Anda di halaman 1dari 3

IBUKU PAHLAWANKU

Setiap anak dilahirkan dari rahim ibu. Yang sudah bersusah payah melawan rasa
sakit yang dialaminya, perjuangan antara hidup dan mati demi melahirkan seorang
anak tercintanya. Seorang ibu terkenal dengan kasih sayang dan cintanya terhadap
keluarganya. Tapi ada juga yang agak cerewet, cerewet bukan berarti dalam hal
buruk, melainkan dalam hal baik, sebagai contohnya cerewet karena seorang telah
merusak pot atau, cerewet karena seorang anak pulang malam-malam atau juga,
cerewet karena bertindak seenaknya.

Aku juga mempunyai seorang ibu. Menurutku, dia adalah ibu yang terbaik di
kehidupanku. Ibuku selalu membantuku disaat aku kesulitan. Terkadang aku juga
sering suka bermain-main dan bercanda dengan adikku, dan itu tidak membuat ibuku
merasa kesal ketika melihat tingkah kami yang berisik dan lucu. Ibuku hanya ingin aku
dan adik-adikku tetap rukun.

Aku mengingat beberapa momen ketika bersama ibuku sekitar tiga hari yang lalu.
Ibuku menyuruhku untuk menyiapkan sendok plastik dan tisu untuk pesanannya,
"Mas! Turun, tolong bantuin siapin sendok sama tisu bisa?" Aku segera turun dari
kamar atas dan menghampirinya di ruang tamu. "Memang ada berapa pesanannya?"
Aku bertanya, lalu ibuku menjawab dengan menyerahkan beberapa kantung plastik
yang isinya adalah beberapa bungkus sendok plastik dan tisu. Dan jumlah tersebut
bukan main-main banyaknya. "Pesanannya untuk besok itu... Ada dua ribuan lebih."
Aku terkejut dengan mendengar perkataan ibu, "dua ribu?! Hah... Banyak amat..."
Aku mengeluh pasrah dan ibu hanya bisa tertawa mendengar keluhanku, "hahaha!
Iya dua ribu, setidaknya kita beruntung bisa dapat pesanan banyak." "Ya... Aku
mengerti itu, tapi jumlah yang sangat banyak itu lho... Mual rasanya." Ibuku hanya
bisa tertawa, tapi setidaknya kita juga mendapatkan untung yang sangat banyak dari
itu.

"Memang temannya ibu ikut membantu?"

"Iya, temen ibu bantu juga. Jadi seperti dibagi begitu. Ibu buat enam ratus, Budhe
Hartik enam ratus, terus temannya ibu juga enam ratus."

"Ohh... Jadi dibagi tiga begitu ya? Jumlahnya seribu delapan ratus?"

"Iya, ibu tidak kuat kalau langsung mengerjakan dua ribu, nak." Aku, ibuku dan
adikku terkekeh mendengar itu. Lalu kita bertiga membantunya dalam menyiapkan
sendok-sendok dan tisu lalu memasukkannya kedalam plastik kecil untuk wadah
sendok dan tisu tersebut.
Setelah beberapa waktu berlalu, kami bertiga akhirnya selesai mengerjakan tugas
tersebut. "Mau dibelikan es coklat?" Ibu menawarkan itu kepadaku dan adikku yang
tadinya beristirahat karena lelah menghitung banyaknya sendok tersebut, "Aku mau
juga!" Adikku yang ada di kamar mendengar perkataan ibu tentang membelikan es
coklat yang biasanya aku dan adik-adikku suka meminumkannya. "Ohh ya kubelikan,
tunggu sebentar, ya?" Aku dan adik-adikku mengangguk. Ibu pergi ke sebuah toko
dengan sepeda motornya untuk membelikan kami es coklat. Selagi kami menunggu,
aku memainkan hp-ku agar tidak bosan menunggu. Akhirnya, setelah beberap menit,
tidak lama, ibu pulang dan membawakan dua kantung plastik yang satu berisi empat
gelas es coklat beserta sedotan, dan yang satunya lagi yaitu segelas es teh berperisa
leci dengan sedotan yang sudah ditancapkan ke penutup gelas tersebut. "Ini dia, es
coklatnya." Ibu meletakkan kantung plastik berisi empat gelas es coklat itu. "Yay!"
Adikku yang paling kecil gembira dan mengambil satu gelas tersebut, aku juga
mengambil satu dan dua adikku yang lainnya juga mengambil satu. "Terima kasih ya,
bu!" Aku mengatakan itu dan ibu menjawab, "iya sama-sama, terima kasih juga
sudah mebantu ibu sama sendoknya tadi." "Sama-sama." Ucapku lalu meneguk es
coklat tersebut dengan memakai sedotan yang tersedia tadi. "Ahh~ enaknya, aku
memang butuh yang manis-manis." Aku merasa puas dengan meminum es coklat
tersebut.

"Mas, nanti tolong cuci piringnya juga ya? Ibu lelah."

"Ok." Setelah mengatakan itu, ibu beranjak ke kamar dan mengistirahatkan


tubuhnya yang lelah karena sudah bekerja keras dari pagi hingga malam.

Setelah selesai menghabiskan minumanku, aku segera pergi ke belakang dimana


terdapat rak yang menampung piring, panci dan berbagai alat masak lainnya. Aku
segera mendekati bak yang berisi kan air dan mengambil spons yang sudah direndam
dengan air dan sabun cuci piring yang tersedia di sebuah wadah plastik kecil. Aku
memulai menyuci piring-piring yang kotor tersebut. Setelah selesai, aku
meniriskannya dari sisa air dan menaruhnya ke dalam rak tersebut.

"Sudah ku cuci piringnya."

"Terima kasih ya, mas."

"Umu, sama-sama. Aku ke kamar atas dulu ya?" Aku mengangguk dan beranjak ke
kamar atas untuk istirahat.

Keesokan harinya, ibu telah menyiapkan pesanan-pesanan tersebut untuk di


bawa ke sebuah gedung universitas. Aku benar-benar tidak menyangka dengan
banyaknya pesanan tersebut, pemilik dan staf-staf universitas juga akan membayar
untuk pesanan tersebut. Dan aku terkejut dengan jumlah keuntungan yang dibayar
oleh mereka, tentu saja keuntungan tersebut dibagi rata dengan rekan ibu.
Setidaknya kita sama-sama merasakan untung. Pembayarannya mungkin tidak saat
ini, tetapi ibu bilang uangnya bisa diterima ditanggal 25 November ini, aku dan ibuku
hanya bersabar sambil menunggu pembayaran tersebut bisa dikirim.

Ya... Betapa menyenangkan memiliki seorang ibu, tak terbayang jika ibu tidak ada,
meninggalkan kami. Ibuku sudah susah payahnya membesarkanku dan adik-adikku.
Aku masih ingat ketika aku masih berumuran tiga sampai empat tahun, aku
mengalami demam tinggi. Bapak dan ibu khawatir dengan kondisiku yang sakit ini.
Sedangkan aku? Dengan riang ria-nya berlari-lari mengitari tempat tidur seolah-olah
aku tidak merasakan apa-apa. Aku bermain-main dengan semangatnya walaupun aku
dalam kondisi demam, bapak dan ibu melihat tingkah laku yang lucu yang dilakukan
oleh anaknya sendiri, mereka juga tertawa melihat betapa spontan dan lucunya aku.
Bapak dan ibu juga sudah mengajariku tentang ilmu pengetahuan, mengajarkanku
tentang menghitung, menulis, dan membaca. Sungguh kenangan yang sangat indah
ketika aku masih kecil. Seorang pekerja berprofesi seperti guru, dokter, polisi, dan
lain sebagainya tidak bisa menjadi seseorang yang seperti itu tanpa ibu yang
melahirkan dan merawat. Seorang pahlawan juga tidak bisa menjadi seorang
pahlawan jika bukan tanpa ibu. Menurut pendapatku sendiri, pahlawan yang
sebenarnya adalah seorang ibu. Mengapa begitu? Karena kasih sayang, karena
kesabaran, karena kerja keras, karena ketekunan seorang ibu-lah yang bisa membuat
anaknya menjadi berbakti, menjadi sukses dan berjasa bagi orang tua mereka.

Aku sangat menghargai ibuku sampai aku menganggapnya sebagai seorang


pahlawan sejati. Aku juga sering membantunya dalam pekerjaannya. Setiap kali ibu
memanggilku atau adik-adikku, kami segera datang menghampirinya dan
mendengarkan keperluan apa yang bisa aku bantu. Meskipun ibu sudah tua, ibu
tetap menjadi apa yang terbaik bagiku, adik-adikku, dan keluargaku. Semoga Allah
Swt. selalu melindungi dan memberi pertolongan untuk ibu, amin ya rabbal alamin...

Nama: M. Febrian H.

Kelas: 9 H

No. Absen: 21

Anda mungkin juga menyukai