Part 1
Namaku Nurhayati biasa dipanggil Aya, 23 tahun. Saat ini aku merupakan mahasiswi
tingkat akhir di salah satu universitas ternama di Surabaya. Tubuhku tidak terlalu tinggi,
hanya sekitar 160 cm. Dengan berat badan 50 kg, Kata orang orang, wajahku cantik dan
tubuhku sangat ideal.
Hidupku bisa dibilang sederhana dan tidak kekurangan. Banyak yang bilang aku
memiliki paras yang cantik berambut panjang dan berkulit eksotis. Banyak juga tawaran
untuk berpacaran dengan kakak Tingkat maupun teman seangkatanku di kampus,
namun aku memilih untuk tidak pacaran terlebih dahulu karena aku ingin fokus
dikampus dan hubungan pertemananku.
Sekarang aku merupakan mahasiswi tingkat akhir. Mengambil jurusan Geologi, aku
harus melakukan berbagai penelitian dengan biaya yang tentunya tidak sedikit. Karena
aku termasuk orang yang hobi belanja dan jalan-jalan, seringkali uang jajanku habis
dalam sekejap. Hal ini membuat tugas akhirku berjalan dengan sangat lamban.
Awalnya aku santai-santai saja, tapi setelah aku sadar bahwa aku hanya punya sisa
waktu satu semester, aku mulai kewalahan. Kalau aku tidak berhasil lulus di semester
depan, aku akan di-DO oleh pihak kampus.
“Duh, gue bingung nih Nan.” curhatku pada sahabatku, Jinan. “Duit gue udah abis buat
“Elo sih Ay, susah dikasihtau. Udah gue bilang kan, gak usah keseringan belanja sama
jalan-jalan mulu. Liat tuh sekarang.”
“Ya gimana lagi. Liat nih tas gue, lucu kan?” aku memamerkan tas Gucci baruku pada
Jinan.
Jinan memutar bola matanya. “Terus sekarang lo mau gimana? Ngelelang tas Gucci lo
gitu?”
“Enak aja, ogah gue.” aku cemberut pada ide Jinan. “Gak ada cara lain apa?”
Jinan menaikturunkan bahu. “Gak ada yang instan, Ay. Mending lo ngomong dulu sana
sama dosbing lo kalo duit lo abis.”
Ah, benar juga, pikirku. Aku belum mencoba mendiskusikan hal ini pada dosen
pembimbingku.
“Yaudah deh gue temuin dosbing gue ntar. Kalo gue gak dapet keringanan, gue pinjem
duit lo ya Nan.”
---
Aku berdiri di depan ruangan dosen pembimbingku. Setelah mengumpulkan tekad dan
mempertimbangkan kata-kata apa yang akan aku kemukakan, aku berniat untuk
menemui beliau. Aku mengetuk pintu tiga kali dan menunggu dengan gelisah.
“Ya, masuk.”
Aku merapal kalimat-kalimat penguat di dalam hati. Duh, semoga saja dosen
pembimbingku tidak marah.
Aku membuka pintu ruangan perlahan. Dosen pembimbingku sedang memeriksa berkas
Aku tersenyum dalam hati karena ternyata dosen pembimbingku masih ingat namaku.
Padahal aku sudah lama tidak bimbingan.
Dosen pembimbingku bernama Pak Eko. Umurnya sepertinya tidak jauh dengan
mamaku, sekitar 50 tahunan. Beliau termasuk ke dalam jajaran dosen senior yang
dihormati oleh civitas kampus. Topik yang kuambil merupakan topik yang sesuai
dengan keahlian beliau, jadi aku memilih beliau sebagai dosen pembimbingku.
“Begini, Pak.” aku terdiam sejenak. “Duh, mulai dari mana ya…”
Pak Eko masih menunggu dengan sabar, sementara aku merutuki diriku sendiri yang
“Ada masalah apa, nak Aya?” Pak Eko akhirnya bertanya sekali lagi.
“S-Saya tidak ada biaya untuk melakukan penelitian, Pak.” aku menunduk malu.
Pak Eko menghela nafas. “Saya pikir kamu ingin mengundurkan diri dari universitas ini.
Sudah lama sekali kamu tidak bimbingan.”
“Maaf, Pak.” aku semakin menunduk. “Saya janji saya akan menyelesaikan skripsi saya
“Jelas saja kamu harus menyelesaikan skripsi semester depan kalau tidak mau di-DO.”
Oh, tidak, pikirku. Pak Eko pasti akan marah besar sebentar lagi.
“Begini sajalah.” Pak Eko membuka buku catatannya yang bersampul kulit. “Kalau kamu
ganti topik, bagaimana?”
Aku takut-takut menengadahkan kepala untuk menatap Pak Eko. “G-Ganti topik, Pak?”
“Iya, ganti topik.” Pak Eko membuka lembar-lembar catatannya. “Jadi kamu tidak perlu
“Maksud bapak?”
“Kamu ambil data dari proyek saya saja. Biaya perjalanan selama proyek saya tanggung
Aku terperangah. Alasanku memilih Pak Eko adalah agar aku tidak perlu terjun ke
lapangan hanya untuk melakukan penelitian. Tahu begini, lebih baik aku memilih dosen
Terdesak, aku mengiyakan tawaran Pak Eko. “I-Iya Pak, ganti topik saja.”
“Ya sudah, bagus.” Pak Eko menutup kembali buku catatannya. “Saya harus mengoreksi
berkas ujian dulu. Kamu datang saja ke rumah saya nanti malam pukul sembilan.
“Baik, Pak.”
---
Mobilku berhenti di sebuah rumah di komplek perumahan mewah. Turun dari mobil,
aku memencet bel rumah bernomor 27 yang ada di hadapanku. Wah, ternyata boleh
juga berkarir sebagai dosen yang menerima banyak proyek seperti Pak Eko.
Seorang lelaki yang kuperkirakan merupakan supir Pak Eko membukakanku pagar.
“Ada di dalam.” lelaki itu balas tersenyum padaku. “Mobilnya mau saya bantu parkirin,
neng?”
Setelah mengambil tas dari dalam mobil, aku berjalan menuju pintu rumah Pak Eko
yang saat itu tidak tertutup.
“Iya, Pak.”
Berbanding terbalik dengan kebiasaannya di kampus, Pak Eko terlihat lebih santai di
rumahnya.
Pak Eko kemudian pergi ke dapur, sementara aku melihat-lihat ke sekeliling ruang tamu.
Aku baru tahu ternyata Pak Eko punya tiga orang anak yang semuanya laki-laki.
“Silakan diminum, nak Aya.” Pak Eko menaruh dua gelas sirup di hadapan kami.
Demi kesopanan, aku meneguk minumanku sedikit, lalu menaruh gelasnya kembali di
meja.
“Sebenarnya begini, nak Aya. Lokasi proyek saya ini ada di daerah ACEH. Untuk
mencapai lokasi proyek saya, kita harus menempuh perjalanan delapan jam dari
bandara dengan menggunakan mobil. Belum lagi kalau ternyata hujan, perjalanan bisa
jadi lebih lama. Kita juga tidak menginap di hotel, tapi di rumah-rumah warga.” Pak Eko
menjelaskan. “Nak Aya mau?”
Mendengar kata-kata itu, kepalaku pusing. Akan jadi apa aku nantinya jika aku harus ke
“Lah kan nak Aya sendiri yang bilang kalau tidak punya uang untuk penelitian di lab.”
“Begini.” Pak Eko tiba-tiba berpindah tempat duduk ke sebelahku.”Kamu udah pernah
nge-seks belum?”
“Maaf, Pak?”
“M-Mau Pak.”
“Nih, saya kasih pilihan yang paling gampang. Tapi jawab dulu pertanyaan saya tadi.
Kamu udah pernah ngentot belum?”
Aku terkaget-kaget dengan Pak Eko yang tiba-tiba saja berkata vulgar seperti itu. Tidak
pernah terlintas dalam pikiranku bahwa seseorang yang kuhormati sebagai dosen akan
berkata seperti itu padaku.
“I-Iya Pak.”
“N-Nge-seks.”
Pak Eko tersenyum mesum. “Udah Bapak duga, kamu tuh lonte.”
“Kalau bukan lonte kenapa udah berani ngentot sebelum nikah?” Pak Eko mendekatkan
mukanya pada mukaku. “Mana kamu nggak punya pacar. Ngentot sama siapa kamu?”
Sialan. Tahu dari mana Pak Eko kalau aku nggak punya pacar tiga tahun terakhir?
Aku tidak sepenuhnya berbohong. Keperawananku bahkan diambil oleh mantan FWB-
ku dua tahun lalu, bukan oleh mantan pacarku. FWB tergolong ke dalam hitungan
teman, kan?
Aku mulai merinding saat tangan Pak Eko mulai merayap ke pahaku.
“Nggak mau? Nggak mau kamu bilang?” Pak Eko tiba-tiba saja mencengkram daguku
dengan kuat. “Nggak mau gara-gara saya tua? Hah?”
Tanganku berusaha melepaskan cengkraman tangan Pak Eko, tapi tenaganya sangat
kuat.
Aku panik. Pak Eko barusan memanggil dua orang lelaki yang bahkan aku tidak tahu
siapa. Aku masih berusaha berontak saat dua orang lelaki yang sebaya denganku
menghampiri kami.
Aku berusaha menghindar dari dua orang tersebut sebelum tersadar akan sesuatu.
“K-Kevin?”
Itu Kevin, mantan pacarku yang dulu kuputuskan tiba-tiba secara sepihak. Aku yang
kaget hanya bisa berontak sambil berteriak-teriak walaupun rasanya mustahil seseorang
akan menyelamatkanku. Tubuhku yang kecil diseret paksa oleh ketiganya ke dalam
Aku merinding sejadi-jadinya. Dosen pembimbingku yang selama ini aku hormati kini
sedang melecehkanku. Lelah karena meronta dan berteriak-teriak, aku mulai menangis.
“Diem lo lonte!” suara Kevin meninggi sambil tetap mengikat kedua pergelangan
tanganku erat-erat dan menyatukannya dengan kursi. Sementara itu, orang yang
kuyakini sebagai Gilang berusaha menekan tubuhku hingga aku terduduk dan tidak bisa
berdiri. Mereka berdua lalu mengikat kakiku di kaki-kaki kursi sehingga pahaku yang
hanya dibalut oleh rok mulai terekspos.
Aku menangis sesenggukan. Bukannya aku tidak suka seks, aku hanya tidak mau kalau
harus dipaksa seperti ini. Apalagi Pak Eko sudah berumur, pasti rasanya tidak enak kalau
aku harus berhubungan seks dengannya.
“Udah deh, biar cepet, gue cerita aja.” Kevin kembali bersuara. “Abis putus dari lo, gue
kenalan ama cewe yang juga temennya Gilang. Katanya lo jadi mahasiswi bimbingan
bokapnya Gilang, ya udah gue sekalian cerita aja seberapa murahannya lo ke dia. Gak
salah tuh lo ngewe sama orang yang bahkan bukan pacar lo? Selangkangan diobral gitu
Aku terdiam dengan muka memerah. Memang dulu aku sempat berkata pada Kevin
agar tidak mengejar-ngejarku lagi dengan mengatakan bahwa aku sudah tidak perawan
setelah putus dengannya. Tidak kusangka bahwa perkataanku akan menjadi bumerang
hari ini.
“Emang barang jualan kali memek dia.” Gilang menimpali. “Liat aja tuh, mau ketemu
bokap gue sok-sok pake rok segala. Biar gampang dibuka kali tuh.”
Hari ini aku memang sengaja mengenakan flared skirt selutut agar terkesan manis
namun tetap sopan. Aku juga mengenakan blazer walaupun hanya memakai tank top
sebagai dalaman. Tahu begini, lebih baik tadi aku pakai celana bahan saja.
“Jadi, Aya, sebenernya Bapak gak punya proyek buat ditawarin sama kamu.”
Otakku pusing, terlalu banyak hal yang harus aku cerna hari ini.
“Bapak butuh kamu buat jadi budak seks Bapak sama anak Bapak. Jadi, kamu gak usah
buat skripsi. Bapak punya kenalan yang bisa ngebantu nulisin skripsi buat kamu. Tugas
Aku terperangah. Di satu sisi, aku senang karena aku tidak perlu mengerjakan skripsi. Di
sisi lain, aku takut karena sepertinya Pak Eko memiliki fantasi seksual yang aneh-aneh.
“Bagaimana, nak Aya? Mau jadi budak seks Bapak?” tanya Pak Eko lembut.
“Gue? Gue sih ogah ngentotin memek mantan murahan kaya lo.” Kevin mendecih
meremehkan. “Lagian gue udah dapet duit dari Pak Eko karena udah ngasih informasi
tentang lo.”
“Bagaimana? Mau?”
“Bilang aja mau, udah. Gak usah jual mahal lo.” Gilang ikut-ikutan mengompori.
“Jawab yang bener!” kali ini Gilang menjambak rambutku hingga wajahku menengadah.
“Kalau gitu, sekarang lo tanda tangan ini.” Kevin tiba-tiba menyerahkan selembar kertas
dan sebuah bolpoin ke hadapanku. “Buruan!”
“T-Tangan gue—“
Gilang melepas sebelah ikatan tanganku dan menahan sebelah tanganku agar tidak
lepas. Aku sempat membaca sekilas isi perjanjian yang disodorkan padaku. Intinya,
perjanjian tersebut berisi pernyataan bahwa aku bersedia menjadi budak seks Pak Eko
dan Gilang selama enam bulan dan tidak memberitahukan masalah ini pada orang lain.
Perjanjian itu juga mengungkapkan bahwa aku bersedia hidupku diatur oleh mereka
Kevin menarik kertas tersebut dari hadapanku setelah aku selesai menandatanganinya.
Dengan seringai licik, Kevin menatapku dengan tatapan meremehkan.
“Ada gunanya juga gue punya mantan lonte murahan kaya lo.” Kevin terkekeh. “Makasih
Setelah berpamitan dengan Pak Eko dan Gilang, Kevin keluar ruangan dengan berkas
yang tadi kutandatangani. Mungkin dia berpikiran bahwa aku akan merebut berkas
“Sekarang, lo udah resmi jadi lonte kita.” Gilang melepas seluruh tali yang mengikat
Aku yang gelagapan lalu berdiri dan mulai membuka bajuku perlahan-lahan. Dengan
masih berat hati, aku melepaskan perlahan blazer yang menempel di tubuhku, lalu
kubiarkan jatuh ke lantai. Setelahnya, aku menarik pelan tank top yang kugunakan ke
atas kepala untuk kemudian kujatuhkan ke lantai. Ragu-ragu, aku membuka kait rok-ku
“Buka buruan!”
Setelah mendengar Gilang berteriak, aku menurunkan resleting rok-ku dan membiarkan
pakaian luar terakhirku jatuh ke lantai. Terdengar Pak Eko bersiul melihat tubuhku yang
Pak Eko dan Gilang tertawa meremehkanku yang hanya bisa menunduk. Harga diriku
diinjak sehabis-habisnya. Jika tidak ingat tentang lulus kuliah, aku tidak sudi menjadi
“Eit, jangan macem-macem ya.” Pak Eko kemudian meremas sebelah payudaraku yang
masih terbungkus bra dengan keras, membuatku memekik. “Tinggal nurut aja kok sama
perintah Bapak sama Gilang.”
“Mulai sekarang, jangan panggil saya ‘Bapak’.” Pak Eko menaikkan daguku agar
menatap ke arahnya. “Panggil saya ‘Tuan’ dan panggil Gilang ‘Tuan Muda’. Ngerti
kamu?”
“Bego banget emang lonte kita Pa. Kudu banyak diajarin.” celoteh Gilang.
Aku bergidik ngeri. Aku tidak habis pikir bagaimana keluarga Pak Eko bisa sebebas dan
sevulgar ini.
“Aahhhh…”
Aku mendesah ketika tiba-tiba saja jari Pak Eko menyelusup masuk ke dalam bibir
vaginaku yang telah banjir. Walaupun masih terhalang celana dalam, jari Pak Eko bisa
dengan mudah memasuki lubang vaginaku tanpa hambatan yang berarti. Mengikuti
naluri, aku sedikit membuka pahaku agar menjadi sedikit lebih lebar.
“Basah banget Lang. Ternyata dia suka dilecehin kaya gini.” Pak Eko tertawa seraya
menggerak-gerakkan jarinya di dalam vaginaku. “Dengerin tuh desahannya.”
“Aahhh, ah, ah, geli, mmhhh…” aku meracau tidak karuan menikmati jari-jari Pak Eko
yang bergerak lihai di dalam lubang vaginaku. “Ngghhh, lagi, geli. Mmmhhh…”
“Keenakan dia Pa.” Gilang membuka kaitan bra-ku sehingga bra-ku jatuh tanpa
hambatan yang berarti. “Liat tuh putingnya, ngacung gitu.”
“Mmmhhh…”
Mau tidak mau, aku terbawa permainan Pak Eko dan Gilang yang melecehkanku.
Gilang asyik bermain di putingku. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku
dibuat horny oleh perlakuan mereka berdua.
“Papa dulu aja yang nidurin, aku cicipin besok deh.” ujar Gilang yang menganggapku
“Biasa, nge-date.” Gilang melepaskan tangannya dari putingku. “Aku pergi dulu ya Pa.”
Setelah Gilang meninggalkan ruangan, hanya tersisa aku dan Pak Eko. Pak Eko masih
juga memainkan lubang vaginaku yang sekarang sudah sangat banjir.
“Mmhhh masukin aja kontolnya.” aku meracau ketika aku merasa benar-benar keenakan
dengan tangan lihai Pak Eko. “Masukin kontolnya Tuan, emmmhhhh.”
“Iya Tuan, Aya emang lonte mmhhh.” aku yang saat itu hanya memikirkan nafsuku
Pak Eko sepertinya terpengaruh oleh ucapanku karena tangannya jadi bergerak sangat
cepat.
“Aaahhh Tuan, aaahhh enak, enak banget, geli aahhh.” tubuhku menjadi lebih lengkung,
Aku menggelepar di bawah tangan Pak Eko, dosen pembimbingku yang kini sedang
“Gimana, enak?”
Aku masih menikmati sisa-sisa orgasmeku barusan ketika tiba-tiba saja Pak Eko
mengangkat tubuhku dan melemparkanku ke atas kasur dan menyadarkanku atas
sesuatu.
Part 2
Setelah aku dilemparkan ke atas kasur, ternyata Pak Eko tidak langsung menyetubuhiku.
Beliau keluar ruangan dengan dalih ingin mengambil sesuatu dulu. Aku yang merasa
sudah terlanjur kepalang hanya bisa mengikuti alur permainan dosen pembimbingku
itu.
“Nah, kamu minum dulu ini.” Pak Eko memberikanku satu strip obat KB dengan segelas
air. “Kalau enggak mau hamil.”
Aku bergidik ngeri membayangkan sperma Pak Eko benar-benar membuahi sel telurku.
Mau jadi apa aku nanti? Jadi, aku langsung menelan satu kaplet obat KB dan berjanji
dalam hati bahwa aku tidak akan lupa untuk meminumnya setiap hari.
“Nah, bagus.” Pak Eko menghampiriku yang kini duduk telanjang di pinggir ranjang.
Aku mengikuti perintah Tuan baruku. Aku menelentangkan diri di tengah ranjang
dengan paha yang kubiarkan terbuka lebar, mempertontonkan lubang vaginaku yang
“Dasar jalang, liat tuh lobang banjir sama lendir. Segitunya pengen dimasukin kontol,
hah?”
“Eh i-iya, Tuan. Lobang Aya pengen dimasukin kontol.” jawabku pelan.
“Iya Tuan, lobangnya Aya gatel, pengen digaruk sama kontol Tuan.” aku tanpa sadar
“Nih, saya bimbing kamu biar jadi lonte yang bener.” ujar Pak Eko sebelum mencium
bibirku.
Ciuman Pak Eko terasa kasar di bibirku. Rasanya Pak Eko tidak sabaran dengan langsung
perlu bernafas.
Setelah melepaskan ciumannya, Pak Eko terkekeh melihatku menghirup udara banyak-
banyak.
Tanpa menunggu waktu, bibir Pak Eko berpindah untuk menciumi leher jenjang dan
dada sintalku. Aku memekik ketika Pak Eko dengan sengaja menggigit leherku untuk
meninggalkan bekas.
“Saya tandain biar temen-temen kamu tau kalau kamu bisa dipake.”
Aku hanya bisa mendesah-desah ketika dikerjai oleh Pak Eko. Aku yakin jam terbangnya
sudah tinggi mengingat umurnya yang tidak lagi muda, jadi sentuhan-sentuhannya
“Aaahhhh Tuan, mmhhh enak Tuan.” desahku ketika Pak Eko memainkan kedua
payudaraku dengan tangan dan mulutnya.
Aku menggelinjang di atas ranjang ketika Pak Eko dengan lihainya memilin-milin puting
susuku dan menjilat ujungnya sekaligus, sementara sebelah tangannya yang lain
meremas-remas payudara sintalku.
Aku tanpa sadar meremas rambut Pak Eko sambil mendorong kepalanya agar lebih
dekat dengan payudaraku. Pinggulku naik turun karena hasratku yang tidak terbendung.
Mungkin ini terasa sangat nikmat mengingat hampir setahun aku tidak disentuh laki-
laki.
Pak Eko menghentikan rangsangannya pada tubuhku, lalu berlutut di depanku yang
masih telentang terengah-engah. Aku mendengar Pak Eko tertawa sambil
“Ahh!”
Aku memekik setelah tiba-tiba Pak Eko mencubit sambil menarik kedua putingku keras-
keras. Pak Eko terus menarik putingku ke arahnya hingga aku berusaha bangun dari
posisi telentang.
Baru saja aku ingin menopang berat tubuhku dengan tangan, Pak Eko tiba-tiba saja
melepas puting susuku, membuatku jatuh dan kembali dalam posisi telentang.
Kudengar Pak Eko tertawa-tawa melihatku berantakan akibat ulahnya.
“Jadi lonte jangan mau enaknya aja. Emangnya saya dibayar buat nyenengin kamu?”
“N-Nggak, Tuan.”
Aku membalikkan badan hingga sekarang berada di posisi tengkurap. Puting susuku
yang barusan ditarik-tarik Pak Eko semakin tegang ketika tergesek dengan seprai. Tapi
itu tidak berlangsung lama karena Pak Eko menarik pantatku ke atas sehingga kini aku
Aku mendengar Pak Eko melepaskan pakaiannya dan menjatuhkannya ke lantai. Karena
sudah cukup lama menungging tanpa disentuh, tanpa sadar aku mengedutkan
vaginaku.
“Gak sabar banget itu memek.” Pak Eko menyentil klitorisku agak keras, membuatku
Aku masih mengendalikan rasa linu di klitorisku ketika tiba-tiba Pak Eko memasukkan
sebuah dildo ke dalam vaginaku.
“Aahhh…”
Vaginaku yang sebelumnya absen satu tahun tanpa dimasuki penis kini dipaksa melebar
oleh sebuah dildo berukuran sedang. Walaupun dulu aku pernah beberapa kali
melakukan hubungan seks, penetrasi kali ini terasa agak perih.
“Jangan berani-berani orgasme atau saya hukum.” ucap Pak Eko seraya menggerakkan
Aku masih meracau tidak jelas sambil mencengkram seprai dengan lebih erat. Aku
berusaha semampuku untuk menunda orgasme dengan mencoba memikirkan hal lain,
tapi rasa nikmat ini benar-benar menguasaiku.
“Nyodoknya kurang cepet ya?” Pak Eko memandangiku yang kepayahan seraya
Aku makin meracau tidak karuan ketika sodokan dildo di vaginaku menjadi lebih intens.
Titik-titik kenikmatanku dihajar secara tepat oleh sebuah mainan yang kini bersarang di
“Nggak kuat, Tuan, enak bangeeet nggghhh.” aku menggerakkan pantatku untuk
berusaha menghindari sodokan dildo di titik kenikmatanku walaupun rasanya hampir
tidak mungkin.
“Dasar lonte haus kontol kamu, Aya. Nggak pantes kamu jadi mahasiswi. Pantesnya jadi
cewek BO.”
Mendengar kata-kata Pak Eko, vaginaku malah semakin banjir oleh cairan kenikmatan.
Suara dildo yang menumbuk vaginaku yang becek menambah nafsu di dalam diriku.
Tidak berapa lama, badanku menyerah pada kenikmatan yang melanda secara intens.
Pahaku menegang, vaginaku berkedut kencang, punggungku melengkung.
Aku orgasme hebat sementara Pak Eko masih terus menyodok-nyodok dildo di
vaginaku dengan cepat. Tubuhku bergetar, pantatku bergerak maju mundur, mataku
merem-melek keenakan. Aku tidak menyangka bahwa aku bisa orgasme sehebat ini
hanya karena sebatang dildo.
“Dasar lonte sialan.” Pak Eko membiarkan vaginaku tetap terisi dildo, namun sekarang
Baru saja aku ingin menormalkan nafas, tiba-tiba saja getaran di vaginaku terasa lebih
kencang. Aku yang sudah kepayahan kemudian jatuh dari posisi menungging menjadi
tengkurap.
Ctas!
“Suruh siapa kamu orgasme, lonte?” Pak Eko semakin semangat mencambuk tubuhku.
“M-Maaf, Tuan, mmhhh.” aku menggeliat menahan rasa sakit dan rasa nikmat yang
perlahan mulai menjalari tubuhku lagi. “Maafin Aya, Tuan-hhh.”
Beberapa detik kemudian, Pak Eko melempar ikat pinggang yang dipegangnya ke lantai
dan mencabut dildo yang sedari tadi bersarang di vaginaku. Badanku lalu diposisikan
menjadi telentang sementara Pak Eko bersiap memasukkan penisnya di depan vaginaku.
“Saya masih baik ya sama kamu, kalau enggak bisa habis pantat kamu saya cambuk.”
Pak Eko kemudian memasukkan penisnya dengan lancar ke dalam vaginaku. “Longgar
juga ini lobang.”
Dibandingkan dengan ukuran dildo barusan, penis Pak Eko memiliki ukuran yang tidak
“Saya entot kamu ya lonte, rasain nih kontol saya.” Pak Eko langsung menggerakkan
penisnya menyodok-nyodok vaginaku yang sudah banjir.
“Ahhhh, enak, mmhhh... Aya suka-hhh…” aku yang mulai naik birahi kembali mendesah-
Plak!
Plak!
Plak!
Aku merasa semakin terangsang mendengar kata-kata Pak Eko yang melecehkanku.
Rasa sakit di payudaraku akibat tamparan Pak Eko juga malah menimbulkan gelenyar-
gelenyar nikmat di dalam diriku.
Tubuhku terguncang-guncang di atas ranjang seiring dengan sodokan penis Pak Eko di
dua kali. Pekikan-pekikan nikmat keluar dari tenggorokanku yang mulai kering.
“Perempuan jalang kamu Aya.” Pak Eko mempercepat sodokannya. “Cepet sebut siapa
kamu!”
“Jalang, Tuan! Aya perempuan jalang! Ahhh…” aku mulai bergetar di bawah kuasa Pak
Eko.
“Aaaahhhhh Tuan!”
Aku refleks memeluk pundak Pak Eko saat pelepasanku terjadi lagi. Pinggulku bergerak-
gerak mencari kenikmatan yang lebih lagi. Ini orgasme yang ketiga untuk hari ini dan
Pak Eko yang belum mencapai puncaknya terus menyodok vaginaku dengan kasar
walaupun vaginaku terasa sangat linu.
Tak lama kemudian, cairan hangat memenuhi rahimku. Aku hanya bisa berharap
Pak Eko melepaskan penisnya dari vaginaku, lalu berdiri untuk menatapku yang
kepayahan.
Aku menatap Pak Eko tidak percaya. Aku masih sangat lelah dan aku harus menyetir
“Kenapa? Mau nginep di sini? Nggak, istri saya pulang besok pagi.” Pak Eko menarikku
dari atas kasur lalu membiarkanku jatuh di lantai.
Dengan sisa-sisa tenaga, aku berdiri dari posisiku. Aku sedikit membuka pahaku karena
pahaku yang masih terasa agak kebas. Perlahan, aku berjalan menuju tumpukan
pakaianku di sisi lain ruangan.
“Heh, siapa suruh kamu ambil baju kamu?” Pak Eko menyentak tanganku hingga aku
Oh, shit. Aku tidak ingin masuk ke dalam kosan dalam keadaan tanpa pakaian.
Bagaimanapun juga, ada CCTV yang mengawasi bagian garasi kosanku.
“T-Tapi Tuan—“
Pantatku kemudian ditendang-tendang oleh Pak Eko sehingga mau tidak mau aku
merangkak keluar dari kamar Pak Eko. Setelah aku keluar, pintu kamar tersebut
dibanting dan dikunci. Aku yang kalut kemudian menggedor-gedor pintu kamar Pak
Eko dan memanggil-manggil dosenku itu, tapi yang kudengar hanya suara gemericik air
Ah, itu suara supir Pak Eko yang tadi menyambutku ke sini. Duh, aku harus menutupi
tubuhku pakai apa?
“Neng?”
Supir Pak Eko kini sudah berdiri di dekatku yang hanya meringkuk di dekat pintu kamar
Tanpa disangka, supir Pak Eko itu malah menyunggingkan senyum licik nan mesum.
“Kunci mobil neng ada di saya. Yakin saya harus pergi?”
“Gini aja neng. Saya udah denger dari den Gilang kalau neng bisa dipake. Mending neng
muasin saya dulu, nanti saya kasih kunci mobilnya neng. Gimana?”
Aku ingin menangis mendengar penawaran supir Pak Eko. Tidak hanya dipakai oleh
dosenku saja, tubuhku bahkan dipakai oleh seorang supir yang bahkan status sosialnya
jauh di bawahku.
“Pak, tunggu!” aku akhirnya mengalah dan memilih menyerah saja. Toh tubuhku sudah
terlanjur kotor.
“B-Boleh, Pak. Tapi saya juga mau minta baju sama Bapak.”
“Urusan gampang itu mah neng. Yang penting neng bisa muasin Bapak.”
Aku kemudian dibawa menuju garasi rumah Pak Eko di mana mobilku terparkir. Supir
Pak Eko lalu menelentangkan tubuhku tepat di atas kap mobilku yang bertipe sedan.
“Pak, di bawah aja, jangan di sini Pak.” aku memohon pada supir Pak Eko seraya
“Udah biasa neng kalau di bawah. Neng juga belum nyoba ngentot di kap mobil, kan?”
“Tapi Pak—“
Menyetujui omongan supir Pak Eko, aku akhirnya pasrah saja telentang di atas kap
mobilku sendiri sementara supir Pak Eko melepas seluruh pakaiannya.
“Neng, sepongin nih.” supir Pak Eko menyodorkan penisnya yang jauh lebih besar dari
Dengan tekad agar cepat selesai, aku mulai mengulum penis supir Pak Eko dengan
semangat. Aku memasukkan sebagian batang penisnya ke dalam mulutku, sementara
sebagian lagi aku kocok menggunakan tangan. Sesekali aku menjilati kepala penisnya
dan menjilati buah zakarnya yang menggantung.
Aku semakin bersemangat mendengar pujian dari supir Pak Eko. Aku lalu mengocok
batang penisnya sambil menjilati lubang kencingnya perlahan. Aku juga menjilati
seluruh batang penisnya perlahan-lahan hingga supir Pak Eko terlihat kegelian.
“Tahan neng, udah dulu sepongnya.” supir Pak Eko kemudian memposisikan
Tanpa hambatan yang berarti, penis supir Pak Eko masuk ke dalam vaginaku yang sudah
lengket. Dibandingkan Pak Eko, jelas sekali bahwa stamina supir Pak Eko lebih tinggi.
Tubuhku terhentak-hentak di atas mobilku yang ikut bergoyang-goyang karena ulah
Walaupun sudah berkali-kali orgasme, aku tidak menampik bahwa aku masih merasakan
kenikmatan saat ditusuk oleh penis supir Pak Eko. Apalagi ukurannya yang lebih besar
membuat ruang vaginaku terasa lebih sesak.
“Memeknya neng legit, beda sama perek yang biasanya saya sewa.” supir Pak Eko
Setelah setengah jam, penis supir Pak Eko masih tegak dan belum ada tanda-tanda akan
keluar. Aku yang frustrasi kemudian membuat dinding-dinding vaginaku berkontraksi
agar supir Pak Eko cepat orgasme. Walaupun membuatku lebih terangsang, untung saja
usahaku berhasil karena supir Pak Eko semakin kencang menyodokkan penisnya.
Supir Pak Eko menyemburkan spermanya di dalam rahimku dan aku yakin kini sudah
bercampur dengan sperma milik majikannya. Aku pun kembali orgasme saat supir Pak
Eko menyemburkan spermanya di dalam rahimku. Lemas, aku membiarkan supir Pak
“Makasih ya neng.” supir Pak Eko kemudian bangkit dari posisinya, lalu menurunkanku
untuk bersandar di mobilku. “Nih pake baju saya aja, sekalian kenang-kenangan buat
neng.”
Aku kemudian diberikan kaus yang tadi dipakai oleh supir Pak Eko. Walaupun hanya
kaus, tapi setidaknya itu lebih baik daripada tidak memakai sehelai kain sama sekali.
Sesuai janjinya, aku juga diberikan kunci mobilku yang sebelumnya kutitipkan.
“Gak capek neng abis ngentot langsung nyetir?” tanya supir Pak Eko sambil nyengir ke
arahku.
“Nggak apa-apa Pak, saya mau tidur.” aku membalas sekadarnya sebelum masuk dan
menyalakan mesin mobil. “Makasih kausnya ya Pak.”
“Ngentotnya enggak?”
Setelah dibukakan pagar, aku menyetir menuju kosanku dan segera tidur sesampainya
aku di sana, bahkan tanpa sempat membersihkan diri dan berganti pakaian. Hari yang
sangat melelahkan hingga tanpa sadar aku tertidur dengan paha yang terbuka.
Part 3
Kringgg…
Aku mengernyitkan dahi dan mengucek-ngucek mata dengan kesal. Mau tidak mau aku
terbangun karena handphoneku yang tidak berhenti berdering sejak lima menit yang
Baru saja aku ingin marah sebelum aku sadar bahwa yang menelponku adalah Gilang.
Mana mungkin aku lupa bahwa semalam aku sudah menyerahkan diri untuk menjadi
“Nah, gitu dong.” Gilang terkekeh. “Gue gak peduli lo baru bangun, sekarang lu buruan
dateng ke sini. Gue butuh tempat buat nampung peju.”
“Gak usah banyak gaya lo, abis gue hajar juga lo bakal kotor lagi.” Gilang mendecih.
“Buruan ke sini, kalo setengah jam lagi lo gak muncul, liat aja.”
“Ah, satu lagi. Lo gak perlu bawa mobil, berangkat pake ojek aja.”
Setelah telepon diputus oleh Gilang, aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan
diri. Selain cuci muka dan gosok gigi, aku juga membersihkan pahaku yang semalam
belepotan sperma. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin tubuhku bau sperma saat
Setelah membersihkan diri, aku membuka lemari pakaian untuk berganti baju.
Walaupun disuruh memakai pakaian seksi, aku tidak ingin terlihat seperti cewek
murahan, jadi aku memilih summer dress tipis tanpa lengan yang panjangnya hanya
setengah lutut. Setelah mengemas barang-barangku di tas kecil, aku langsung memesan
“Neng yang mesen ojek ke **** atas?” sapa driver ojek online yang berhenti di depan
kosanku.
“Iya, mas.” aku menjawab dengan sopan. “Tolong agak cepet ya, mas. Saya ditunggu
temen saya.”
“Siap, neng.”
Dari perawakannya, driver ojek online tersebut kira-kira berusia 25 tahun-an. Wajahnya
tidak setampan Gilang, tapi badannya lebih kekar.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam, aku sampai di depan
rumah Gilang dan langsung disambut oleh sang tuan rumah yang sudah berdiri di
depan pagar.
Pipiku memerah karena driver ojek online yang barusan kutumpangi masih ada di situ.
Aku bahkan baru akan mengembalikan helm kepada driverku saat Gilang berkata
demikian. Driver tersebut hanya diam saat menerima helm dariku karena keadaan yang
canggung.
“Heh, sini lo.” Gilang memanggilku untuk mendekatinya. “Si abang masih belum percaya
kalo lo bisa dipake.”
“Lo budak seks gue. Terserah gue lo mau dipake siapa aja.” Gilang balas melotot. “Mau
Aku mendesah penuh kekesalan. Tapi bagaimanapun juga aku harus sadar bahwa aku
harus mengikuti semua perintah Gilang dan Pak Eko. Semua itu adalah konsekuensi dari
pilihanku kemarin.
Jadi, agar tidak berlarut-larut, aku menghela nafas kasar sebelum mendekati driver yang
barusan mengantarku. Aku tersenyum menggoda sambil mengelus-elus dada si driver.
“Mas, pengen gak nyobain aku?” aku berbisik di telinga si driver. “Gratis kok, gak usah
bayar.”
Aku kemudian mengambil tangan si driver lalu kutuntun ke paha dalamku. Sarung
tangan yang masih terpakai di tangan si driver terasa kasar di pahaku.
“Kesempatan gak akan dateng dua kali lho mas.” Gilang ikutan memprovokasi si driver.
“Liat nih, dia mah keenakan kalau dimainin ama laki.”
Gilang lalu meremas kasar sebelah dadaku hingga aku memekik tertahan. Gilang hanya
“Y-Yaudah deh, mas. Boleh.” akhirnya si driver menyetujui permintaan Gilang. “Tapi
jangan sampai ada yang tau, ya.”
“Gampang mas masalah itu. Udah, mending sekarang mas parkirin motornya di garasi
saya.”
“Masih mending sopir gue lagi keluar nganterin bokap ama nyokap. Kalau engga, kelar
lo pagi ini.” ujar Gilang. Aku bergidik ngeri membayangkan diriku dipakai tiga orang
sekaligus.
Gilang lalu membawaku dan si driver ke kamarnya. Kamarnya sedikit lebih kecil dan
lebih berantakan dari kamar Pak Eko, tapi lantainya cukup luas karena tempat tidurnya
yang kecil.
“Sekarang, lu layanin masnya ampe puas.” Gilang memelorotkan dressku hingga tersisa
Aku kemudian mendekati si driver yang masih terlihat canggung. Tanganku menuntun
tangan si driver untuk menangkup kedua pantatku, sementara aku mulai mengelus-elus
dadanya. Tanganku dengan cekatan mulai melepas baju yang dikenakannya, kemudian
mulutku mulai bekerja di area dada dan leher si driver yang mulai merem melek
keenakan.
“Ayo dong mas, gak usah malu-malu.” sahut Gilang. “Remes aja pantatnya kalo masih
gak percaya dia lonte.”
Tangan si driver lalu mengikuti saran Gilang untuk meremas pantatku yang sekal.
Lenguhanku seolah menjadi penyemangat bagi si driver untuk bertindak lebih dan
bersikap lebih agresif. Sekarang tangannya mulai melepas dalaman yang kukenakan. Si
driver lalu meremas-remas dadaku dan menciumi kedua payudaraku sambil sesekali
meninggalkan jejak keunguan di sana.
“Mmhhh…” aku yang mulai terbawa suasana kini menikmati sentuhan-sentuhan yang
dilancarkan oleh si driver. Desahan dan lenguhan tidak henti-hentinya keluar dari mulut
kecilku.
Gilang sekarang hanya memperhatikanku yang sedang dinikmati oleh orang yang baru
kutemui beberapa saat yang lalu. Sambil berselonjor di tempat tidur, Gilang sesekali
memotret wajah dan tubuhku yang mendesah-desah keenakan.
“Ah, ah, gelii…” aku menggelinjang saat jemari si driver mulai memasuki liang
“Aahhh enak banget mas, ahhh…” aku tanpa sadar bergerak-gerak untung mendapatkan
kenikmatan yang lebih dari jari si driver.
si driver.
“Sabar dong neng, belum apa-apa udah minta kontol.” si driver terkekeh, mulai
menikmati perannya sebagai orang yang diminta Gilang untuk ikut melecehkanku.
“Gatel ya?”
“Iya mas…. Ahhh lobang aku gatel, mhhh.” Aku memutar-mutar pinggulku untuk
mendapat stimulasi yang lebih dari jari si driver karena kenikmatan yang kurasakan
sangat tanggung.
Aku merasakan si driver menambah satu jari ke dalam vaginaku dan menggerakkan jari-
jarinya dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Tanpa sadar aku kelojotan karena rasa
nikmat yang kurasakan.
Aku yang mulai lupa daratan kini hanya bisa berbaring sambil mendesah-desah. Mataku
merem melek, kakiku yang terbuka lebar kini bergetar. Tanganku menggapai-gapai,
berusaha mencari pelepasan nafsuku yang meledak-ledak.
Tepat saat aku akan orgasme, si driver melepas jari-jarinya dari vaginaku. Si driver dan
di ubun-ubun.
“Enak aja neng dulu yang orgasme. Layanin saya dulu dong, kan neng-nya lonte.”
“Tuh, dengerin kata masnya.” Gilang ikut menghampiriku dan menyentak tanganku.
“Sini mas, saya pegangin dulu lontenya.”
mulutku. Aku menelan ludah melihat ukuran penisnya yang cukup besar.
“Isep yang bener neng kalau mau ngelanjutin yang barusan.” si driver memasukkan
penisnya ke dalam mulutku.
“Udah bang, gerakin aja kepalanya. Biar saya pegangin tangannya.” ujar Gilang.
Driver tersebut mengikuti saran Gilang dengan memaju-mundurkan kepalaku yang terisi
penuh oleh penisnya. Jadi sekarang aku sedang ada di posisi duduk dengan tangan
yang dikekang oleh Gilang di belakang tubuhku dan penis si driver yang memenuhi
mulutku.
Si driver masih memaju mundurkan penisnya di mulutku sedangkan aku masih berusaha
mengatur nafasku agar aku tidak kehabisan nafas. Rambutku kini acak-acakan karena
cengkraman si driver. Dua menit kemudian, si driver menekan kepalaku rapat-rapat ke
pangkal selangkangannya. Aku menggelinjang karena tidak bisa bernafas dengan benar.
Setelah kepalaku dilepas, aku langsung mengambil udara banyak-banyak. Si driver dan
kepala penisnya di depan vaginaku. Aku memekik saat si driver memasukkan penisnya
sekaligus ke dalam vaginaku.
vaginaku. Walaupun sudah dihajar oleh Pak Eko dan supirnya semalam, gesekan-
gesekan dari penis si driver dengan lubang vaginaku masih terasa jelas. Mungkin karena
ukuran penisnya yang lebih besar dari Pak Eko dan supirnya.
“Ahhh lagi, mmhhh…” aku semakin liar saat si driver berhasil menyentuh titik sensitifku.
“Di situ, tusuk lagi, hhhh…”
Tidak berapa lama kemudian, aku orgasme dengan hebat. Punggungku melengkung ke
atas, mulutku membentuk huruf O dan bagian bawah tubuhku gemetar. Namun,
bukannya berhenti, si driver malah makin kencang menusuk-nusukkan penisnya ke
vaginaku. Aku hanya bisa menjerit-jerit karena vaginaku yang super sensitif dipaksa
menerima tusukan-tusukan dalam dari penis si driver.
Seolah tuli, si driver terus menerus menusuk vaginaku hingga akhirnya aku tiba-tiba
merasa bahwa aku akan orgasme lagi karena stimulasi yang tidak hentinya menghajar
vaginaku.
Aku bergetar lagi di bawah si driver, namun kali ini si driver turut menghujamkan
Crot… Crot… Aku merasa ada aliran sperma yang mengalir masuk ke dalam rahimku.
Rasanya geli-geli hangat. Anehnya, membayangkan ada sperma orang asing yang
“Wah si neng udah gak sabar pengen main lagi nih kayanya.” si driver terkekeh setelah
vaginaku berkedut. “Nanti dulu neng, capek.”
Si driver kemudian menarik penisnya dari vaginaku, sementara aku masih telentang
“Bagus, Aya. Lo udah nerima kenyataan kalau lo emang lonte.” Gilang menghampiriku
lalu mengelus-elus kepalaku. “Sekarang bilang makasih dong ke masnya.”
“Bersihin tuh kontol masnya. Kasian kan jadi kotor gara-gara masuk memek lu.”
Aku bangun dari posisiku untuk menghampiri si driver yang terduduk di tepian ranjang.
Aku menuruti perintah Gilang dengan menjilati penis si driver, sementara Gilang dan si
driver mengobrol.
“Dari mana dapet cewe kaya gini mas?” tanya si driver sambil mengelus-elus rambutku.
“Iya, tapi dia bego. Dia jadi lonte biar bokap gue bisa ngebantu dia lulus kuliah.” Gilang
menjelaskan sambil sesekali memainkan puting susuku. “Dia mah jagonya ngangkang.”
“Udah neng, lulus kuliah gak usah cari kerja. Lanjutin aja kaya gini.” si driver terkekeh.
---
Setelah si driver pulang dari rumah Gilang dengan membawa uang saku tambahan,
Gilang menyuruhku berlutut di lantai.
Aku terdiam, mencoba memikirkan kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Gilang.
Sebenarnya aku tahu sadar bahwa rasanya nikmat, tapi aku masih belum ingin
mengakuinya kepada Gilang.
arahnya.
“I-Iya.”
“Bagus, lo udah nerima kenyataan kalo lo cuma sarung kontol.” Gilang mendekatkan
Dengan tangan agak gemetar, aku menarik resleting dan menurunkan celana sekaligus
celana dalam Gilang. Penisnya yang sudah ereksi seketika menampar wajahku.
Menuruti perintah Gilang, aku menjilati kepala penisnya sambil memainkan batangnya
dengan tanganku. Aku juga menjilat-jilat batang hingga biji pelirnya sambil sesekali
mengulumnya dalam.
Aku tanpa sadar mulai terbawa oleh perkataan Gilang. Sebelah tanganku yang
memuaskannya.
Aku semakin bersemangat memainkan penis Gilang. Aku memasukkan batang penisnya
hingga mentok di kerongkonganku, kemudian kepalaku bergerak maju mundur. Aku
juga mengelus biji pelirnya, sesekali agak meremasnya. Aku curi-curi pandang ke arah
wajah Gilang untuk memastikan bahwa aku melakukan hal yang benar.
melihatku.
“Sini naik.” Gilang menepuk-nepuk ranjangnya. “Masukin kontol gue ke memek lu.
Mainin ampe gue puas.”
Mendengar perintahnya, aku kemudian naik ke atas ranjang Gilang, lalu aku
penis Gilang terbenam di dalam vaginaku. Aku mendesah setelah kepala penis Gilang
“Enak, Tuan!”
“Ahhh enak, mhhh…” aku meracau tidak karuan sambil merem melek keenakan.
“Aahhh iya, iya, gue sukaa ahhh… Gue suka dikontolin, aahhh…” aku semakin cepat
menggerakkan pinggulku.
“Ahh iya gue lonte, sarung kontol, wadah peju, gue suka dikontolin, aahhh…”
“Heh, lu keluar?”
Vaginaku terasa ngilu karena dipaksa menerima stimulasi setelah orgasme. Tanganku
“Aaaahhhh…”
Aku meremas seprai semakin kuat ketika rasa ngilu yang kurasakan semakin hebat,
sementara Gilang masih saja menggerakkan penisnya cepat. Lalu, tiba-tiba saja perasaan
ngilu tersebut berubah menjadi rasa geli yang nikmat.
“Aaahhh gelii-hhh…” aku tanpa sadar ikut menggerakkan pinggulku. “Gelii ahhh…”
Dadaku terasa sakit, tapi anehnya vaginaku semakin terasa nikmat. Aku terus meracau
dan tanpa sadar aku sudah sangat dekat dengan puncak kenikmatan.
“Lonte lu Aya. Makan nih peju gue.” Gilang menghujamkan penisnya dalam-dalam, lalu
“Gimana? Masih mau nyangkal kalau lu seneng dikontolin?” tanya Gilang sambil
mengelus-elus payudaraku.
Aku terdiam tanpa menjawab pertanyaannya. Jauh di dalam lubuk hatiku, sebenarnya
aku tahu bahwa aku menikmati perlakuan Gilang terhadapku. Aku menikmati ketika aku
disetubuhi dan dilecehkan oleh laki-laki. Tapi sebagian diriku tidak ingin mengakui hal
tersebut.
“Oke kalau gitu, kita bersih-bersih dulu, terus kita keluar abis ini.”
Dalam hati aku berdebar-debar. Apalagi yang mungkin Gilang lakukan terhadapku?
Part 4
bra dan celana dalam. Karena motor Gilang merupakan motor sport, mau tidak mau aku
duduk mengangkang dengan tangan yang berusaha menahan rokku agar tidak tertiup
Kudengar Gilang tertawa. “Masih aja dijaga itu paha. Memek lu aja udah dipake banyak
orang.”
Pipiku memerah mendengarkan perkataan Gilang barusan. Iya sih vaginaku sudah
dimasuki oleh banyak orang, tapi tetap saja aku risih bagian privasiku dilihat orang lain.
Terlebih sekarang aku sedang berada di lingkungan pasar yang kumuh.
Benar saja, tak lama Gilang memarkirkan motornya di depan sebuah ruko di sekitar
pasar. Ruko itu terletak di tepian pasar yang tidak terlalu ramai. Hanya terlihat beberapa
“Alah, flashing dikit doang, belum juga dientot.” Gilang memotong ucapanku. “Buruan,
Takut akan ancaman Gilang, aku turun perlahan. Vaginaku sempat terekspos beberapa
detik sebelum aku membenarkan posisi rokku. Gilang tertawa-tawa seraya turun dari
“Bokap bakal seneng nih abis lu balik dari sini.” ujar Gilang seraya membawaku ke dalam
ruko.
Dalam ruko yang kumasuki, terdapat beberapa kasur dengan meja di sampingnya.
“Lu bakal punya tattoo.” Gilang berbisik di telingaku. “Asik gak tuh dapet tattoo gratis?”
Mataku terbelalak. Seumur-umur, aku paling takut dengan tattoo karena orang lain
berkata bahwa proses penggambarannya yang sakit.
“Gue gak peduli. Ini perintah bokap, lu harus nurut.” Gilang menarikku ke suatu meja di
pojok ruangan.
Aku berusaha melawan dengan menahan diri di tempatku berdiri. Aku menatap Gilang
penuh permohonan sambil bergumam ‘jangan’ karena aku benar-benar tidak berani di-
tattoo.
Plak!
Gilang berseru di depan wajahku. Orang-orang yang ada di dalam ruko seketika
menatapku rendah. Tak sedikit dari mereka yang bersiul dan menertawakanku. Malu,
aku menunduk.
“Nurut lo makanya.” Gilang setengah berteriak padaku, sementara aku hanya terdiam.
Gilang kembali menarikku ke meja yang sepertinya berfungsi seperti resepsionis. Setelah
Gilang selesai dengan urusannya, aku digiring ke lantai dua. Di sana, terdapat lima
orang yang sepertinya menunggu kedatanganku dan Gilang. Seseorang dari mereka
sudah terlihat duduk di sebuah kursi. Berbeda dengan ruangan di lantai bawah, kasur
yang digunakan di ruangan ini adalah obgyn bed. Melihatnya saja membuatku bergidik
ngeri.
“Bang Rizal, nih yang mau ditattoo.” Gilang mendorongku ke depan orang yang
ternyata bernama Bang Rizal.
“Oh, ini.” Bang Rizal terlihat memperhatikan tubuhku dari atas sampai bawah. “Mulus
Pipiku semakin memerah mendengar pernyataan Bang Rizal. Apalagi setelah aku merasa
bahwa empat orang lainnya memperhatikan tubuhku.
“Udah dong.” Bang Rizal kemudian memperlihatkan sebuah kata dalam aksara
Mandarin. “Nih kata cocok ama nih cewek.”
“Nah, sekarang lu pada urusin nih cewek.” Bang Rizal memerintah keempat orang yang
“Siap, Bos.”
Gilang hanya menyeringai melihatku dipegangi oleh anak buah Bang Rizal. Sementara
“Jangan iket gue! Lepas!” aku berteriak semakin kencang sambil menggerak-gerakkan
tangan ketika sadar bahwa kakiku telah dilebarkan dan diikat ke penyangga paha.
Seolah tak cukup dengan mengikatku dengan tali, betisku diikat dengan plastic wrap
berlapis-lapis. Tanganku disatukan di belakang bed, lalu perut dan tanganku juga
dilapisi oleh plastic wrap yang dililit di kasur. Akhirnya, badan, tangan dan kakiku terasa
“Nah, gitu kan enak.” Bang Rizal mengambil pena, lalu berjalan mendekatiku. “Gue jadi
gampang gambarnya.”
Lelah berteriak, aku mulai menangis sesenggukan. Aku merasakan guratan pena di paha
bawahku. Sepertinya Bang Rizal sedang membuat sketsa karena aku tidak merasakan
sakit yang berarti.
Aku terus menggumamkan kata ‘jangan’ sambil menangis sesenggukan. Sementara itu,
kulihat anak buah Bang Rizal turun ke lantai bawah sehingga hanya tersisa aku, Gilang
dan Bang Rizal.
Tangisanku semakin menjadi mendengar suara mesin jarum tattoo yang mulai
dinyalakan.
Bang Rizal kemudian mulai menusukkan jarum tattoo-nya ke kulit paha bagian
bawahku. Aku kembali berteriak merasakan rasa sakit yang kurasakan. Aku tidak pernah
suka dengan jarum dan sekarang aku harus merasakannya berkali-kali untuk hal yang
tidak kuputuskan sendiri.
“Nih, biar gak sakit-sakit amat.” Gilang kemudian memasukkan sesuatu masuk ke
vaginaku.
dalam mode maksimum. Vaginaku berkedut-kedut merasakan stimulasi dari vibrator itu.
Aku ingin menggelinjang, tapi badanku tertahan oleh plastic wrap yang membungkus
tubuhku.
Kurasakan Bang Rizal kembali menusukkan jarum tattoo ke kulitku untuk menyelesaikan
satu garis. Aku kembali berteriak, tapi bukan karena sakit yang menyiksa seperti
“Itu teriak enak apa sakit?” tanya Bang Rizal sambil mencuri kesempatan untuk
menyentuh vaginaku. “Baru dimasukin vibrator udah banjir.”
Bang Rizal menyelesaikan gambarnya di pahaku tanpa halangan yang berarti. Mungkin
Gilang dan Bang Rizal tertawa dan semakin menatapku rendah. Sebenarnya aku
Aku pikir Bang Rizal hanya akan menggambar tattoo di paha kiriku saja, tapi ternyata
Bang Rizal juga membuat sketsa di paha kananku.
“Bang, sebelah aja, jangan dua-duanya, plis. Sakit…” aku memohon pada Bang Rizal.
“Yang kanan doang artinya cewek, yang kiri doang artinya pelacur.” Bang Rizal
menghentikan penggambaran sketsanya. “Udah puas sama yang kiri doang?”
Aku terdiam, lalu tiba-tiba saja aku terhenyak. Sekarang, di tubuhku sudah tertulis kata
‘pelacur’ yang tidak mungkin aku hilangkan sepenuhnya walaupun suatu saat nanti aku
berusaha menghapusnya. Terlebih lagi aku menikmati proses penggambarannya karena
vibrator yang dipasang di vaginaku. Mau digambar atau tidak, huruf di paha kananku
tidak akan mengubah apa-apa.
“Santai aja, pelan-pelan juga lo bakal ngerti kalo tujuan hidup lo cuma buat muasin
cowok.” Gilang kembali memasukkan vibrator ke dalam vaginaku yang basah. “Nikmatin
aja.”
Aku ingin menangis dan berteriak bahwa aku bukan pelacur, tapi tubuhku seakan
mengkhianatiku. Perasaan geli-geli nikmat yang barusan sempat terhenti kini hadir lagi.
Bang Rizal masih menyelesaikan sketsanya, sementara aku sedang mati-matian
menahan nikmat.
“Cewek mana yang mau-maunya ngentot cuma karena gak punya duit?” Gilang berbisik
seraya memainkan klitorisku. “Kalo bukan pelacur, namanya apa?”
Aku memejamkan mata dan menggigit bibir kuat-kuat. Tidak, aku tidak boleh menyerah
sekarang.
“Sekarang gue tanya, sadar gak lo siapa aja yang udah ngentot lo dari kemaren ampe
sekarang?”
“Tanya temen-temen lo, ada gak yang mau dientot sama dosen? Sama sopir? Sama
abang ojek?”
“Itu artinya, lo emang murahan!” gesekan jari Gilang di klitorisku semakin kencang.
Hatiku terasa panas, tapi aku tidak memungkiri bahwa sebagian kecil hatiku mengamini
perkataan Gilang. Aku menggeram untuk menahan nikmat di vaginaku. Lalu, tiba-tiba
baju di bagian dadaku dibuka dan sepasang tangan memainkan kedua putingku. Saat
membuka mata,kulihat Bang Rizal sedang asyik memainkan jari di kedua putingku yang
mencuat.
“Ahhh!”
Aku akhirnya menyerah setelah Bang Rizal mengemut puting susuku. Kepalaku
menggeleng-geleng, berusaha menahan rasa nikmat yang kembali melanda. Vaginaku
yang memang butuh dipuaskan terasa berkedut dan menjepit-jepit vibrator yang
dipasang Gilang. Kalau tidak diikat, aku pasti sudah menaik-turunkan pinggulku dengan
cepat.
Mulutku tidak henti-hentinya mengeluarkan desahan. Urat leherku terasa kencang dan
kepalaku bergerak-gerak semaunya.
“Ahh ah ah ampun Tuan…” aku semakin meracau tidak karuan. “Geliii ampuun…”
vibrator yang bersarang di dalam vaginaku dengan sebelah tangannya yang lain untuk
kemudian digerakkan maju mundur. Tak ayal aku terbawa ke jurang orgasme.
Masih terengah-engah pasca orgasme, aku mendengar suara langkah kaki mendekat.
“Wah wah wah, pantes papa telpon gak diangkat. Ternyata lagi asyik di sini.”
“Maaf Pa, gara-gara lonte kita gatel.” Gilang menyahut sambil tetap memajumundurkan
tangannya di dalam vaginaku. “Liat nih memeknya banjir.”
“U-dahh…” aku memohon pada Gilang setelah vibrator yang ia pegang mengenai titik
“Ahh jangan Tuan… Linu… Aaahhh…” aku yang kepayahan hanya bisa memohon-mohon
frustrasi sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tapi, karena terus-terusan dirangsang, vaginaku akhirnya kembali merasa kegelian. Aku
aku melihat Pak Eko sedang memperhatikan kami sambil menyeringai senang.
“J-Jangan berhentii aahhh mau keluar nghhh…” aku menggerak-gerakkan kepala hingga
rambutku kusut. “Dikit lagiiihh aahhhh iyaaa-hhh keluaarrrr…”
Aku kembali mengalami orgasme, namun kali ini aku mengalami squirt karena kontrol
“Dia seneng kalau ada yang nonton.” Pak Eko tertawa, lalu mengalihkan pandangannya
pada Bang Rizal. “Udah, lanjut lagi tattoo-nya. Saya tunggu di bawah.”
“T-Tuan, gak usah ditattoo lagi Tuan…” aku memohon pada Pak Eko. “Sakit Tuan, jangan
ditambah lagi…”
“Diem kamu, jadi lonte jangan mau enaknya aja.” Pak Eko menjawab tanpa melihatku.
“Don, kalau bisa tambah satu di deket pusernya. Apapun buat nandain kalau dia lonte.”
Kudengar suara mesin dari alat jarum tattoo Bang Rizal kembali dinyalakan seiring
dengan langkah kaki Pak Eko yang semakin menjauh. Selanjutnya, hanya terdengar
suara kesakitanku saat Bang Rizal menambah tattoo di paha dan bawah pusarku.
Katanya, Bang Rizal menambahkan kata ‘WHORE’ dengan pusarku sebagai huruf O.
Aku sekarang berada di mobil Pak Eko setelah membersihkan diri dan berganti baju
menjadi rok mini super ketat dan sebuah crop top berwarna hitam. Sama seperti Gilang,
Pak Eko tidak mengizinkanku menggunakan dalaman. Aku duduk di kursi belakang
dengan Pak Eko, sementara di kursi depan hanya ada supirnya yang kemarin sempat
menyetubuhiku.
“Kamu udah ngentot sama supir saya?” tanya Pak Eko sambil mengelus-elus pahaku.
“Legit banget memeknya Pak.” sahut supir Pak Eko sambil mengacungkan jempolnya ke
udara.
“Terus pas dientot kamu manggil dia apa?” tanya Pak Eko lagi.
Aku menggeleng.
“Tapi kontolnya inget?” tanya Pak Eko seraya menggerakkan tangannya ke paha
dalamku.
Pak Eko terkekeh. “Gak salah saya milih kamu. Temen kamu, si Nadia, dari kemaren
ngegodain saya biar bisa lulus cepet. Tapi gak saya ladenin karena saya udah punya
kamu.”
Ah, Nadia, si ayam kampus yang sudah menjadi rahasia umum di kampusku. Ternyata
rumor bahwa Nadia sering menggoda dosen agar bisa mendapat nilai memuaskan
benar adanya.
“Kenapa, Tuan?”
“Soalnya kamu punya bakat ngelonte, dia enggak. Kata dosen lain sih dia menang seksi
doang, mainnya kurang.” kurasakan tangan Pak Eko menyelinap ke belahan vaginaku.
“Nah, kamu kan beda. Digodain dikit udah basah.”
Pak Eko dan supirnya tertawa, sementara aku menunduk untuk menahan malu.
Tangan Pak Eko semakin bergerilya di tubuhku. Awalnya Pak Eko hanya mengelus-elus
pahaku saja, tapi kemudian tubuhku kembali dikerjai. Rokku diangkat hingga pinggang,
atasanku dinaikkan, posisiku dibuat setengah tertidur, rambutku yang tadinya terurai
rapi kembali dibuat acak-acakan. Mengikuti permainan, aku mendesah-desah saat Pak
Eko mengerjai tubuhku.
Saat sedang menikmati belaian tangan Pak Eko, tiba-tiba saja Pak Eko menyuruh
“Nah, berhenti dulu ya sayang.” Pak Eko merapikan kembali bajuku. “Kamu tolong beliin
saya barang-barang yang ada di list ini di minimarket itu. Saya tunggu di mobil.”
Aku membaca daftar belanjaan Pak Eko. Tercatat barang-barang seperti kondom dan
minuman energi.
“Titipan temen saya.” Pak Eko membukakan pintu mobil di sebelahku. “Udah, tolong
daftar belanjaan itu, kemudian aku menghampiri kasir untuk membayar. Dalam
keranjang belanjaanku, terdapat minuman energi, sosis siap saji, es krim, krim kocok,
tisu basah, dan selotip. Sementara petugas kasir meng-scan barang belanjaanku, aku
memilih-memilih kondom di rak yang ada di meja kasir.
“Mas, sama rokok mentholnya satu ya. Koreknya juga.” kataku sambil menaruh
“Banyak amat beli kondomnya neng, nyetok?” tanya petugas kasir tersebut sambil
menahan tawa.
Kondom dan rokok serta korek yang kubeli disatukan dalam satu plastik kecil,
sementara sisanya disatukan di plastik yang agak besar. Kuserahkan tiga lembar uang
lima puluh ribuan untuk membayar belanjaanku.
“Makasih ya neng.” petugas kasir tersebut menyerahkan struk dan kembalianku. “Lain
kali kalau main ajak-ajak dong.”
Petugas kasir tersebut tertawa, sementara aku yang terlalu malas meladeni langsung
buru-buru berjalan keluar dari minimarket. Saking terburu-buru, aku tersandung dan tak
sengaja mempertontonkan selangkanganku yang tidak terbungkus apa-apa pada sang
petugas kasir. Tawa petugas kasir tersebut semakin kencang, sementara aku hanya
memperbaiki pakaianku seadanya sebelum membuka pintu minimarket. Sayup-sayup,
Sesaat setelah sampai di pinggir jalan, aku terperangah saat tidak menemukan mobil
Pak Eko di tempat barusan. Aku bertambah panik setelah sadar bahwa aku tidak
membawa telepon genggamku. Kalau sudah begini, tidak ada lagi yang bisa kulakukan
selain menunggu Pak Eko di pinggir jalan.
Saat sedang menunggu Pak Eko, sebuah mobil sedan tiba-tiba menghampiriku. Sang
“Alah, gak usah jual mahal lo, lo pikir gue gak ngerti tulisan di paha lo?”
Seketika aku sadar bahwa tattoo di pahaku cukup besar hingga bisa terbaca dari jarak
tiga meter.
“Udah sebut aja, berapa semalem? Gue mau nyoba barang baru nih.”
“N-Nggak gitu, s-saya bukan disewa.” jawabku lagi. “Saya ada yang punya.”
“Yaudah gue tungguin ampe yang punya lu dateng. Ampe lu boong, gua seret lu masuk
mobil.”
Aku yang mulai was-was semakin gelisah di tempatku. Untungnya, tak lama mobil Pak
Eko mulai terlihat dan berhenti di belakang mobil sedan itu. Pak Eko kemudian
menghampiriku.
“I-Ini Pak—eh, Tuan, bapak ini mau nyewa saya.” jawabku dengan pipi memerah.
Pak Eko kemudian mendekati pemilik sedan itu. “Bener bapak mau nyewa ini lonte?”
“Tadinya iya Pak, tapi kalau bener ada yang punya sih ya udah saya cari yang lain aja.”
“Bapak kalau mau pake ga usah nyewa, nanti saya kirim dia ke tempat bapak. Tapi
Aku merasa seperti objek yang dengan mudahnya dipinjam-pinjamkan. Tapi anehnya,
vaginaku malah berkedut-kedut membayangkan bahwa aku bisa dengan mudah ditiduri
orang lain.
Kulihat Pak Eko dan pengemudi sedan tadi saling bertukar kartu nama, lalu aku dibawa
kembali ke dalam mobil Pak Eko.
“Maaf ya sayang, barusan saya habis beli perkedel Bondon di deket stasiun.” ujar Pak
Aku terdiam dan menunduk. Aku memainkan jari-jariku karena tidak tahu harus berkata
apa.
Aku membuka pahaku dengan sebelah paha disampirkan pada kaki Pak Eko.
“Gak apa-apa, wajar kok lonte seneng ada yang nawar. Rasanya punya harga walaupun
cuma beberapa ratus ribu.”
Seharusnya aku sedih atau marah mendengar pernyataan Pak Eko, tapi aku malah diam,
“Nah, mending kamu nyoba dulu perkedel yang tadi saya beli.”
“Ini perkedelnya…” Pak Eko lalu mengoleskan perkedel yang masih panas tadi ke
vaginaku yang basah. “Ini bondonnya. Nih.”
Pak Eko menyodorkan perkedel beroleskan cairan vaginaku sendiri di depan mulutku.
Aku masih mengatupkan mulutku dan berusaha meminta belas kasihan Pak Eko dengan
menatap matanya. Usahaku tidak membuahkan hasil karena Pak Eko tiba-tiba
“Buka nggak itu mulut, mau saya kasih kamu ke bapak tadi malem ini juga?”
Takut dengan ancaman Pak Eko, aku sedikit-sedikit membuka mulut dan perkedel rasa
Aku mengunyah perkedel itu pelan-pelan, mencoba melupakan fakta bahwa aku sedang
memakan cairan vaginaku sendiri. Dengan susah payah, aku menelan perkedel itu lewat
kerongkonganku.
Pak Eko tertawa melihat ekspresi tersiksaku. Lalu, Pak Eko dan supirnya bergantian
mengoleskan perkedel ke vaginaku untuk mereka makan sendiri atau kembali disuapkan
secara paksa padaku. Kalau vaginaku sudah kering, Pak Eko akan mengerjai tubuhku
hingga cairan vaginaku kembali keluar. Itu semua mereka lakukan hingga kantung
plastiknya kosong.
Terlalu fokus dikerjai, aku tidak sadar bahwa sekarang aku sudah berada di pelataran
sebuah villa.
“Kamu istirahat dulu malem ini. Besok, kita pesta sampai larut.” ujar Pak Eko sebelum
Mengingat barang-barang yang tadi kubeli, aku jadi bergidik ngeri. Apa yang mungkin
Pak Eko lakukan dengan berbotol-botol minuman energi dan selusin kondom?
Part 5 | FINAL
Ternyata supir Pak Eko yang membangunkanku barusan. Kurasakan tangannya yang
“Siap-siap apa sih?” aku terduduk sambil menutup badan bagian depanku dengan
selimut.
Walaupun kadang-kadang kurang ajar, supir Pak Eko ini sebenarnya baik juga. Kalau
menurutku sih, hanya sangat mesum saja.
“Bapak mau remes toket dikit aja neng. Gemes liat toket neng dari semalem.” ujar supir
Aku memutar bola mata, lalu menurunkan selimutku. “Ya udah Pak, sini.”
Supir Pak Eko langsung meraih kedua payudaraku yang tidak terbungkus apa-apa. Aku
memekik kesakitan karena payudaraku tiba-tiba diremas dengan sangat kasar.
“Alah biasanya juga dikasarin Bapak atau den Gilang nengnya keenakan.” ujarnya sambil
terus meremas kedua payudaraku dengan gemas. “Paling memek neng sekarang juga
banjir.”
“Enggak Pak…” aku menjawab sambil menggigit bibir bawahku untuk menahan linu.
“Masa?” supir Pak Eko tiba-tiba menghentikan remasannya dan memasukkan sebelah
Supir Pak Eko mengoleskan tangannya yang basah oleh cairan vaginaku ke payudaraku,
“Dasar perek sialan!” supir Pak Eko menampar kedua payudaraku sekaligus kuat-kuat
hingga aku menjerit. “Kalau bukan punya majikan gua, udah gua abisin lu pagi ini.”
Selesai berkata begitu, supir Pak Eko menjepit putingku kuat-kuat, lalu meninggalkanku
begitu saja di dalam kamar. Aku merasa tidak karuan, tapi juga bersyukur karena beliau
Setelah mengatur nafas dan memijit-mijit payudaraku yang terasa perih, aku memegang
vaginaku sendiri. Ternyata benar apa kata supir Pak Eko bahwa vaginaku memang
Memilih untuk tidak ambil pusing, aku berjalan menuju kamar mandi. Di sana, aku
menemukan sepasang bra dan celana dalam berwarna kulit serta sebuah catatan yang
‘Mandi yang wangi, lalu pasang BH sama CD yang sudah saya taruh. Selesai siap-siap,
kamu harus merangkak sampai ruang tamu dan berlutut menghadap TV. Saya tunggu
Aku meringis ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 7.15. Tidak ingin datang
terlambat, aku akhirnya hanya mandi sekenanya dan langsung memakai bra dan celana
dalam, lalu segera merangkak ke luar kamar. Aku meringis ketika ingat bahwa aku harus
menuruni anak tangga dengan merangkak. Sampai di bawah, lutut dan telapak
Aku bersyukur dalam hati ketika melihat jam tepat menunjuk ke jam 7.30. Dengan
Tak lama, kudengar langkah kaki menuju ke arahku. Dari suaranya, sepertinya ada lebih
dari satu orang.
“Bagus Aya, kamu sudah siap sebelum saya datang.” Pak Eko berbisik di telingaku.
Aku membalikkan badan untuk menghadap sofa. Betapa terkejutnya aku melihat lima
dosenku berkumpul di sofa tersebut. Kulihat semuanya menyeringai ke arahku.
“Pagi, Pak Heru.” sapaku pada dosen pertamaku seraya menciumi kakinya.
“Pagi, Aya. Udah jago jadi perek ya sekarang.” jawab Pak Heru diiringi gelak tawa dosen-
dosen lainnya. Kurasakan wajahku semakin memerah.
“Wah baru juga ketemu langsung main tampar aja Pak.” sahut Pak Heru yang mulai
berani memegang-megang tubuhku.
“Lah katanya si Aya bisa kita nikmatin sepuasnya, iya kan Pak Eko?”
“Iya, Pak Tommy. Budak saya bebas dipakai sepuasnya.” jawab Pak Eko.
“Widih, jago nih pasti.” sahut Pak Tommy seraya menampar pantatku lebih keras hingga
aku memekik.
Selesai menciumi kaki Pak Tommy, aku beralih ke dosenku yang ketiga. “Pagi, Pak Budi.”
“Pagi, Aya.” kurasakan tangan Pak Budi mengelusi tubuhku dengan halus. “Makin seksi
aja.” Mendengarnya, aku menciumi kaki Pak Budi dengan lebih semangat sebagai
“Pagi, Aya.” tangan Pak Ahmad pun mengelusi tubuhku, namun tidak sehalus Pak Budi.
“Kalau dulu saya tahu kamu bisa dipake, kamu tinggal saya suruh ngangkang, nggak
Ah iya, aku jadi ingat dulu aku harus mengikuti ujian perbaikan hingga dua kali karena
tidak lulus-lulus.
“Kamu emang lebih cocok jadi lonte daripada mahasiswi.” tambah Pak Ahmad seraya
meremas pantatku. Kurasakan vaginaku berkedut.
“Ayo lah Pak, gak usah malu-malu gitu.” sahut Pak Heru.
“Iya Pak, mainin perek kaya dia mah gak usah kebanyakan mikir.” Pak Tommy
menimpali.
“Nanti aja Pak, saya siksa pake hasil eksperimen saya.” jawab Pak Hendra.
“Sekarang aja lah Pak, kita mau liat.” lanjut Pak Tommy.
“Sabar sabar.” Pak Hendra menarik kepalaku dari kakinya. “Udah cukup, balik lagi ke
tuan kamu.”
Setelah selesai menciumi kaki Pak Hendra, aku kembali merangkak ke samping Pak Eko.
“Bagus, Aya.” Pak Eko mengelus-elus kepalaku layaknya seekor anjing. “Sekarang kita
Selesai berkata begitu, tiba-tiba saja celana dalam dan bra yang kupakai mengetat.
Kurasakan sebagian bahan di bagian puting dan klitorisku berubah menjadi kenyal dan
hangat.
“T-Tuan, bajunya kenapa?” tanyaku seraya memegang-megang bra dan celana dalamku
Aku melirik Pak Hendra dengan mata horor sebelum tangannya memencet sebuah
tombol di remot kecil.
“Aahhh…”
Aku refleks merangkak saat tiba-tiba saja bagian kenyal di puting dan klitorisku
bergetar. Rasanya sungguh geli, melebihi rangsangan apapun yang pernah kuterima
sebelumnya.
“Aahhh geli Tuan, aahhhh…” aku merasakan kakiku bergetar menahan rasa nikmat yang
“Hahaha dasar anjing betina, dikasih enak dikit langsung minta lebih.” sahut Pak Ahmad
diiringi tawa dosen-dosenku yang lain. “Tau kamu bisa dipake, udah saya garap dari
Aku sudah siap dengan orgasme yang akan datang saat tiba-tiba getaran di puting dan
klitorisku berhenti dan bahan kenyal tersebut berubah menjadi dingin. Seketika
badanku kejang-kejang karena tidak jadi orgasme.
“Saya udah masang bahan yang bisa otomatis bergetar di puting sama klitoris kamu.”
Pak Hendra kemudian mengangkat remot kecil yang barusan ia pegang. “Pakai remot
ini, saya sudah memasukkan input data kapan baju kamu harus bergetar. Alat ini sudah
pakai teknologi AI, jadi kamu nggak akan dapet orgasme selama kamu masih pake baju
itu.”
“Udah mulai nafsu lagi aja dia.” ujar Pak Hendra seraya mendecih.
mati-matian menahan desahan karena tidak ingin dosen-dosenku tahu bahwa diam-
diam aku senang dilecehkan.
“Merangkak sana, emut penis dosen-dosen yang udah ngajarin kamu.” ujar Pak Eko
Sementara Pak Eko meninggalkan ruangan, aku mati-matian merangkak menuju sofa
tempat dosen-dosenku duduk. Aku menggigit bibir hingga bibir bawahku sakit.
“Udah lah, nggak usah gengsi gitu. Desah mah desah aja, kita tahu kok kamu nafsu.”
“Mmhh…” aku akhirnya mendesah kecil ketika getaran di klitoris dan putingku terasa
semakin kuat.
“Alah, lama!” Pak Tommy tiba-tiba bangkit dari duduknya, lalu menarik rambutku
hingga wajahku tepat berada di depan selangkangannya. “Isep punya saya dulu. Yang
bener isepnya.”
Aku membuka ikat pinggang dan celana Pak Tommy dengan agak terburu-buru. Dari
perilakunya, Pak Tommy terlihat sangat dominan. Aku hanya tidak ingin mencari
masalah dengan Pak Tommy dan mendapatkan hukuman, jadi aku ingin memberikan
pelayanan yang terbaik padanya.
“Nah, bener, isep terus kaya gitu.” Pak Tommy berkata seraya menjambak rambutku ke
Kedutan vaginaku semakin menjadi-jadi karena perkataan Pak Tommy, begitu juga
getaran yang kurasakan di titik-titik sensitifku. Menahan nafsu, aku mengerang tertahan
“Pinter ngelonte kamu ya.” geram Pak Tommy sambil menahan kepalaku dan
memasukkan penisnya dalam-dalam ke dalam mulutku. “Dasar lonte sialan.”
Getaran yang kurasakan semakin kencang karena tak sadar vaginaku berkedut. Sebelum
“Udah udah, gantian sepong yang lain.” ujar Pak Tommy seraya menarik lepas penisnya
“Kita pake lontenya bareng, bapak-bapak. Fungsi ini lonte kan bikin kita-kita ngaceng.”
Aku merasakan tangan-tanganku diambil oleh Pak Heru dan Pak Hendra agar aku bisa
mengocok batang penis keduanya. Jadi, sekarang aku sedang berlutut dengan mulut
tersumpal penis dan kedua tangan mengocok batang penis dosen-dosenku. Karena
nafsuku terus naik tapi tak kunjung mendapatkan orgasme, secara tidak sadar aku
“Kesenengan dia dapet banyak kontol.” kudengar Pak Ahmad mendecih setelah berkata
demikian.
“Mantep juga kocokannya.” komentar Pak Heru. “Padahal dulu dia main sama anak-anak
Aku mati-matian menahan diri agar tidak terangsang dengan kata-kata mereka, tapi
tubuhku menolak untuk bekerjasama. Kedutan yang kurasakan semakin kencang sampai
Aku mengangguk-angguk sambil tetap mengulum penis Pak Ahmad dengan semangat.
Rasanya aku sudah menyerah untuk menolak kenikmatan yang datang bertubi-tubi.
“Aduh, bukannya kita nggak mau, tapi kita takut kena penyakit kalau masukin kontol ke
memek kotor kamu. Gimana tuh?” ujar Pak Heru yang diiringi oleh tawa dosen-dosenku
yang lain.
Badanku kembali berkelojotan karena baju yang kukenakan kembali terasa dingin.
“Wah Aya… Baru disuruh nyepong aja udah mau orgasme dua kali. Gimana kalau
dientot?” hina Pak Hendra seraya meremas payudaraku.
“Pak Budi, sini Pak, cicipin servisnya.” kudengar Pak Ahmad berkata begitu sambil
melepaskan penisnya dari mulutku dan berdiri dari tempatnya. Pak Budi kemudian
menggantikan posisi Pak Ahmad dan tanpa ba-bi-bu langsung memasukkan penisnya
ke dalam mulutku.
“Wah, sepongannya udah selevel perek yang biasa saya pake.” komentar Pak Budi
sambil memegang kepalaku. “Jago juga nih Pak Eko milih cewek.”
Aku mengulum penis Pak Budi sebelum digantikan oleh penis Pak Heru, lalu pak
“Aya, sini sayang.” panggil Pak Eko. Aku bangkit dari posisiku yang sedang menungging
dengan lidah yang menjilat-jilat ujung penis Pak Tommy dan tangan yang bergerilya
untuk mengelusi penis-penis dosen-dosenku yang lain. Aku kemudian merangkak ke
“Enak Pak, jago juga Bapak milih perek.” jawab Pak Ahmad.
“Bagus, Aya.” Pak Eko mengelus-elus kepalaku dengan sayang. “Nah, kalau gitu,
Pak Eko memanggil supirnya, lalu kulihat supir Pak Eko masuk ke ruangan bersama
seorang wanita dengan postur tubuh yang tidak asing bagiku. Tangan dan kakinya
diborgol, sementara matanya ditutup selembar kain hitam. Mataku membelalak ketika
sadar bahwa aku memang mengenali wanita tersebut.
“J-Jinan…?” aku berbisik pelan, masih tidak percaya dengan apa yang kulihat.
Kulihat ia meronta-ronta, bahkan saat supir Pak Eko melepaskan tutup matanya.
“Eh liat, seneng tuh si perek liat temennya mau diperkosa.” kudengar Pak Ahmad
Aku menahan diriku mati-matian dengan menggigit bibirku kuat-kuat. Namun getaran
di puting dan klitorisku yang semakin intens membuatku ambruk dan menyerah pada
“Heh perek, bisa-bisanya lu horny liat temen lu diiket kaya gitu.” sahut Pak Tommy yang
melihatku kepayahan.
Aku tidak menjawab dan memilih untuk terus menggerak-gerakkan pinggulku hingga
rasa dingin itu datang lagi. Aku meneteskan setitik air mata karena siksaan birahi ini.
Sungguh, aku hanya ingin orgasme dan melampiaskan hasratku.
“Jadi gini Aya.” Pak Eko menghampiriku yang kepayahan di lantai. “Kita mau nikmatin
temen perek kamu ini, tapi dia masih gak mau. Kamu bujuk dia sampai dia mau
ditidurin, baru saya bolehin kamu orgasme.”
“Jangan Pak, jangan sentuh temen saya.” aku bersimpuh di kaki Pak Eko. “Tolong jangan
“Ngelunjak kamu ya.” Pak Eko menendang tubuhku dan menendang vaginaku,
membuat getaran itu muncul lagi.
beraturan.
“Ayo Aya, mau dipuasin nggak memeknya?” tanya Pak Eko sambil terus-terusan
menendang-nendang kecil vaginaku.
“Aahhhh nggak kuat, saya nggak kuat Pak…” secara tidak sadar aku menggerak-
gerakkan pinggul untuk mendapatkan kenikmatan yang lebih dari kaki Pak Eko.
Aku sempat melihat mata sayu Jinan sebelum merangkak dan bersimpuh di kakinya.
Menyingkirkan sisa keraguanku, aku berkata lirih pada temanku. “Nat, tolong gue Nat…
Please…”
“Lu yang harusnya nolong gue Ay, nanti gue bakal nolongin lu.” kudengar Jinan balik
memohon padaku.
“Tapi gue mau kontol Nan… Kontol enak…” aku kembali menggoyang-goyang
pinggulku karena rasa geli di vaginaku yang semakin menjadi. “Percaya sama gue Nan,
kontol tuh enak…”
“A-Aya, lo—“
“Nan, gue serius… Cobain dulu memek lu dikontolin, ahh enak, aahhh…” lagi, klitorisku
Tak lama kemudian, getaran itu kembali lagi. Kewarasanku yang semakin menipis
membuatku meracau tidak jelas sambil terus memohon temanku untuk mau disetubuhi
oleh dosen-dosen kami. Semakin aku mencoba untuk melampiaskan hasratku, semakin
aku tersiksa karena hasratku dipaksa untuk berhenti tiba-tiba. Tanpa sadar aku pun
“Jadi? Mau dientot?” kulihat Pak Eko meremas sebelah payudara Jinan, lalu temanku itu
mengangguk pelan.
“Hebat kamu Aya.” Pak Eko mengelus rambutku sayang. “Sesuai janji, kamu bakal saya
Kulihat Pak Eko meraih remot kontrol di meja, lalu beliau menyeretku keluar ruangan
hingga menuju halaman belakang. Mataku terbelalak melihat delapan orang lelaki
“Kalau temen kamu dapet kontol dosen, kamu cuma dapet kontol supir dan penjaga
villa.” bisik Pak Eko di telingaku sebelum mendorongku ke tengah-tengah sekumpulan
lelaki itu. “Jangan lupa orgasme yang banyak. Bersyukur akhirnya kamu dapet kontol.”
Kurasakan bra dan celana dalamku mulai mengendur dan tidak lagi bergetar. Tanpa
menunggu waktu lama, tangan-tangan kasar supir-supir dan penjaga villa itu mulai
menggerayangi tubuhku dan melucuti kain dari tubuhku.
“Gila, udah banjir banget!” sahut seseorang diantara mereka. “Langsung tancep juga
“Yaudah, tancepin aja.” sahut seorang lagi. “Paling gak sampai semenit dia udah
orgasme.”
sedang bersarang di vaginaku. Benar saja prediksi mereka, aku orgasme hebat dalam
waktu kurang dari semenit.
Tubuh lemahku hanya bisa menerima semua perlakuan dari kedelapan lelaki ini. Namun,
tak bisa dipungkiri, aku sepertinya memang suka disetubuhi oleh laki-laki. Walaupun
badanku sangat lelah, namun aku juga tidak bisa menolak kenikmatan yang aku
dapatkan setelah berbagai macam penis bergiliran menikmati vaginaku. Aku bahkan
Apakah ini berarti aku sudah menerima nasibku sebagai budak seks?
TAMAT