Anda di halaman 1dari 3

HARAPANKU SELUAS LUMPUR

Tema: Cita-citaku Setiap manusia pastinya menyimpan cita-cita tertentu dengan harapan kelak apa yang dimpikan bisa menjadi sebuah kenyataan. Masih ingatkah Anda apa yang sempat dikatakan oleh mantan presiden pertama kita (Bung Karno) Bercita-citalah engkau setinggi langit, maka kamu akan jatuh diatara bintang-bintang. Kalimat tersebut memberikan arti yang sangat dalam jika kita renungkan. Pagi ini tak ada bedanya dengan hari-hari sebelumnya, aroma yang khas itu masih ada. Aku sebut khas karena aroma itu bak pedang yang menusuk tubuh. Memang aromanya menusuk, menusuk indra penciuman dan jangan bayangkan baunya seperti masakan di hotel-hotel bintang lima. Baunya seperti kentut lebih tepatnya seperti bau belerang. Padahal aku berharap ada perubahan pada pagi ini. Aku tinggal disini, di sebuah kota yang ramai, sibuk dan tentu saja ada lautan lumpur yang baunya luar biasa. Sebelumnya kotaku tak seperti ini, kotaku luas, tak berlumpur dan penduduknya pun tak mudah naik darah seperti sekarang Yanti adalah seorang remaja yang dilahirkan dari keluarga kurang mampu. Bukan hanya dilahirkan dari keluarga yang kurang berkecukupan, tetapi Yanti juga sangat tidak beruntung karena kondisi keluarganya jauh dari apa yang dia ekspektasikannya. Namun, Yanti adalah sosok remaja yang kuat. Dia tidak ingin selamanya merasa terpenjara dengan keadaan yang menyulitkan dia. Yanti tetap berpikir menggunakan naluri sehatnya, dan terus berusaha untuk merubah keadaannya. Yanti memiliki sebuah cita-cita terpuji layaknya kebanyakan remaja seusianya. Yanti berharap kelak dia dapat mencapai sebuah kesuksesan sebagaimana yang dia harapkan meski disisi lain dia menyadari bahwa untuk merealisasikan hal tersebut dia harus banting tulang, putar otak, mandiri, dan tidak kenal kata menyerah. Setiap sore aku bermain layang-layang di tepi tanggul, anginnya cukup kencang, layang-layangku terbang tinggi. Ya inilah....memang terlihat aneh perempuan bermain layang-layang. Tapi inilah aku dengan apa adanya diriku. Namun kali ini aku tak beruntung, layang-layangku putus dan lenyap seketika ditelan lumpur yang berbuih. Itu tandanya aku harus pulang ke rumah karena senja telah tiba. Sebenarnya rumahku tak jauh dari tempatku bermain layang-layang tadi, tapi lagi-lagi gara-gara ada lumpur lumpur yang semakin meluas maka kami sekeluarga harus pindah.

Suatu hari bapak terlihat sangat marah, bukan karena aku nakal juga bukan karena bertengkar dengan ibu. Awalnya aku tak tahu apa sebabnya, tapi kata ibu bapak marah karena masalah keadilan. Aku semakin tak mengerti maksud dari perkataan beliau, mungkin karena aku belum cukup umur. Setelah aku keluar rumah tampak dari jauh barisan orang-orang dengan teriakan lantang, berapi-api sama seperti bapak tadi. Aku ingin mendekat ke dalam kerumunan orang-orang itu tapi ibu melarangku serta belum pantas anak seusiaku menonton hal-hal seperti itu. Aku lantas berpikir, apakah keadilan itu dapat menghalangi cita-citaku? Apakah keadilan dapat menghilangkan lumpur dan dapat membuat bapak tak marah-marah? Entahlah itu masalah orang dewasa. Pagi ini aku mendapatkan pertanyaan yang mengejutkan dari guruku begini pertanyaannya, Yanti, menurutmu cita-cita itu bagaimana? Aku terdiam sejenak lalu menjawab, Cita-cita itu bagai pensil, jika kita ingin meraihnya maka kita harus berusaha dan bekerja keras seperti halnya meraut pensil agar menjadi runcing. Namun jika kita tidak bersungguh-sungguh maka kesempatan kita semakin kecil bahkan pupus seperti pensil yang semakin hari semakin pendek bahkan hilang. Tapi yang jadi pertanyaan apakah aku bisa menggapai cita-citaku itu? Aku merasa dihalangi oleh alam karena alam telah mengirimkan lumpur yang membuat sebagian kehidupanku tak tertata. Aku putus asa dan sepertinya aku mulai tertular penyakit yang menggerogoti masyarakat kotaku, tentunya penyakit naik darah. Sore harinya bapak juga bertanya mengenai cita-cita padaku tapi ini pertanyaannya berbeda. Beliau bertanya seberapa tinggikah cita-cita yang aku inginkan, tentu saja aku langsung menjawab, Tentu saja setinggi langit pak! Namun beliau malah tertawa, aku heran dengannya padahal kan jawaban itu betul. Bapak lalu berkata, Yan, bapak beri tahu ya cita-cita setinggi langit itu hanya pepatah yang omong kosong. Kalau untuk anak-anak lumpur sepertimu cocoknya adalah cita-cita itu seluas lumpur. Aku dibuat bingung dengan omongan bapak, lalu bapak melanjutkan lagi, Lihat lumpur yang menenggelamkan rumah kita makin hari makin meluas, makin tinggi. Bisa-bisa jadi lautan! Jadi menurut bapak membuat kata-kata penyemangat itu yang sesuai dengan fakta sajalah! Aku langsung berlari menuju rumah lamaku yang sudah tak tampak karena terendam lumpur. Disini aku merenung, merenungkan perkataan bapak dan akhirnya aku setuju dengan beliau. Entah sampai kapan lumpur ini akan meluap, entah seluas apa lagi lumpur ini menggenang tetapi aku akan selalu berusaha mengembangkan sayap-sayapku, menunjukkan pada dunia meskipun aku hanya sosok anak lumpur dan aku akan menunjukkan bahwa citacitaku seluas lumpur

Sebuah hal yang sangat sulit tentunya, untuk menjalani hari-hari seperti layaknya teman-temannya saja. Namun, Yanti tetap tegar dan berusaha ikhlas menerima apa yang Tuhan Berikan. Hidup adalah untuk memberikan yang terbaik, agar kelak kita akan mendapatkan yang terbaik juga. Hal ini selalu disematkan dalam lubuk hati Yanti ketika dia merasa benar-benar lelah dan disakiti oleh kondisinya. Melawan hari dan terus berlari, itulah yang tertanam dalam jiwa remaja ini. Sesulit apapun dia ingin melangkah, dia tetap berusaha untuk melawan sedemikian banyak hal yang menjerat akal dan pikirannya. Dia ingin sukses, dia tidak memberikan ukuran kesuksesannya, yang dia katakana hanya ketika dirimu menjadi lebih baik dalam hal apapun, maka kamu adalah orang yang sukses. Begitulah apa yang dikatakan oleh Yanti. Hari demi hari, tahun demi tahun, perjalanan demi perjalanan akhirnya Yanti benarbenar mampu menapakkan kaki dilandasan dimana dia kian dekat dengan impiannya. Dengan penuh pengorbanan, kerja keras, ulet, kreatif, semangat dan sikap tak pernah menyerah setiap harinya, Yanti dapat menikmati kebahagiaan yang ia inginkan selama ini. Setelah ia menjadi dokter, ia tak akan lupa akan semua hal dan cita cita seluas lumpur. Tak lupa dia juga selalu mengadakan sosialisasi tentang kesehatan dan kebersihan agar masyarakat sekitar bisa terhindar dari wabah penyakit. Hari demi hari, lumpur yang semula menggenangi wilayah rumah dan sekitarku pun sekarang telah tinggal kenangan. Yang semula selalu mengotori kaki dan jari jemari ku sekarang telah tiada. Aku bersyukur karena Tuhan memberikan ku kesempatan untuk memberi pengarahan kepada masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan dan menjaga kebersihan diri agar terhindar dari penyakit. Ya Allah.... Terimakasih telah membuatku untuk menatap kedepan. Melewati dinding perjuangan dan meninggalkan malu demi sebuah mimpi. Melawan nafsu meskipun sulit. Meruntuhkan ego sekeras apapun. Terus berjuang sebelum matahari tenggelam. Membulatkan tekad demi satu tujuan. Meyakinkanku, untuk menyembuhkan mereka yang tak berdaya. Dari kecacatan mereka. Dan tanpa pamrih.

Anda mungkin juga menyukai