Anda di halaman 1dari 69

SINOPSIS

Tari adalah anak yang berusia 9 tahun. Dia duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar.
Keterbatasan fisiknya yaitu tangan kanannya yang hilang karena kecelakaan mobil
sewaktu masih umur 4 tahun membuat dia tidak sama dengan teman lainnya. Ayahnya
meninggal, juga karena kecelakaan itu dan hanya menyisakan seorang istri dan
anaknya, kerabat-kerabat dari ayah maupun ibunya pun tidak ada yang membelas
kasihi, tidak ada yang peduli.

Sebenarnya Tari bersekolah di SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa), tetapi karena
Tari ingin sekali sekolah di SD (Sekolah Dasar), akhirnya dia bersekolah di SD. Menurut
Tari sekolah di SD lebih seru dan banyak teman, namun perkiraannya salah. Ternyata
cacian, hinaan, cemoohan dari temannya adalah makanannya setiap hari. Dan yang
paling parah, bunda atau gurunya tidak pernah tahu akan hal itu. Tari pun juga tidak
pernah memberi tahukannya, karena dia berpikir hal itu akan menyusahkan mereka
saja. tetapi masih ada 1 anak yang bisa membuatnya seperti yang lain, yaitu Lia
sahabatnya dari kecil. Dia selalu merasa baik-baik saja bila bersamanya.

Akhir-akhir ini hidupnya banyak didatangi masalah,hingga pada saat ibundanya


meninggal dia benar-benar terpuruk, tetapi keterpurukan itu akhirnya dibayar dengan
keajaiban yang datang dihidupnya. Keajaiban yang mustahil. Tetapi ini benar-benar
datang di kehidupannya.

Semua keajaiban ini membawanya mencapai puncak keajaibantertinggi di


hidupnya, salah satunya adalah sebuah impian. Sebuah impian yang selalu dia inginkan
sejak kecil. Impian yang selalu berusaha dia wujudkan. Selain itu masih ada juga
keajaiban lainnya yang sangat berarti di hidupnya dan dia berkata bahwa tidak akan
pernah melupakan keajaiban tersebut.

SEBUAH IMPIAN
“Dulu, aku selalu semangat saat mendengar sekolah dasar, aku yang
menginginkan untuk pindah.”

“Dek awas!”

“Aku pikir, semua akan seperti yang aku harapkan. Ternyata tidak!”

“DEK AWAS ADA MOBIL DI DEPANMU!!!”

“AAAAAAAA!!!”

BRRUKKK!!!

Aku berpikir, bahwa aku akan tertabrak, ternyata salah besar. Aku berhasil
diselamatkan oleh seorang kakak-kakak. Walaupun pada akhirnya kami jatuh sampai
menimbulkan bunyi.Kami segera berdiri sambil membersihkan tangan kami masing-
masing yang kotor karena jatuh tadi. “Kamu tidak apa-apa dek?” tanya kakak itu.

“Eh, iya tidak apa-apa kak,” kataku gugup karenamasih trauma.

“Kenapa tadi melamun...? kan jadinya bahaya,” tutur kakak itu dengan lembut.
Aku sempat bingung saat kakak itu berkata seperti itu.

“Iya dek, kamu tadi jalan sambil melamun dan kamu tidak sadar kalau kamu
berada di tengah jalan dan dari arah Barat ada mobil yang melaju kencang,”
jelasnyaseolah tahu apa yang aku pikirkan sebelumnya.

Aku meminta maaf kepadanya dan aku meminta izin untuk segera pulang,
tetapi tangan kakak itu mencegahku. Ternyata dia ingin berkenalan denganku, aku pun
memperkenalkan diri dan sebaliknya. Dan tetnyata nama kakak itu adalah Rudiyant.
Setelahnya aku segera pulang karena pasti bunda sudah menungguku.

Sampai rumah aku segera melepas sepatu, lalu segera masuk rumah dan tak lupa
untuk mengucapkan salam. “Assalamualaikum, Tari pulang bunda,” teriakku.

“Eh...anak bunda pulang,” tutur bundaku lembut.

“Ganti baju dulu ya...habis itu makan, bunda masak tongseng cumi-cumi
kesukaan kamu loh....”
“Iya bunda,” kataku sambil tersenyum bahagia untuk menutupi kesedihanku.

***

Hari sudah menjelang malam, tetapi aku masih melantunkan ayat suci Al-
Quran. Suara derap langkah mendekati keberadaanku yang sekarang sedang berada di
tempat shalat. “Kok belum tidur nak?” tanya bundaku.

“Iya, bentar lagi bun,” kataku sambil tersenyum.

“Ya sudah, bunda tinggal dulu ya...?”

“Iya bunda.. selamat malam,” ucapkumasih sambil tersenyum.

“Cepat tidur ya, besok kamu harus sekolah kan...?”

Mendengar kata sekolah, wajahku berubah sendu. Namun aku berhasil


menyembunyikan dengan secepat mungkin, sehingga hanya tampak wajah seperti
biasa, yaitubahagia. “ Siap bunda,” kataku sambil memperlihatkan deretan gigiku yang
bersih dan rapi.

***

Semburat kuning mendesak mataku untuk segera terbuka. Aku membuka


mata pelan-pelan sambil menatap kosong ke depan. Mengingat hari-hariku saat ini
setelah pindah sekolah. Aku sedih, tapi aku selalu bisa bersabar, dan aku juga selalu
berkata akan indah pada waktunya. “TARI HARUS BISA!!!” tegasku. Selanjutnya aku
pergi ke kamar mandi yang pastinya untuk mandi. Karena kata bunda kebersihan
sebagian dari iman.

Setelah selesai mandi dan berdandan, aku segera menuju ke tempat makan untuk
sarapan bersama bunda. “Masak apa bun?” tanyaku.

“Bubur, kamu mau kan?”

“Apa pun masakan bunda, Tari pasti mau kok. Karena masakan paling enak
nomor satu di dunia hanya punya bunda,” tuturku menggebu-gebu. Bunda mengacak-
acak rambutku gemas.
“Tari di dunia ini masih punya bunda, Lia, Om Hasan, Tante Ros, dan tentunya
punya Allah, jadi Tari harus jadi anak yang baik ya nak, biar tidak mengecewakan. Kalau
kamu jadi anak durhaka kamu sendiri nanti yang rugi,” tutur bundaku.

“Insyaallah Tari akan melakukannya bun.”

Setelah selesai sarapan, aku segera memakai sepatu dan segera berangkat naik
angkot seperti biasanya. Mengapa tidak bundaku saja yang mengantarkan? karena
keadaan bunda sedang tidak sehat, bunda punya penyakit yang kalau terkena udara
terlalu banyak akan merasakan sesak. Jadi aku juga harus mengerti dalam menjadi
anak yang baik.Setelah sampai sekolah, aku melangkah sedikit demi sedikit untuk
menuju kelasku. Kepalaku kutundukkan, keringat dingin selalu saja berhasil meluncur
dari dahiku.

“Hey, kamu gimana sih! kembalikan pensilku Mamat!” Terdengar teriakan Lia
dari dalam kelas, yang memang kesukaannya teriak-teriak.

“Tariku, udah datang ya,” sahutnya lebay.

Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala sembari tersenyum. Seperti biasa,
aku langsung menuju tempatku duduk dan segera mengeluarkan buku dan pensil
kesayanganku untuk segera menorehkannya pada buku tulis. Bukan untuk menulis
pelajaran, tetapi untuk menulis sebuah cerita. Karena sejak kecil aku menyukai dunia
sastra, yaitu menulis. Dan aku ingin mewujudkannya mulai saat ini. Tetapi aku selalu
gagal, mengapa? karena aku tidak bisa menulis. Aku sangat sedih, entah mengapa aku
tidak bisa melakukannya.

Tiba-tiba bel berbunyi, semuanya segera memasuki kelas disusul Guru Bahasa
Indonesiaku yang bernama Bu Resi. Setelah mengucapkan salam, Bu Resi membawa
kabar bahagia, yaitu akan diadakan lomba menulis cerpen di Sekolah tetangga yang
pesertanya mulai dari kelas 2-4 SD. Mendengar kata cerpen, aku sangat bahagia. Aku
ingin mengikutinya, tapi...apakah aku bisa? dengan keberanian yang ku punya, aku
mengacungkan jari. “Iya...? Tari mau ikut?” tanya Bu Resi.
“Ha? Tari mau ikut? memangnya dia mampu, orang nulis aja belum bisa,
apalagi tangannya buntung mana bisa, hahaha,” ejek Rere sambil tertawa yang diikuti
temanku lainnya kecuali Lia.

“Kalian nggak boleh begitu, seharusnya kalian menyemangati satu sama lain,
kalau seperti itu kalian sendiri nanti yang rugi!” marah Bu Resi.

Semua temanku takut dan mengatakan iya serempak, aku hanya diam saja
sedangkan Lia nyengir nggak jelas karena merasa senang mereka kena batunya. Aku
meyakinkan Bu Resi bahwa aku pasti bisa, aku akan berusaha bisa. Karena
ketidakmampuan itu harus kita lawan agar kita menjadi mampu.

AKU BISA
Sekarang ini aku sedang berada di sekolahku, tepatnya di ruang guru,
tempat Bu Resi sekarang berada. Aku meyakinkan Bu Resi bahwa aku bisa. “Tari pasti
bisa bu, Tari udah belajar menulis kok dari kemarin-kemarin,” ujarku.

“Iya Tari...Bu Resi percaya kok,” katanya mencoba meyakinkanku.

“Biar kamu lebih baik lagi menulisnya, coba sekarang kamu nulis ini,” tunjuk Bu
Resi pada sebuah teks cerita.

“Iya bu,” jawabku penuh semangat.

Aku mulai menulisnya, walaupun masih ada kesulitan yang aku rasakan. Tetapi pada
akhirnya aku bisa melewatinya. Yeaayy.

***

Langkah kakiku melangkah dengan semangat menuju tempat lomba yang tak
jauh dari rumahku, aku, Lia, dan Rere didampingi Bu Resi. Dan untuk Lia, dia ikut
bersama kami bukan untuk lomba. Hanya menemaniku saja.

Pandangan Rere yang berada di sebelah kanan Bu Resi terlihat sangat meremehkanku.
Aku akui, memang Rere pintar dalam hal sastra, tetapi apa salahnya aku untuk
mencoba?

Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya kami sampai. Kami pun segera memasuki
sekolahan itu, dan semua mata tertuju kepadaku. Karena memang aku sendiri yang
paling beda dari mereka. Hal seperti ini sudah biasa bagiku. “Selamat pagi, adik-adik.”
Setelah cukup lama kami menunggu, akhirnya perlombaan akan segera dimulai.

“PAGI...,” serentak semua peserta. Tak terkecuali aku.

“Oke, lomba akan segera dimulai. Jadi, siap-siap ya...adik-adik. Setelah ada
bunyi bel maka adik-adik segera mulai menulis cerpennya.”

Kriinngggg!!!
Bel berbunyi, aku pun segera mengeluarkan pensil kesayanganku dan sebelum
mengerjakan aku berdoa terlebih dahulu. “Tari pasti bisa, jangan lupa buat berdoa ya
sayang...!” Perkataan bundaku pagi tadi menjadi motivasiku untuk lebih semangat.

Temanya harus tentang fantasi, maka aku akan membuat cerita berjudul Negeri Bunga.
Menceritakan kisah anak kecil yang ingin sekali ke dunia yang sangat banyak sekali
bunga-bunga langka. Aku pun mulai menulisnya sedikit demi sedikit, masih banyak
kesulitan yang aku alami dalam belajar menulis abjad. Tapi aku tetap akan berusaha.
Aku pasti bisa. TARI BISA!!

***

“Akhirnya kamu keluar juga, Tar,” kata Lia yang menunggu kehadiranku. Lia
menunggu kehadiranku sebab aku menulisnya sampai waktu habis. Kenapa? karena
aku masih kesulitan menulis.

Dan hal itu membuat Rere kembali mengejekku, “udah deh, kamu nggak akan bisa
menang.”

“Nggak boleh begitu Rere!” Bu Resi marah. Rere mendengus sebal ke arahku.

“Setelah ini, pengumuman pemenang akan dimulai. Maka dari itu Rere dan Tari
bersiap-siap ya...kalau seumpama Tari kalah, jangan berkecil hati. Dan kalau
seumpama Rere menang, jangan sombong ya....”

Pembawa acara mulai berbicara. Menanyakan pengalaman yang dirasakan saat


menulis cerpen dan masih banyak lagi. Selanjutnya pembawa acara mengatakan
bahwa nilai sudah direkap dan masing-masing guru bisa melihatnya di koridor. Bu Resi
mulai berjalan menuju ke sana dan kami bertiga menunggu di sini.Aku sangat
penasaran dengan hasil yang aku dapatkan, begitu juga dengan Lia yang ikut
merasakannya. Sedangkan Rere dia bersikap sangat sombong, yang membuat Lia agak
marah, “hey, Re! jangan sombong ya. Kami tahu kalau kamu itu pandai, tetapi tidak
seharusnya kamu sombong!” Rere tertawa mengejek.

Dari arah depan, terlihat Bu Resi yang menghampiri kami. Aku tidak sabar mengetahui
hasilku, maka setelah Bu Resi sampai aku segera bertanya, “bagaimana bu?”
“Kamu harus banyak belajar lagi ya... jangan berkecil hati Tari, untuk Rere
jangan sombong!” kata Bu Resi. Yang menandakan bahwa aku kalah dalam
perlombaan.

“Iya bu,” kataku sambil tersenyum.

“Benar kan, kamu pasti kalah. Kamu nggak akan pernah bisa menang!” sahut
Rere.

“Rere jangan seperti itu!!!” marah Bu Resi.

“Walaupun kamu menang, kamu tidak boleh sombong,” tutur Bu Resi masih
marah.

***

Sekarang ini kami sedang berada di jalan untuk menuju ke rumahku, kami
hanya berdua karena rumah kami memang dekat. “Udah...jangan nangis.” Lia
mencoba menenangkanku. Sahabatku itu mencoba meyakinkanku bahwa bunda tidak
akan kecewa kepadaku, dia juga mengatakan bahwa masih ada dirinya di sini. Tetspi
tetap saja aku merasa bersalah pada bunda.

Akhirnya kami sampai juga. “Assalamualaikum,” kata kami serempak.

“Waalaikumsalam,” jawab bunda sambil menghampiri kami. Aku sebisa


mungkin tidak memperlihatkan bekas tangisanku ke bunda. Bunda mengajak kami
untuk masuk. Kami duduk di ruang keluarga, sedangkan wanita yang lemah lembut itu
pergi ke dapur untuk menyiapkan camilan. Setelah beberapa menit akhirnya beliau
sudah kembali ke ruang keluarga dengan camilan di tangannya.

“Bun,” panggilku agak takut.

“Apa?” balas bunda lembut.

“Tari kalah,” kataku lebih takut.

“Enggak apa-apa sayang... kan itu udah kemampuan kamu....”

“Betul kan kataku Tar,” bangga Lia.


Aku hanya menanggapinya dengan tertawa ringan. “Maafin Tari ya bun, Insyaallah Tari
akanberusaha menjadi lebih baik lagi!”

“Iya sayang....”

“Udah sana ganti baju dulu!” perintah Bunda penuh kasih sayang.

kami segera menuju ke kamar untuk mengganti pakaian. Lia sudah menganggap kami
sebagai keluarga sendiri, begitu pun sebaliknya. Jadi Lia sudah tidak malu lagi untuk
keluar masuk kamar, tetapi tetap menjaga kesopanan. Setelah berganti pakaian kami
duduk di tepi ranjang, sambil berbincang-bincang.

“Oh iya Tar.” Sambil menepuk jidat.

“Ada apa Li?” tanyaku merasa kebingungan.

“Besok aku mau piknik ke pantai, nah rencananya aku juga mau ajak kamu
sama Tante Nuning, mau kan?”

“Wahhhh, aku sih mau. Tapi mungkin bunda enggak bisa ikut,” sedihku.

“Oh iya, tante kan sering sesak.”

Setelah itu kami turun untuk meminta izin ke Bunda. Ternyata beliau mengizinkan dan
hal itu membuat kami berdua melompat-lompat kegirangan. Dan bunda hanya
tersenyum sambil geleng-geleng kepala, hahaha.

PANTAI
Hari ini adalah hari Minggu, hari di mana setiap keluarga bisa berkumpul atau
piknik. Dan sekarang aku serta keluarga Lia berada di sebuah mobil, yang dikemudikan
oleh Pak Hasan (Ayah Lia) dengan santainya. “Kamu senang kan Lia?” tanya Om Hasan.

“Senang sekali ayah,” balas Lia riang.

“Kalau Tari?”

“Iya om, Tari juga senang,” balasku disertai senyuman.

“Sip,” kata Bu Ros (Ibu Lia).

Kami sangat menikmati perjalanan, sampai tidak sadarkan diri, bahwa


ternyata sudah berada di tempat tujuan, yaitu pantai. Kami pun segera turun dan
mengeluarkan barang-barang yang dibutuhkan, mulai dari karpet, makanan, baju, dan
masih banyak lagi. “Akhirnya sampai!” kataku dan Lia serempak.

“Suka deh!” kata kami serempak lagi untuk yang kedua kalinya, membuatku
agak kesal.

“Jangan ikut-ikut!” kata kami serempak lagi untuk yang ketiga kalinya.

Detik berikutnya orangtua lia refleks tertawa, sedangkan kami menunjukkan muka
marah yang dibuat-buat.

Kami kebingungan akan menggelar karpet di mana. Karena semua sudah penuh
oleh yang lain. Aku menunjuk salah satu tempat yang terlihat masih kosong. Akhirnya
kami menuju tempat yang ku tunjuk tadi. Pak Hasan dan Bu Ros berjalan terlebih
dahulu, sedangkan aku dan Lia mengikuti di belakangnya. “Li, ayo bicara sama tourist,”
ajakku saat kami sudah duduk di tempat dan melihat ada touirst di samping kami.

“Boleh... tapi kita kan baru belajar dan masih banyak yang nggak bisa.”

Kami bimbang, ingin berbicara tapi takut tidak tahu. Tidak berbicara tapi ingin
berbicara, akhirnya Lia memanggil ayahnya dan ternyata ayahnya bisa berbahasa
Inggris.
“Nah... begitu, walaupun masih kecil kalian harus cerdas, yang kalian lakukan
ini menunjukkan bahwa anak bangsa sangat berprestasi,” kata om Hasan bangga
setelah Lia memintanya untuk membantu kami.

Kami bertiga pun segera menuju ke tempat tourist yang tepat berada di samping kami,
sedangkan Tante Ros tetap di tempat sambil menjaga barang-barang.

“Excuse me, sir (Permisi, pak),” kata Om Hasan.

“Yes? (Ya?)” kata tourist sambil tersenyum.

“My children want speak with you, can't they? (Anak saya ingin berbicara
dengan anda, apakah boleh?)”

“Yes, of course (ya, silahkan),” kata tourist sambil tersenyum.

“Hallo, sir(Halo, pak),” kata kami serempak.

“Hi (hai).”

“What is your name, sir? (Siapa nama anda, pak?)” tanyaku.

“My name is Alex and you? (namaku Alex dan kalian?),” tanyanya balik.

“My name is Lia,” jawab Lia.

“My name is Tari,” lanjutku.

“Where do you come from, sir? (Dari mana anda berasal, pak?)” Sekarang
giliran Lia yang bertanya.

“I come from Amerika (saya berasal dari Amerika),” jawab Pak Alex.

Banyak orang yang kagum, melihat aksi yang kami lakukan ini. Walaupun masih kecil
kami sudah berani berbicara dengan tourist. Kalau kata pepatah ‘Kecil-kecil cabai rawit’

“You class time? (Kalian kelas berapa?)”

“We grade three elementary school (kami kelas tiga sekolah dasar),” jawabku
agak grogi.
“Wow! you are the best,although still small but have high confidence , I am very
salute. I am here often lonely because there are rarely invites talking and I am very
happy when you came and speak with me, thank you very much (Wow! kalian hebat,
walaupun masih kecil tapi punya percaya diri yang tinggi, saya sangat salut. Saya di sini
sering kesepian karena jarang ada yang mengajak berbicara dan saya sangat bahagia
saat kalian datang dan mengajak saya berbicara, terimakasih banyak)” Pak Alex
berbicara panjang lebar yang membuat kami kebingungan, untungnya Om Hasan
segera menjelaskan maksud dari perkataan Pak Alex.

Aku mengangguk-angguk mengerti, begitu pun dengan Lia, kami kembali


melanjutkan percakapan.“How long you in Indonesia, sir?(Sudah berapa lama anda di
Indonesia, pak?)”

“One month (Satu bulan),” sambil tersenyum bahagia.

“With whom do you come to Indonesia, sir? (Dengan siapa anda datang ke
Indonesia, Pak?)” lanjut Lia.

“Own (Sendiri)” jawabnya.

“Sorry, it's hand you know why? (Maaf, itu tangan kamu kenapa?)” tanyanya
sambil menunjuk tanganku yang tidak ada.

Kami ini sebenarnya tahu maksud Pak Alex, tetapi kami tidak tahu bagaimana
membalasnya, karena pengetahuan berbahasa inggris kami masih sedikit.

“Accident, sir (Kecelakaan, Pak),” jawab Om Hasan.

kami bertanya, apa yang dikatakan Om Hasan kepada tourist itu, setelah tahu kami
segera mengakhirinya, karena tiba-tiba kami ingin bermain air laut.

Tetapi saat kami berdua akan berlari Tante Ros menyuruh kami untuk makan
terlebih dahulu, karena kami anak yang penurut jadi segera bergegas makan. Selesai
makan, kami segera lari ke pantai. Kami bermain air, membentuk rumah dari pasir
yang selalu tersapu oleh ombak, dan itu membuatku jengkel, kami kejar-kejaran,
menulis kata. Intinya hari ini adalah hari yang membuatku bahagia. Bukan aku saja,
tetapi juga Lia, Om, dan Tante yang wajahnya terlihat sangat gembira sama sepertiku.
PERPUSTAKAAN KELILING

Suara adzan subuh membangunkan tubuhku yang tadinya terbaring, aku


diam sejenak untuk mengumpulkan nyawa, setelah itu aku baru beranjak dari tempat
tidur untuk menuju ke tempat wudhu. Selesai wudhu aku segera menuju ke tempat
shalat untuk shalat berjamaah bersama bunda. Inilah hal yang setiap pagi aku lakukan,
kata bunda hal seperti ini bisa membuatku lebih baik lagi, maka aku selalu
melakukannya demi kebaikan.

Selesai shalat aku belajar mengaji sambil menunggu waktu sekolah tiba. Aku masih
agak tertatih-tatih dalam mengaji, tetapi aku tetap berusaha untuk membacanya
dengan baik.

***

Hari ini sekolahku kedatangan perpustakaan keliling, yaitu perpustakaan


yang berada dalam kendaraan seperti mobil atau kendaraan khusus untuk
perpustakaan, yang nantinya akan berkeliling.

Mendengar hal itu aku sangat bahagia, karena aku bisa memilih cerita sepuasnya.

Setelah perpustakaan itu datang, kami segera keluar dan segera masuk untuk memilih
buku yang diinginkan. Aku mulai mencari buku yang aku inginkan. “Tar, buku ini bagus
tidak?” tanya Lia. Menghampiriku sambil memperlihatkan buku yang dia maksud.

“Bagus kok,” jawabku.

“Ya udah, aku pinjam buku ini saja.”

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Setelah Lia pergi, aku langsung
melanjutkan aksiku untuk mencari buku. Setelah beberapa menit, akhirnya ada satu
buku yang menarik perhatianku, aku segera mengambilnya dan membaca judulnya.
“Rambu-Rambu Menulis Cerpen. Ainun Mas,” tuturku lirih.

Aku tersenyum bahagia setelah tahu apa judulnya dan tambah bahagia lagi saat tahu
dalamnya, yaitu tentang kelahiran cerpen, tumbuhnya cerpen di Indonesia, rumus
menulis cerpen, rambu-rambu kepenulisan, tips dan trik, ada juga tentang kalau
cerpen sudah jadi selanjutnya bagaimana?

Nah, hal yang paling aku sukai dari rambu-rambu menulis cerpen ini adalah cuap-cuap
para penulis, di situ ada beberapa penulis terkenal sepertiNaelil Maghfiroh, Helvy
Tiana Rosa, Tere Liye, dan Habiburrahman El Shirazy. Berisi tentang karya-karya yang
berhasil mereka terbitkan sampai tips menulis menurut mereka.

Aku segera menuju ke tempat kasir untuk membayar buku dan membeli
kartu untuk meminjam buku yang jumlahnya sebesar seribu rupiah. Setelah itu aku
segera keluar dan langsung menuju ke kelas. Karena aku sangat tidak sabar untuk
membacanya dan menjadikannya semangat dalam hobiku ini.

“Serius amat Tar.”

“Iya nih, lagi baca buku bagus,” tuturku ke Lia.

“Emang buku apa sih?” tanyanya sambil melihat judul buku yang aku pinjam.

“Wah! sangat bermanfaat itu Tar,” katanya menyemangatiku.

“Alhamdulillah Li,” kataku sambil tersenyum.

Kriinngggg!!!

Bel pulang telah berbunyi aku segera memasukkan buku-bukuku, lalu segera
melangkahkan kaki untuk pulang. Hari ini aku tidak pulang dengan Lia, karena dia
masih harus piket dan aku tidak sabar untuk kembali membaca buku yang aku pinjam.
Lia aku tinggalin? biarin lah, hahaha.

“Li duluan,” kataku.

“Loh, kamu kok nggak nungguin aku?”

“Udah nggak sabar buat baca buku tadi lagi, sampai jumpa,” kataku sambil
melambaikan tangan.

Lalu setelahnya aku segera pergi meninggalkan Lia dan membiarkan Lia yang marah-
marah, “woy, tungguin Tar! Tari jahat ih! awas kamu ya...!”
Setelah sampai rumah aku segera melepas sepatu lalu membersihkan diri,
setelah itu shalat dzuhur. Dan setelahnya aku segera membaringkan tubuhku di kasur
dan mengambil buku yang ku pinjam tadi di tas. Aku segera membukanya satu per
satu, banyak sekali hal yang tidak aku ketahui di dalamnya. Seperti, langkah-langkah
dalam menulisnya, writer'sblock (tidak mood menulis atau malas menulis), cara agar
mendapatkan uang dari cerita yang kita tulis, dan masih banyak lagi.
Setelah membacanya alhamdulillah sedikit demi sedikit aku mengetahuinya.

Saat asyiknya membaca buku, tiba-tiba bunda masuk ke dalam kamarku. "Kok belum
makan?"

"Iya bun, sebentar lagi."

"Lagi baca apa sih, kok sampai lupa makan?"

"Hehehe, maaf bun. Tari lagi baca ini," kataku sambil menyodorkan buku itu.

"Ini bagus, bisa buat nambah pengetahuan kamu," kata Bunda sambil mengelus
kepalaku.

"Tapi... walaupun kamu suka. Jangan melupakan kewajibanmu, seperti


sekarang ini. Kamu lupa makan kan...?"

"Maaf bun, ya udah Tari makan dulu," kataku.

Aku segera bergegas menuju dapur untuk makan yang diikuti oleh bunda di
belakangku. Makan siang ku kali ini ditemani oleh nasihat-nasihat yang diberikan
bunda, untuk menjadikannya sebagai pegangan dan motivasiku.
BERKHAYAL TINGGI

Satu minggu sudah berlalu, hari ini waktunya aku untuk mengembalikan
buku yang ku pinjam itu. Oleh sebab itu, aku lebih pagi berangkat ke sekolah, karena
perpustakaan keliling itu datang di sekolahku pagi-pagi sekali sekitar jam 06.00.
Setelah aku sampai sana ternyata perpustakaan itu belum datang, karena kelas juga
masih dikunci akhirnya aku hanya bisa menunggunya di depan kelas.

Aku kembali membuka buku itu, untuk lebih memperdalamnya. Saat akan membuka
lembar selanjutnya, telingaku terasa sangat sakit karena mendengar jeritan Lia yang
sangat keras berada di sampingku. “TARIIIIIIIIIII!”

“Jangan jerit-jerit Lia!”

“Hehehe, maafkan akoeh.”

Aku kembali melanjutkan membaca buku, dan membiarkan Lia menyanyi lagu tren
sekarang. “Emang lagi manjah lagi pengen dimanjah, pengen berduaan dengan dirimu
Iqbal.”

Setelah lelah menyanyi Lia memanggilku dan aku menoleh kepadanya. Dia
mengajakku untuk ikut menemaninya lomba tari di Balai Desa dekat sekolah, tetapi
aku berkata kepadanya untuk izin ke bunda dulu dan dia mengizinkan dengan gaya
lebaynya. Tepat setelah kami selesai berbincang-bincang, perpustakaan kelilingnya
datang. Semua siswa yang mulai berdatangan segera berlari menuju mobil itu
sedangkan aku dan Lia segera mendekati perpustakaan itu dengan santainya. Kami
segera masuk dan ikut mengantri.

Sambil menunggu antrian, aku berjalan untuk melihat-lihat buku. Buku-buku yang aku
lihat sekarang, banyak yang berbeda dari satu minggu yang lalu. Buku-buku yang aku
lihat tidak menarik perhatianku sama sekali, hingga saat aku ingin berjalan menuju
kasir, ada salah satu buku yang jatuh. Akhirnya aku mengambilnya dan menengok
sekilas ke buku itu yang entah apa judulnya, lalu aku menaruhnya di tempat semula.
Belum sampai aku menaruhnya, aku mengambil buku itu lagi karena penasaran apa
isinya.
“Pensil Ajaib,” kataku lirih.

Aku segera membuka cerita itu, membacanya sedikit demi sedikit. Belum sampai
tamat membaca aku sudah terkagum-kagum dengan buku itu. Menurutku ceritanya
asyik dan selalu bikin penasaran. “Dek, jadi balikin buku nggak?” tanya penjaga
perpustakaannya.

“Oh, jadi pak,” sahutku.

Setelah selesai mengurus pengembalian buku, aku bertanya ke bapak itu, “pak, apakah
aku boleh pinjam buku ini?” tanyaku lalu menunjukkan buku yang ku pegang.

“Tidak bisa dek, peminjaman hanya satu kali saja. Karena saya mengunjungi
setiap sekolahan hanya dua kali.”

Aku merasa sedih saat mengetahuinya, tetapi aku sangat ingin membaca cerita ini
sampai tamat.

“Tetapi pak, aku pengen banget baca cerita ini. Boleh ya pak....” Wajahku ku
buat semelas mungkin agar bapak itu mengiyakannya.

Bapak itu berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara, “ya sudah, tetapi nanti
pengembaliannya di toko buku saya ya?”

Mendengar hal itu aku sangat gembira.

“Tetapi aku tidak tahu di mana toko bukunya pak,” kataku bingung.

“Dari sekolahan kamu ini, satu kilometer ke Selatan. Nanti di situ ada tulisan
'TOKO BUKU 200’ meter,” jelas beliau.

“Iya pak, besok Minggu ya?”

“Iya.”

Setelah membayar dan menulis judul yang aku pinjam di kartuku, aku segera turun dan
berlari menuju kelas. “Dari mana aja sih Tar? aku nyariin kamu dari tadi? dicariin ke
sana-sini mencari alamat asli malah nggak ada,” celoteh Lia ngawur.
“Hehehe, maaf aku tadi masih di perpustakaan keliling, soalnya aku masih
pinjam buku,” jelasku.

“Emangnya boleh Tar?”

“Awalnya enggak, tetapi setelah aku memohon akhirnya boleh,” tuturku sambil
tertawa.

“Hadeh kamu itu paling TOP! kalau soal memelas, hahaha.”

Aku hanya membalasnya dengan tawa dan setelahnya kami menghadap ke depan,
karena guru kami telah memasuki ruangan.

***

Sekarang ini aku dan Lia berada di kamarku dengan aku yang membaca
cerita dan Lia yang berlatih menari untuk besok Minggu. “Aduh lelah aku Tar,”
keluhnya.

“Istirahat dulu,” kataku yang tetap fokus ke buku.

“Buku yang kamu pinjam kapan ngembaliinya?”

“Besok Minggu, tetapi nggak ada yang nganterin.”

“Ya udah, besok habis selesai lomba aku nganterin kamu ya...?”

“Makasih Lia....”

Dia hanya membalasnya dengan anggukan. Dan aku segera kembali fokus ke cerita
yang ku baca.

Akhirnya aku telah selesai membaca cerita itu, setelah cukup lama aku memandangi
buku itu hingga mataku terasa perih. Aku pun segera menutup buku. “Andai saja....”

“Tar?”

“ Tari?”

“Tar!”
“Mungkin lebih unik kalau jadi kenya-"

“Tari! kenapa melamun?! dari tadi aku manggil kok nggak dijawab!” sergah Lia.

“Eh, maaf,” kataku merasa bersalah.

“Ngelamunin apa sih?” tanyanya.

“Ini loh,” tunjukku ke cerita yang kubaca.

“Kenapa?” tanyanya dengan kemarahan yang mulai mereda.

“Kan isinya cerita ini tuh tentang pensil yang mempunyai mata, tangan, kaki
dan bisa bergerak. Yang paling hebatnya dia selalu punya alat ajaib. Nah, aku mikirnya
bagaimana kalau semua itu ada di dunia nyata? apalagi ada di kehidupanku pasti akan
sangat asyik kan?”

“Hahaha, ada-ada saja kamu Tar. Ya nggak mungkin lah,” ledeknya.

“Jangan meledek,” kataku dengan marah yang dibuat-buat.

“Maksudku bukan begitu...ya masa bisa jadi kenyataan, kan terlalu gimana
gitu.”

“Iya juga sih.”

“Berkhayalmu terlalu tinggi, nanti kalau jatuh sakit lho... hahaha.”

MINGGU YANG INDAH


Ah! hari yang ku tunggu-tunggu akhirnya tiba, hari di mana aku akan
mendengar lantunan-lantunan indah dari musik tari dan lenggak-lenggok sang penari
yang penuh gemulai.

Sekarang masih jam 04.00, aku tidak ada di rumah. Padahal biasanya jam segini aku
melaksanakan shalat di rumah. “Shalat dulu ya...!” Perintah Tante Ros yang ditujukan
kepadaku dan Lia.

Ya, sekarang aku sedang berada di rumah Lia yang jaraknya sekitar 150 meter
dari rumahku. Semalaman aku tidur di sini, karena demi menemani sahabat tercintaku
ini.

Setelah selesai shalat Lia segera menghadap Tante Ros untuk segera menggunakan
make up, karena acara dimulai jam 06.00. Sedangkan Lia mendapatkan nomor urut 1.
Jadi, dia harus bersiap-siap mulai sekarang agar nantinya tidak terburu-buru.
Sedangkan aku hanya duduk di samping Lia sambil membaca buku, karena memang
aku tidak bisa membantu.

***

Entah mengapa aku selalu berharap bahwa cerita ‘Pensil Ajaib’ ini bisa terjadi di
hidupku. Aku selalu berkhayal seperti itu, padahal itu sangat mustahil. Aku terus
memikirkan hal itu saja, sampai-sampai aku tidak sadar kalau Lia telah selesai
berdandan.

Aku melihatnya dari ujung kaki sampai ujung kepala, hanya satu yang dapat aku
ucapkan. “Cantik.”

“Terima kasih.”

“Sama-sama,” kataku memperlihatkan deretan gigiku.

Lia hari ini memang terlihat sangat cantik dan lucu. Pasalnya pakaian yang dipakainya
terlihat sangat unik dan wajahnya pun berbeda.

“Ini namanya baju tarian apa Li?” tanyaku karena sangat penasaran.
“Gandrung.”

“Gandrung?”

“Iya, gandrung itu adalah tarian khas orang Banyuwangi yang sudah tersebar ke
mancanegara. Bahkan pernah dibawa ke luar negeridan setiap tahunnya Banyuwangi
selalu mengadakan berbagai festival yang salah satunya Gandrung Sewu,” jelasnya.

“Setahuku sewu itu artinya seribu, berarti Gandrung Sewu itu jumlahnya seribu
pya?” tanyaku lagi.

“Iya, kadang malah lebih. Dan yang paling menakjubkan itu penontonnya.
Karena penontonnya tidak hanya dari daerah itu saja kadang ada yang dari luar negeri
kadang dari Surabaya, Jakarta, dan yang lainnya. Berbondong-bondong ke Banyuwangi
hanya demi menonton pertunjukan Gandrung Sewu,” jelasnya. Untuk yang kedua
kalinya.

“Wow!”

“Hebat kan?”

“Sangat hebat,” jawabku takjub.

“Tetapi walaupun begitu...kita juga tidak boleh menganggap tarian lain itu jelek
atau membanding-bandingkannya, kita harus melestarikan semuanya, pepatah
berkata ‘Berbeda-beda tetapi tetap satu?”

“Jua....” Kami berdua mengangguk-angguk tanda mengerti.

***
“Peserta nomor urut pertama yaitu Lia, harap maju ke depan,” kata
pembawa acara setelah cukup lama pembukaan akhirnya Lia pun dipanggil.

Saat Lia dipanggil semua orang bertepuk tangan tak terkecuali aku. “Siap Nak Lia?”
tanya pembawa acara.

Lia menjawabnya dengan anggukan kepala yang semangat. Alunan musik dari alat
musik yang diperlukan mulai mengalun merdu, membuat suasana menjadi lebih indah
yang membuat sang pendengar tanpa sadarkan diri mengikuti alunan musik nan
merdu dan Lia mulai menari dengan lemah gemulainya sambil berlenggak-lenggok
sesuai gerakan tarinya.

Setelah selesai Lia segera duduk dan bergantian giliran dengan yang lain untuk maju
dan menampilkan tarian yang akan dibawakan. “Kamu grogi nggak Li?” tanyaku
penasaran.

“Enggak kok, kan aku sudah biasa kayak gini,” jawabnya.

“Andai saja yang di depan itu aku, mungkin aku sudah menangis, hahaha.”

“Belum tentu juga sih, ketakutan itu harus dihadapi bukan dihindari.”

“Iya....”

Setelah cukup lama kami menunggu dan melihat tarian peserta lain, akhirnya
pemenang pun diumumkan. Ternyata Lia juara 1.

Aku sangat bahagia mengetahui bahwa Lia lah yang menjadi juara 1, kami
segera maju untuk menemani Lia menerima piagam dan Piala. Setelah penyerahan
penghargaan dan berfoto bersama, kami segera duduk. Tidak membutuhkan waktu
lama setelah kami duduk, acara ini pun ditutup dan setelahnya kami segera
meninggalkan Balai Desa.

Kami tidak langsung pulang, keluarga Lia mengantarkanku untuk mengembalikan buku
di toko buku. Setelah sampai kami pun segera keluar dari mobil dan menuju ke dalam
toko buku. “Assalamualaikum,” ucap kami.

“Waalaikumsalam,” balas penjaga toko.

“Ini pak, aku mau mengembalikan buku yang waktu itu ku pinjam,” kataku
sambil menyodorkan buku dan kartu untuk ditandatangani, pertanda bahwa buku
sudah dikembalikan.

“ Oh iya terima kasih ya dek....”

“Sama-sama pak.”
“Ngomong-ngomong ini habis ngapain kok make up-an?” tanya beliau
penasaran.

“ Habis lomba menari pak,” jawab Bu Ros.

Dan bapak penjaga toko hanya mengangguk-angguk saja, tanpa ada niat untuk
bertanya lebih lanjut. Setelah itu kami segera pulang.

LOMBA CERPEN
Dari kejauhan terlihat teman-temanku yang mengerubungi mading saat aku
tiba di sekolah. Karena penasaran aku pun segera menuju ke keramaian itu. Saat aku
sampai semua temanku pergi, melihatku jijik. Hampir saja aku menangis kalau saja Lia
tidak datang. “Udah datang Tar?”

“E-eh udah,” kataku gugup. Karena hampir saja aku ketahuan kalau aku ingin
menangis.

Setelahnya aku segera menoleh ke mading. Aku melihat satu formulir terbaru di
mading, aku pun segera membacanya. “Wow! wow! wow!,” takjubku. Rasa sedihku
seketika hilang setelah membaca apa isi formulir itu.

“Kamu harus ikut Tar!” perintah Lia yang tahu maksud takjubku.

“Harus!”

“Pengumuman bagi siswa yang ingin mengikuti lomba cerpen, segera menuju
ke ruang guru. Pendaftaran di Bu Resi.”

Mendengar pengumuman dari Pak Santoso guru Bahasa Indonesia kelas 4-6, aku
segera lari ke ruang guru dengan terbirit-birit. “Bu, saya mau ikut,” kataku setelah tiba.

“Kamu harus semangat ya, biar bisa jadi juara,” kata Bu Resi menyemangatiku.

“Insyaallah bu.”

Aku kira yang daftar Cuma aku dan Rere, ternyata di luar dugaanku. Kakak kelas
ataupun adik kelasku juga banyak yang mendaftar, karena hadiahnya besar jadi
mungkin mereka minat untuk ikut. Hadiah untuk juara I, yaitu uang 500.000 beserta
sertifikat penghargaan, juara II, yaitu 400.000 beserta sertifikat penghargaan, juara III,
yaitu 350.000 beserta sertifikat penghargaan. Dan ada juga juara harapan 1-3
hadiahnya juga lumayan.

Mungkin karena itulah mereka ingin ikut. Hmmm...tapi aku tidak boleh berprasangka
buruk, alhamdulillah lah kalau banyak yang ikut, hehehe.
“Anak-anak nanti ke sekolahan ya! ibu mau ajarin kalian nulis cerpen yang baik
dan benar,” jelas Bu Resi yang ditujukan kepada calon peserta lomba.

“Iya, bu!” jawab kami serempak.

***

Aku sedang berada di dalam mobil dengan Bu Resi dan teman-teman, aku
sangat menikmati pemandangan dan sangat semangat. Padahal kemarin aku sangat
sedih, karena saat menulis cerpen yang Bu Resi bilang kemarin, aku masih banyak yang
salah. Jadi aku diejek, tetapi karena perkataan bundaku aku menjadi lebih semangat
berkali-kali lipat, “Tari jangan dengerin kata teman-teman yang negatif...kan Tari
lomba bukan untuk mereka, tetapi untuk bunda kan? kalau memang seperti itu, maka
Tari harus semangat demi bunda. Dan nanti kalau Tari bisa menang bunda akan
membelikan ponsel untuk Tari.”

Itulah kata-kata yang diucapkan bunda saat aku keluar kelas dengan muka sedih dan
tentunya setelah aku cerita semuanya.

Perjalanan masih agak jauh, untuk menghilangkan kejenuhan aku membuka buku
'Rambu-Rambu Menulis Cerpen’ yang aku beli kemarin setelah pulang dari bimbingan
Bu Resi. Tentunya bersama bunda, mana berani aku sendiri, toh bunda juga nggak
akan mengizinkan.

Mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di depan sebuah bangunan yang serba
putih, karena penasaran itu bangunan apa aku pun bertanya ke Bu Resi yang ada di
sampingku, “bu, ini bangunan apa?”

“Ini namanya pendopo, ini biasanya dibuat tempat kerja bupati, tapi sering juga
dibuat lomba-lomba dan kita nanti lombanya di sini,” jelas Bu Resi panjang dan lebar.

“Oh, gitu ya bu?”

Bu Resi menganggukkan kepala sambil tersenyum. “Ayo anak-anak turun! kita sudah
sampai.”
Kami bergerak turun. Setelah dirasa semuanya lengkap dan barang-barangnya sudah
dibawa, kami pun masuk.

Aku kira dalamnya juga akan seperti depannya. Putih. Ternyata tidak. Saat kami masuk
kami disambut oleh taman-taman yang sangat indah. Dan ada satu bangunan yang
sangat besar, tetapi bukan ruangan. Tempatnya terbuka, tidak ada sama sekali dinding
yang membatasinya.

Di situlah tempat lombanya, karena di tempat itu sudah banyak anak yang berkumpul,
kami pun segera mencari tempat yang kosong di sana karena acara sebentar lagi akan
dimulai.

tepat setelah sepuluh detik kami duduk, pembawa acara angkat bicara. Cara
bicaranya seperti pembawa acara pada umumnya. Bedanya, pembawa acara berbicara
juga tentang pemenang lomba cerpen pada tahun sebelumnya, setelah itu disusul
dengan pembukaan lomba yang dibuka oleh pak bupati, setelah dibuka acaranya pun
dimulai. Mengingat aku akan diberi hadiah oleh bundaku, aku menjadi semangat.
Seperti biasa aku segera mengeluarkan pensil kesayangan dan segera menorehkannya
pada kertas yang diberikan panitia.

Tema kali ini menyangkut tentang narkoba dan aku agak tidak tahu dengan hal itu, jadi
apa pun yang ada di kepalaku sekarang aku tulis saja.

***

teman-temanku yang lain sudah selesai, tetapi aku belum selesai sendiri. Aku
merasa bahwa semua ini tidak akan berhasil, tapi aku tetap meneruskannya sampai
pada akhirnya aku selesai.

Aku dan Bu Resi segera menyusul teman-temanku yang berada di taman. “Sambil
menunggu hasil kalian...ibu mau ajak kalian pergi jalan-jalan ke ruang bawah tanah,”
ajak Bu Resi. Semuanya bersorak ria tak terkecuali aku. Tetapi aku bingung kenapa Bu
Resi malah mengajak kami ke belakang? “Lho! bu, katanya mau pergi ke ruang bawah
tanah?” protes ku.
“Ruang bawah tanahnya kan ini,” kata Bu Resi sambil menunjuk bangunan yang
memang berada di bawah tanah.

Semuanya hanya mengangguk-angguk tak terkecuali aku. Aku kira tempatnya berada
jauh dari sini dan kita akan menaiki mobil ternyata salah dugaan ku, hehehe. kami
memasuki ruangan itu, aku refleks terkagum-kagum, karena tempatnya sangat terang
benderang, walaupun berada di bawah tanah dan banyak sekali lukisan-lukisan indah,
tak terkecuali cerpen-cerpen. “Wah! ada karya Kak Naelil,” ucapku lirih.

Kami segera berjalan lagi sampai pada akhirnya kami berada di pintu keluar.
Sebenarnya aku masih belum puas, tetapi mau gimana lagi masih banyak orang yang
ingin melihat, jadi...aku tidak boleh egois.

Saat kami sedang berjalan beriringan, tiba-tiba ponsel Bu Resi berdering. Bu


Resi segera mengangkatnya dan agak menjauh dari kami, sedangkan kami disuruh
untuk menunggu sebentar.

Saat Bu Resi menjauh, aku mulai gugup dan ketakutan, karena aku merasa berani saat
orang-orang terdekatku berada di sampingku saja, kan pastinya orang lain tidak berani
menyalahiku.

Banyak teman atau kakak kelas atau pun adik kelas yang menatapku tidak suka,
sebenarnya ada saja yang baik padaku. Tetapi mereka tidak akrab denganku, jadilah
seperti ini. Mereka mulai menjauh satu-satu, mereka bermain, berfoto-foto, dan ada
juga yang membaca buku, tapi aku? aku hanya diam, tak tahu harus melakukan apa.
Karena aku juga ingin seperti mereka, aku pun izin untuk bergabung, “boleh gabung?”
tanyaku kepada temanku.

Mereka menatapku galak. Aku jadi sangat takut. “Hus! pergi sana. Main aja noh sama
patung,” usir Rere sambil menunjuk patung yang dua meter berada di depanku.

Karena takut, aku pun segera pergi. Aku lebih memilih duduk saja sambil memakan
snack yang tadi aku bawa dari rumah. Setelah cukup lama menunggu akhirnya Bu Resi
datang, aku merasa sangat lega. Kami pun berkumpul di tempat semula. “Anak-anak
kita pulang ya...? soalnya pengumumannya masih lama, kalau sudah selesai ibu pasti
beritahu,” jelas Bu Resi.

“Gitu ya bu...,” kata salah satu kakak kelas. Yang lain pun juga ikut bersedih tak
terkecuali aku.
HARI YANG ANEH

Aku melangkah memasuki gerbang sekolah, tetapi ada yang berbeda dengan
hari ini, tidak ada hal buruk menimpaku. Hari ini mereka berbuat sangat baik,
sebenarnya ada apa? “hai tar.” Lagi-lagi ada yang menyapa ku.

“Kamu Tari kan? anak kelas 3?” tanya kakak kelasku. Aku menganggukan
kepala, bahkan ada yang bertanya seperti itu kepadaku.

Aku agak tidak mempedulikan hal itu, aku segera berjalan lagi untuk menuju kelasku.
”Hey! guys, itu kan yang namanya Tari?” tunjuk salah satu kakak kelasku. Ah! mungkin
dia bertanya karena penasaran, kan siswa di sekolahan ini banyak.

Tetapi ada hal aneh yang membuatku takjub. “Hei! kawan, Tari sudah datang!” teriak
kakak kelasku. Semua anak mulai dari kelas 1 sampai 6 keluar dan melihatku.

Sebenarnya ada apa ini? aku semakin bingung, kenapa tiba-tiba mereka berbaik
hati? tetapi aku sangat senang bisa diperhatikan seperti ini, aku ingin seperti yang lain
juga, punya teman yang banyak, tetapi aku masih bertanya-tanya, kenapa mereka
seperti itu? sebenarnya ada hal apa? ada apa denganku? semua pertanyaan itu
terngiang-ngiang di benakku. Aku pun segera masuk kelas dengan kebingungan ku,
saat masuk kelas pun pandangan semua temanku kepadaku berbeda. Kelihatannya
mereka senang melihat ku, kecuali Rere dan gengnya. Oh iya, selama ini Rere
mempunyai geng, terdiri dari Della, Selvia, Tatya, dan Jennie.

Aku pun segera duduk. “Li, sebenarnya ada apa sih?” tanyaku penasaran.

Lia hanya membalasnya dengan senyuman aneh. “Jangan sombong deh! jangan
pura-pura nggak tahu!” sahut Rere. Aku semakin bingung.

KRINGG!!

Bel masuk berbunyi, aku segera menuju lapangan dan berhenti untuk bertanya lebih
jauh ke Lia.

Saat aku keluar, semua mata menatapku. Aku segera mempercepat langkah
untuk menuju barisan agar tidak banyak yang menatapku, upacara pun segera dimulai
dan pada saat guru berpidato. Salah satu perkataannya membuatku bahagia. “Anak-
anak... kemarin siswa-siswi dari sekolah kita ada yang mengikuti lomba cerpen dan
ternyata ada yang juara. Maka juaranya akan diumumkan sekarang, untuk Bu Resi
dipersilahkan,” jelas Pak Agus. Guru penjas ku.

Bu Resi berjalan menuju lapangan dan segera mengambil mikrofon dari tangan Pak
Agus dengan sopan,Bu Resi juga membawa selembar kertas, yang pasti itu kertas
pemenang kemarin. “Alhamdulillah...kemarin pada saat lomba cerpen, dua siswi dari
sekolahan kita ada yang menang. Oke, ibu akan segera membacakannya,” jelas Bu
Resi.

“Mulai dari yang juara harapan 2 sampai juara 1.”

“Juara harapan 2 diraih oleh MaghdalenaLaneskah dari SDN 2 Pesanggaran,


juara harapan 1 diraih oleh Tatang Wijaya dari SDN 3 Gambiran, juara tiga diraih oleh
sekolah kita, yaitu...,” kata Bu Resi cukup lama.

“Naira Luna.”

Riuh tepuk tangan yang mendengarkan, tak terkecuali aku, aku semakin dag...dig...dug,
bisa saja aku menjadi yang juara dua ataupun 1. Ah! tapi itu mustahil, kemarin aja aku
masih banyak kesalahan dan aku juga tidak cukup tahu tentang temanya serta aku
nulisnya yang paling lama. “Untuk juara dua diraih oleh Nonik Weni dari SDN 1
Banyuwangi.”

“Nah! untuk juara satu ini diraih oleh sekolah kita lagi, hitungan ketiga kalian
sebutkan namanya ya...!”

“Satu... dua... tiga....”

“SRI LESTARI!”

Apa? aku yang juara satu? nggak mungkin!

Aku mencubit pipiku. Sakit. Berarti bukan mimpi. Berarti ini memang benar. Aku
refleks tersenyum sangat-sangat bahagia, aku tidak menyangka bahwa yang juara satu
adalah aku, aku sangat bahagia sekali dan aku sekarang tahu apa penyebab mereka
baik kepadaku dan ini menjadi keberuntungan bagiku.

Dengan keberhasilan, teman pun bisa bertambah, tetapi...aku juga tidak mau untuk
dimanfaatkan saja.

***

Oke. Aku memang merasa bahagia, tetapi apakah aku harus tetap bahagia
disaat sahabatku sendiri sedih? tidak. Aku tidak tahu mengapa Lia saat pelajaran tadi
murung, aku ajak bicara dia diam, sedangkan bila yang lain yang mengajaknya bicara
dia membalasnya. Aku tadi memang sempat jahil kepadanya, aku menggelitikinya.
Apakah kemungkinan karena itu? Rere sih! bilangnya seperti itu. Terus aku harus
gimana? aku tidak tahu kalau kejahilanku bisa membuatnya sampai semarah itu.

Jadilah, aku sekarang pulang sendiri. Biasanya sama Lia, tetapi karena Lia marah
padaku jadi...ah! sudahlah. Aku berjalan terus hingga akhirnya aku sampai di rumah.
Setelah melepas sepatu aku segera membuka pintu dan tak lupa mengucap salam.
“Assalamualaikum.”

Tidak ada jawaban dari dalam, aku segera masuk saja. “Bun?”

Aku mencari bunda ke dapur, tidak ada. Mencari ke kamar, tidak ada. Mencari ke
semua ruangan tidak ada. Lalu bunda ke mana? karena aku sudah sangat lapar, jadilah
aku berhenti mencari bunda dan segera berganti pakaian setelah itu aku langsung
menuju meja makan untuk makan.

Setelah selesai makan aku segera mengerjakan misiku lagi, yaitu mencari bunda.

Setelah menutup pintu aku segera berjalan menuju rumah Lia, kemungkinan bunda
ada di sana.

“Assalamualaikum,” sapaku sambil mengetuk pintu.


“Waalaikumsalam,” jawab Tante Ros sambil membuka pintu sangat sedikit,
hanya kepala saja yang terlihat. Aneh, biasanya aku langsung disuruh masuk.

“Ada apa nak?”

“Bunda di sini nggak tan?”

“Enggak, lha memangnya bundamu enggak izin?”

“Enggak,” jawabku memasang wajah sedih.

“Tante enggak tahu, tante masih ada urusan mendadak, jadi kamu pulang saja
ya....”

Aku bingung, kenapa Tante Ros seperti ini? padahal biasanya tidak seperti ini.

Akhirnya aku pergi dari rumah Lia dengan kegelisahanku, usahaku untuk
mencari bunda tidak sampai disitu saja. Aku bertanya ke tetangga-tetangga, lari ke
sana-sini namun bunda tetap tidak ada, aku mulai menangis sesenggukan. Karena aku
sudah lelah mencari bunda dan hari pun sudah mulai petang, aku memutuskan untuk
pulang.

Tetapi saat berada di depan rumah sekitar jarak 5 meter. Terdengar suara gemuruh
dari dalam rumahku, eh enggak, itu rumah bunda. Yang buat kan bunda, hehehe. Eh,
bukan bunda yang buat, tapi ayah. Kayaknya bukan ayah juga, itu yang buat adalah pak
tukang. Ya, tukang bangunan. Kok jadi kayak Dora gini ya, hehehe. Aku segera berlari
dan membuka pintu. Bun!”

Raut senang di wajahku pudar, saat melihat rumah yang gelap, padahal tadi lampunya
hidup. Aku jadi merinding, agak takut juga.

“Bunda udah datang ya? kok lampunya nggak dihidupin?” kataku sambil meraba-raba
pencetan lampu yang entah apa namanya, aku lupa.

Bunda tidak menjawab, sebenarnya apa yang terjadi?

Nah, akhirnya aku menemukan pencetan lampunya, tapi ada sebuah tangan di situ.

“Aaaaaaaaaa!!!!!
TERIMA KASIH

“Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun Tari, selamat
ulang tahun....”

Aku sangat terkejut sampai-sampai aku berteriak cukup keras, aku tidak
menyangka akan mendapatkan hal spesial seperti ini. Nyanyian itu, mereka yang
berada di hadapanku sekarang, mulai dari Om Hasan, Tante Ros, bunda, dan Lia.
Seketika membuatku tersenyum bahagia. Aku sangat-sangat tidak menyangka sama
sekali. “Tari? kok malah melamun?”

“E- eh, maaf tan,” kataku. Aku terkejut dan aku tak sadar bahwa aku sedang
melamun, astaga! aku segera mendekati mereka.

“Ayo, anak bunda berdoa dulu, apa yang ingin diminta,” kata bunda. Aku
mengangguk dan segera memejamkan mata sekaligus menundukkan kepala.

Ya Allah...Tari ingin menjadi anak yang Sholehah buat bunda, buat semua orang, buat
engkau juga Ya Allah. Apa yang Tari impikan semoga engkau bisa memberikannya. Tari
ingin selalu bersama bunda, Tari mohon. Tari ingin semua orang yang menyayangi Tari
bisa selamat dunia akhirat. “Aamiin,” kataku. Bersamaan dengan mengusap kedua
telapak tangan ke wajahku.

“Sekarang...Tari tiup lilinnya lalu dipotong kuenya,” kata Tante Ros.

Aku pun segera meniup lilin berbentuk angka 1 dan 0, di kue yang cukup besar dan
imut, karena bergambar Hellokitty.

Mereka semua bertepuk tangan setelah aku meniup nya. Aku juga memotong kuenya
dengan bantuan bunda. “Yang pertama Tari ingin memberikannya kepada siapa?”
tanya Tante Ros.

“Kepada Bunda Tan,” jawabku.

Aku segera menyerahkannya kepada bunda, bunda tersenyum bahagia dan refleks
memelukku, setelah itu aku memotong kuenya untuk aku berikan kepada Tante Ros
lalu Om Hasan dan yang terakhir kepada Lia, aku agak merasa bersalah karena
kejahilan ku tadi di sekolah. Akhirnya aku minta maaf, “maafkan aku ya Li...tadi sampai
membuat kamu marah.”

“Hahaha, udah lah...aku hanya bercanda! itu kan bagian dari rencana kami
untuk merayakan ulang tahunmu,” jelas Lia. Aku tersenyum canggung.

“Oh iya, aku tadi juga nyariin bunda ke mana-mana nggak ada. Tari cari di Tante
Ros, bilangnya juga nggak ada. Dan Tante Ros gerak-geriknya seperti beda gitu,
akhirnya aku pulang sambil tanya ke tetangga, tapi...juga nggak ada. Aku nangis bun,
eh! taunya bunda ada di sini, jahat banget! padahal Tari mau bilang hal yang sangat
penting. Tadi itu ya bun Tar-“

“Kapan sih makannya, Lia lapar nih,” Lia mengaduh. Lia sangat tidak tahu
kondisi, aku ingin cerita juga, eh! dipotong. Habis itu kayak nggak ada rasa bersalahnya
gitu, huh! aku memperlihatkan wajah kesalku tepat di hadapan dia dan dia hanya
nyengir.

Kami pun segera makan-makan dengan bercanda ria, setelah makan-makan kami
hanya duduk-duduk saja karena memang perut sudah kenyang dan tak bisa bergerak,
hahaha. Saat aku akan bercerita perihal tadi ke bunda. Tiba-tiba bunda berdiri dan
menuju ke dalam, aku langsung memasang muka cemberut. “Selamat ya...Tari...
karena sudah bisa menjadi juara...,” ucap Tante Ros tepat setelah bunda menghilang
dari balik dinding ruang tamu.

”Makasih tante,” ucap ku senang.

“Sudah bagus lo...kalian, walaupun masih kecil sudah bisa menjadi juara. Tetap
dipertahankan ya...Tari, Lia. Semoga apa yang kalian cita-citakan bisa tercapai,
aamiin,” aku dan Lia mengamini.

Terdengar derap langkah mendekat ke ruang tamu dari arah dalam yang pastinya itu
adalah bunda. Bunda mendekat menuju kami, tetapi ada yang berbeda. Bunda
membawa sebuah bingkisan kecil yang pastinya itu untukku aku pun segera bersorak,
“Yeaayy!”
Bunda yang mengetahui maksudku segera tersenyum. “Ini untuk anak bunda
tersayang, dimanfaatkan dengan baik ya... jangan salah memanfaatkannya.”

“Ini apa bun? pasti nih kalau nggak tas ya baju.” Aku segera membukanya dan
betapa terkejutnya setelah mengetahui apa isinya, isinya adalah hadiah yang
dijanjikan bunda beberapa waktu yang lalu.

”Makasih bunda...Tari akan jaga baik-baik apa yang bunda berikan kepada
Tari.”

Lia memanggilku dan aku membalikkan badan karena memang Lia berada di
belakangku. Lia juga membawa bingkisan yang diberikan kepadaku. Lalu Lia
tersenyum, senyumannya aneh.

Aku tetap melihat senyuman Lia, untuk meneliti lebih dekat, tanganku secara perlahan
membuka bingkisan itu, tetapi pandanganku tetap kepada Lia.

Aku memegang-megang hadiah yang diberikan Lia, seperti ada yang aneh dan akhirnya
aku menengok ke bawah. “Aaaaaaaaaaaaaaa!”

Refleks aku berteriak, semuanya berlarian dan lompat-lompat, Om Hasan saja sampai
naik kursi. Semua melihat ke isi kado yang dibawa Lia, sangat menjijikkan.

“Lia kok jahat sih!” marahku. Yang diajak bicara hanya cekikikan saja.

“Untung makanannya udah habis, kalau belum mungkin sekarang udah rusak
semua, gara-gara hadiahmu itu!”

“Maafkan aku, aku hanya bercanda,” katanya sambil nyengir.

“Lia! kok kamu seperti itu, enggak baik seperti itu! besok-besok jangan diulangi
lagi!” kata Om Hasan marah.

“Iya...maaf pa,” kata Lia. Dia terlihat ketakutan setelah dimarahi oleh papanya
sendiri.

“Udah, cepat diusir itu kataknya!” perintah Tante Ros dengan nada marah.
“Iya-iya,” kata Lia sambil cemberutdan segera menuju ke bawah meja untuk
mengusir katak yang dia hadiahkan tadi untukku. Huh!

Setelah mengusirnya Lia pergi dari rumahku tanpa pamit, keadaan menjadi berubah.
Yang tadinya bahagia sekarang malah jadi sedih, gara-gara katak itu tadi. “Maafkan
anakku ya...bu,” pinta Tante Ros kepada bunda.

“Iya...enggak apa-apa bu...namanya juga anak kecil,” kata bunda memaklumi.

Namun hal yang tidak disangka terjadi, tiba-tiba Lia sekarang berada di depan pintu
dengan membawa bingkisan kecil dan cengiran khasnya. Lia mendekat
kepadaku.“Jangan mendekat Lia!” perintahku. Pasti kado itu isinya katak lagi, memang
gak kapok. Udah dimarahin juga masih seperti itu.

“Bukan, Tar! ini bukan katak....”

“Beneran?”

“Iya...,” katanya sambil tersenyum tulus.

Aku pun kembali mendekat dan Lia memberikan bingkisan itu kepadaku. Aku segera
membukanya dan...hal seperti tadi tidak terjadi lagi.

“Wahhhh! cantik sekali,” kagumku.

Lia memberiku hadiah pensil satu lusin yang ujungnya berbentuk hati, sangat cantik
sekali. Dan ada satu lagi pensil yang ujungnya berbentuk buku, sangat cantik juga. “Om
sama Tante hanya bisa memberi ini nak...diterima ya...,” kata Tante Ros sambil
menyodorkan bingkisan cukup besar.

“Iya, tidak apa-apa tan,” kataku tersenyum tulus.

Setelah itu aku membukanya, bibirku tersenyum sangat lebar saat tahu di dalamnya
ada sebuah novel. “Hafalan Shalat Delisha, Tere Liye. Wah! makasih banyak, Tante Ros,
Om Hasan. Tari sangat suka.”
Aku sangat bahagia memiliki keluarga yang menyayangiku, aku juga bahagia sekarang
teman-temanku tidak lagi jahat kepadaku. Aku sangat bahagia sekali. Terima kasih Ya
Allah.
MEMASAK DAN BERKEBUN

Hari ini adalah hari Minggu, bunda menepati janjinya, yaitu akan mengajariku
memasak. Aku sangat bahagia. Aku juga mengajak Lia untuk belajar bersama,
beruntungnya dia mau. Jadi... aku tidak akan kesepian.Di depan kami sudah ada
bahan-bahan memasak yang dibutuhkan, kami pun juga sudah memakai celemek agar
baju tidak kotor. Rencananya bunda akan mengajari kami berdua membuat nasi
goreng karena ini mudah.

Bunda menyuruhku untuk mengelupas bawang merah dan bawang putih serta
mempotek ujung cabe rawit lalu aku membersihkannya. Setelah selesai giliran Lia yang
bertugas, yaitu mengiris-iris bumbu yang aku cuci barusan.

Kami berdua terlihat sangat tidak tenang, karena kami takut kalau masakan kami tidak
jadi, tetapi bunda? beliau sangat tenang sekali, tidak khawatir kalau masakan ini
nantinya tidak akan jadi. “Bunda kok tenang banget sih? apa bunda tidak takut kalau
makanan ini tidak jadi?”

Bunda mengerutkan kening, “Tidak jadi? hahaha, itu tidak akan mungkin sayang...
semua yang kita lakukan pasti akan selesai kalau kita ada usaha, semangat, dan doa,”
tutur bundaku halus.

Aku mengangguk-angguk. “Oh... gitu ya bun? tadi aku belum berdoa, jadi sekarang aku
mau berdoa dulu, tetapi doanya bagaimana bun?”

Bunda tertawa karena gemas melihatku. “Cukup membaca


bismillahhirrahmanirrahim.”Aku juga menyuruh Lia untuk membaca doa itu dan
setelahnya kami lanjut bekerja.

Lia sudah selesai mengirisi bumbu, irisannya sangat tidak rapi, maklum lah...
kami masih belajar. Setelah itu bunda menghaluskan semua bumbu itu dengan cobek
sedangkan aku dan Lia disuruh untuk mengambil nasi yang lumayan banyak di magic
com.

Setelah bumbu sudah dihaluskan dan nasi juga sudah kami ambil, bunda mulai
menghidupkan kompor gas dan memanaskan minyak pada wajan, setelah panas aku
segera memasukkan bumbunya lalu menjauh karena percikan minyaknya banyak dan
untungnya tidak mengenai tanganku.

Bunda mulai menumis bumbu tadi sambil berbicara kepada kami tentang seorang
wanita yang harus pintar memasak. Bunda lalu memasukkan nasi, masako, kecap
manis, saori, dan yang terakhir cumi-cumi kesukaanku lalu bunda mengaduk-aduknya
sampai matang.

***

Akhirnya, masakan jadi dan kami sudah duduk manis di meja makan. “Akhirnya
jadi juga,” kata Lia tersenyum bangga.

“Iya... kita baru saja jadi koki cilik,” lanjutku juga bangga.

“Iya sih, tapi... yang lebih banyak bekerja Tante Nuning,” ungkapnya sedihdan
aku pun juga merasa seperti itu.

Bunda tersenyum dan mengelus-elus rambut kami berdua yang ada di samping kanan
dan kiri bunda. “Tidak apa nak... kan kalian masih belajar, jadi... tante harus banyak
bantu biar kalian bisa memasak sendiri selanjutnya,” terang bundaku. Kami menoleh
ke arah beliau dan tersenyum lega.

“Ya sudah... kita langsung makan saja yuk!” ajak bunda.

Kami segera melahap nasi gorengnya dan saat terkunyah ternyata sangat enak
sekali.Bahkan aku sampai nambah lagi, begitupun dengan Lia. “Enak sekali bun!”

Bunda mengangkat kedua jempolnya dan tersenyum. “Itu artinya... usaha kita tidaksia-
sia. Karena usaha tidak akan pernah menghianati hasil.”

Setelahnya kami tertawa bahagia sambil berpelukan satu sama lain.

***

Setelah kami selesai menjadi koki cilik, tante mengajak kami untuk berkebun.
tante mengajari kami untuk mencintai alam, merawat bumi, menjaga dunia melalui
menanam. Menanam pepohonan, tumbuhan, bunga, dan masih banyak lagi. Tetapi
karena alat dan bahan yang beliau punya sedikit, beliau hanya mengajari kami
menanami tanaman hias. “Walaupun kalian hanya menanami tanaman hias, kalian
sudah menjadi salah satu penyelamat bumi.” kami menampakkan wajah tak mengerti
kami.

“Maksudnya begini... dengan banyaknya kita melakukan penanaman atau


penghijauan bumi kita tidak akan rusak, kalian pasti sudah ada materi tentang ini kan?”
tanya beliau mewadahi tanah berpupuk ke pot tanah liat.

“Sudah bun, tetapi... bagaimana bunda bisa tahu kalau dengan banyaknya
penghijauan kita bisa menyelamatkan bumi?” tanya Tari. wanita paruh baya itu
tersenyum.

“Bumi kita dilapisi oleh atmosfer, di lapisan atmosfer ada yang namanya ozon,
nah... bila ozon ini berlubang-lubang sinar ultraviolet bisa masuk dan es di kutub bisa
mencair, bila es di kutub mencair maka pulau-pulau atau daratan sedikit demi sedikit
akan terendam, selain itu sinar ultraviolet juga bisa merusak apapun yang ada di
bumi,” jelas beliau panjang lebar.

“Wah! sama seperti materi kami bun, tetapi aku baru paham saat bunda
menjelaskannya,” terang Tari sambil nyengir.

“Kenapa ozon bisa berlubang tan?” tanyaku penasaran.

“Penyebabnya adalah asap-asap yang berbahaya dan untuk menguranginya


kita harus melakukan banyak penghijauan. Jadi... kita bisa memulainya dari hal kecil
seperti ini.”

Kami mengangguk-angguk. Kami meneruskan pembicaraan sambil Tante Nuning


mengajari kami cara menanam tanaman hias ini. Hampir setengah jam kami baru
selesai dan tanaman yang berada di pot ditata sedemikian hingga, terlihat sangat apik
dan warna yang bervarisai menambah keindahannya, membuat mata bisa kembali
segar. Ditambah sebuah notice pada sebuah kayu yang sudah dibentuk 'Menanam satu
tumbuhan menyelamatkan dunia'. Kami bertiga tersenyum puas sekaligus bangga
karena usaha yang kami lakukan tidak sia-sia.
SELAMAT TINGGAL

Aku sangat gelisah sekali bahkan sampai terjatuh karena berlari, aku mengikuti
langkah kaki Tante Ros dengan tidak sabar.Cukup jauh kami berjalan dan akhirnya kami
sampai, aku segera masuk dan memeluk bunda yang tak berdaya di ranjang rumah
sakit itu, banyak selang yang dipasang aku tak tahu itu selang apa yang aku tahu aku
sangat kangen sekali dengan bunda hari ini.“Bunda kenapa kok bisa seperti
ini?”tanyaku. Aku mulai menangis.

“Bunda nggak apa-apa sayang....”

“Tapi kenapa bunda kok harus pakai selang banyak seperti ini?”

“Agar bunda cepat sembuh,” tutur bundaku tersenyum sangat tulus.

“Jangan tinggalin Tari ya Bun....”

“Memangnya bunda mau kemana? kan bunda tetap disini.”

Tok! tok! tok!

Aku menoleh dan mendapati seorang laki-laki muda memakai jas putih yang
pastinya itu adalah pak doktermemasuki ruangan ini bersama Tante Ros.

“Tari keluar dulu ya....”Akhirnya aku pun keluar menunggu di luar bersama Lia.

***

Aku mendengar samar-samar percakapan mereka, karena penasaran aku


menguping dari balik pintu yang sedikit terbuka sambil berusaha melihat apa yang
terjadi. “Ini sudah terlalu parah, bu!” terang Pak Dokter. Aku bingung dengan apa yang
dimaksud dari parah yang diucapkan pak dokter.

“Ibu terkena penyakit emfisema, yaitu salah satu dari dua penyakit yang umum
terjadi pada orang dengan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis). Penyakit ini
merusak kantung udara di dalam paru-paru dengan membuatnya kehilangan elastisitas
secara permanen. Penyakit ini disebabkan oleh asap rokok, perokok aktif maupun pasif
ada kemungkinan mengidap penyakit ini,” jelas beliau.

“Tapi... saya tidak pernah merokok ataupun menghirup asap rokok, pak,” sela
bunda tak terima.
“Bukan hanya disebabkan asap rokok, tetapi paparan jangka panjang polusi
udara, seperti polusi pabrik industri juga bisa menyebabkan penyakit ini terjadi.”

Bunda seketika terkejut, aku pun juga terkejut, pasalnya di lingkungan kami memang
banyak pabrik-pabrik industri.“Apakah ibu sering sesak nafas? dan semakin memburuk
dari waktu ke waktu?” tanya dokter itu serius.

Bunda mengangguk lemah. Aku sangat merasa bersalah, bahkan aku sampai menangis,
kenapa aku bodoh seklai? Kenapa aku tak pernah tahu kalau keadaan bunda semakin
memburuk? Kenapa?! “Penyakit ini tidak bisa diobati, tetapi bisa dicegah bu,” lanjut
Pak dokter pembohong itu.

“Tolong dok, tolong bantu dok,” kata Tane Ros memohon.

“Tapi... maaf bu penyakit emfisema yang diderita Bu Nuning sudah terlalu


parah, tidak ada cara untuk mengobatinya.”

“Apa maksud pak dokter itu? pasti pak dokter itu ngarang! bunda masih bisa
disembuhkan kok! masih bisa! masih bisa!” batinnya tak terima.

“Tar! mau ke mana?” teriak Lia yang baru saja keluar dari kamar mandi sebelah
ruangan.

Aku berlari meninggalkan ruangan itu, aku tidak ingin lagi mendengar dokter itu
berbohong. Tapi tiba-tiba ada yang memegang lenganku. Aku menoleh. “Tidak
mungkin Tan!” Aku berusaha mengelak. Air mataku sudah deras membanjiri pipi.
Tubuhku bergetar.

“Apakah kamu mendengarnya nak...?” tanya tante halus.

“Aku mendengar semuanya! pasti bunda masih bisa sembuh! aku yang akan
mengobatinya!” kataku marah dan penuh penekanan di setiap kalimat yang ku
ucapkan sambil memukul-mukul bahu Tante Ros, melampiaskan semua kekesalan,
kemarahan, kesedihan, ke-. Entahlah semua bercampur aduk jadi satu.

Aku dan anak malang itu sedang berada di depan ruang rawat inap bundanya.
“Bundamu hari ini akan dibawa pulang,” terangku. Di sela-sela kami menikmati angin
pagi di depan ruang rawat inap Bu Nuning. Sebenarnya bukan itu yang ingin ku
sampaikan, tetapi mau bagaimana lagi, sangat tidak tega melihat wajah yang malang
itu.

“Alhamdulillah... berarti bunda udah sehat ya tan?” tanyanya riang, lupa


dengan apa yang dia katakan kemarin.

“Iya....”Lagi-lagi aku berbohong.

***

Yeaayy! akhirnya kami pulang juga, setelah ada dua hari di rumah sakit. Aku
sangat senang bunda bisa sembuh, walaupun masih agak pucat sih! wajahnya. Pasti
sebentar lagi akan sembuh. Aku dan Tante Ros membantu bunda berjalan sampai ke
kamar.

Tante Ros membaringkan tubuh bunda di sofa. Setelahnya kami membersihkan rumah
yang terlihat kotor setelah dua hari tidak dihuni serta mencuci barang-barang yang
dibawa ke rumah sakit kemarin.

Setelah 30 menit berlalu akhirnya selesai sudah. Aku membanting tubuhku di


sofa kamar bunda.

***

Kami bercanda di sofa sampai-sampai membuatnya terbawa suasana, tawa yang


membuat hatiku sangat sakit. Tawa itu, tawa itu harus tergoreskan pisau tajam. Sangat
malang.

Tari sangat terkejut setelah dia menoleh ke bundanya, ku pun refleks ikut menoleh,
muka bundanya pucat. Sangat pucat.

“Tari mau ambil obat dulu tan!”

Sepeninggal Tarikami berdua berbicara banyak-banyak.

Setelahnya aku segera mengambil kompres karena tubuh Bu Nuning panas. Dan segera
menempelkan di dahi beliau. Bu Nuning terlihat mengambil sesuatu dari bawah bantal.
“To- long ini nan- ti ka- sih- kan Ta- ri, bu,“ kata beliau. Nafasnya tercekat menahan
tangis.

***

Aku kebingungan mencari obatnya, mondar-mandir beberapa kali dan ternyata obat
yang kucari ada di atas televisi. Aku segera berlari menuju kamar lagi. “Tante in-"
Perkataanku berhenti begitu saja. Karena melihat tante menangis, aku segera
menghampiri beliau.

“Kenapa tan? kok nangis?” tanyaku. Setelahnya menoleh ke arah bunda lalu
menoleh lagi ke tante.

“Bunda kok udah tidur lagi? padahal Tari udah bawa obatnya,” tuturku sedikit
kecewa karena aku lelah mondar-mandir, tetapi aku senang bunda bisa tidur nyenyak.

Tante melihatku dalam-dalam. Tante hanya menggelengkan kepala. “Ada apa tan?”

Tante menghela nafas panjang. “Bun- da- mu su- dah ti- ada.”

“Tante ngomong apa! bunda lagi tidur kok! lihat bunda lagi tidur tan!”

“Lihat...bun- da la...gi ti- dur,” elakku. Aku baru menyadari sesuatu.

“Enggak! enggak mungkin!” elakku lagi. Aku mengguncang-guncangkan tubuh


bunda yang semakin pucat, menangis keras, memukul-mukul ibunya Lia karena
frustasi, memanggil-manggil bunda, rasa sedih, rasa kehilangan semakin
menyelimutiku.

Hingga pada akhirnya aku sadar, walaupun aku mengelaknya seberapa jauh pun
memang ini kenyataannya. Kenyataan pahit bahwa Bunda telah meninggalkanku untuk
selamanya.

***

Kesedihan mungkin masih melekat di hati Tari, melihatnya seperti itu sangat
tidak tega, tidak tega sekali. Bayangkan saja, sudah ditinggal ayahnya, lalu ditinggal
ibunya, tubuhnya juga tidak normal bahkan keluarga dari ayah atau ibunya juga sedikit
dan tidak mau membantunya.

Sangat menyakitkan sekali bukan? padahal masih banyak orang di luar sana
yang orang tuanya masih hidup, tubuhnya juga normal, kerabatnya juga baik-baik.
Kenapa tuhan tidak mengambil saja salah satu kebahagiaan dari mereka itu? kenapa
malah Tari yang seperti itu, terus menerus diambil kebahagiaannya?

Aku mendekat dan memberikan sebuah surat berwarna biru langit ke anak
yang terbelenggu kesedihan itu.

'Assalamualaikum nak... jangan bersedih, kalau kamu bersedih bunda juga ikut
bersedih di akhirat. Berhentilah menangis bangkitlah demi bunda nak...kamu harus
bisa bikin bunda tersenyum di sini, kamu harus mencapai cita-cita mu, buktikan kalau
kamu bisa. Tidak ada perpisahan yang menyakitkan bila kita mau ikhlas satu sama
lain, suatu saat nanti Tari pasti akan bertemu bunda, selamat tinggal nak....'

Aku ikut membaca isi kertas itu di sampingnya. Kata-kata yang ditulis oleh tangan
penuh kasih sayang dan kebaikan itu berhasil membuat tangis Tari pecah lagi. “Sudah
nak... jangan menangis. Sebelumnya almarhum bundamu juga berpesan kepada tante,
bahwa tante diminta untuk menjagamu, maka dari itu... apakah Tari mau tinggal
bersama tante?”

Mendengar pernyataan itu, Tari refleks senang dan hal itu membuat kami
bertiga juga ikut senang. Hari ini kami akhiri dengan berpelukan satu sama lain,
sungguh indah bila di pandang.

TRAGEDI PENSIL
Di sebuah rumah kecil tapi mewah aku sedang berlari-lari di kamar kecil
bernuansa biru dan didominasi kartun Doraemon, kesukaannya. “Aduh! lelah aku Li,”
keluhku merasa kelelahan karena berlari-lari. Aku melangkah kecil menuju meja
belajar.

“Sama,” tutur Lia sambil membanting tubuhnya ke kasur yang empuk.

Tiba-tiba kotak pensil milikku bergetar, padahal aku tidak memegangnya. “Lia li-"
perkataanku terhenti dengan tidak adanya Lia di kasur empuk itu.

“Loh! Lia ke mana? perasaan tadi di sini deh! ah, sudahlah,” kataku sambil
mengibaskan tangan. Menoleh lagi ke kotak pensil milikku.

Getaran itu semakin kuat, membuatku penasaran. Sedikit demi sedikit aku
mendekatkan tangannya ke arah kotak pensil itu, untuk melihat ada apa di dalamnya.

Tinggal satu jengkal lagi aku berhasil membukanya dan. “Aaa!” Aku menjerit sekrras
mungkin karena terkejut tiba-tiba pensil yang ujungnya berbentuk buku terlempar
keluar, hal itu semakin membuatku penasaran. Aku langsung membuka kotak pensil
itu, tidak ada apa-apa. Aku menatap ngeri ke pensil yang terlempar tadi, tiba-tiba
pensil itu bergetar. Aku melihat meja belajar, melihat kasur, melihat sekeliling, ini
bukan gempa. “Loh, kok pensilnya bisa berdiri,” kataku ketakutan.

Tiba-tiba pensil itu bertambah besar dan tiba-tiba mempunyai tangan, mata,
dan kaki. aku mengucek-ucek mata berulang kali, mungkin aku salah lihat.
Menguceknya sekali lagi, tapi tidak terjadi perubahan apapun, pensil itu berubah
seperti manusia. “Hai! aku Bobo,” sapa makhluk aneh itu. Aku kembali ketakutan,
mungkin wajahku sekarang sudah pucat pasi. Makhluk aneh itu mendekat ke arahku,
aku semakin memundurkan langkah. “Aaaaaaaaaa.”

“Huh! hanya mimpi ternyata, syukurlah deh.”

“Tar, ayo makan dulu!” ajak Lia dar ipintu kamar. Aku mengangguk dan kami
segera pergi ke ruang makan.

“Alhamdulillah, kenyang,” kata Lia setelah selesai makan.


“Enak gak Tar makanannya?”

“Sangat lezat,” kataku sumringah. Lalu disusul tawa Tante Ros dan Lia.

Selesai mencuci piring, kami menuju kamar dengan aku yang tiba terlebih dahulu di
depan pintu kamar. “Waaaaaa!” Aku menjerit cukup keras.

“Ada apa Tar?”

“It- itu,” tunjuknya.

Lia menoleh dan sama-sama terkejutnya sepertiku, tapi bedanya dia tidak menjerit
atau bahkan ketakutan, dia malah mendekat dengan mata yang berbinar-binar, seolah-
olah dia baru saja menemukan harta karun. “Ini bukan mimpi kan?” kata kami
serempak sambil mencubiti pipi kami masing-masing.

“Kok bisa ya?” tanyaku ke diri sendiri, aku masih tidak percaya.

“Hai! aku Bobo.”

“Bobo? seperti di mimpi tadi, sangat persis, dari tubuhnya yang berbentuk pensil,
mempunyai mata, tangan, dan kaki. Aneh sekali, sangat aneh,” batinku.

“Hai! kamu kenapa melamun?” tanya makhluk aneh itu.

“Ka- ka- mu siapa? kenapa kamu terlihat aneh, tubuhmu kok bisa dari pensil?
Apalagi pensilnya mirip dengan pensilku, atau...jangan-jangan...itu pensilku?”
cerocosku. Aku segera berlari menuju kotak pensilku dan benar saja pensil yang
ujungnya berbentuk buku tidak ada.

“Aku berasal dari pensilmu, kamu sangat berharap semua menjadi kenyataan
bukan? jadi aku izin ke keluargaku untuk pergi ke sini, kalian tidak usah takut, aku kan
tidak menakutkan, hahaha,” jelasnya sambil tertawa merasa tidak bersalah sudah
membuatku sangat ketakutan.

Makhluk aneh itu mengajak mereka kami tanpa ada rasa malu ataupun takut.
“Oh, iya, waktu itu kamu kan pernah berkhayal cerita yang kamu baca tentang
pensil ajaib jadi kenyataan kan? dan ternyata jadi kenyataan Tar,” kata Lia. Matanya
berbinar-binar.

Aku lupa dan segera berpikir keras dan setelahnya aku bisa mengingatnya lalu
menganggukkan kepala karena takjub. aku masih merasa tidak percaya, Aku mulai
menginterogasinya. Saat sesi interogasi sudah selesai, aku mulai mempercayainya.
Kemudian Bobo terlihat mengeluarkan sesuatu dari ujung kepalanya yang berbentuk
buku, sebuah kemasan sangat kecil yang di dalamnya ada serbuk emas, dia segera
mengambil sejumput dan melemparkannya ke badan kami, seketika kami berubah
sangat kecil. Hal itu membuat kami sangat terheran-heran sekaligus gembira. “Wah!”
kagum mereka berdua.

“Ayo! sekarang kita pergi bertemu keluargaku,” ajak Bobo semangat.

Ternyata dia ingin mengajak kami menemui keluarganya di kotak pensilku yang
berada di atas meja yang sekarang terlihat sangat besar. Tapi ada yang janggal, aku
berusaha menerka-nerka. Ya, kami kecil dan pastinya untuk mencapai kotak pensil
yang ada di meja belajar itu akan membutuhkan waktu yang lama. Lagi-lagi Bobo
mengeluarkan sesuatu yang membuat kami kembali terheran-heran. Bobo memasang
sayap yang dikeluarkannya dan dipakaikannya syap itu ke punggung kami dan pastinya
dia juga.

***

Kami sudah memasuki kotak pensil itu, perkiraanku tempat itu kotor dan gelap,
ternyata dugaanku tidak benar. Tempatnya terang benderang dengan warna merah
muda yang mendominasi, karena memang kotak pensilku berwarna merah muda. Ada
rasa bahagia di hatiku dan Lia, rasa bingung sekaligus heran, pasalnya hal seperti ini
ternyata bukan hanya di dunia dongeng saja, di dunia nyata pun ada.

Di depan kami, berdiri lima alat tulis yang sama seperti Bobo, sama-sama memiliki
mata, tangan, dan kaki.
Yang pertama mengenalkan diri adalah Nino si rautan sebagai kakak Bobo, disusul
dengan Bu Dori si pulpen sebagai ibu Bobo, lalu Cencen si penghapus sebagai adik
Bobo, Bobi si pensil sebagai kembaran Bobo dan yang terakhir adalah Pak Dodo si
timex sebagai ayah Bobo. Mereka semua adalah alat tulis milikku yang mempunyai
nyawa, yang memperkenalkan diri dengan riang dan ceria. Keluarga yang sepertinya
kelihatan harmonis dan lengkap, hal itu berhasil membuatku iri. Walaupun aku
sekarang sudah memiliki keluarga seperti mereka dan tentunya sama-sama harmonis,
tetapi... tetap saja berbeda.
3 TAHUN KEMUDIAN

Kami sekarang sudah gadis, kami berhijab dan tentunya semakin cantik jelita,
hehehe. Kami sedang bercanda ria bersama keluarga, bukan keluarga seperti biasanya,
tetapi keluarga yang berwujud alat tulis. Ya, siapa lagi kalau bukan keluarga Bobo,
sudah 3 tahun kami bersama dan sudah sangat akrab juga. “Mom, aku sama Lia keluar
dulu ya, mau main di halaman rumah,” pintaku kepada Bu Dori yang kami panggil
Mom.

***

“Tar! lihat! itu siapa ya?” tanya Lia menunjuk orang yang membawa barang
banyak. Dua orang itu memasuki rumah yang 3 hari lalu dijual.

“Mungkin itu orang baru,” tebakku yang pastinya tidak akan melenceng. Tetapi
tiba-tiba ada sesuatu yang membuat kami terkejut. Tante menghampiri kedua orang
itu dari arah Barat karena baru saja pulang dari pasar. Tante menyalami kedua orang
itu dan terlihat akrab, kami berdua bertambah bingung.

Saat tante menuju rumah Lia bertanya, “bun, itu tadi siapa?”

“Paman kamu,” jawab beliau.

“Tapi... kok Lia nggak pernah lihat ya?”

“Ya mesti lah, kamu tidak pernah lihat, karena pamanmu itu rumahnya
Yogyakarta dan dia tidak pernah bertemu kamu sekalipun,” terang beliau. Kami hanya
mengangguk-angguk saja.

“Namanya siapa tan?” tanyaku penasaran.

“Sana! kalian kenalan sendiri ya...,” kata beliau sambil tersenyum jahil.

Kami agak kesal tetapi tetap menampilkan senyum, senyum yang dipaksakan.

***

Malam ini kami akan berkunjung ke rumah paman Lia. Lia mengenakan hijab
Rabbani berwarna biru dongker dengan jubah yang senada, aku memakai kerudung
pashmina berwarna hitam dengan jubah berwarna merah Maron, kami terlihat seperti
gadis kembar, apalagi kami sekarang juga sudah tinggi. “Assalamualaikum,” ucap kami
semua saat telah berada tepat di depan pintu rumah paman Lia yang rumahnya tepat
berada di depan rumah Lia.

“Waalaikumsalam,” jawab seorang pria dari dalam.

“Loh! Kak Ros, ayo masuk kak,” kata paman Lia.

Kami masuk dan segera duduk karena telah dipersilakan, tetapi aku merasa ada yang
aneh. Aku seperti tidak asing dengan pria ini. “Kamu kenapa Tar?” tanya Lia sambil
mengibaskan tangannya di depan mukaku.

“Kayaknya aku pernah lihat orang itu deh Li,” kataku lirih.

“Di mana? kan pamanku dari Yogyakarta, emangnya kamu kapan main ke
Yogyakarta?” tanya Lia yang sama-sama lirih.

Aku terus mengingat-ingatnya tanpa berniat untuk menjawab pertanyaannya.

“Kalian ngomongin apa?” tanya tante. Kami menggeleng bersamaan.

“Rud, ini keponakan kamu. Kamu pasti belum pernah tahu kan?” Lia dan pria
itu berjabatan tangan.

“Ini Tari sahabat Lia yang sekarang tinggalnya sama aku, soalnya orang tuanya
sudah meninggal dan kerabatnya tidak ada yang perhatian,” jelas Bu Ros.

“Sepertinya... aku pernah lihat anak ini, kalau gak salah kamu yang waktu itu
hampir ketabrak di depan sekolah itu kan?”

Aku berusaha mengingatnya dan akhirnya dia menemukan jawaban dari semua
pertanyaan itu, dia sekarang sudah ingat. “Kakak? Kak Rudiyant?” tebakku riang. Kak
Rudiyant mengangguk sambil tersenyum.

“Loh! jadi udah pernah bertemu ya? tapi kenapa kamu nggak mampir ke rumah
kakak, Rud?” tanya Om Hasan.
“Soalnya aku itu aja lagi buru-buru untuk mengurus komunitasku, jadi gak
sempat kak.”

Terdengar suara derap langkah dari dalam, seorang wanita terlihat muncul dari
arah itu, yang ternyata adalah Kak Marta, istri kak Rudiyant. Ternyata mereka
pengantin baru. Malam itu kami habiskan dengan saling menanyakan keadaan dan
juga bercanda ria, sambil menikmati terang bulan yang dibelikan Kak Marta setelah
tahu kami ada di sini.
KPN

Di depannya ada sepotong roti tawar tambah selai coklat dan sampingnya ada
segelas susu, dia mulai mengambilnya dan memasukkannya ke dalam mulut, hal itu
juga dilakukan oleh kedua orang yang berada di depannya dan juga sampingnya. “Ayo!
yah berangkat,” ajak Lia. Setelah semua sudah selesai sarapan.

Ketiga orang itu mengenakan tas lalu segera berjalan ke mobil tidak lupa juga untuk
berjabat tangan dan mengucap salam kepada Bu Ros. Mobil segera melaju saat Tari
dan Lia masuk. “Hari ini bimbingan belajarnya apa?”

“Matematika.”

Ya, memasuki masa SMP mereka harus berangkat lebih pagi dan pulangnya lebih siang
namun hal itu tidak membuat mereka mengeluh, mereka tetap menjalaninya dengan
semangat karena mereka tahu mencari uang itu tidak mudah. Untungnya juga SMP
yang dipilih keduanya dapat menerima kekurangan Tari dan teman-temannya juga
tidak keberatan akan hal itu, namun masih ada satu orang beserta geng nakalnya yang
tidak menyukainya. Ya, dia adalah Rere, dia juga bersekolah di SMP yang sama.
Perkataannya selalu berhasil membuat Tari sedih, tapi Tari berusaha menerimanya,
berusaha ikhlas dengan jalan hidup yang dipilihkan oleh Allah, karena dia yakin semua
pasti akan indah pada waktunya.

***

Kringggg!!

Bel istirahat telah berbunyi Lia dan Tari yang memang satu kelas segera keluar
untuk membeli makanan, setelah membeli makanan mereka berbincang-bincang
sambil Tari membuka ponselnya yang bermerek Samsung yang diberikan almarhum
bundanya. “Li, lihat ini deh,” tutur Tari sambil memperlihatkannya ke Lia yang berada
di depannya.

“Apa?” tanya Lia.

“Kamu baca deh.”


“Apanya yang dibaca?” bingung Lia.

“Ya, BC-Nya, LL!” kata Tari sebal.

“BC apa? orang layarnya mati!” sahut Lia tambah sebal. Tari segera melihatnya
dan benar saja layar ponselnya mati, dia jadi sangat malu.

“Ini loh,” tunjuknya lagi kepada Lia.Yang ini benar-benar hidup layarnya.

“Komunitas Penulis Nusantara,” eja Lia.

“Aku pengen masuk,” tutur Tari sangat senang.

“Masuk aja, pasti menambah pengalamanmu,” usul Lia bagus.

Tari segera masuk tanpa harus chat Admin, karena ini berupa link. Setelah masuk dia
langsung mendapatkan materi, itu membuatnya percaya bahwa KPN ini akan seperti
yang Tari pikirkan.

***

“Tar! ayo ke rumah pamanku,” ajak Lia.

“Nanti aja, aku lagi buat quotes, nih. Tugas dari KPN,” tolak Tari. Tanpa melihat
Lia yang sekarang sudah kesal.

“Ya sudah, aku ke sana sendiri,” kata Lia sebal. Berjalan sambil menghentak-
hentakkankakinya.

Hanya dalam hitungan detik quotes itu jadi, Tari segera berlari dan menyusul Lia yang
ternyata masih berada di taman teras.

“Derr!!”

“Ih! ngagetin aja kamu nih!”

“Maaf,” kata Tari sambil mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V.

Terlihat dari kejauhan Rudiyant sedang memangku laptopnya dengan tatapan


serius dan tangan yang sibuk mengetik, terlihat sangat sibuk sekali. “Hai! Paman,” sapa
Lia riang.
Mereka berdua segera duduk di sebelah kiri dan kanan Rudiyant. Tari melihat
apa yang dikerjakan Rudiyant. Dia membaca judul novel 'Tiga Bocah Konyol' dan dia
bertanya apakah yang ditulis itu novel. Lalu Rudiyant ppun mengangguk sambil
tersenyum tulus.

“Wah! ternyata Om hebat ya, ajarin Tari ya om,” pinta Tari memelas. Rudiyant
menutup laptopnya karena pekerjaan yang dilakukan telah selesai.

“Insyaallah... om punya sebuah komunitas yang besar, itu yang memimpin om,
kamu bisa masuk ke sana,” jelas Rudiyant.

“Kalau boleh tahu nama komunitasnya apa om?” tanya Tari dengan mata
berbinar-binar.

“Komunitas Penulis Nusantara.” Tari diam, dia sangat terkejut sekaligus takjub.

“Wow! wow! wow! ternyata itu punya om.”

“Loh! kamu sudah tahu?”

“Kalau itu mah, Tari udah masuk ke sana om. Tari mendapat banyak ilmu dan
pengalaman di sana, Tari sangat suka,” terang Tari menggebu-gebu.

“Wah! malah udah tahu duluan kamu, hahaha. Ya seperti itulah cara kerja
komunitas kami.”

“Sebentar lagi akan ada hal yang pastinya membuat kamu bahagia.”

“Apa itu om?”

“Kamu pasti akan tahu nantinya.”

“Yahhhh om...nggak seru deh.” Setelahnya mereka tertawa bersama.

Tari berpikir Lia marah kepadanya, karena saat dia dan Rudiyant berbincang-bincang
Lia tidak dianggap dan dia pergi dari samping Rudiyant. Tapi ternyata dugaannya salah,
Lia pergi untuk makan camilan di ruang tamu Rudiyant. Hal itu membuat Tari
menepuk jidatnya sembari geleng-geleng.
***

Tari dan Lia sedang berada di ruang keluarga bersama Pak Hasan dan Bu Ros, Tari
memberitahu tentang kejadian tadi kepada keduanya dengan sangat detail, tanpa ada
satu pun yang dikurangi. Tentu saja mereka terkejut, tetapi keterkejutan itu tidak
sebanding dengan Tari yang saat ini terkejut, lebih dari keduanya. “Kenapa Tar?” tanya
Lia sambil melihat layar ponsel milik Tari dan membiarkan layar ponselnya yang masih
hidup.

“Project 40 hari menjadi novelis di KPN,” jelasnya masih terkejut.

“Wah! kamu ikutan lah....”

“Iya, ini aku mau masuk.”

“Alhamdulillah, Tari bisa berkarya di sana. Manfaatkan dengan sebaik mungkin


ya nak...,” nasehat Bu Ros.

“Tari pasti bisa,” sahut Pak Hasan.

“Iya, tan, om...makasih.”

“Sama-sama nak...,” jawabnya serempak.

Setelah memasuki grup itu, banyak sekali hal penting yang harus Tari perhatikan, salah
satunya adalah cara menulis novel di genre ini, karena Tari masih kesulitan untuk
genre satu ini, walaupun genre anak ini cocok untuknya tetapi dia masih sangat-sangat
kesulitan. Tari terus berpikir. Tetapi nihil, dia tetap tidak dapat ide walaupun sudah
diberi contoh dari Rudiyant di dalam grup itu. Wajahnya kembali sedih. “Kenapa nak?”
Tanya Bu Ros.

“Ini tan, Tari belum dapat ide sama sekali.” Lia terlihat mendekat dan
membisikkan sesuatu, yang membuat Tari berlonjak senang.

“Om, tan, Tari ke kamar dulu ya?”

Tanpa menunggu jawaban dari keduanya ia sudah pergi begitu saja. “Tungguin Tar!”
kesal Lia.
Sesampainya di kamar, Bobo melakukan aktivitas seperti biasanya, yaitu memakan
camilan milik Tari ataupun Lia tanpa seizin empunya, dan hal itu selalu membuat Lia
atau Tari marah. Tetapi tidak untuk hari ini, Tari lebih fokus ke sesuatu hal. “Bo, bantu
aku dong,” kata Tari memelas.

“Bantu apa?”

“Aku kan suruh bikin cerita. Nah, aku nggak tahu harus bikin cerita apa? kamu
tahu gak, kira-kira cerita seperti apa yang bagus?”

Bobo tampak berpikir. “Gimana kalau cerita kamu bertemu denganku?”

“Nah!!! sip!!” Lia dan Bobo berjingkat kaget. Lia refleks memukul Tari dan itu
membuat Tari menjerit, sampai-sampai Bu Ros mendatangi kamar mereka.

“Kalian berdua, ada apa kok jerit-jerit?” kalian berdua? iya, selama ini Bu Ros
tidak bisa melihat Bobo, hanya Tari dan Lia saja yang bisa melihatnya. Mereka
menggeleng sambil nyengir.
AJAIB

Berkurang satu, air mata itu mengalir membentuk sungai di pipi yang kering,
tak ada sedikit pun sunggingan dari bibirnya. Tak ada cahaya di wajahnya, wajah cantik
itu sekarang tak ada gairah untuk ceria sedikit pun, tak ada semangat, tak ada tekad,
semua sekarang terasa mati. Langkahnya lemah, hingga pada akhirnya ia terduduk
lesu, di samping jalan.

Pagi tadi saat di sekolah, Bobo dan keluarganya pamit kepada Tari untuk pergi, tentu
saja Tari tidak bisa percaya. “Kalian mau pergi ke mana? Rumah kalian kan di kotak
pensilku, kalian kan alat tulisku.”

“Kami bukan alat tulis itu, kami adalah jiwa yang tinggal di benda-benda yang
sering disia-siakan, contohnya alat tulis, kadang mereka tidak bertanggung jawab
dengan alat tulis miliknya, seperti menaruh pulpen ke sembarang tempat hingga
akhirnya pulpen itu hilang,” jelas Bobo.

“Bila itu manusia, pasti manusia itu akan merasa kehilangan kan?” lanjut Bu
Dori.

“Maka dari itu, kamu jangan menyia-nyiakan barang yang berarti di hidupmu,”
sahut Cencen.

“Kami harus pergi...karena masih banyak manusia di luar sana yang harus kami
sadarkan...,” kata Pak Dodo.

“Tapi...apakah kalian bisa sebentar saja bersamaku?”

“Maaf...tidak bisa,” kata Bobi ikutan sedih.

Mereka ber-Enam berpamitan lalu segera pergi, tinggal menyisakan alat tulis tak
bernyawa seperti milik temannya.

Tari berusaha untuk berdiri, berusaha bangkit. Dia akan berusaha untuk melupakan,
dia berusaha menganggap ini hanyalah mimpi buruk. Ya, 3 tahun ini hanyalah mimpi
buruk. Akhirnya, Tari berjalan kembali untuk menuju rumah, berjalan sendiri. Karena
Lia pamit pulang terlebih dahulu, ada sesuatu yang sangat penting yang harus ia
kerjakan.

Setelah sampai di depan pintu, Tari menghela nafas, menghapus sisa air matanya dan.

Ceklek!

“Surprise!!!!!!”

Tari kira semua orang tidak ingat dengan ulang tahunnya bahkan malah
kesedihan yang menghampiri, tetapi semua tidak seperti yang dia pikirkan. Orang-
orang yang ada di depannya adalah buktinya, bukti bahwa masih banyak orang yang
menyayangi dan peduli dengannya. Tetapi ada yang mengejutkan! Rere juga berada di
sana, terlihat ikut gembira. Dia mendekat ke Tari, mulai dari kecil sampai SMP Rere
selalu memusuhinya, dan dia sekarang berusaha untuk belajar menjadi lebih baik,
meninggalkan semua keburukannya. Karena Rere sekarang telah mengerti, kejahatan
juga merugikan dirinya. Tari berusaha bersyukur, berusaha bahagia. Tetapi...apa
dayanya, dia tetap bergelimang di dalam kesedihan. “Loh...Tari kok malah sedih?”
tanya Rudiyant.

Tari menggeleng lemah. Lia mendekat dan berbisik. “Kamu sedih karena Bobo ya?” Tari
mengangguk lemah.

“Aku kasih kejutan buat kamu, ayo!” Lia menarik tangan Tari.

“Mau ke mana?” tanya Pak Hasan.

“Bentar, pa.”

Mereka berlari menuju kamar.

“Taadaaaaaa!” Lia membuka lebar-lebar tangannya.

“Bobooooooo!” Tari berlari dan memeluk Bobo.

Tari marah-marah tidak jelas yang membuat Bobo dan keluarganya serta Lia tertawa
terbahak-bahak. Bu Ros serta yang lain yang sudah tidak sabar menunggu keduanya
segera memanggilnya dengan suara keras. Mereka semua segera pergi ke ruang
keluarga.“Ayo...sekarang Tari berdoa dulu. Setelah itu tiup lilinnya.” Tari segera
berdoameminta sesuatu yang bisa membuatnya menjadi lebih baik dan tak lupa
mendoakan bunda dan ayahnya. Lalu semua yang berada di tempat itu maksn
bersama.

Setelah semua selesai makan-makan, Rudiyant mendekat ke arah Tari dan


memberikan kantong plastik warna hitam yang di dalamnya ada sesuatu.

Tari segera membukanya, saat mata kepalanya melihat sendiri dia refleks melompat-
lompat bahagia. Dia langsung memeluk Rudiyant dan mengucapkan banyak
terimakasih, karena novel yang satu bulan lalu ia ketik dengan judul 'AJAIB' sekarang
sudah menjadi buku dan ada di tangan Tari. Tentu saja hal itu membuat dia bahagia,
bukan hanya dia, tetapi semua yang berada di ruangan itu.

Beberapa hari yang lalu Tari menyimpan sesuatu yang membuatnya resah dan
mungkin ini saat yang tepat. Gadis cantik itu mendekat ke arah Bu Ros. “Tan,”
panggilnya.

“iya... ada apa nak...?”

“Emmm, gini... kan bunda udah lama meninggal.” Dia berhenti sejenak. Bu Ros takut
Tari mengalami masa lalu itu lagi. Tapi beliau harus terlihat tenang.

“Aku... emmm, apa boleh Tari manggil tante bunda?” Semuanya seolah berhenti bagi
semua orang yang berada di ruang itu kecuali Tari. Tari menunggu jawaban dari Bu Ros
dengan ketakutan yang membuncah. Detik berikutnya Bu Ros menganggukan kepala,
Tari langsung memeluknya lalu disusul dengan Lia kemudian Pak Hasan dan kedua
pengantin baru itu pun juga ikutan.

***

Sekarang hari sudah menjelang malam, bintang-bintang dan bulan mulai


menyambut kegelapan. Menambah suasana bahagia yang membuncah di hati Tari dan
keluarganya yang sekarang ini sedang berada di sebuah tempat makan di salah satu
kotanya. Namanya 'Rindu'. Seperti itu juga perasaan Tari sekarang, rindu akan kasih
sayang bundanya, rindu akan nasehat bundanya. Hingga mengingatkannya pada 4
tahun yang lalu, di mana dia saat itu kebingungan mencari bundanya sampai menangis
dan ternyata saat pulang ke rumah dikejutkan dengan kejutan yang tidak ia duga,
bahkan hari itu juga dia bisa punya HP, yang masih dipakainya sampai sekarang. Itu
adalah masa-masa terindah saat ulang tahunnya. “Tar,” panggil Lia.

“Tari...” Tari melamun.

Tar!!”

“Eh! Iya, apa?” Refleks dia terkejut.

“Dari tadi dipanggil gak dijawab, ayo makan dulu. Ini makanannya udah
sampai.” Tari melamun memikirkan semua itu, hingga tidak sadar saat dipanggil Lia
membuatnya geli sendiri.

“Sebelum makan kita berdoa dulu ya...agar makanan yang kita makan menjadi
berkah, aamiin,” tutur Pak Hasan.

Detik berganti menit, menit berganti jam. Bintang-bintang sudah hampir pergi dari
tempatnya dan hanya menyisakan sang bulan yang kesepian di tengah gelapnya
malam. Mereka baru saja pulang, setelah cukup lama menghabiskan waktu bersama.

Sesampainya di jalan depan rumah mereka, Rudiyant berbelok menuju rumahnya


begitu pun Tari dan keluarganya.

Mereka segera memasuki rumah yang kecil tetapi mewah itu, Tari dan Lia
segera menuju kamar. Tetapi lagi-lagi Tari dibuat terkejut. Bukan hanya Tari, tetapi Lia
juga. Pasalnya Bobo dan keluarga berteriak sembari berkata 'Surprise'. Kamar mereka
berdua terlihat berbeda, Bobo dan keluarganya menghias dengan sedemikian rupa. Di
dinding samping tempat tidur diberi balon-balon berbentuk hati dan juga tulisan
'Happy birth day Tari' dipasang dengan apik serta lampion-lampion yang digantungkan
di dekat jendela menambah kesan elegan. “Terima kasih semua,” kata Tari. Sembari
memeluk semua yang berada di ruangan itu penuh kasih sayang.

“Kami sih tadi sebenarnya juga ingin ikut jalan-jalan, tetapi...kalau kami ikut
jalan-jalan hadiah ini tak akan selesai. Jadi....” Sambil menempelkan kedua tangannya.
“Jadi apa?”

“Jadi...kita akan jalan-jalan juga,” sahut Nino.

Tari dan Lia bingung, pasalnya ini sudah malam. Bagaimana mereka bisa jalan-jalan.
Seolah tahu kebingungan keduanya Bobo berkata, “sudah tenang saja, sekarang tutup
mata kalian.” Mereka berdua menuruti perintah Bobo.

“Sekarang buka,” perintah Bobo lagi.

Mereka membukanya, perasaan terkejut kembali hadir. Mereka tidak menapak


tanah, mereka semua terbang dengan serbuk emas mengelilinginya. Bobo mengajak
semuanya keluar melewati jendela dan mengajak mereka mengelilingi kota nan indah
permai, Bobo dan keluarganya mampu membuat Tari dan Lia tertawa sangat-sangat
bahagia. Semuanya menikmati malam itu, berputar-putar di angkasa, kejar-kejaran,
bercanda ria. “AJAIB!” teriak Tari.

Mereka turun kembali karena udara malam semakin menusuk. Saat memasuki
kamar lewat jendela, Tari melihat bundanya di ranjangnya sedang tersenyum
kepadanya, senyum yang indah, wajahnya bersinar sangat-sangat terang, bajunya
sangat indah bahkan lebih indah dari baju mahal sekalipun. “Bunda....” Tari mendekat
dan akan memeluknya, tetapi semua itu gagal ia lakukan, bundanya benar-benar tidak
bisa tersentuh. Tari merasa sedih.

Bobo dan yang lainnya mendekat, mereka sama-sama bisa melihat bunda Tari, Bobo
dan keluarganya tidak akan heran atau bingung, siapakah itu? karena beberapa hari
yang lalu Lia menceritakan semua tentang bunda Tari, juga memperlihatkan fotonya
kepada mereka.

Malam ini adalah malam terindah bagi mereka, khususnya bagi Tari. Tari merasa
semua ini bukan hanya ajaib, tetapi ajaib, ajaib, ajaib, dan ajaib. “Terima kasih semua,
aku tak akan melupakan hal terindah ini,” kata Tari menangis. Memeluk semua kecuali
bundanya dan tersenyum kepada bundanya.

***
Hujan memberinya pelangi yang sekarang telah terukir di kehidupannya,
setelah lama hati selalu tergores ketajaman pisau, hingga pada akhirnya puncak
keajaiban tertinggi di hidupnya datang, yaitu saat dia bisa bersama mereka, meraih
cita-citanya dengan bantuan mereka, bahagia bersama mereka, menikmati setiap
jengkal hidupnya bersama mereka, menjalani hidup penuh liku-liku bersama mereka.

Setiap kebersamaan selalu terlihat indah, nikmatilah setiap bagiannya, rasakan rasa
indahnya dan suasana nyamannya. Waktu tidak selamanya berpihak padamu, ada
kalanya waktu menjauhi kehidupanmu. Jadi jangan kau sia-siakan setiap kebersamaan
yang singgah dalam pahit manisnya hidupmu.

Strive to be better, because you are the best

Thank you

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai