Anda di halaman 1dari 10

CERPEN TENTANG PENDIDIKAN

JUDUL: PUTIH ABU - ABU

Prita adalah siswi kelas XI di SMA Harapan Kita. Sejak awal memasuki bangku
SMA, Prita telah memiliki seorang sabahat yang bernama Jessi. Mereka berdua
selalu bersama pada setiap kesempatan. Bahkan tidak jarang mereka saling
menginap dan belajar bersama. Kebersamaan mereka juga terlihat dalam setiap
kegiatan ekstra kurikuler serta kegiatan ilmiah yang sering diadakan oleh pihak
sekolah. Tidak heran bila guru dan teman - temannya mengenal mereka sebagai
sosok siswa yang rajin dan berprestasi. Suatu hari, sekolah mengadakan seleksi
Siswa Teladan yang nantinya akan mewakili sekolah ke tingkat Kabupaten. Seperti
biasa, Prita dan Jessi pun mengikuti seleksi. Namun dari awal mereka telah sepakat
bahwa siapapun nanti yang dinyatakan lolos tidak akan membuat persahabatan
mereka retak. Untuk menghadapi seleksi Siswa Teladan, mereka bahkan belajar
bersama dengan saling tukar inforasi mengenai berbagai referensi yang mereka
dapatkan.

Para siswa lainnya pun tidak kalah heboh mempersiapkan diri menghadapi seleksi
Siswa Teladan ini. Ajang Siswa Teladan memang merupakan sebuah ajang
bergengsi yang paling ditunggu siswa SMA Harapan Kita. Dalam 5 tahun terakhir,
SMA Harapan Kita telah berhasil menyabet juara I sehingga tahun ini pun para
siswa dan juga guru ingin mempertahankan predikat Juara I yang telah 5 tahun
berturut - turut mereka dapatkan. Ajang ini tidak hanya menyaring kemampuan
siswa dalam bidang akademik saja, namun juga menyaring prestasi non akademik
yang dimiliki oleh siswa.

Akhirnya hari H seleksi penyaringan Siswa Teladan pun tiba. Prita dan Jessi pun
bergegas menuju ke aula sekolah untuk mengikuti acara tersebut. Hari ini, seleksi
bidang akademik dilakukan di hall sekolah. Ada sekitar 20 siswa yang mengikuti
ajang seleksi ini. Semua bidang studi pun diujikan di sini. Karena telah siap, Prita
dan Jessi sama sekali tidak terlihat grogi. Dengan tampak percaya diri, mereka
mengerjakan semua soal dan keluar 15 menit lebih awal dari waktu yang telah
ditentukan. Di luar hall, mereka berdiskusi tentang soal - soal yang mereka
kerjakan tadi. Terkadang merak tampak tersenyum senang, tertawa terbahak
bersama, atau nahkan nyengir saat mereka tahu bahwa jawaban mereka salah. 3
jam kemudian, acara sekelsi Siswa teladan pun dilanjutkan kembali. Kali ini tes
non akademik yang dilakukan berdasarkan mnat serta bakat yang dimiliki oleh
masing - amsing siswa. Karena emiliki minat dan bakat yag berbeda, Prita dan
Jessi pun berpisah. Prita menuju ruang olahraga dan Jessi menuju ruang musik.
Setelah seharian mengikuti acara seleksi Siswa Teladan, menjelang sore
pengumuman tentang siswa yang akan mewakili SMA Harapan Kita ke seleksi
Siswa Teladan tingkat Kabupaten akan segera diumumkan. Berdasarkan jumlah
nilai yang terbanyak, akhirnya Jessi-lah yang berhak mewakili sekolah ke ajang
bergengsi tersebut. Mendengar hasil pengumuman tersebut, sontak Jessi dan Prita
berpelukan dan Prita pun berjanji bahwa ia akan selalu emnsupport dan
mendampingi Jessi dalam menghadapi ajang seleksi Siswa Teladan.

PENYESALAN TERDALAM KAK SETYA

Matahari mulai menyingsing di ufuk barat. Tanda sore telah usai. Gadis kecil itu
hanya diam terpaku sambil menekuk lututnya di atas tempat tidur dalam kamar
yang cukup nyaman itu. Jam telah menunjukkan pukul 05.30 nyatanya yang
ditunggu-tunggu juga belum datang. Tok.. tok.. tok..
“Non Bita ayo diminum susunya dulu sudah malam.”. Ujar seseorang sambil
mengetuk pintu kamar Bita. Dengan sigap ia turun dari tempat tidurnya.
Kriek..
“Terimakasih Mbak Tini!”. Ucapnya sambil meraih segelas susu yang dibawakan
oleh pembantunya. Sambil mengeluarkan senyum yang nakal ia meneguk segelas
susu tadi dengan cepat. “Mbak masuk kamar Bita dulu yuk. Sebentar saja!”.
“Kenapa non? Takut sendirian di kamar?”. Tanya Mbak Tini.
“Buat apa takut? Bukannya rumah ini aman-aman saja?”. Bita bertanya dengan
gayanya yang khas. Senyum manisnya selalu menjadi make up alami wajahnya.
Tanpa basa-basi Mbak Tini memasuki kamar Bita. Awalnya sedikit sungkan. Bita
mempersilahkan Mbak Tini turut duduk di kasurnya yang empuk. Ia meraih remote
AC yang diletakkan di meja riasnya. Tiiit.. AC pun nyala.
“Mbak. Kenapa ya Bapak, Ibu sama Kak Satya belum juga datang?”. Goresan
wajah khawatir mulai muncul di raut muka Bita.
“Oh, jadi ini penyebabnya. Bapak dan Ibu masih banyak kerjaan di kantor kali
Non.”. Ucap Mbak Tini.
“Bener juga tuh Mbak!”. Bita tersenyum kembali mendengar jawaban Mbak Tini.
“Tapi Kak Satya… Bita khawatir dengan keadaannya Mbak. Semenjak
diperbolehkan membawa mobil sendiri, dia jadi sering pulang malam. Eh bukan
deh semenjak pindah dari Denpasar lalu ke kota ini. Padahal juga baru aja kelas 2
SMA”.
“Non iri ya?”. Tanya Mbak Tini ceplas-ceplos.
“Ngapain juga iri Mbak Tini!”.
Ting.. Tong.. Ting.. Tong..
“Nah itu dia. Ayah sama Ibu pulang! Atau Kak Satya ya?”. Ujar Bita lekas-lekas
beranjak dari tempat tidurnya.
“Sebentar non. Mbak bukakan dulu pintunya!”. Ujar Mbak Tini. Bita mengangguk
perlahan.
Tiga sosok orang dewasa memasuki rumah Bita.
“Bapak! Ibu!”. Teriak Bita sambil meletakkan tabloid milik Ibunya yang ditaruh di
atas meja ruang tamu.
“Gimana tadi sekolahnya?”. Tanya Ibu pada Bita penuh dengan kasih sayang. Di
belakangnya ada Mbak Tini yang tadi membukakan pintu.
“Baik Bu. Oh ya tadi ada pengumuman remedial Ulangan Bahasa Indonesia. Cuma
Bita yang tidak diremidi di kelas 4A!”. Ujar Bita senang.
“Hebatnya anak Bapak.”. Bapak mengusap rambut Bita sehingga terlihat
berantakan.
“Ngomong-ngomong Setya mana yang Mbak? Apa dia lagi tidur di kamarnya?
Atau main PS di lantai atas? Kok dari tadi nggak kelihatan sama sekali batang
hidungnya?”. Tiba-tiba Ibu kembali membahas tentang Setya. “Atau jangan-jangan
dia belum pulang?”.
“Ah sudah lah Bu. Setya itu laki-laki. Berapa menit lagi dia akan pulang!”. Ujar
ayah tenang. Mata lebar Bita seketika melirik ke arah ayahnya.
“Justru karena dia anak laki-laki pak! Kita harus protektif sama Setya. Bapak tahu
kan kita ini tinggal di Kota Metropolitan, kalau Setya bergaul dengan temannya
yang nggak benar mau jadi apa dia?”.
“Sudah lah Bu, Bapak capek habis pulang kerja!”. Ujar bapak sambil melepas Jas
kerjanya dan berlari ke arah kamar tidurnya.
“Emang cuma bapak yang kerja!”. Jawab Ibu ketus. Bita hanya terdiam sedih
melihat orangtuanya bertengkar.

Jarum pendek jam dinding kamar Bita sudah menunjuk ke angka 10. Sudah cukup
malam rupanya. Bita terbangun akibat suara teriakan seseorang.
“Satya! Kenapa jam segini baru pulang?”. Suara teriakan Bapak terdengar sampai
ke kamar Bita. Hati Bita rasanya seperti disayat mendengar kakak semata
wayangnya diamuk seperti itu. Namun kenapa jam segini Kak Satya baru pulang.
Karena rasa ingin tahunya sangat tinggi. Perlahan ia membuka pintu kamarnya.
Menguping pembicaraan dari balik pintu.
“Eh, itu Pak. Satya baru saja selesai kerja kelompok di rumah teman.”. Ucap Kak
Setya terbata-bata. “Sudahlah Pak. Satya ini capek. Satya mau tidur”.
Bapak sudah mulai kewalahan dengan Kak Satya. Tiba-tiba bapak melirik ke arah
pintu kamar Bita. Ia tahu sepasang bola mata sedang memperhatikannya dari pintu
itu.
“Siapa pun yang menguping besok tidak akan bapak antarkan ke sekolah!”. Ujar
Bapak tegas. Bita hanya dapat terdiam menutup pintu kamarnya lalu
menggeletakkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Pagi ini benar-benar kacau. Baru saja selesai sarapan bapak sudah mulai lagi
memarahi Kak Satya. Sebagai hukuman akibat kejadian pulang larut malam
kemarin, Kak Setya wajib mengantarkanku ke sekolah. Awalnya Bita menolak
takut Kakak menyetir dengan ugal-ugalan. Namun apa salahnya memberi
kesempatan pada Kak Setya walaupun sekali saja.

“Kak awas kalau nanti nyetirnya kencang!”. Ancam Bita pada Kak Setya.
“Santai aja Bit. Lagian ini juga baru jam setengah enam. Masuknya juga masih
lama. Ngapain harus buru-buru.”. Jawab Setya santai sambil mengenakan sabuk
pengaman. Kak Setya mulai menyalakan mesin mobil. Baru saja menginjak gas.
Bremm…
“Bisa nginjak gas dengan benar nggak sih?”. Bentak Bita. Tiba-tiba Kak Setya
malah menambah kecepatan laju mobilnya. Ketika Bita berhenti mengomel ia
mulai memperlambat laju kendaraannya.
Cittt..
Mobil Ford Fiesta berhenti di depan pintu gerbang sekolah dasar swasta
internasional. Gadis kecil bertubuh mungil itu keluar dari mobil milik Kakaknya.
“Terimakasih tumpangannya. Lain kali kau tak perlu mengantarku.”. Amuk Bita
pada kakaknya. Kak Setya hanya tersenyum sinis lalu melajukan mobilnya dan
meninggalkan Bita.

Di sebuah warung kopi di pinggir kota.


“Jam segini belum pulang bro. Emang bokap sama nyokap lo nggak curiga?”.
Tanya seorang pemuda bertubuh kekar.
“Santai aja bro. Mereka mah nggak peduli sama gue. Orang kerjaannya berangkat
pagi, pulang malam.”. “Lagian lo juga nggak pulang-pulang?”. Tanya Setya yang
masih berseragam SMA lengkap itu pada pemuda tadi sambil menyedot rok*k.
“Orangtua gue udah meninggal semenjak gue masih 2 tahun. Ya gini deh gue jadi
gelandangan nggak jelas. Seandainya orangtua gue masih hidup. Mungkin gue
nggak bakalan jadi kayak gini Set.”. Pemuda itu meratapi nasibnya sambil
memandang bintang di atas langit. Setya terdiam tak menjawab.

5 Bulan setelah kejadian…


Akhir-akhir ini perubahan sifat Setya semakin menjadi-jadi. Pulang malam
menjadi kebiasaan rutin. Keluarga hampir putus asa dalam mengatasi sikap Setya.
Panggilan pihak BK sekolah sudah menjadi rapat sehari-hari antara pembimbing
konseling dengan Bapak atau Ibu Setya. Sampai pada akhirnya…
“Maaf, anak ibu harus tinggal di kelas 11. Dalam arti anak ibu tidak dapat naik
kelas.”. Ujar wali kelas Setya saat pengambilan rapor. Awalnya ibu tak percaya.
Sedikit demi sedikit butiran air mata keluar dari mata bulatnya.
Ibu tak dapat menahan amarahnya. Ketika sampai di rumah ibu melemparkan buku
rapot di atas meja ruang tamu. Tiba-tiba Bita datang.
“Ibu! Lihat rapotku. Tadi Bapak yang mengambilnya!”. Dengan sigap Ibu
membuka rapot milik Bita. Ibu tersenyum sambil menangis haru. Jejeran angka 9
berbaris rapi. Di dalam buku rapor itu juga terselip penghargaan Peringkat I
paralel. Dengan cepat ibu memeluk Bita.
“Ibu?”.
“Apa nak?”. Tanya ibu lembut sambil merapikan rambut Bita yang acak-acakan.
“Boleh Bita lihat rapor milik Kakak?”. Ibu yang masih menangis mengangguk
perlahan. Bita memegang rapot kakaknya. Dibuka lembarannya satu persatu. Mata
anak kecil itu terbelalak. Seketika air matanya turun dengan derasnya. Lalu ibu
kembali memeluk Bita.
“Ibu merasa gagal mendidik Kak Setya nak.”. Ibu menatap mata Bita dalam-dalam.
“Tapi, ibu bangga sekali dengan Bita. Pertahankan prestasimu ya nak, semoga
besar nanti kamu lebih sukses dari Bapak dan Ibu. Jangan lupa rajin sembahyang
ya sayang. Tolong doakan agar kakakmu segera sadar.”.
Tanpa Ibu dan Bita sadarai sepasang bola mata menatap mereka dari lantai atas.
Seseorang yang hatinya baru terketuk. Menyesali perbuatannya. Sebut saja dia
Setya.

Aryasetya atau begitu akrab di sapa Kak Setya, begitu terpukul atas kejadian ini.
Kali ini dia mulai sadar kesibukan-kesibukan yang dilakukannya selama ini sama
sekali tak berguna. Penyesalan memang datangnya di belakang. Namun masih ada
kesempatan bagi Setya untuk mengubah sifatnya dan menjadi pribadi yang lebih
mulia. Menjadi orang yang berbudi luhur, sukses dan berguna bagi orang banyak.
Seperti namanya “Aryasetya” yang memiliki arti kemuliaan.
Cerpen Karangan: Ni Wayan Gitaputri
Facebook: Ni Wayan Gitaputri

GURU YANG BAIK

Tia benar-benar jengkel mengajari adiknya, Yogi yang baru saja duduk di kelas 2
SD. Jangankan mengerti perkalian, penambahan dan pengurangan saja masih
sering salah. Padahal ketika seusia Yogi, Tia sama sekali tidak mengalami
kesulitan dalam pelajaran apa pun. Ia selalu duduk di ranking satu.

Berbeda dengan Yogi adiknya yang hanya memiliki nilai yang pas-pasan. Pokonya
Tia tidak mau mengajari adiknya lagi. Keputusannya benar-benar bulat. “Tia, kalau
bukan kamu, lalu siapa yang akan mengajari adikmu? Mama dan Papa kan harus
bekerja sepanjang hari. Kamu kan kakaknya, berbaik hatilah pada adikmu sedikit,”
keluh Mama. Tia hanya mendengus kesal.

Ting tong… terdengar bunyi bel pintu. Tia buru-buru lari ke depan. Krek! Udin
temannya berdiri di depan pintu dengan senyuman khasnya. Teman sekelasnya itu
memang suka sekali tersenyum lebar. “Selamat siang! Saya dari warung mie ayam
Sedap yang baru saja buka. Saya mengantarkan pesanan 3 mie ayam komplet!”
serunya penuh semangat.
“Hah? Apa-apaan kamu Udin? Kayaknya aku nggak pesan mie ayam deh!” kata
Tia bingung. “Tapi… rasanya aku tidak salah alamat,” kata Udin ikutan bingung.
“Ah, benar Udin. Tadi Tante yang pesan kepada ibumu. Semua jadi berapa
harganya?” tanya Mama yang muncul dari dalam rumah.
“Semuanya jadi 15.000 rupiah, Tante,” jawab Udin riang. Mama menyerahkan
uang pas di sambut Udin penuh suka cita. “Terima kasih, Tante. Selamat
menikmati. Saya permisi dulu. Yuk Tia, aku duluan,” katanya berpamitan.
Tia membawa masuk mie ayam yang dibeli Mama. Ternyata rasanya enak. Yogi si
penggemar mie ayam pun merengek minta tambah. Dasar payah! Anak itu bisanya
hanya makan saja, keluh Tia dalam hati. Sejak saat itu keluarga Tia jadi sering
berlangganan mie ayam di warungnya Udin. Karena tidak begitu jauh, kadang-
kadang Yogi pergi berjalan kaki ke warung mie diantar Mbak Nia.

Di kelas pun, Udin sangat rajin mempromosikan mie ayam buatan ibunya. Ia
membawa menu warung yang dipesan sehari sebelumnya untuk bekal makan
keesokan harinya. “Tia, adikmu suka sekali dengan mie ayam ya. Hampir setiap
hari dia main ke tempatku, lho. Kapan-kapan kamu datang juga dong. Sekali-sekali
kutrakir deh!” kata Udin cengengesan.
“Beneran nih, Din? Kalau begitu, nanti siang aku datang ke warungmu, deh,” kata
Tia yang disambut dengan senyum lebar khas Udin.

Siangnya, Tia benar-benar datang ke warung Sedap. Letaknya di ujung gang,


hanya berbeda 5 rumah dari Tia. Yogi dan Mbak Nia juga diajak.
“Eh, Yogi datang lagi!” sapa Udin tersenyum. Warungnya bersih dan apik. Ibu
Udin tersenyum manis melihat kedatangan kami. Dengan mata berbinar-binar,
Yogi menghampiri Udin yang sedang mencuci mangkuk, sendok dan garpu.
“Kak Udin harus mencuci 17 mangkuk. Sekarang sudah dicuci 6, berapa mangkuk
kotor yang tersisa?” tanya Udin pada Yogi seperti main tebak-tebakan. “Sebelas!”
seru Yogi. “Wah pintar. Yogi sekarang bisa langsung menebak, ya. Sekarang coba
tebak lagi. Kalau tadi ada 5 orang datang memesan mie ayam, masing-masing 3
mangkuk, ada berapa mie ayam yang harus Kak Udin buat?” tanya Udin lagi.
Lagi-lagi dengan cepat Yogi menjawab, “15 mangkuk mie ayam.” Tia benar-benar
heran. Sejak kapan adiknya jadi pintar perkalian dan tambah kurang? “Pintar!
Sekarang pertanyaan terakhir! Jika ada orang yang membeli lima mangkuk mie
ayam komplet seharga lima ribu rupiah dan dua mangkuk pangsit rebus seharga
tiga ribu lima ratus, lalu ia membayar dengan uang lima puluh ribuan, berapa
kembaliannya?” tanya Udin.
Wah, ini pertanyaan yang cukup sulit bagi Yogi! Tia yakin adiknya pasti tidak bisa
menjawab. Namun lagi-lagi dengan cepat Yogi menjawab, “Kembaliannya delapan
belas ribu rupiah.” Tia tertegun mendengar jawaban Yogi. “Yak, seratus untuk
Yogi. Hebat! Yogi pintar seperti Kak Tia, ya! Kak Udin tambah lagi dua pangsit
rebus sebagai hadiah,” kata Udin bersemangat, disambut sorak gembira Yogi.
Sejak kapan Yogi akrab dengan Udin? Lagipula Udin kan tidak termasuk ranking
sepuluh besar, kok bisa-bisanya ia mengajarkan matematika dengan mudah pada
Yogi? Tia saja yang jauh lebih pintar tidak bisa. Rasanya Tia jadi malu sendiri.
Keesokan harinya, sewaktu istirahat, Tia memanggil Udin. “Apa yang kamu
lakukan pada Yogi, Din? Kok dia tiba-tiba jadi pintar matematika? Tanya Tia.
“Oh, itu. Yah, biasa saja sih. Aku tahu dari ibumu kalau Yogi butuh bantuan untuk
belajar matematika. Jadi, setiap Yogi datang aku ajak dia menghitung tanpa ia
sadari. Mula-mula menghitung sendok yang ada di atas meja, sampai soal tebak-
tebakan yang kemarin. Yogi itu sebenarnya pintar lho, Tia! Ia cepat bisa. Habis
kakaknya saja pintar, pasti adiknya juga pintar,” kata Udin memuji.
“Ah, tidak. Kamulah yang pintar mengajar, Udin. Kamu yang hebat. Selama ini
aku tidak pernah berhasil mengajarkan Yogi. Maukah kamu mengajarkan aku
caramu mengajar Yogi? Aku juga ingin mengajari Yogi,” kata Tia tulus.
Udin tersenyum lebar. “Tentu saja, dengan senang hati. Tapi, mie ayamnya tidak
gratis, lho. Bangkrut aku kalau terus-terusan traktir kamu, hehe…” kata Udin
cengengesan.
Udin… Udin… Dia memang teman Tia yang baik hati. Rupanya kali ini Tia si
bintang kelas 5A harus mengaku kalah dari Udin yang biasa-biasa saja. Tidak,
Udin bukan sekedar anak biasa. Ia bisa mengajari Rafly yang kurang pandai
berhitung hingga lancar.

Pelajaran yang Sangat Berarti

Hari ini ridho tampak kesal, lantaran uang sakunya telah habis pada saat pulang
sekolah.
Ketika dalam perjalanan dia kehausan dan kecapekan, dia melihat ada sebuah air
mineral tergeletak di dekat gerobak pak sarno.
‘Nah ajibb nih mumpung gak ada pak sarno yang nunggu itu gerobak, gue ambil
aja tuh air mineralnya lumayan buat ngilangin haus gue’. Ujar ridho dalam hati.

Ketika ridho mulai menghampiri gerobak pak sarno, dan langsung meminum air
mineral yang ada di gerobak pak sarno, ridho pun kaget ketika dirinya sedang
meminum dengan nikmat, tiba-tiba pak sarno menepuk pundak ridho. “Hayoo nak
ridho sedang mengambil air mineral bapak yah” ujar pak sarno yang sedang
memergoki ridho sedang meminum di gerobaknya yang sepi.
“Enggak kok pak saya hanya ingin melihat di gerobak pak sarno, selain sebagai
penjual bakso bapak jualan apa aja?” Ujar ridho kepada pak sarno dalam keadaan
gugup, setelah tau kalau dirinya mau mencuri!
“Udah nak ridho ngaku aja, kalau gak ngaku apa aku bilangin ke orangtuamu
gimana ridho biar tau kalau kau anak yang nakal apa perlu aku ke sekolahmu di
man 2 lalu ku ceritakan kepada wali kelasmu bu ana, biar beliau tau kalau di luar
muridnya kurang ajar”. Ujar pak sarno dengan nada yang sangat ketus!
“Jangan deh pak ampuni saya pak, aku janji gak akan mengulangi seperti itu lagi”,
ujar ridho dengan nada yang takut.
“Ok bapak maafkan. Akan tetapi harus ada satu syarat”
“Syarat apa itu pak?”. Tampak ridho semakin penasaran.
“Bagaimana nak ridho bantuin bapak selama 1 minggu bekerja, bapak janji deh
gak akan melaporkan masalah ini ke orangtuamu dan wali kelasmu, kalau kamu
mau sih. Tapi kalau gak mau gak apa-apa kok”. Ujar pak sarno dengan senyum.
“Iya deh pak saya setuju dengan permintaan bapak, mulai besok habis pulang
sekolah saya akan kesini lagi dan bantuin bapak bekerja”.
“Kalau begitu kita sepakat ya nak ridho, ya udah sekarang nak ridho pulang tapi
jangan lupa sama janjinya besok”.
“Iya pak saya tak pernah berbohong dan ingkar kepada bapak”. Ujar ridho secara
lesu.

Setelah itu dia langsung pulang menuju rumah, tampak ada perasaan menyesal dan
bersalah pada diri ridho.
‘Bodoh aku kenapa aku melakukakn tindakan yang konyol seumur hidupku, tapi
gak apalah nasi telah menjadi bubur, hal itu sudah terjadi’. Ujar ridho dalam hati.
Tampaknya dia sangat kesal apa yang dilakukannya tadi.

Hari demi hari yang terlewati tak terasa ridho sudah bekerja selama 5 hari bersama
pak sarno. Ridho setelah cuci mangkok, makan dulu sana. Bapak udah nyiapin
bakso di mangkok untuk nak ridho. Tak habis pikir ridho pun kaget ternyata pak
sarno sangat baik hati kepada dirinya. Pikir dia dalam hati.

Setelah selesai makan bakso ridho pun sangat lesu dan murung, melihat ridho tiap
hari murung lalu pak sarno memberanikan diri bertanya kepada ridho
“Nak ridho. Apakah nak ridho punya masalah?”. Tanya sarno pada ridho
“Tidak pak, saya tidak mempunyai masalah” ungkap ridho dengan nada yang
ketus.
“Lalu kenapa nak ridho selalu murung tiap hari?”
“Begini pak saya mempunyai banyak tugas pr di sekolah, tapi tak satu pun saya
mengerti”. Ujar ridho secara mengeluh.
“Begini saja nak ridho, nak ridho pulang ke rumah dulu bawa pr tugas sekolahnya
kesini sapa tau bapak bisa membantu tugasnya nak ridho..”
‘Apaaaa… Aje gile nih pak sarno tukang bakso bisa bantuin nyelesain tugas gue’.
Ungkap ridho di dalam hati.

Lalu setelah itu ridho pun pulang untuk mengambil tugas sekolahnya lalu langsung
di berikan kepada pak sarno.
“Ini kan sangat mudah nak ridho untuk tugas ipa biologi bapak punya buku kamus
senyawa, untuk matematika bapak akan ajari nak ridho soal diagram dan rumus
phytagoras lainya lalu untuk bahasa inggris bapak punya kamus di bawah gerobak
bapak, ambil aja gak apa-apa nak ridho buat belajar”.
Setelah aku buka di bawah gerobak pak sarno. Astaga ternyata di bawah gerobak
pak sarno ada bermacam-macam buku ilmu pengetahuan.
Baru kusadari setelah kutanya pada pak sarno, ternyata pak sarno seorang sarjana
lulusan wisuda guru fkip, pak sarno menjadi tukang bakso saat ini karena
minimnya lapangan kerja pada negeri ini. Baru kusadari ternyata aku tiap hari
bergaul dengan seorang sarjana yang berprofesi sebagai penjual gerobak tukang
bakso.

Sejak saat-saat itu aku pun mudah mengerti apa yang diajarkan oleh pak sarno dan
alkhamdulilah sekarang aku menjadi peringkat 3 terbaik se man 2 surakarta berkat
jasa pak sarno yang tak kalah sabar mengajariku sampai bisa.
Alkhamdulilah mungkin ini adalah pelajaran yang sangat berarti bagiku atas
peristiwa ini.

Anda mungkin juga menyukai