Anda di halaman 1dari 5

CHAPTER 4

Beberapa bulan di awal 1941, musim dingin

Ketika aku memulai TK di St Joseph, kakak tertua duduk di kelas 5 SD. Dia mengeluh karena
harus berjalan ke sekolah bersama ku dan akhirnya nenek Nai nai meminta pada Ah Ma,
untuk menjemput serta mengantar kami ke sekolah.

Papa membeli sebuah rickshaw yaitu semacam kendaraan dengan 1 roda di depan dan 2 roda
di belakang, memiliki tempat penumpang dibelakangnya dengan atap dan digerakkan
menggunakan tenaga manusia. Rickshaw dibeli oleh papa untuk Nai nai agar Nai nai bisa
berpergian mengunjungi teman atau bermain Mah-jong. Setiap pagi, Ah mao membersihkan
kursi, sisi-sisi rickshaw, dan mengelap seluruh permukaan kendaraan itu. Abang-abangku
sering memohon kepada Ah mao supaya mereka dapat mengendarainya di taman namun Ah
mao tidak pernah mengizinkan dan sangat menjaga rickshaw itu.

Aku selalu bahagia ketika rickshaw kami menembus secepat kilat menuju St.Joseph. aku
mencintai apapun yang ada di sekolah ku. Semua perempuan menggunakan baju seragam
putih seperti milikku; biarawati Prancis mengenakan pakaian hitam putih dengan salib besar
sebagai kalung mereka; belajar angka, alpabet, bermain dan belajar. Teman sekelasku
membuat ku diinginkan. Tidak seperti saudaraku, tidak pernah ada yang menatap rendah
padaku.

Lonceng pulang sekolah telah berbunyi. Aku keluar terburu-terburu dan Ah mao, sambil
merokok sambil tangannya yang satu lagi memegang rickshaw di trotoar gerbang sekolah.
Dia tersenyum dan melambaikan tangannya.

“aku mengira berapa lama kita menunggu untuk menantikan hari ini” dia bergumam dan
membuang sisa rokoknya.

Aku tidak berkata apapun tapi aku tahu apa yang dia maksud. Sangat menyebalkan. Kakak
tertua selalu datang terakhir ketika sekolah telah usai. Dia sangat menikmati bahwa teman-
teman sekolahnya menyadari rickshaw miliknya dan adiknya menunggu dirinya setiap sore
ketika dia tengah menikmati waktu santai bersama teman-temannya.

Hari ini kami menunggu sedikit lebih lama dari biasanya. Di luar sangat dingin dengan angin
yang berhembus kencang.

Akhirnya, aku melihat kakak tertua muncul dari tempat permainan, tertawa dan bercanda
dengan beberapa teman kelasnya sampai biarawai mengusir mereka dan mengunci tempat
permainan itu. Dengan marah, kakak tertua melompai pagar dan dibantu oleh Ah mao.

“apa yang diajarkan biarawati hari ini?”

“mereka mengajarkanku tentang tuhan” kata ku bangga.

“aku akan memberikan tes padamu. Siapa yang menciptakan mu?


Aku sangat bahagia dengan pertanyaan itu karena aku tahu jawabannya. “ tuhan menciptakan
aku”

“kenapa tuhan menciptakan dirimu?”

“aku tidak tahu, karena guru tidak mengatakan itu”

“ dan itu berarti sebuah kesalahan!” kakak tertua berteriak. “Ku tidak tahu karena kau bodoh!
Dan kau tidak berhak untuk memakai ini!” tiba-tiba dia mengambil medali, lalu aku pun
mendorongnya untuk mengambil medali itu kembali. “ambil itu! Pemenang! Peliharaan guru!
Memangnya siapa kau? Pamer dari minggu ke minggu! Kakak tertua menangis lalu
menampurku dengan tangan kanan nya yang kuat.

Ah mo, berhenti saat lampu merah, memutar kepalanya melihat apa yang terjadi ketika dia
mendengar suara tamparan. Kakak tertua merapikan baju nya dan menyuruhnya untuk
mempercepat perjalanan karena dia lapar. Setelah sampai dirumah, kakak tertua loncat
kebawah dan lari. Ah mao membantu ku, tersenyum dan menunjuk kearah medali dan
memberikan jempol.

Aku selalu memenangkan medali setiap minggu dan mengenakan secara rutin. Aku tahu
kecemburuan yang dirasakan saudaraku, terutama kakak tertua dan abang nomor 2, tapi ini
adalah satu-satunya cara untuk membuat papa menyadari dan bangga padaku. Di samping itu,
teman sekelas dan guruku sangat senang melihatku. Aku mencintai sekolah ku.

Akhirnya, akhir semester tiba. Seluruh sekolah menuju ke auditorium untuk pemberian
penghargaan. Kepala sekolah yang merupakan orang Prancis menunggu di panggung untuk
memberikan hadiah sebagai penghargaan. Ibu Agnes tiba-tiba memanggil namaku didepan
banyak orang. Dia mengumumkan aku mendapatkan hadiah spesial karena mengenakan
medali lebih dari 1 minggu daripada siswa yang lain. Hati ku berdebar dengan keras ketika
aku maju ke panggung, apa yang harus kulakukan? Akhirnya, aku tidak punya pilihan untuk
menaiki panggung dengan memanjat menggunakan tangan dan kakiku. Seluruh siswa tertawa
dan menepukkan tangannya. Kenapa mereka harus bertepuk tangan?

Ketika aku dalam perjalanan kembali ke kursi, aku menyadari bahwa diantara semua
penerima penghargaan, hanya aku sendiri yang tidak ditemani oleh keluarga ku. Tidak ada
orang yang menepuk-nepuk kepalaku dan mengucapkan selamat kepadaku, termasuk bibi
Baba. Dan untuk kakak tertua, dia menolak untuk datang ke sekolah, dia bilang dia sakit
perut.

Bibi Baba bilang bahwa Jepang merupakan negara yang kuat jika dibandingkan dengan Cina.
Abang nomor 3 selalu mengeluhkan kelas jepang yang diadakan di sekolah. Kita anak-anak
harus menunjukkan penghormatan dan menunduk ketika kami berpaspasan dengan tentara
jepang di jalan. Jika tidak bisa di pukul atau dibunuh oleh mereka. Semua orang membenci
orang Jepang, tapi kita tumbuh dengan rasa takut yang besar terhadap mereka. Sekarang,
Jepang berusaha untuk menjadi rekan bisnis papa.
Papa sangat ketakutan dan khawatir sampai rambutnya rontok. Banyak pria Jepang datang
kerumah walaupun hari Minggu. Mereka datang dengan membawa orang penjaga yang
mengenakan topeng dengan perawakan yang mengerikan. Setelah kedatangan mereka, papa
dan Ye ye berdiskusi berjam jam di kantor mereka.

Suatu pagi yang cerah, papa meninggalkan rumah untuk membeli stempel di kantor pos.
Namun dia tidak pernah pulang.

Ye ye melaporkan kepada polisi bahwa papa telah hilang. Ye ye membuat poster dan
meletakkan di setiap sudu dan di koran dan menawarkan imbalan yang tahu dimana
keberadaan papa, hidupa atau mati. Orang Jepang datang beberapa kali untuk mencari papa
tapi lama kelamaan mereka kehilangan minat. Tidak ada lagi uang yang dihasilkan dan
jepang menarik kembali penawaran mereka.

Beberapa bulan kemudian, ibu tiri Niang membawa adik laki-laki termuda dan meninggalkan
rumah. Tidak ada yang tahu mereka pergi kemana. Sangat menakutkan dan misterius.

Ye ye mengatakan kepada kami bahwa papa, Niang dan adik pergi sebentar. Kami tidak
terlalu berasa kehilangan karena papa sering berpergian. Ye ye, Nai nai dan bibi baba yang
masih dirumah. Orang Jepang itu berhenti mengganggu kami.

Ye ye memperkerjakan 7 orang pelayan, koki dan Ah mao sebagai penarik rickshaw. Kami
anak-anak dapat mengundang teman sekolah untuk bermain di rumah. Di hari Minggu, ye ye
mengajak kami untuk pergi makan di restoran berbeda-Prancis, Rusia, Jerman, Italia dan
Jepang. Terkadang, kami melihat film untuk anak-anak. Hidup menjadi lebih indah sekarang.

Papa, Niang dan adik pergi hampir setahun dan aku hampir melupakan mereka. Kami sedang
berdebat untuk menentukan makan malam. Bibi Baba bersikeras ingin memasak kue bola
daripada nasi. Kue bola dengan isian daging babi, bawang bombay sangat nikmat! Abang
tertua berteriak bahwa dia bisa menghabiskan 50 kue bola. Abang nomor dua bisa
menghabiskan 60 biji dan abang nomor 3 bisa menghabiskan 70 biji.

Nai nai berkata, “ gaduh sekali! Aku sedang pusing. Aku sangat telat dan aku akan pergi
mencuci kaki ku yang sakit.” Dia menatap ku dan berkata,” Wu mei! Lari ke dapur dan
katakan kepada mereka untuk membawakan ku sebaskom air hangat.”

Aku melihat pelayan menuangkan air hangat dari termos ke dalam sebuah mangkuk dan aku
mengikutinya ke dalam kamar Nai nai. Nai nai sedang duduk di tepi tempat tidur. “kau akan
tetap disini?” dia bertanya padaku. “kaki Nai nai akan segera dicuci setelah aku melepaskan
ikatannya.”

“izinkan aku tetap disini!” aku memohon dan aku berjalan menuju pinggir tempat tidur.
Sebenarnya aku sangat takjub dengan kaki kecil milik Nai nai. Itu seperti melihat film
hantu:kau ingin melihat dan tidak melihat dalam waktu yang sama.

Aku menatap jari-jari Nai nai, semua tulangnya berputar dan mengarah ke telapak kakinya.
Pelan, Nai nai meletakkan kakinya di dalam mangkuk berisi air hangat, dia merasakan
kelegaan dan ketenangan. Dia menggosoknya pelan dengan sabun mandi sampai mangkuk itu
berbusa. Bibi Baba datang dan membantu Nai nai untuk merawat kuknya yang tebal dan
membuang kulit mati. “lihat betapa beruntungnya dirimu?” Nai nai berbicara kepadaku.”lahir
dimasa yang benar, kau dan bibi mu tidak perlu menderita seperti aku yang menderita. Aku
berharap satu hari saja dimana kaki ku tidak sakit!”

“ketika Nai nai seusia dirimu, dia sudah tidak dapat berlari dan melompat lagi! Bibi Baba
berujar.”dan kau bahkan bisa sekolah seperti abang-abangmu. Sekarang, sebaiknya kau tidur
karena sudah lewat jam mu untuk tidur.”

Setelah aku pergi, bibi Baba berbicara kepada Nai nai lebih lama dari biasanya. Setelah itu
bibi Baba pergi untuk mandi.

15 menit kemudian, Ye ye mengetuk kamar mandi bibi Baba. Nai nai ditemukan pingsan dan
mengeluarkan busa dari mulutnya. Bibi Baba menelepon dokter namun hal itu sudah
terlambat. Nai nai telah meningga dalam keadaan stroke.

Aku bangun dan melihat bibi Baba duduk di depan cermin sambil menangis. Aku merangkak
ke pangkuannya dan memeluk bibi untuk menenangkannya. Bibi Baba mengatakan bahwa
hidup Nai nai seperti menguap seperti mimpi musim semi atau cepat sekali. Aku dapat
mendengar kicauan jangkrik di panasnya matahari dan kereta yang melewati jalanan
dibawah. Bagaimana semuanya terasa sama ketika Nai nai sudah tidak ada lagi bersama
kami?

Tubuh Nai nai ditempatkan di tempat yang tertutup dalam peti mayat. Biksu mengenakan
jubah panjang menyanyikan semacam mantra. Ye ye memerintah kami untuk menghabiskan
malam dan tidur di lantai yang dengan Nai nai untuk menjaga Nai nai. Abang nomor tiga
membisikkan bahwa Nai nai akan loncat dan menendang peti mayat lalu berkeliaran di
tengah malam. Aku takut dan tidak dapat tidur. Satu malam itu, ketika mendengarkan biksu
menyanyikan mantra dan melihat kepala mereka yang bersinar dan licin terkena sinar lampu
lilin, aku setengah rindu dan setengah takut jika Nai nai akan merangkak dan menuju ke
tempat kami.

Keesokan harinya, diadakan sebuah acara pemakaman yang megah. Peti mayat Nai nai
diletakkan di liang lahat dibantu oleh 4 pemuda. Kami semua mengenakan jubah berwarna
putih dengan ikat kepala untuk laki-laki dan pita putih untuk perempuan. Abang tertua
bertindak sebagai komando menggantikan papa. Kami mengundang pemusik profesional
untuk mengiringi kematian Nai nai. Nyanyian berhenti ketika abang tertua tersungkur di
tanah dan meraung karena kehilangan Nai nai.

Di kelenteng, biksu menyanyikan himne untuk upacara kematian. Kami membakar dupa dan
jimat yang dibutuhkan oleh Nai nai di dunia lain. Kami membawa tempat main kartu, meja,
kursi dan kipas bahkan set mah jong untuk dibakar. Aku melihat asap yang berasal dari kendi
keramat dan percaya bahwa itu akan menyatu dan alat itu berguna di kehidupan selanjutnya
Nai nai.

Anda mungkin juga menyukai