatih untuk festival Peh
Cun karena mereka adalah keturunan Chindo.
Ketika aku sebagai siswa paling senior pada tingkat junior high school, aku bertemu Mahesa
dan Mika, mereka mempunyai kenalan yang bisa mengajari kami, si anak pinang dibelah dua
juga meminta tolong salah satu kakak sepupu mereka untuk membantu kami berlatih. Hari
Minggu pagi kami bertemu dengan bang Lingga kenalan Mahesa dan Mika serta bang Juni
kakak sepupu si kembar.
Angin pagi yang dingin berhembus, bang Lingga berkacak pinggang menatap kami yang
duduk berjejer. "Kalian udah pernah coba naik perahu?" Tanya bang Lingga. Sandra
mengangkat tangan milik Nilendra "Aku sama Nila pernah!" Katanya dengan semangat,
"Iya…tapi perahunya malah kebalik gara-gara mereka gak bisa diem" tambah bang Juni yang
sedang memancing ikan. "Ah…Kak Jun mah gak seru malah buka kartu" Kesal Nilendra
karena bang Juni memberitahu hal itu kepada kami.
"Weh udahan mancingnya, ambil perahu!" Kata bang Lingga sambil menyikut bang Juni yang
fokus dengan pancingannya. "Bentar…bentar…tanggung, ini 1 ikan lagi" balas Bang Juni.
"Ah…tuhkan ikannya lepas, elu sih" kesal Bang Juni kepada bang Lingga. "Dih gue diem,
ikannya noh gak mau sama lu" kata Bang Lingga, suara tawa kami mengudara karena
ekspresi sinis Bang Juni. "Winona gak mau ikut?" Tanya Bang Juni. Winona hanya
menggeleng dan duduk di anak tangga, terlihat sebuah buku sketsa di tangannya.
Ada 2 perahu yang sudah dipersiapkan. Aku dan si anak pinang dibelah dua bersama bang
Juni, sementara Mahesa dan Mika bersama bang Lingga. Belum apa-apa perahu bang Lingga
hampir terguling karena Mahesa meloncat untuk masuk kedalam perahu. "Mahes kalo mau
kecebur gak usah ngajak-ngajak" kata Mika yang sedang berpegangan pada perahu.
Ternyata mendayung butuh banyak tenaga, baru lima menit mendayung aku sudah
berkeringat banyak. "Baru sebentar kok udah pegel banget ya" ucap Mahesa yang tergeletak
tak berdaya di tangga. "Nanti kalo udah biasa gak bakal kerasa" kata Bang Lingga. Akhirnya
latihan hari ini selesai, kami pulang ke rumah masing-masing. Aku dan Nana berjalan pulang
bersama. Satu Minggu berlalu, kami sering berlatih sepulang sekolah, aku juga sudah pernah
mengalami tercebur ke sungai karena ulah si kembar.
Minggu pagi aku berjalan menuju pinggir sungai tempat biasa kami berkumpul sebelum
berlatih, tapi saat di tengah jalan aku melihat seorang gadis yang berjongkok, punggung gadis
itu bergetar seperti sedang menangis. Saat aku dekati ternyata gadis itu adalah Nana, ia
sedang menangis di depan tumpukan kertas yang terbakar. Aku melihat lebih jelas kertas-
kertas itu, yang ternyata adalah buku-buku sketsa milik Nana. Aku menenangkan Nana, lalu
ia bercerita tentang ayahnya yang tidak mendukungnya untuk menjadi seniman, Nana sudah
berusaha semaksimal mungkin untuk menyembunyikan buku sketsanya, tapi semalam ia
ketiduran dan lupa menaruh kembali bukunya. Ayahnya yang melihat buku-buku itu langsung
mengambil paksa dan membakar semuanya.
Melihat Nana menangis menjadi peristiwa yang langka, karena ia tidak pernah marah atau
menangis di hadapanku dan teman yang lain. Aku menuntun Nana ke tempat biasa kami
berkumpul, terlihat semuanya sudah datang, mereka memberikan tatapan tajam dan bertanya
kepadaku. Aku minta tolong kepada Mahesa untuk membelikan air mineral dan menjelaskan
kepada mereka apa yang terjadi kepada Nana. Akhirnya, kami semua menyemangati Nana
agar ia tidak bersedih lagi, dan memulai latihan seperti biasanya, Nana duduk melamun di
tangga, kali ini bukan buku sketsa yang ada di tangannya, tapi sebotol air mineral yang tersisa
setengah.
•••
Beberapa tahun berlalu, semenjak kejadian itu Nana lebih lihai untuk menyembunyikan buku
sketsanya. Sekarang aku dan yang lainnya menginjak kelas 3 Senior High school, sementara
Bang Lingga dan Bang Juni sudah menjadi mahasiswa. Ibu sekarang juga sudah tahu tentang
aku yang berlatih mendayung, karena kami beberapa kali mengikuti perlombaan saat festival
cisadane diselenggarakan. Beliau awalnya tidak peduli, selama nilaiku masih stabil,
aktivitasku tidak akan di usik olehnya. Tapi, selama di kelas 3 senior high school, otakku
agak lambat menyerap materi pelajaran, sehingga membuat nilaiku 'sedikit' menurun. Di saat
itulah, perdebatan dimulai.
Kamis sore, bang Juni meminta kami berkumpul, ada informasi penting yang ia ingin
sampaikan. "Lusa kita berangkat ke Cilacap" kata Bang Lingga. "Kita liburan?" Tanya
Nilendra, Bang Juni menoyor kepala Nilendra. "Kita mau ikut perlombaan Nil" tambah Bang
Juni. "Yeilah gak usah noyor juga kali, kan Nila gak tau" ucap Nilendra sambil mengusap-
usap kepalanya. "Jam berapa kita berangkat Bang?" Tanyaku. "Nah…muncul juga pertanyaan
yang bermutu, kita berangkat jam 9 malam, jadi nanti sampe jam 3 pagi" jawab Bang Lingga,
Nilendra menatap sinis Bang Lingga, merasa tersindir. "Yaudah, bubar-bubar, sana minta izin
ke orang tua kalian" Usir Bang Juni. "Oh iya, Nana mau ikut?" Tanya Bang Juni, Nana yang
sedang merapihkan alat lukisnya menjawab "Kalo diizinin ayah, Nana ikut." Pertemuan kami
sore itu berakhir.
Aku masuk ke dalam rumah, terlihat ibu duduk di ruang tamu, ia menyadari kehadiranku.
"Reina, apa ini?" Tanya ibu sembari mengangkat beberapa kertas. "kertas" Jawabku seadanya,
ibu membanting kertas-kertas itu ke meja, aku pun terkejut. "Nilai kamu turun, Rei!” ucap ibu
penuh dengan penekanan, “Bagaimana kamu mau masuk universitas negeri, kalau nilai kamu
aja seperti ini?" Kata ibu, ternyata itu adalah kertas-kertas ujianku. Aku mengernyit heran,
"Bu, 88 −¿90 itu masih bagus, aku juga masih masuk 3 besar kok" kataku dengan nada
sedikit tinggi. "Bagi ibu itu masih kurang Rei, ini pasti karena sampan-sampan ngak guna
itu!" Kata ibu marah. "Mulai besok, pulang sekolah ibu jemput, ngak ada lagi Latihan-latihan
sampan" tambahnya mengakhiri perdebatan kami, ibu langsung masuk ke kamar dan
membanting pintu.

Aku menceritakan hal itu kepada yang lainnya, “Bagaimana lusa nanti? Aku tidak bisa pergi
kalau ibu sudah berkata seperti itu.” Mereka menyarankanku untuk kabur lewat jendela saat
malam, masalahnya kamarku berada di lantai 2, bisa-bisa aku malah patah tulang dan tidak
bisa mengikuti lomba. "Nanti gue siapin matras di bawah jendela kamar loe" Ucap Mahesa
bersedekap dada. "Emangnya loe punya?" Heran Mika. "Ekhm, pinjem tetangga" jawab
Mahesa, Mika memutar bola matanya. Akhirnya aku menyetujui ide Mahesa. Sabtu malam,
makan malam berjalan sunyi, hanya terdengar suara sendok yang bersentuhan dengan piring.
"Langsung tidur" ucap ibu begitu makan malam selesai. Aku tidak menjawab, langsung naik
ke kamarku untuk bersiap.
Aku melihat ke bawah jendela kamar, sudah ada Mahesa dan Mika di bawah sana, mereka
benar-benar membawa tumpukan matras untuk kaburku. Aku segera mengambil tas, kaki
kananku sudah bersiap di kusen jendela, menghela nafas pelan, lalu aku meloncat ke bawah.
Matras itu benar benar membantuku mengurangi rasa sakit saat mendarat, kami buru-buru
membawa matras itu pergi dan berkumpul di dekat mini bus. "Kau berhasil" ucap Nana pelan
saat aku sudah berdiri di sampingnya, "ya.." jawabku pelan. Kami berdua saling melempar
senyum tipis. "Udah siap?" Tanya Bang Lingga, kami semua mengangguk mantap. “Lihat
ibu, akan kubuktikan kepadamu dengan membawa pulang medali emas,” suara hatiku.

Matahari pagi menyapa, kami sudah sampai di Cilacap dini hari tadi dan langsung beristirahat
di penginapan yang sudah disiapkan panitia lomba. Sabtu ini akan kami habiskan dengan
latihan, latihan, dan latihan. Lombanya mulai Minggu, jadi kami masih memiliki waktu.
Sabtu pagi ibu masuk ke kamarku karena heran aku belum turun untuk sarapan dan tidak
menjawab panggilannya. Beliau kaget, karena aku tidak ada di kamar tidur. Seketika beliau
memperhatikan piagam, medali, dan piala yang pernah aku raih di bidang akademik. Ibu
melihat sebuah tulisan yang terselip diantara deretan piala 'Prestasiku sudah sebanyak ini,
memangnya itu kurang ya bagi ibu? Ibu lalu memperhatikan meja belajarku, di atas meja ada
banyak hal-hal yang berkaitan dengan perahu naga, serta brosur event perlombaan perahu
naga tradisional di Cilacap. Ibu membelalakkan matanya, ia bergegas ke ruang tamu dan
memberitahu ayah, mereka akhirnya bersiap pergi ke Cilacap saat itu juga.
Minggu pagi sorak-sorai penonton terdengar, kami sudah bersiap di perahu yang di desain
langsung oleh Nana. Peluit di bunyikan, perahu-perahu mulai bergerak cepat, genderang di
tabuh oleh Mahesa membuat suasana menjadi lebih menegangkan, kami lolos babak pertama,
kedua, dan babak semi-final, sekarang kami tinggal menerjang babak terakhir. Hatiku
berdetak cepat, tanganku mulai bergetar, aku merasakan sebuah tangan menggenggam
tanganku, itu adalah Nana. "Kalian semua pasti bisa" ucapnya, aku hanya mengangguk,
terlalu tegang hingga tak bisa berkata-kata.
Babak final di mulai, kami mendayung perahu dengan sekuat tenaga, tabuhan genderang
menjadi cepat. Sialnya saat hampir mendekati garis finis perahu kami retak, tapi itu tidak
memutuskan semangat kami, menambah kecepatan dayung karena perahu lawan juga sudah
mendekat. Dengan tenaga yang tersisa kami berhasil mendahului perahu lawan yang di depan
dan melewati garis finis, sorak-sorai penonton kembali terdengar, kali ini lebih meriah. Kami
semua turun dari perahu, bang Lingga bersalaman dengan pemimpin perahu lawan, Nana
menghampiri kami semua, ia menyenggol lenganku, mengisyaratkanku untuk melihat ke
depan. Aku menoleh, terlihat ibu dan ayah menatapku, aku terkejut.
Aku menghampiri mereka, masih dengan ekspresi terkejut, "Selamat atas kemenanganmu"
ucap ibu, lalu ia memelukku. Aku masih tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi, air
mata lolos dari kedua bola mataku, aku menangis dipelukan ibu yang sudah lama tidak
kurasakan. Akhirnya, ibu bisa menerima cita-citaku. Aku merasa perjuangan selama ini tidak
sia-sia.

•••
Aperaga menjadi alur hidupku yang mewujudkan cita-citaku. Iya…aku sering menyebut
semua ini dengan akronim aperaga ‘Aku dan Perahu Naga’. Aku segera menutup buku
jurnalku. Bertahun-tahun telah berlalu dan sekarang aku sudah menggapai cita-cita pilihanku
sendiri. Aku menghirup udara segar kota Tangerang yang selalu kucinta.

“Sebanyak apapun penolakan yang ada saat kamu mengejar cita-cita, jika kamu memiliki
niat yang bulat dan usaha yang keras, kamu pasti bisa menggapainya”

Anda mungkin juga menyukai