Anda di halaman 1dari 10

TENTANG RINDU

Pengalaman pertama selalu istimewa, sulit dilupakan dan tak mudah terhapuskan. Tujuh
tahun telah berlalu, namun kamu masih menjadi tokoh utama dalam setiap khayalanku. Aku berusaha
mencari penggantimu, berharap dapat menemukan sosok baru yang mampu menggetarkan
perasaanku.

Aku menatap gerbang sekolah di depanku, wujudnya tidak berubah hanya warna catnya saja
yang sudah diperbarui. Lapangan basket adalah tempat pertama yang aku singgahi. Beberapa guru,
staf dan siswa tengah berjalan di bawah rintik hujan yang tak kunjung reda. Langkahku berhenti pada
sebuah ruangan yang tertutup, di atas pintu tergantung tulisan “Room Teacher”. Aku menutup payung
dan masuk ke dalam ruangan itu.

“Ini dia guru sejarah kita yang baru. Selamat datang Ibu Raya.” Salah satu guru
menyambutku dengan ramah.

Aku memasang senyum tulus. Kemudian menyalami setiap guru yang ada di ruangan itu.
Kuperkenalkan diri sebagai guru sejarah yang akan menggantikan Ibu Ema.

“Mbak Raya dulu lulusan sini?” Seorang guru paruh baya bertanya kepadaku.

“Nggih, bu. Saya alumni tahun 2018.” Jawabku sopan.

“Selamat bergabung. Semoga betah.” Guru itu tersenyum lalu kembali ke tempat duduknya.

Setelah memperkenalkan diri secara singkat, aku berjalan menuju tempat dudukku. Meja itu
dulu ditempati oleh Ibu Ema sebelum pensiun, beberapa buku dan barang-barang beliau masih ada
yang tertinggal. Barang-barang tersebut kumasukkan dalam satu kardus, kalau Bu Ema hendak
mengambil sisa barangnya tidak perlu repot membereskannya terlebih dahulu.

dulu ruang ini menjadi tempatku menimba ilmu selama satu tahun. Tempat ini menjadi saksi
bisu perjalananku menemukan cinta pertama. Mengunjunginya lagi tentu akan membuka memori
lama. Otakku akan memutar kisah-kisah lama yang pernah terjadi di tempat ini. Tidak ada yang terlalu
berbeda dengan ruang ini, kursi yang dulu menjadi tempat dudukku masih berada di tempat yang
sama.

“Saya alumni sekolah ini yang lulus pada tahun 2018.” Aku memperkenalkan diri kepada
murid-muridku.

“Tempat duduk saya di situ dulu.” Aku menunjuk salah satu meja di dekat jendela, letaknya
ada di baris kedua dari depan. Semua murid melihat ke arah meja yang kutunjuk. Seorang anak laki-
laki sedang duduk dikursi itu bersama temannya.
Aku segera memulai pembelajaran, PPT yang sudah disiapkan kutampilkan di layar
proyektor. Anak-anak terlihat bersemangat dan antusias mengikuti pembelajaran. Walaupun beberapa
anak ada yang terlihat mengantuk dan kurang fokus. Pembelajaran berlangsung selama 90 menit. Di
akhir pembelajaran aku menyisipkan tugas untuk membaca materi berikutnya.

Pembelajaran telah usai 10 menit yang lalu. Ruang kelas sudah sepi, semua muridku telah
meninggalkan kelas. Aku masih duduk di kursi guru sambil mengamati salah satu meja. Aku
mendekati meja yang sempat kutunjukkan sebagai tempat dudukku dulu. Kemudian duduk di kursi
yang dekat jendela. Mataku mengamati permukaan meja yang penuh dengan coretan bolpoin, salah
satu coretan tersebut adalah hasil tulisanku. Kursi ini adalah tempat yang paling nyaman untukku kala
itu. Aku bisa mengamatimu secara diam-diam, melihat gerak-gerikmu selama pelajaran berlangsung.
Pandanganku kini tertuju pada kursi paling depan di barisan sebelah kanan. Itu adalah tempatmu
menghabiskan waktu selama kelas XII. Tempat yang juga menjadi saksi bisu perjalanan kita. Tiba-tiba
aku merindukanmu, ingatanku memutar memori masa lalu.

Ketika itu aku memandangmu dari kejauhan, ingin rasanya menyapa dan mengajakmu
berbincang. Tapi aku sadar, aku tidak punya keberanian. Memperhatikanmu secara diam-diam saja
sudah membuatku was-was. Aku takut salah satu teman kita memergokiku sedang memandangmu
secara diam-diam. Jangan sampai rasa sukaku diketahui oleh orang lain, biarkan tetap menjadi rahasia
sampai kau siap menjadi milikku.

Wajahmu tidak begitu tampan, kamu juga tidak terlalu pintar dan kamu bukan anak
konglongmerat. Tapi mengapa kamu begitu menarik di mataku? Kamu membuatku bersemangat
berangkat ke sekolah setiap hari. Masa-masa SMA-ku menjadi lebih bermakna karena kamu. Rasa ini
terlalu abstrak dan sulit ditebak. Aku tidak tahu sejak kapan rasa itu mulai tumbuh. Dia terus
berkembang seiring banyaknya waktu yang kuhabiskan untuk memikirkanmu

“Mau jajan ke depan ngga, Ra?”

Bel tanda istirahat pertama baru saja berbunyi, Pak Raden telah meninggalkan ruang kelas.
Sambil membereskan buku bahasa inggris yang baru dipelajari, mataku mencuri pandang ke kursi
depan, kamu ada di sana.

“Engga kayanya. Aku mau ke perpus, mau balikin buku.” Aku menunjukkan beberapa novel
yang kupinjam dari perpustakaan.

“Yaudah… Kalo mau titip sesuatu chat aja ya.” Andin meninggalkan kelas bersama
beberapa teman yang lain.

Aku mengamatimu sekali lagi, sepertinya kamu tidak berniat untuk meninggalkan kelas.
Sejak Pak Raden keluar kelas kamu asyik mengobrol dengan teman sebangkumu. Sayup-sayup
obrolanmu terdengar sampai tempat dudukku, namun aku tidak mendengarnya dengan jelas. Aku
melirik jam di atas papan tulis, waktu istirahat tersisa 15 menit lagi. Aku harus bergegas ke
perpustakaan sebelum waktu istirahat habis. Buku-buku yang telah jatuh tempo harus segera
dikembalikan sekarang agar kartu anggotaku tidak disita.

Ketika melewati kursi tempat dudukmu perasaanku campur aduk, jantungku berdebar
semakin cepat. Jarak kita menjadi lebih dekat, aku bisa mendengar suaramu lebih jelas dan sedikit
menguping pembicaraanmu. Aroma tubuhmu samar tercium oleh penciumanku, bau salah satu merk
parfum yang biasa dipakai anak laki-laki.

“Raya.”

Aku menghentikan langkah dengan segera, untuk pertama kalinya kamu memanggil
namaku. Aku berbalik dan mendapatimu sedang membereskan beberapa buku di atas meja. Kamu
segera berdiri dan mendekatiku.

“Mau ke perpus kan? Bareng.” Katamu lalu berjalan mendahuluiku.

Aku berjalan dibelakangmu, sesekali mataku menatap punggungmu yang lebar. Jantungku
berdebar semakin tak menentu, berjalan di belakangmu dengan jarak sedekat ini belum pernah aku
bayangkan sebelumnya.

“Kapan terakhir balikinnya?”

Tiba-tiba kamu berbalik dan menatapku, pandangan mata kita tak sengaja bertemu. Aku
segera mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Hari ini.” Jawabku tanpa memandangmu.

“Oalah.”

Sebenarnya aku ingin bertanya banyak hal tentangmu. Otakku berusaha menyusun kalimat
yang bisa membuat kita mengobrol lebih banyak. Aku ingin akrab denganmu, minimal bisa menjadi
teman dekatmu. Samar kudengar suaramu menyanyikan sebuah lagu. Lagu yang menggambarkan
kerinduan seseorang.

“Tahu lagu ini?” tanyamu tiba-tiba. Aku mengangguk, lagu ini cukup terkenal dan sering
dinyanyikan pada acara di sekolah

“Menurutmu ini lagu tentang apa?”

Aku menatapnya lagi. Kali ini kita bertatapan cukup lama. Aku mengalihkan pandangan dan
menatap pintu perpustakaan yang semakin dekat.

“Merindukan seseorang.”

“Kira-kira siapa yang di rindukan?”

Aku berpikir sejenak lalu menjawab. “Pacar.”


Dia tertawa pelan. Aku tak tahu apa yang sedang kamu tertawakan. Bibirku mengulas
senyum, senang mendengar tawamu dari dekat.

“Bukan.”

“Terus siapa?”

“Ayah.”

Aku mengangguk sambil mengucapkan ‘oh’ panjang. Baru tahu kalau lagu itu
menggambarkan kerinduan pada sosok ayah.

“Belum lihat klip videonya ya?”

Aku menggeleng.

“Pantes ngga tahu.” Lanjutmu lagi.

Kita kembali saling diam. Aku mulai mengantre untuk mengembalikan novel dan kamu
berjalan menuju salah satu rak buku. Wajahmu terlihat serius memilih buku yang terpajang rapi di rak.
Ah… sepertinya malam ini aku akan sulit tidur.

Setelah mengembalikan buku yang dipinjam minggu lalu, aku berniat mencari bahan bacaan
baru. Rak buku non fiksi adalah tujuanku. Aku memilih beberapa novel yang menurutku menarik, ada
tiga buku yang sedang kupertimbangkan untuk dipinjam.

“Apa asiknya baca novel?”

Tiba-tiba kamu muncul dari balik rak buku, aku sedikit kaget. Setelah rasa kagetku mulai
memudar, aku mulai menjawab pertanyaanmu.

“Bisa berimajinasi sesuai keinginanku.”

“Emang ngga bosen? Isinya tulisan semua lho.” Tanyamulagi.

“Tergantung alur cerita sama bahasanya. Kalau bagus ya asik aja. Bisa tuh novel segini….”
Aku menunjuk novel berjudul “Rindu” dengan jariku.

“… aku baca dalam dua atau tiga hari.” lanjutku lagi.

Kamu tampak terkejut, bola matamu sedikit melebar.

“Rekomendasi novel yang bagus dong.”

Aku menatapmu tak percaya. Rekomendasi novel? Novel apa yang bisa kurekomendasikan
untukmu? Bacaanku saja tentang kisah percintaan anak remaja yang kata orang terlalu didramatisir
dan mengada-ada.

“Aku bacanya novel romantis.”


“Ngga masalah kalau bagus menurut kamu”

Aku diam sejenak, mencoba berpikir. Kupandangi setiap cover novel yang terpajang, ada
beberapa judul yang sudah aku baca sampai selesai dan kisahnya cukup membekas. Aku mengambil
sebuah novel yang pernah kubaca, judulnya ‘My Stupid Bos’. Novel yang sangat ringan dan
mengundang gelak tawa. Sepertinya genre itu lebih cocok untuk kamu baca.

“Makasih.”

Aku membalasnya dengan anggukan dan senyuman tulus. Setelah selesai memilih buku, kita
bergegas mengantre untuk melakukan proses peminjaman. Bel berbunyi tepat setelah kita selesai
melakukan regristrasi peminjaman buku. Kita berjalan beriringan meninggalkan perpustakaan,
sepanjang perjalanan kamu banyak bertanya tentang hobi dan kesukaanku. Aku benar-benar sangat
bahagia. Setelah 2 tahun lamanya aku mengumpulkan keberanian untuk mendekatimu, justru kamu
yang membuka kesempatan itu lebih dulu.

Sejak saat itu kita menjadi semakin dekat. Kita sering menghabiskan waktu bersama, kamu
sering menemaniku ke kantin, perpustakaan, koperasi atau ruang guru. Kita juga sering belajar
bersama dan tergabung dalam kelompok yang sama, beberapa kali kamu juga mengantarku pulang.
Ibu senang melihatku dekat dengan seorang laki-laki. Menurut ibu kamu adalah sosok yang baik,
sopan dan terlihat menghargai wanita.

Kedekatan kita semakin diperkuat oleh posisimu sebagai sahabat dari Fariz. Sahabatku
Andin adalah pacar dari sahabatmu, jadi mau tidak mau kita berempat sering menghabiskan waktu
bersama. Seperti saat ini, kita sedang duduk di kantin sambil menyantap semangkok soto ayam dan
segelas es the manis. Aku duduk di sampingmu sedangkan Andin duduk di depanku, tepatnya
disamping Fariz.

“Jadi ke Kalimantan?” tanya Fariz tiba-tiba.

Hah? Kalimantan? Siapa yang mau ke Kalimantan?

“Siapa yang mau ke Kalimantan?” tanya Andin di sela makannya.

“Ini orangnya.” Fariz menunjukmu. Aku memandangmu segera. Kamu tampak begitu
tenang, tanganmu masih sibuk memindahkan isi mangkok ke dalam mulut. Aku sedikit kecewa, hal
sepenting ini tidak kamu ceritakan padaku. Aku kira kita sudah sangat dekat.

“Kapan?” Tanya Andin lagi.

“Ngga jadi.” Jawabmu di sela kegiatan makan.

“Gimana sih? Katanya kemarin jadi, kok sekarang ngga jadi? Ga boleh ya sama Raya?”
Fariz berbalik memandangku. Aku yang tidak tahu apa-apa hanya bisa menggeleng. Kalau tahu dari
awal juga aku pasti akan melarangmu pergi.
“Engga, ih. Aku aja baru tahu.” Jawabku singkat.

“Tumben banget Raya ngga tahu, biasanya mah dia paling tahu duluan.” Andin kembali
menimpali.

Aku hanya mengendikkan bahu, tak tahu mengapa kali ini kamu tidak bercerita kepadaku
tentang rencana kepergianmu. Aku tahu kita hanya sebagai teman dan tidak lebih, tapi hal sekecil
apapun yang kamu alami pasti diceritakan kepadaku lebih dulu. Aku memakluminya, mungkin tidak
semua hal bisa kamu ceritakan kepadaku.

Sejak mengetahui rencana kepergianmu yang batal, kamu semakin jarang mengajakku ke
perpustakaan lagi. Setiap aku ingin menegurmu lebih dulu, kamu menghindariku. Saat kita bertatap
mata dan aku berikan senyuman tulus kepadamu, kamu mengalihkan pandangan begitu saja. Apa
salahku? Kini kita asing seperti dulu. Aku kembali menjadi pungguk yang merindukan bulan. Hanya
bisa memandangmu dari kejauhan, mengamati setiap pergerakanmu selama masih terjamah oleh
kedua bola mataku.

“Kenapa, Ra? Sakit?” Andin bertanya padaku.

Ini adalah hari pertamaku haid. Perutku terasa sakit, nyeri dan sedikit mual. Rasa sakitnya
menyebar hingga ke pinggang, punggung, selakangan dan vagina. Tubuhku juga terasa lemas. Pagi
tadi ibu sudah melarangku berangkat sekolah, tapi aku menolak karena ada penilaian olahraga. Aku
tidak mau praktek sedirian minggu depan.

“Nyeri haid.”

“Mau ke UKS? Aku anterin.”

Aku menggeleng dengan mantap, sebentar lagi giliranku untuk melakukan penilaian. Andin
menuruti keinginanku, katanya dia akan mengantarku ke UKS setelah penilaian selesai. Lagi-lagi aku
merasa kehilangan kamu, kebersamaan kita selama beberapa bulan yang lalu terlalu membekas dalam
ingatan. Aku memerhatikanmu dari kejauhan, kamu duduk dengan tenang. Sesekali kamu tersenyum
dan mengobrol dengan teman yang lain. Akhir-akhir ini kita jadi jarang bertatap mata, kamu semakin
jarang memperhatikanku. Aku kesal.

Sekarang giliranku untuk melakukan penilaian lompat jauh, Andin memberiku semangat.
Aku kembali menatap ke arahmu sebelum melakukan gerakan awalan. Kamu terlihat begitu cuek dan
tak acuh. Aku mengalihkan pandangan ketika tidak sengaja kita bertatapan, aku kesal dan marah.
Ketika peluit berbunyi aku segera berlari menuju papan tolakan, kemudian melompat dan melayang di
udara. Tubuhku mendarat tepat di atas pasir, Fariz mengukur jauh lompatanku. Tiba-tiba kpalaku
terasa pusing, pandanganku mulai mengabur. Aku hilang keseimbangan dan ambruk begitu saja.
Aku terbangun karena mencium aroma minyak kayu putih yang menyengat. Andin ada di
dekatku, tangannya memegang minyak kayu putih. Aku sedang terbaring di atas ranjang, sepertinya
ini ada di UKS. Kamu datang membawakan segelas teh anget. Andin dan beberapa temanku yang lain
memintaku meminum teh itu. Aku menurut dan meminumnya beberapa teguk. Andin memberikan
sebuah obat berwarna putih, katanya itu obat penghilang rasa nyeri.

Pak guru menyuruhku untuk beristirahat, kemudian meminta teman-temanku keluar dari
UKS. Andin menemaniku sebentar, dia bercerita bahwa kamu adalah orang yang berlari paling awal
ketika melihatku pingsan. Kamu menggendonku dan membawaku berlari ke UKS. Andin bilang
wajahmu terlihat sangat khawatir. Aku tidak bisa menyembunyikan senyum ketika mendengar cerita
Andin. Kusadari bahwa kamu masih masih sangat memperdulikanku.

“Raya istirahat aja, ngga usah ikut pelajaran nanti. Aku mau ambil surat ijin buat kamu ke
TU.”

Kamu tiba-tiba muncul, menawarkan bantuan. Aku yang sedari tadi tersenyum kegeeran
hanya mengangguk. Andin pamit untuk mengikuti pelajaran berikutnya, dia keluar bersamamu.
Sekarang aku di sini sendirian, senyumku masih belum memudar. Mencoba membayangkan betapa
paniknya kamu melihatku pingsan membuatku tersenyum semakin lebar. Takut ada yang melihat dan
mengira aku orang sinting, aku membalikkan badan ke arah tembok. Aku berusaha untuk
memejamkan mata, berusaha untuk tidur. Aku berharap rasa sakit yang sedang kurasakan akan
menghilang setelah bangun tidur.

Aku terbangun ketika seseorang memanggil namaku. Ketika membuka mata kamu adalah
orang yang kulihat, tersenyum dengan sangat tulus. Aku bangkit dari posisi tidurku. Jam yang ada di
dinding menunjukkan pukul 15.30 WIB.

“Bel pulang udah bunyi, mau balik kapan?”

Aku tidak langsung menjawab, kesadaranku belum sepenuhnya pulih. Rasa kantuk juga
belum semuanya hilang, mataku masih terasa berat untuk terbuka. Aku juga masih cukup syok
melihatmu berdiri di tempat ini sambil menenteng tas milikku. Kamu sengaja menjemputku?

“Sekarang.” Jawabku singkat.

Setelah memakai sepatu dan merapikan tempat tidur kamu mengajakku keluar ruangan.
Kamu menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku mengiyakan begitu saja, tubuhku masih
terlalu lemas untuk berdesakan di dalam bus. Kita berjalan beriringan menuju parkiran, namun hanya
saling diam.

“Kenapa?”

“Apanya?” Kamu bingung mendengar pertanyaanku.


“Kamu tiba-tiba jauh.” Aku menghentikan langkah tepat di tengah lapangan basket.

Kamu ikut berhenti, kemudian berbalik menatapku. Kini kita saling berhadapan, aku
menatap wajahmu lebih lama dari biasanya. Semakin aku menatapmu, semakin aku jatuh cinta. Aku
suka semua tentangmu, lagu yang pernah kau nyanyikan saat pertama kali kita saling menyapa
menjadi lagu favoritku. Aku juga mulai menyukai Manchester United setelah mengenalmu.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

Kamu tetap diam seribu kata, tidak berniat untuk menjawab pertanyaanku. Aku mulai lelah,
harusnya aku terus diburu rasa penasaran? Aku beranjak dan meninggalkan kamu sendirian. Aku
berharap kamu berlari mengejarku, seperti tokoh dalam novel yang biasa kubaca. Air mata mulai
menuruni kedua pipiku. Harapanku hanya sekedar harapan, tak akan menjadi nyata.

Aku pulang ke rumah dalam keadaan mood yang buruk. Hari ini tidak berjalan sesuai
keinginanku, kisah kita yang kupikir akan berakhir dengan ucapan ‘I Love You’ dipaksa tamat dengan
alur yang menggantung. Selama ini hanya aku yang bahagia dengan kebersamaan kita? Selama ini
hanya aku yang sulit tidur setelah kita pulang dari toko buku? Selama ini aku memupuk rasa ini
sendirian?

Andin meneleponku tiba-tiba. Saat itu aku sedang bersiap untuk tidur, jam sudah
menunjukkan pukul 23.00 WIB. Aku menjawabnya dengan perasaan kesal. Rencananya aku ingin
tidur cepat malam ini.

“Sadya. Sadya, Ra. Buruan kesini.”

“Kenapa?”

“Dia butuh kamu.”

Aku syok mendengar penjelasan Andin di telepon. Aku bergegas meminta ijin kepada ayah
dan ibu untuk menyusul Andin dan Fariz. Awalnya ayah tidak memberiku ijin, ibu membantuku
menjelaskan masalahnya kepada ayah. Aku diijinkan untuk pergi dengan di temani ayah.

Ketika tiba di lokasi, suasana sudah sangat ramai. Ada Andin dan Faiz di sana. Aku segera
menghampiri mereka. Hal yang pertama aku tanyakan adalah keadaan Sadya bagaimana. Aku belum
melihatnya sejak pertama kali sampai di tempat ini. Beberapa menit kemudian Sadya muncul dengan
didampingi dua orang polisi, dia duduk di depanku. Jarak kami terhalang pagar besi, dari balik sana
aku melihat wajahnya yang penuh penyesalan. Sadya menunduk, dia tidak berani menatapku.

“Kenapa?” Lagi-lagi pertanyaan itu yang muncul dari bibirku.

Dia menunduk semakin dalam, air mata turun dari dua matanya. Aku bisa merasakan
penyesalan yang teramat dalam. Mataku sudah berkaca-kaca sejak tadi, tapi aku menahannya. Aku
harus terlihat kuat agar dia bisa kuat.
“Ngga papa kalo kamu ga mau jawab. Kamu lebih tahu atas apa yang kamu lakukan. Tak
masalah menjadi orang jahat sesekali kalau itu bisa membuatmu menjadi lebih baik daripada
sekarang. Aku pamit dulu. Terima kasih atas cerita yang sudah kamu bagikan denganku. Semoga kita
bisa bertemu dalam keadaan yang lebih baik.” Kataku kemudian.

Aku bangkit dan meninggalkan Sadya yang menangis sambil tertunduk. Hatiku benar-benar
sakit. Kisahku harus berakhir sebelum dimulai. Cintaku patah sebelum tumbuh. Bukan karena
penolakan, keadaannya yang membuatnya gagal bersemi.

Dari cerita yang Fariz sampaikan Sadya nekat melakukan hal tersebut karena tidak terima
melihat ibunya menjadi pelampiasan amarah ayah tirinya. Sadya marah ketika mendapati sang ibu
menangis dengan keadaan kepala berdarah. Dia tahu siapa yang melakukannya, dengan amarah yang
makin memuncak Sadya menghajar ayah tirinya sampai meninggal. Setelah mengetahui sang ayah tiri
meninggal, Sadya menjadi ketakutan dan menyerahkan diri kepada polisi.

Kata Fariz sebenarnya Sadya sedang menyiapkan kejutan untukku, minggu depan aku ulang
tahun. Selama menyiapkan kejutan dia ingin aku tidak ada di dekatnya, dia takut aku mengetahui
rencananya. Jadi, selama beberapa minggu Sadya sengaja menjauhiku dan bersikap cuek. Ah…
Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu?

Ayah memaksaku untuk segera pulang dan melarangku untuk berteman dengan Sadya lagi.
Menurut ayah dia adalah orang jahat, ayah tidak mau aku punya pacar seperti dia. Aku sempat
berdebat, kubilang kalau aku mencintainya apa adanya. Aku bilang kalau dia berbuat salah untuk
melindungi ibunya. Tapi ayah tetap keukeuh dengan pendiriannya.

Air mataku menetes begitu saja. Ini adalah kisah klasik, tapi rasanya seperti baru kemarin.
Aku menghapusnya dengan sapu tangan yang kubawa. Jam sudah menunjukkan pukul 16.40 WIB,
guru-guru pasti sudah pulang. Aku bangkit dan membereskan peralatan mengajarku. Ruang guru
sudah kosong sepenuhnya saat aku sampai. AC sudah dimatikan, jendela juga sudah ditutup. Suasana
menjadi gelap, hanya ada sedikit cahaya yang masuk lewat celah angin-angin. Aku mengambil tas dan
membereskan meja kerja, kemudian keluar ruangan dan menutup pintu.

Aku tidak bertemu denganmu lagi sejak saat itu. Aku berharap suatu saat kita bia bertemu
kembali, dengan kisah yang lebih baik lagi. Semoga kamu baik-baik saja di sana. Semoga kamu tidak
membenciku. Terima kasih telah menjadikanku sebagai gadis seutuhnya. Terima kasih telah
memberiku kesempatan untuk mencintaimu. Maaf kalau aku meninggalkamu.

Sadya, aku merindukanmu.

_____TAMAT_____

Anda mungkin juga menyukai