Lonceng pintu berbunyi, ku memasuki Café Rai’s yang tenang dengan aroma kopi mengelilingi hidungku. Tetapi aku ke sini bukan untuk memesan secangkir kopi, melainkan ke lantai atas, dimana sebuah perpustakaan luar biasa berada. Aku menyebut perpustakaan itu luar biasa karena, tempat tersebut memiliki buku apapun yang aku cari, seakan-akan kita ditakdirkan untuk bertemu. Aku adalah seorang mahasiswa yang sedang menghilangkan rasa penat belajar untuk ujian, pergi ke perpustakaan ialah salah satu solusi ku. Di pagi hari yang cerah ini aku mencari sebuah novel yang lama sekali ingin ku baca. Kucari-cari di tiap rak buku dan ternyata novel itu terletak di rak atas. Namun aku kesulitan mencapainya, tak lama kemudian seorang laki-laki sebaya berpakaian sederhana memiliki tahi lalat dibawah matanya memanggil ku, “kamu mau baca novel ini?” sambil menyodorkan buku, terlihat dia baru saja membacanya, aku menengok dan tersenyum bahagia karena tidak perlu susah payah mengambilnya, “iya aku mau membacanya, terimakasih ya..” sambil membungkukkan badanku sedikit. Selepas mencari buku, segera ku duduk dan bersiap masuk ke dalam dunia imajinasi. Ku baca halaman demi halaman, terlarut dengan cerita indah, menari dalam pikiran, menahan kegirangan di sunyi nya perpustakaan. Sadar ada yang sedang memperhatikan sambil tersenyum diam-diam, ternyata dia laki-laki sebaya tadi. Spontan aku bertanya kepadanya “apa yang membuatmu tersenyum?”, dia menjawab “maaf membuatmu risih, aku tidak bermaksud, aku hanya sedikit senang ternyata masih ada yang membaca tulisanku” suaranya yang semakin kecil seperti berbisik membuatku merasa bahwa orang ini aneh sekali, “apa katamu yang terakhir?, aku tidak mendengarnya” karena percakapan kita menjadi sorot mata orang di meja sebelah, dia mulai berbicara menggunakan selembaran kertas yang bertulisan “Aku senang dan mau bilang terimakasih karena sudah membaca karya ku. Oh ya perkenalkan namaku Kiyoka”. Speechless, hal tak terduga hari ini yang aku alami bertemu dengan penulis novel. Entah kenapa hati ini tidak ada kecurigaan, seperti dia memang berbicara dengan jujur. Lalu senang berkenalan dengannya ku tuliskan di secarik kertas tadi dan memuji dia karena karyanya. Selesai membaca novel, dia menuliskan di kertas lagi “Kamu mau ke cafe lantai bawah gk?, aku yang traktir” aku langsung mengangguk setelah mendengar kata traktir. Kita memesan secangkir kopi susu dengan donat varian baru di café tersebut dan sambil berbincang-bincang seperti sudah akrab, hingga panggilan telepon berbunyi dari adik ku yang meminta menjemput dia dari sekolah. Sebelum aku pergi, Kiyoka bertanya kepadaku, “Maukah kamu menjadi temanku?” aku tersenyum mendengar pertanyaan itu, “tentu saja Kiyoka” sambil menjulurkan tangan bahwa hari ini kita menjadi teman. Kiyoka memberi kartu nama dia, “Oh ya, ini kartu namaku, jika kau penasaran dengan kelanjutan novel ku, bisa menghubungi nomor ini” sambil tertawa jail. 3 tahun kemudian, hari-hari biasa terus berjalan, aku dan Kiyoka masih suka ke Café Rai’s mencoba menu-menu baru, ke perpustakaan membaca buku bersama, di hari Minggu. Pertemanan kita jalani, susah senang kita selalu mendukung, rasa suka dan jatuh cinta muncul seiring jalan. Entah kita berdua kah atau hanya aku yang merasakan jatuh cinta. Sampai suatu hari, saat di hari ulang tahun ku kita sudah janjian akan merayakannya di Café Rai’s, tetapi Kiyoka tak kunjung datang, di saat itu berita di tv seketika menyiarkan bahwa ada kecelakaan dan aku menyadari ternyata lokasinya berada di persimpangan jalan dekat café, aku langsung bergegas lari keluar untuk melihat bahwa yang di berita itu bukanlah Kiyoka. Sesampai disana aku melihat korban adalah seorang laki-laki, badanku lemas, sekujur kakiku tidak kuat berdiri. Tetapi aku mendengar suara dari jauh yang semakin mendekat, memanggil namaku, dan ternyata itu adalah Kiyoka. Betapa bersyukurnya aku bahwa korban kecelakaan tersebut bukan Kiyoka, aku pun langsung memeluknya, “Hei, kamu gapapa? Bisa berdiri? Sini aku bantu”, pipi Kiyoka menjadi sedikit merah. Karena ramai, kami pun meninggalkan lokasi kecelakaan dan pergi ke café. Kiyoka meminta maaf karena terlambat, ada kemacetan di tengah perjalanan. Aku memaafkan nya, dan kita lanjut merayakan ulang tahun. Kiyoka meminta ku untuk berdo’a bersama agar korban kecelakaan tadi baik-baik saja. Kiyoka memberi hadiah karya novel barunya yang akan terbit bulan depan, aku sangat senang dan tidak tahu kalau dia selama ini sedang sibuk menulis buku barunya. Kemudian kita berbincang-bincang, seperti dulu waktu pertama kali bertemu, menikmati alunan musik jazz dari café. Dan tiba-tiba Kiyoka berbisik “I Love You” sambil senyum- senyum malu, padahal aku tidak mendengar apapun karena suara musik yang besar juga suara Kiyoka yang kecil seperti dulu berbisik di perpustakaan, “Hah apa? Aku tidak mendengarnya suara mu kecil sekali, bahkan aku tidak bisa membaca gerak mulutmu”. Kemudian Kiyoka beranjak dari kursinya dan mendekatkan mulutnya ke telinga ku dan berkata “I Love You”, sejenak otak ku mencerna, tetapi hatiku tidak butuh lama dan langsung menyalurkan rasa senang, malu, berbunga-bunga, merah ke wajah ku. Aku langsung beranjak bangun dan memeluk erat Kiyoka, kemudian berkata “I Love You More”. Aku dan Kiyoka akhirnya tahu bahwa kami berdua saling mencintai satu sama lain.