Anda di halaman 1dari 13

Terima kasih Ma

Mama adalah wujud cinta kasih Tuhan yang tampak dalam kehidupan kami. Memberi
hidup dan kehidupan. Mama menjadi rumah tempat kami pulang dan sebagai
pelindung bagi kami di segala musim kehidupan.
***

Namaku Elli. Aku anak ke tiga dari 5 bersaudara. Satu tahun terakhir adalah masa-
masa perjuangan yang berat bagi kami. Kehidupan kami seketika berbanding terbalik
dari beberapa tahun silam. Aku memiliki 2 orang kakak dan 2 orang adik. Ayahku
telah lama meninggal, waktu itu ketika adik bungsu berumur 10 tahun. Beruntungnya
kami masih merasakan kasih sayang seorang Ayah.

Selepas kepergian Bapak, kami dibesarkan oleh seorang perempuan tangguh yang
Tuhan kirim dengan paras yang cantik dan baik hati, dia yang kami panggil Mama.
Bagiku dia adalah wujud nyata cinta Tuhan yang diberikan kepada kami. Memberikan
kami hidup dan kehidupan. Dia yang menjadi rumah tempat kami pulang dan
pelindung bagi kami di segala musim kehidupan

Keseharian Mama adalah berkebun. Tak ada hari yang dilewatkan begitu saja tanpa
kerja kerja kerja. Mama tak pernah mengeluh apapun dengan begitu besar biaya
pendidikan kami. Mama selalu menyemangati kami agar bisa sekolah baik-baik.
Mama juga selalu mengingatkan untuk memanfaatkan kesempatan sekolah dengan
belajar. Dia selalu bilang “apapun saya akan usahakan yang penting kalian juga
sekolah dengan sungguh-sungguh”.

Waktu itu, ketika Kakakku berusia 18 tahun, ia amat merasakan betapa di dalam
hidupnya membutuhkan sosok Ibu. Kakak senantiasa membaktikan dirinya untuk
membantu Ibu berjualan kue keliling kampung, kue terenak buatan bidadari kami. Ya,
hitung-hitung menambah penghasilan dengan berjualan kue keliling kampung. Dan
setiap hari libur, saya bersama adik-adik selalu ikut menemani Ibu untuk berjualan.
Aku yang waktu itu masih dianggap kecil belum diperbolehkan untuk ikut berjualan,
alhasil aku ditugaskan untuk di rumah menunggu kepulangan mereka sambil sesekali
menyiapkan makanan untuk mereka.
Aku merasa senang bisa ikut membantu Mama. Melakukan hal yang bisa
meringankan pekerjaan Mama adalah kebahagiaan terbesar kami. Adik yang bungsu
selalu ditugaskan untuk membantu membereskan dapur sehabis mereka memasak kue.
Begitulah, cinta kasih di keluarga kami terjalin begitu lekat karena memang kami
hidup bersama dan saling membantu dengan uluran kasih dan kehangatan. Sungguh,
ini adalah kehidupan yang aku harap akan berlansung selamanya.

Sayangnya semesta tidak lagi bekerja sama dengan segala niat isi hatiku. Kehidupan
seketika memberontak. Dia berpaling dari doa-doa yang senantiasa aku panjatkan.
Maha Pencipta mengambil kembali pemberian indah tersebut dari kami. Begitu cepat,
hingga rasanya bagai mimpi. Aku rapuh dan seolah jatuh terpelanting ke bagian
paling gelap dari kehidupan. Bahkan Kakakku sampai tidak mampu membendung
penderitaan ini. Jiwa raganya terguncang hingga kesadaran menjauhinya. Beruntung
aku mampu bertahan, segera bangkit demi melanjutkan sisa-sisa mimpi.

“Kak, mama belum pulang?” Tanya adikku

Mama masih dijalan mungkin dek, kita tunggu saja sambil siapkan air hangat untuk
Mama mandi. Ujarku.

Gelap sudah menyelimuti, aku bersama adikku duduk termenung di depan rumah
sambil menunggu kepulangan mama dari kebun.

“Kamu tunggu di rumah ya. Kakak mau mencari Ibu sebentar.”


“Kakak mau cari kemana? Ini sudah hampir malam Kak,” tanyaku.
“Kamu tunggu saja di rumah, Kakak akan keliling menyusuri jalan sambil
menanyakan kepada orang-orang sekitar,” ujar Kakakku.

Lansung saja Kakakku pergi keluar untuk mencari Ibu. Berbekal senter dan juga jaket
yang dibawanya.
***

Sudah hampir jam 9 malam dan Kakakku belum juga pulang, begitupun dengan
Mama. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa diam dan menunggu di rumah
saja. Untuk mengusir rasa bosan, akupun pergi ke kamar Mama. Mengambil baju-
bajunya yang sudah robek dibagian jahitannya. Sudah beberapa hari terakhir aku
melihat Mama pergi berjualan dengan kondisi pakaian yang bolong-bolong, entah itu
dibagian pundaknya, ketiaknya maupun dibagian lengannya. Mama sebenarnya tahu
bahwa ada jahitan yang lepas dibajunya, namun ia memilih untuk tetap memakainya.

“Nggak apa-apa sayang, cuman bolong-bolong kecil. Lagian bajunya juga masih
bagus dan layak pakai,” ujar Ibuku ketika aku bertanya mengapa ia tidak membeli
baju baru.

Begitulah Ibuku, sesederhana itu ia dalam menilai sebuah penampilan. Setelah


mendapatkan beberapa potong baju yang menurutku bisa diperbaiki, akupun mencari
jarum dan benang yang Ibu simpan di laci kamarnya. Tidak butuh waktu lama untuk
mencari barang kecil itu, setelah beberapa saat aku merogoh laci tersebut, akhirnya ku
temukan yang ku cari. Aku cukup terlatih untuk bisa menjahit baju, Ibu yang
mengajariku. Ya, walaupun hanya menjahit secara manual, tapi setidaknya aku bisa
dengan kreatif menambalnya dan tidak harus selalu membeli baju ketika ada bagian
robek.

“Syila…Syila…buka pintunya Dek,” teriak Kakakku sambil menggedor pintu. Sontak


aku terkejut dan lansung terbangun, membukakan pintu. Entah kapan aku tertidur,
sebab baju-baju Ibuku masih berada digenggamanku sewaktu aku terbangun ketika
mendengar suara teriakan Kakak. “Kakak kok pulangnya….”
Belum saja aku menyelesaikan kalimat pertanyaanku, Kakak sudah menghambur
memelukku sambil menangis terisak-isak.

“Ayo! Kita pergi ke rumah sakit,” ujar Kakakku. “Ada apa, Kak?

Dan kenapa Kakak menangis?” tanyaku dengan masih sedikit menahan kantuk.
“Ibuu…Ibuu…Dia masuk rumah sakit” ujarnya sambil menangis.
Tampak beberapa orang masih menunggu di lorong kamar jenazah rumah sakit,
tempat Ibuku dirawat.

“Mereka ini adalah anak kandung dari korban,” ujar seorang bapak yang tinggalnya
tidak jauh dari rumah kami.

Bapak itu dengan rela mau mengantarkan kami ke rumah sakit setelah kami tergopoh-
gopoh meminta bantuan kepadanya. Kakakku dengan masih terisak-isak menceritakan
kejadian yang terjadi kepada Bapak tersebut sembari di atas motor ketika hendak
menuju ke rumah sakit. Aku hanya bisa menangis sambil sesekali sesenggukan ketika
mendengar cerita Kakakku.

“Ibunya tidak tertolong, Pak,” ujar salah seorang Ibu.


“Buk…..”
Kakakku seketika pingsan mendengar perkataan Ibu itu.

Kejadian tiga tahun yang lalu telah merubah kondisi Kakakku dengan begitu drastis.
Setelah Ibu meninggal, dia menjadi pribadi yang murung dan lebih banyak diam. Dia
masih menjadi Kakak yang hangat, namun ketegarannya itu hanya berlansung
beberapa tahun saja. Jauh di dalam dirinya ternyata menyimpan pedih dan penderitaan
yang bahkan dia sendiri tidak mampu mengatasinya.

Sampai akhirnya menginjak tahun keempat sepeninggal Ibu, kelakuan serta sikapnya
mulai aneh. Bahkan bisa dibilang tidak waras. Dia mulai berhalusinasi dengan masuk
dapur dan berpura-pura seakan-akan dia sedang memasak kue bersama Ibu.
Mengobrol dan berbicara layaknya sedang berhadapan dengan Ibu.

Tidak banyak yang bisa aku lakukan untuknya dimasa-masa itu, aku hanya bisa
menemaninya setiap saat dan mengurusi segala kebutuhannya sambil sesekali berujar,
“Ibu pasti pulang, Kak.”
Hanya kata-kata itu yang bisa aku lontarkan ketika dia acapkali bertanya “Dek, Kok
Ibu belum juga pulang, ya?”

Aku tahu dirinya sedang depresi, mungkin dia menanyakan hal itu sebab dirinya
masih tidak bisa menerima kenyataan yang menimpa kami. Hingga bertahun-tahun
lamanya. Sampai pada suatu kejadian dia memanggilku yang saat itu aku sedang
merapikan kamar, “Adek, kesini yuk?”

Aku lansung bergegas menghampirinya. Namun betapa terkejutnya aku ketika


mendapati dia hendak menikam dirinya dengan pisau dapur. Tangannya tengah
bersiap-siap menusuk perutnya. Sontak aku lansung mencegahnya dengan
mencengkram kuat-kuat lengannya dan merebut paksa pisau itu dari tangannya. Dia
memberontak dan berusaha melepaskan cengkramanku, namun aku lansung
memasang diri sekuat tenaga untuk melawannya. Akhirnya pisau itu aku lempar
keluar jendela dapur yang tengah terbuka.

“Kakak mau ketemu Ibu, hahaha..” ucapnya.


“Apa yang Kakak pikirkan sampai bisa ngelakuin hal gila ini!” bentakku.
“Hahaha! Ibu di sana, ya?”
Karena sikapnya sudah semakin parah, akhirnya aku memutuskan untuk
membawanya ke rumah sakit jiwa. Aku sebenarnya amat tidak tega melihat dia
tinggal di rumah sakit jiwa, tetapi melihat kondisinya yang seperti itu membuatku
tidak memiliki pilihan lain. Aku tidak akan sanggup untuk menanganinya jika dia
tetap seperti itu. Sedih? Amat. Melihat kondisi ketika Kakakku harus dibawa ke
rumah sakit jiwa.
Ketakutan mendatangiku. Sebab, mungkin kali ini aku berhasil mencegahnya, namun
aku tidak tahu entah kapan dia akan melakukan hal itu kembali, dan aku juga tidak
tahu apa aku bisa mencegahnya lagi.
***

Siang itu, tiba-tiba mobil Avanza putih dengan kecepatan tinggi menghantam tubuh
Ibuku yang ketika itu hendak menyeberang jalan. Mobil itu tampak hilang kendali,
terlihat dari arah lajunya yang tidak karuan. Ibuku terpental sejauh beberapa meter,
kue dagangannya habis bertebaran dimana-mana. Bakul yang menjadi wadah kue itu
menggelinding dan akhirnya jatuh ke selokan. Nampak kue-kue tersebut kotor karena
bercampur dengan tanah yang berserakan di jalanan. Belum lagi cairan merah keluar
dari tubuh Ibuku yang kini sudah tidak sadarkan diri. Tergeletak di tengah jalan.
Bidadariku, kini darah segar mengalir keluar dari tubuhnya.
Orang-orang yang melihat kejadian tersebut lansung berlarian menuju Ibuku saat itu.
Teriakan meminta tolong terdengar dari orang-orang yang menyaksikan kejadian itu.
Hingga seorang bapak yang baru saja pulang membajak sawah lansung dengan sekuat
tenaga berlari menuju kerumunan sambil mengeluarkan kalimat cacian dan sumpah
serapah kepada pengendara Avanza maut itu.

“Heh! Keluar kamu sialan! Ayo tanggung jawab! Dasar keparat!” ujar Bapak itu
dengan begitu geram.
Disusul juga teriakan oleh para warga yang lain. Mendesak pengendara itu supaya
keluar. Mereka berulang kali memukul badan mobil tersebut, menggedor kacanya
bahkan ada yang nekat menghantam mobil tersebut dengan batu. Namun butuh waktu
yang cukup lama agar pengendara itu mau keluar. Andai saja petugas kepolisian tidak
datang waktu itu, mungkin si pengendara itu sudah mati ditempat akibat amukan
massa. Entah siapa yang menelpon petugas kepolisian tersebut, yang jelas orang
tersebut berada di lokasi kejadian.

Sesampainya petugas kepolisian dilokasi kejadian, mereka lansung menelpon


ambulance. Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya mobil ambulance tiba. Lansung
saja tanpa basa-basi Ibuku dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sementara itu,
pengendara mobil tersebut lansung dibawa dan di amankan oleh polisi.

Sungguh pedih ketika aku mengetahui semua rentetan kejadian yang memilukan itu.
Peristiwa yang menjadi titik balik perubahan hidup Kakakku, dan juga aku. Tak henti-
hentinya mataku basah, air mata mengalir tanpa jeda dari netra yang kupunya. Setelah
mendengar cerita kesaksian dari seorang Bapak yang dulu menolong Ibuku ketika dia
baru saja pulang bertani dari sawahnya. Terasa begitu nyata hingga rasanya aku
benar-benar berada dan melihat secara lansung peristiwa itu.

Sudah sekian lama aku berniat mencari tahu kronologis kejadian yang menimpa Ibu
kami. Secara diam-diam sudah beberapa bulan terakhir aku mencari keterangan dari
warga sekitar tempat peristiwa tabrakan tiga tahun lalu. Aku merasa diusiaku yang
sekarang sudah cukup untuk bisa mendengar bagaimana detailnya. Setelah bertanya
sana-sini dan mencari informasi, akhirnya aku mendapatkan apa yang aku cari.
Beruntung Bapak yang dulu menolong Ibuku masih hidup dan dengan senang hati
menceritakan segala yang dilihatnya tiga tahun silam.

“Pengendara itu sebenarnya yang membiayai semua proses perawatan hingga


pemakaman Ibumu, Nak,” ujar bapak tersebut. “Dan pengemudi itu mengaku dia
memang yang bersalah dan sudah mendapat hukumannya. Bapak hanya berharap
kamu dan saudarimu bisa mengikhlaskan semuanya,” lanjutnya.
“Sudah Pak, saya sudah ikhlas.”
“Lalu, saudarimu?” tanyanya.
“Sangat sulit baginya Pak, makanya sekarang dia berada di rumah sakit jiwa karena
kejadian itu,” jawabku.
“Astaga!” sahut Bapak itu kaget, “Hmm..semoga saudarimu lekas membaik, Nak.
Bapak tidak bisa berbuat lebih untuk kalian,” lanjutnya.

Ketika mendengar penuturan Bapak tersebut bahwa ternyata yang membiayai


perawatan Ibuku adalah si pelaku, aku sempat terkejut. Tapi rasa terkejut itu tidak
membuatku merasa harus berterima kasih kepadanya. Memang sudah seharusnya
begitu, bukan?
***

Esoknya aku kembali mengunjungi Kakakku. Seperti biasa, aku berkunjung dengan
membawakannya kue labu. Berharap semoga hari ini ada hal baik yang terjadi pada
kondisi Kakakku.

“Suster, bagaimana perkembangan kondisi Kakak saya?”


“Masih belum ada, Mbak,” jawabnya, “Setelah Mbak pulang kemarin…..” ucapan
perawat itu terhenti.
“Ada apa sus? Kakak saya kenapa?” tanyaku mulai cemas.

“Dia melompat ke tanah lalu bertingkah semakin gila, Mbak. Dia menggaruk-garuk
tanah menggunakan ranting yang dipegangnya sambil teriak memanggil “Ibu.. Ibu..”
dan nampak juga dia menangis Mbak. Saya sampai dibantu perawat lain saking
kewalahannya,” tutur perawat itu.
Penglihatanku mulai menggenang. Perlahan butiran hangat menetes membasahi
pipiku. Ternyata Kak Syifa masih amat terpukul dengan kejadian itu. Aku sempat
berpikir bahwa mungkin yang menjadi penyesalan terberatnya adalah, ketika dia
mematuhi perintah Ibuku untuk tidak ikut berjualan di hari itu. Mungkin itulah hal
pertama yang dia ingat sewaktu mengetahui bahwa Ibu tertabrak mobil.

Andai saja ia tahu bahwa itu akan menjadi hari terakhir kami bersama, tentu ia akan
bersikeras untuk ikut. Andai saja ia tahu bahwa mungkin Ibu sudah memiliki firasat
tentang nasibnya di hari itu, mungkin ia akan berani untuk membantah permintaan Ibu
supaya ia tetap di rumah bersamaku. Hal-hal seperti itulah yang menjadi beban
pikiranku ketika melihat kondisinya.

“Sekarang dia dimana, Sus?” tanyaku.


“Masih di kamarnya, Mbak. Semalaman dia terus mengerang. Untunglah pagi tadi dia
setidaknya bisa tidur dengan nyenyak,” jawab Suster itu.
“Baiklah, biarkan saja dia tidur. Besok saya akan kembali lagi,”
“Baik, Mbak.”
***

Sesampainya di rumah, aku lansung membaringkan diri di ranjang kamar. Entah


kenapa sore itu aku merasa begitu letih, padahal aktivitas fisik tidak banyak yang
sudah aku lakukan. Aku merasa amat mengantuk. Seakan-akan rasanya tidak pernah
ada kantuk yang begitu memaksaku untuk terlelap. Ditambah dengan suasana rumah
yang sepi menambah sugesti untuk segera bermimpi. Memang selama ini aku jadi
hidup sendiri, semenjak Kakak tinggal di rumah sakit jiwa.

“Sayang, bawa Kakakmu pulang, bawa dia bersamamu. Dia amat menderita di sana.
Ingatkan dia akan kenangan-kenangan kita,”

“Ibu? Ibu? Aku mendengar suara Ibu. Ibu dimana? Kenapa gelap sekali?”
“Bawa Kakakmu pulang, sayang. Sembuhkan dia.”
“Ibu? Ibu dimana? Ibuu..”
“Ibuuu…” teriakku.
Mimpi yang membuatku seketika terbangun dan berteriak. Mimpi yang aku harapkan
menjadi kenyataan. Ah! Bukankah orang mati tidak bisa hidup lagi. Begitu konyol
pikiranku waktu itu. Tapi disisi lain, aku mengingat satu hal. Ibu menyuruhku untuk
membawa pulang Kakakku. Aku berpikir apa maksud perkataan Ibu dalam mimpiku
itu. Mimpi yang bahkan tidak akan bisa aku lupakan seumur hidupku.

Aku terbangun dalam kondisi tanganku gemetar. Nafasku terengah-engah memikirkan


maksud mimpiku itu. Mencoba berpikir jernih, mencoba meyakinkan diriku bahwa itu
hanyalah mimpi. Tapi seketika aku bimbang, mencari kepastian justru kebimbangan
melandaku dengan hebat. Aku memikirkan mimpi semalaman.
***

“Pagi suster,” sapaku ketika melihat perawat itu sedang bersama Kakakku di taman
rumah sakit jiwa itu.

“Iya selamat pagi, Mbak,” balasnya.


“Bagaimana kondisinya hari ini?”
“Seperti yang Mbak lihat, syukurlah dia sudah lebih baik.”

Perasaan yang amat lega menghampiriku ketika melihat kondisi Kakak sudah
membaik sejak penuturan perawat itu kemarin. Tujuanku mengunjungi Kakak hari ini
bukan hanya ingin membawakannya kue labu saja. Aku sudah membulatkan tekad
akan meminta izin kepada pihak rumah sakit untuk membawanya pulang ke rumah.
Ya, aneh dan konyol memang. Aku, mempercayai mimpi semalam.

“Apakah benar sesulit itu mendapatkan izin, Sus?” tanyaku.


“Iya Mbak, karena ketika pasien berada di luar, itu akan menambah tanggung jawab
kami sebagai perawat.”
“Hanya sebentar saja, Sus. Saya mohon dengan amat sangat,” pintaku, “Saya janji ini
tidak akan lama. Saya hanya berniat memperlihatkannya kenangan-kenangan kami
saja.” Lanjutku.
“Baiklah, akan saya usahakan, Mbak.”
***
Pagi itu akhirnya mobil pasien rumah sakit jiwa berangkat menuju rumah kami.
Dengan didampingi tiga orang perawat beserta supir. Dua perawat laki-laki dan
seorang perawat perempuan yang biasa merawat Kakakku. Mereka dengan pakaian
seragam biru muda menemani perjalanan kami. Bersyukur bahwa Kakakku tidak
mengerang atau tidak mengamuk ketika akan dibawa, dia seperti manut saja ketika di
gandeng menuju mobil. Tidak bertanya, tidak berkata apa-apa. Hanya menampilkan
ekspresi kosong dengan ranting selalu berada dalam genggamannya.

Bahkan ketika sampai di depan rumah pun dia tidak masih saja patuh. Melangkah
dengan tenang sambil terus di gandeng oleh perawat-perawat itu. Awalnya aku
berpikir niatku ini akan berhasil, sampai akhirnya semuanya gagal.

“Tidaaak…Pergi…Tidaaak…Hahaha….” teriak Kakakku ketika kita baru saja sampai


di pintu. Dia mengamuk. Mengerang dan berusaha melawan para perawat itu.

Perawat-perawat dengan sigap mengambil tindakan. Mengikat tangan dan kaki


Kakakku dengan tali yang mereka sudah siapkan. Dengan segera mereka membawa
kembali Kakakku.

Aku yang menyaksikan kejadian itu amat menyesalinya. Betapa bodohnya aku
sehingga mempercayai mimpi semu. Betapa putus asanya aku sehingga menuruti
perkataan Ibuku yang hanya hadir lewat mimpi.
***

“Sayang, bawa Kakakmu pulang…bawa dia bersamamu. Dia amat menderita di sana.
Ingatkan dia akan kenangan-kenangan kita,”
“Ibu? Ibu? Aku mendengar suara Ibu. Ibu dimana? Kenapa gelap sekali?”
“Bawa Syifa pulang, sayang. Sembuhkan Kakakmu.”
“Ibu? Ibu dimana? Aku tidak bisa melakukannya. Ibuu…!”
“Bawa Syifa pulang, sayang. Sembuhkan Kakakmu.”
“Ibuu..!” teriakku seketika terbangun.

Lagi-lagi mimpi yang sama kembali muncul malam itu. Aku terbangun dengan
keringat bercucuran didahiku. Aku gemetar dan nafasku terengah-engah, sama seperti
kemarin. Apa maksud semua ini?. Kenapa mimpi yang tidak bisa aku wujudkan terus
mendatangiku?. Aku berpikir keras malam itu. Mencoba menjernihkan pikiran. Aku
bangun dari tempat tidur, lalu mondar-mandir sambil memikirkan apa maksud dibalik
semua mimpi itu. Mungkin ada sesuatu yang berusaha Ibu sampaikan kepadaku
melalui mimpi.
***

Keesokan harinya aku kembali mengunjungi Kakak. Seperti biasa, aku bertemu
dengan perawat perempuan yang biasa merawat Syifa.
“Apa kemarin Kakak saya baik-baik aja, sus?” tanyaku.

“Iya, Mbak. Syukur kejadian kemarin tidak berlansung lama. Dia kembali tenang
ketika kami dalam perjalanan,” jawabnya, “Hal itu terjadi mungkin karena dia merasa
tidak nyaman berada di lingkungan asing. Lingkungan yang tidak biasa dia lihat,”
sambungnya.

“Tapi rumah itu ‘kan tempat tinggal kami dulu, sus,” tukasku.
“Memang, Mbak. Tetapi bisa jadi ketika dia dibawa kembali ke hal-hal di masa lalu
yang membuatnya sedih, maka kemungkinan besar kejadian kemarin bisa saja
terjadi.”

“Tapi, Mbak. Saya mohon untuk sekali lagi mengizinkan dia supaya dibawa ke rumah
kami,” ujarku, “Kali ini, adalah kali terakhir saya meminta hal ini, sus. Tolong izinkan
saya, sus. Saya mohon,” pintaku sambil menangis dihadapan perawat itu.

Aku tidak tahu mengapa aku tiba-tiba menangis. Air itu dengan sendirinya keluar dari
mataku. Saat itu aku hanya berharap bahwa aku akan diizinkan membawanya pulang,
sekali lagi. Dan setelahnya, apapun yang terjadi aku tidak akan meminta hal ini lagi.
***

Rupanya Tuhan masih memberiku kesempatan. Setelah aku memohon-mohon untuk


diizinkan, akhirnya Kakakku dibawa kembali lagi ke rumah kami. Namun para
perawat yang mendampingi kami berpesan bahwa ini kali terakhir aku diizinkan.
Mereka adalah perawat yang sama yang mendampingi Kakakku kemarin.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku tiada henti berdo’a semoga hari ini hal baik
terjadi. Walaupun dalam hati kecilku merasa bahwa hal ini mustahil untuk
diharapkan, tetapi aku meyakinkan diri. Selama masih ada harapan, sekecil apapun
itu, aku akan memperjuangkannya.
***

Begitu tiba di depan rumah dan melangkah perlahan hingga sampai di depan pintu,
aku merasa tenang sebab Kakakku tetap diam dan menurut saja ketika diajak masuk.
Tidak ada suara teriakan ataupun tindakan penolakan darinya.

Aku memutuskan untuk mengajaknya lansung ke kamar Ibu. Dia menurut saja ketika
perawat itu menggandeng tangannya. Sampai akhirnya aku menceritakan tentang
kejadian yang selama ini berbulan-bulan aku selidiki. Menceritakan kronologis
kematian bidadari kami. Bahkan semua kenangan yang aku miliki bersama Kakak dan
Ibu aku ceritakan kembali.
Dia hanya diam, menatap lantai dengan tatapan kosong. Butiran hangat itu kembali
menetes dari pelupuk mataku. Aku merasa ini perbuatan sia-sia. Namun segera aku
menghapusnya.

Lalu seketika aku teringat akan baju-baju peninggalan Ibu. Baju-baju yang masih
simpan rapi dalam lemari pakaiannya. Aku mengambil beberapa potong baju yang
menurutku sering Ibu kenakan dulu. Aku juga mengambil beberapa potong baju milik
Ibu yang dulu sempat aku jahitkan. Aku mengeluarkannya dari dalam lemari dan
menciumnya.

Lalu aku bawa ke hadapan Syifa. Meletakkannya dipangkuan Syifa sambil


menceritakan bagaimana sosok Ibu. Aku mengusap lembut kepala Kakak sambil
menangis menceritakan kehidupan bahagia kami dulu. Namun Syifa hanya diam
mendengarkan, menatap baju-baju yang berada dipangkuannya.

Tapi tiba-tiba dia menoleh ke arahku dengan kondisi matanya berkaca-kaca. Aku
terkejut bukan main. Tapi itu hanya berlansung beberapa detik saja, sebelum
kemudian dia kembali menunduk, menatap baju-baju itu dengan tatapan kosong.
Perawat itu tampaknya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya duduk disampingnya.
Aku menunduk, menelungkupkan wajahku dengan kedua tanganku. Menangis
tersedu-sedu memikirkan apa yang sudah aku lakukan?. Tidak peduli seberapa keras
usahaku, hasilnya akan selalu sama. Namun tidak disangka ketika aku merasa hampir
menyerah seperti itu, suara lembut memanggilku,
“Syila…adikku.

Anda mungkin juga menyukai