Anda di halaman 1dari 21

Contoh Novel Sejarah Pribadi

JUDUL:

TIDAK SESUAI KEINGINAN

OLEH: ERIKA AGUSTI HARSYA

- Masa SMP

Pada saat itu aku masih berumur 13 tahun di saat aku harus berpisah dengan
orang tuaku kedua karena harus menuntut ilmu di pondok pesantren. Itu benar-
benar menjadi langkah awal yang benar-benar tidak menyenangkan di umur aku
yang tergolong masih kecil.

Pada saat itu aku kelas 1 SMP entah kenapa sebabnya orang tuaku saat aku kelas
4 SD mendadak untuk memindahkanku ke pondok pesantren dan setelah lulus
SD orang tuaku menyuruhku untuk melanjutkan pendidikan ke pondok
pesantren tanpa mendengarkan kemauanku, sulit bukan?

“Ma? kenapa mama papa tiba-tiba mama papa mindahin kakak ke pondok


pesantren, apa mama papa gak sayang kakak lagi? ” Tanyaku.

“Bukan gak sayang kak, tapi mama papa mau ada salah satu anak mama papa
yang ngerti agama” jawab mamaku.

Di saat itu, aku sadar bahwa orang tuaku sangat menyayangiku sehingga mereka
ingin aku mengerti agama, aku bangga karena mama papa mempercayaiku untuk
melanjutkan pendidikan ke pondok, karena tidak semua orang dapat kesempatan
sepertiku termasuk kakak perempuanku.
-Di saat sekolah tiba

Waktu masuk pertama kali sekolah yang baru semua teman - teman tidak ada
yang aku kenal tetapi aku harus beradaptasi dengan lingkungan dan teman –
teman yang baru. Awalnya aku sangat sedih harus berpisah dengan keluargaku
saat aku masih beranjak SMP dan di pondok kali ini benar – benar berbeda
karena seluruh santri adalah wanita semua, tidak ada lelaki kecuali ustad. Aku
masih sangat bingung dengan kondisi kelas yang berbeda.

“Baik, untuk pertemuan pertama kali di kelas ini, maka kita perkenalkan diri
dulu ya, mulai dari sebelah kanan, silahkan kenalkan nama kamu ,” Bu nila
berkata

“Namaku Erika Agusti Harsya, aku dari Lampung Utara,“ ucapku

Dan Bu Nila mempersilahkan duduk untukku. Lalu setelahnya melanjutkan


perkenalan dengan teman – teman yang lain.

Aku duduk dengan Alfaiza yang asalnya dari Gisting. Awalnya aku sangat
canggung dan tidak berkata – berkata apapun dengan teman sebangkuku, hingga
dia dahulu yang menyapaku

“Hai” ucap Alfaiza.

“Hmm, hai“ jawabku seadanya.

Kami tidak banyak omong karena aku tidak suka basa basi dengan orang asing
karena memang dari kecil aku menjadi sosok yang cuek dengan orang asing.

Saat itu aku merasa hidupku kembali berwarna tapi aku kehilangan keluarga
yang selalu di samping aku. Aku iri dengan temanku yang selalu bersama
keluarga tetapi aku ingat apa yang ayah pernah ucapkan
“Jangan iri karena teman – teman kamu bisa sama keluarga tiap saat, ini demi
masa depan kamu.”

Dan aku mulai semangat kembali jika mengingat ucapan ayahku

Sungguh rindunya aku dengan sosok orang tua yang biasanya selalu di dekat
aku.

Mungkin ini takdir yang diberi Allah untukku, Allah sedang menyayangiku.
” Ucap batinku.

Setelah 2 bulan aku di pondok pesantren dan akhirnya aku mendapatkan izin
untuk pulang ke rumah beberapa hari, aku cerita semuanya apa yang aku alami
saat masuk ke sekolah pertamaku kepada orang tuaku

Dan saat itu tiba-tiba temanku memanggilku Dina namanya dia memang
sahabatku dari kecil mungkin dari kami belum lahir hhhhehhe.

“Erikaaa,” panggilnya.

“Kenapa din?” Jawabku

“Eh kamu udah pulang dari pondok, main yuk ke rumah Dila,” ucapnya.

Dan yah Dila itu adalah sahabat kami juga tetapi aku dengan Dila dan Dina
beda sekolah.

Pada saat itu aku merasa hidupku sedikit kembali berwarna tapi itu tidak akan
lama karena aku harus kembali ke pondok pesantren. Aku sangat iri dengan
temanku yang selalu bersama keluarga tiap saat, setiap hari tetapi aku ingat apa
yang ayah pernah ucapkan kepadaku, “Jangan iri karena teman – teman kamu
bisa sama keluarga tiap saat, ini demi masa depan kamu.”
Dan aku mulai senyum mengingat ucapan ayahku. Sungguh rindunya aku
dengan suasana rumah, suasana lingkungan teman – teman, bermain bersama,
mengerjakan tugas di bantu dengan mama, melalukan segalanya bersama dengan
orang – orang terdekatku. 

Di saat aku beranjak untuk pergi ke rumah di situlah mereka sangat sedih karena
berpisah denganku, “Cepat pulang ya ka, kami nunggu kamu,” ucap Dina.

Aku hanya bisa diam dan menunduk. Mau tidak mau aku harus meninggalkan
orang – orang terdekatku karena harus melanjutkan pendidikan.

Di saat aku beranjak kelas 2 SMP aku sudah mulai dibolehkan untuk sering –
sering pulang untuk bertemu dengan orang – orang terdekatku karena di pondok
aku sering sakit, entah kenapa aku tiba-tiba berubah pikiran, aku pun tidak tahu
yang jelas kenapa aku selalu tidak ingin kembali ke rumah walaupun aku sakit
jadi aku minta sama mama untuk aku menetap di pondok karena aku udah mulai
betah di pondok dan merasa nyaman di pondok. Di saat itu aku senang bisa
mendapatkan kenyamanan di pondok. Tapi aku masih sedikit ingin pulang untuk
bertemu keluarga.

“Dah kubilang pasti kamu lama kelamaan bakalan betah di pondok” ucap mama.

Aku tidak menjawab menjawab aku hanya senyum karena aku sangat bahagia
melihat mama bahagia karena aku betah di pondok akhirnya mama pun
menyetujui jika aku pulang ke rumah hanya 3 bukan sekali. Dan akhirnya mama
pun menjadwalkan kapan aku di jenguk dengan orang tuaku.

Tapi aku sedih di saat itu orang tuaku kembali ke rumah. Aku sangat
menyayanginya tetapi aku harus tegar demi masa depan

“Mama papa mau pulang?,” tanyaku.

“Ya kak, mama papa pulang dulu” ucapnya sambil mengusap kepalaku.
“Papa mama kapan jenguk kakak lagi?” ucapku sambil senyum.

“Bulan depan mama papa jenguk kakak lagi” jawabnya.

Dan akhirnya kami berpelukan. Setelah itu mama papa pun pulang ke rumah,
sebenarnya aku sangat sedih harus berpisah dengan mereka tapi aku harus kuat
karena aku harus mencari kenyamanan di pondok agar bisa betah dan tidak
meminta mama papa untuk selalu menjemput aku pulang.

Hari pun mulai larut malam dan saat malam itupun hujan biasanya jika hujan
pasti keluargaku kumpul di ruang tengah, aku sangat sedih tetapi ibu Nila
berkata ”Jangan sedih Erika, mama papa Erika nanti sedih juga kalau tahu Erika
di sini sedih“ ucapnya.

“Tapi Erika mau pulang bu,” jawab mama kepada nenek.

“Nanti kalo Erika pulang, mama papa Erika sedih“ jawab ibu Nila kepadaku
sambil tersenyum.

Disaat hari pembagian raport tiba mama tidak bisa mengambil raport karena
mama ikut membagi raport anak muridnya, akhirnya papa yang mengambil
raport pertamaku di sekolah baruku. Hasil nilai raportku sangat memuaskan.

“Papa gimana hasilnya? Memuaskan gak?“tanyaku kepada papa.

“Iya alhamdulillah nilai kakak bagus - bagus,“ jawab ayah kepadaku sambil
mencium keningku.

“Yaudah yuk pa pulang, laporan ke mama hasil nilai raport kakak,” ucapku
dengan senyum.

“Ya kita pulang,” ucap ayah.


Pulanglah aku ke rumah untuk bercerita sama mama kalau aku mendapatkan
nilai raport yang sangat memuaskan. Tak lama kemudian mama pun datang

“Ma, mama“ teriakku dalam rumah

“Kenapa kak?, “jawab mama kepadaku.

“Ma, hari ini kakak udah nerima raport dan hasil raportnya memuaskan,” ucapku

“Alhamdulillah anak mama, bangga mama sama kakak” jawab mama

“Kalau gitu kakak mau beli apa sebagai hadiah dari prestasi kakak,” sambung
mama lagi.

“Iya ma alhamdulillah, tapi kakak gak mau minta apa – apa kok,” jawabku
dengan menundukkan kepala.

Perkataan mama yang selalu terngiang di pikiranku, “Aku harus lebih giat dan
harus lebih banyak mencapai prestasi agar orang tuaku sangat bangga kepadaku”
Batinku

Besoknya, orang tuaku mengajak aku beserta adik dan kakakku untuk berlibur
sebagai hadiah atas prestasi yang kami dapatkan.

“Papa mama hari ini mau ngajak kalian jalan – jalan, apa kalian mau nak?“ tanya
papa.

Aku pun menjawab dengan sangat semangat “Ayok pa kita jalan – jalan,
yeaaay”

“Tapi jangan lupa sarapan dulu ya sebelum jalan” ucap mama.


“tenang aja ma kami gak bakal lupa kalau soal makan” ucap adikku.

“ya sudah sekarang siap – siap ya,” ucap ayah.

Setelah itu seluruh anggota keluargaku pun bersiap – siap untuk jalan hari ini.
Aku sangat bahagia karena di lahirkan di keluarga yang menyayangiku dan
keluarga yang utuh walaupun sering tidak lengkap karena kesibukan masing –
masing.

Dik kamu udah siap? Kalau udh siap ayok kita makan ”ucapku kepada adikku

“Iya ini bentar lagi selesai kak, kakak ke ruang makan duluan aja, aku mau beres
– beres kamar bentar” ucap adikku

“Ya udah aku tunggu di ruang makan ya,” ucapku sambil berjalan ke ruang
makan

Tiba saat yang aku tunggu dari tadi yaitu keluargaku telah siap semua dan
tinggal berangkat bertamasya dan untuk pertama kali bertamasya setelah aku di
pondok

Akhirnya kami pun berangakat

“Ma, pa jangan lupa kita berdoa dulu ya sebelum berangkat” pintaku

“okey kita doa dulu ya biar selamat sampai kita pulang lagi ke rumah,” ucap
ayah

Aku hanya menjawab anggukan dari kepalaku. Akhirnya kami berdoa bersama

Sesampai di tempat tujuan, kami sangat senang. Aku sangat bahagia hari itu
karena bisa berkumpul kembali dengan keluargaku walaupun hanya sesaat
Aku menceritakan semua sama mam papa apa yang aku alami di pondok dan
perkembanganku di pondok, mama papa juga sangat bangga saat mendengarkan
aku bercerita “Tetap pertahankan prestasi kakak ya, jangan mudah ngeluh,
jalanin aja semuanya dengan ikhlas” ucap papa

“Ayah yang bener aku harus tetep pertahanin prestasi kakak biar mama papa
bangga,” ucapku.

“Iya, udah sekarang kakak main ya, refresing otaknya dulu biar ga stres” ucap
mama

- Masa SMA

Setelah aku lulus SMP dan orang tuaku menyuruhku untuk melanjutkan
pendidikan ke pondok yang sama seperti SMP kemarin. Dengan sangat senang
aku menerima perintah orang tuaku karena aku merasa di pondok sudah
menemukan kenyamananku dan aku juga menganggap pondok seperti rumah
keduaku, ustad ustadzah seperti pengganti orang tuaku, teman- teman yang aku
anggap seperti keluargaku sendiri.

“Kakak mau kan lanjut SMA di pondok kemaren? Biar kakak ga susah
adaptasinya,” tanya mama kepadaku

“Iya ma kakak mau banget karena kakak sudah nyaman banget sama pondok
yang sekarang” jawabku

Di situlah aku sangat senang karena aku bisa berkumpul dengan teman –
temanku lagi walaupun tanggung jawab hafalanku semakin berat tapi aku harus
bisa melewatkannya karena demi masa depanku dan demi orang tuaku, karena
waktu SMP aku mendapatkan prestasi kategori hafalan terbaik di jenjangku
waktu SMP dan aku memiliki tanggung jawab untuk mempertahankannya

“Ma kakak janji kakak bakalan lebih giat lagi hafalannya biar mama papa
bangga sama kakak,” ucapku sambil memeluk mama,
“Mama yakin kakak bisa, kakak harus buat mama papa bangga. Kakak harus
tetep jaga kesehatan walaupun tugas kakak banyak tapi kakak harus jaga
kesehatan juga ya biar mama papa gak pusing kalau kakak sakit – sakitan terus,
kakak inget kan kakak punya mag jadi kakak gak boleh telat makan apalagi
makan terlalu pedes nanti lambung kakak luka lagi” ucap mama dengan suara
lembutnya.

- Pertengkaran

Setelah aku mulai sekolah lagi dengan jenjang yang lebih tinggi, disinilah awal
pertengkaran terjadi mulai dari disuruh pindah pondok, mama gak setuju kalau
aku pindah pondok, papa selalu memaksaku sampai guruku ikut membantuku
agar aku tidak pindah pondok, ada beberapa sebab mengapa papa memaksaku
untuk pindah pondok salah satunya karena aku sakit – sakitan dan jurusan di
pondok itu tidak ada IPA sehingga susah untuk melanjutkan kuliah di
kedokteran,

“ papaaaa “ panggilku

“Kenapa Kak kok kakak demam? Kakak sakit lagi? “ ucap ayah cemas
kepadaku.

“Engga pa kakak gak sakit kok” ucapku kepada ayah sambil menunduk.

“Kakak boleh bohong sama papa, kakak dari kapan sakit, kenapa gak bilang
papa? Trus ini kenapa kok libur sekolahnya kan ini hari sekolah? Kenapa kakak
gak belajar?,” ucap papa kepadaku.

“Kakak sakit tapi kakak gak mau kasih tau papa, hari ini libur pa karena ustad
lagi ada yang nikahan jadinya kami nonton bersama di masjid” ucapku kepada
papa.

“Loh kok gitu Kak, kok aneh sekolah ini, guru yang nikahan, anak yang di
liburin, emang gak bisa apa pestanya gantian jadi anak – anak tetep sekolah, gak
ganggu kayak gini, sayang hafalan mereka kalo nonton terus” ucap papa dengan
muka yang sudah merah karena menahan emosinya.

“ Iya pa, gak tau juga lagian walaupun jam sekolah juga bakalan sering kosong
kelasnya karena kekurangan guru jadinya banyak jam kosongnya” ucapku sedih
kepada ayah.

“ Ya udah-ya kita pindah sekolah aja lagian disini gak maksimal belajarnya,”
ucap papa menenangkanku.

“Gak mau pa, kakak betah disini” tolakku sambil memeluk papa.

“Kak ayolah pindah, nanti kakak susah nyari kuliahnya kalau kayak gini” bujuk
papa

Disaat itulah aku mulai menutupinya semua dari papa, mulai dari aku sering
sakit – sakitan, gitu jarang masuk kelas, banyak liburnya. Aku sengaja tidak
memberi tahu papa karena aku takut papa selalu memaksaku untuk pindah dari
pondok padahal aku sudah sangat nyaman di pondok dan mama pun sangat
mengharapkanku lulus di pondok itu. Aku bingung harus memilih yang mana,
memilih tetap memondok atau ikut permintaan papa untuk pindah sekolah.

Akhirnya aku pun bercerita kepada teman – temanku apa yang sedang terjadi.
Teman – temanku sangat sedih saat tahu kalau aku disuruh pindah pondok, dan
mereka menyarankanku untuk berbicara dengan ustadzku agar dikasih solusi
terbaik. Akhirnya aku memutuskan untuk bercerita dengan ustadzku.

“Assalamualaikum ustadz” Ucapku

“Waalaikumsalam erika, ada apa nak?” tanya ustad

“Jadi erika mau cerita ustad, sekalian erika mau meminta solusi” jawabku

“Ya silahkan erika” ucap ustadz


Dan aku mulai bercerita semuanya dengan ustadz, awalnya aku ragu untuk
bercerita tapi akhirnya aku mulai cerita semuanya dengan ustadz agar diberikan
solusi yang terbaik, setelah semuanya aku ceritakan, aku meminta pendapat
kepada ustadz dan ustadz pun memberikan solusi kepadaku,

“Sebenernya ustadz juga gak tega kalau Erika harus pindah dari pondok karena
Erika punyaa potensi menghafal quran dengan baik, jadi sebaiknya Erika tetap
bertahan di pondok ini, masalah kuliah? Banyak cara kalau Allah emang udah
merestui apa yang kita jalanin. Nanti ustadz bakalan kasih pengertian dulu ya ke
papa Erika siapa tau papa Erika berubah pikiran” jawab ustadz

Setelah beberapa minggu kemudian, orang tuaku pun datang untuk menjenguk
aku di pondok sekaligus papa mau membawaku untuk cek behel di dokter gigi
tempatku memasang behel, saat papa sedang izin untuk membawaku keluar
pondok sebentar, ustadpun menepati janjinya yaitu memberikan pengertian agar
aku tidak pindah pondok. Tapi entahlah apakah papa berubah pikiran atau tidak.

- Perdebatan
Setelah beberapa hari kemudian, aku terbaring sakit. Papa mengetahui dari
pihak pondok kalau aku sedang sakit, papa pun langsung bergegas untuk
menjemputku. Tidak lama kemudian papa sampai di pondok

“Gimana nak? Apa yang kakak rasain?” tanya papa


“Demam pa, tapi naik turun demamnya” jawabku
“Yaudah kita pulang dulu ya nak biar kakak di urus dulu sama mama sampai
sembuh” ucap papa
Awalnya aku bingung apakah aku harus ikut papa pulang atau aku menetap di
pondok karena aku takut kalau aku terus – terusan di paksa untuk pindah dari
pondok
“Pa kalau kakak ikut pulang kerumah, kakak bisa pulang ke pondok lagi kan
kalaubudh sembuh?” tanyaku
“Boleh kok, sekarang kita pulang dulu biar kakak sembuh” jawab papa
Akhirnya aku pun mengikuti perintah papa untuk pulang ke rumah agar segera
sembuh. Aku bersiap – siap untuk pulang ke rumah dan papa izin dengan ustad
untuk membawaku pulang.

Setibanya aku di rumah, mama telah menungguku di depan pintu. Aku langsung
memeluk mamaku yang telah lama tidak berjumpa. Mamaku sangat sibuk
dengan pekerjaannya sehingga mama jarang menemuiku di pondok. Akhirnya
kami pun bergegas langsung ke kamar untuk beristirahat

“Kakak sakit apa? Kenapa kakak gak langsung bilang mama kalau kakak sakit”
tanya mama

“Kakak takut ma kalau ngomong sama papa, nanti papa maksa kakak untuk
pindah sekolah, kakak gak mau” jawabku dengan sedih,

“Kenapa kakak gak mau pindah dari pondok?” tanya mama lagi

“Kakak udah nyaman ma di pondok, kakak gak mau pisah sama temen – temen
kakak, ustadzah, ustad, lingkungan pondok, kegiatan pondok yang gak mungkin
ada di sekolah biasa ma” jawabku dengan mata yang berkaca – kaca

“Ya udah nanti mama coba ngomong dengan papa baik – baik biar kakak gak

jadi pindah pondok, dan sebenarnya mama juga gak setuju kalau kakak pindaah

pondok, mama lebih ngedukung kakak di pondok daripada di sekolah luar”

jawab
Setelah berbicara dengan mama, aku sedikit lebih lega karena masih ada yang
mengerti kemauanku, tapi apalah daya jika papa masih berusaha untuk
memindahkanku dari pondok, pendapat mama papa kali ini berbeda.

Setelah beberapa hari di rumah, aku merasa kondisiku sekarang jauh lebih baik
daring sebelumnya, selama aku sakit belum ada kabar dari mama apakah papa
telah berubah pikiran atau tetap dengan keputusan papa di awal. Aku menunggu
mereka pulang dari kerja karena aku ingin menanyakan masalah ini secara
langsung,

Tak lama kemudian terdengar suara mobil memasuki garasi rumahku, telah
kusangka itu pasti orang tuaku, aku langsung menanyakan kepada orang tuaku
masalah sekolahku

“Mama papa gimana kakak jadi pindah atau gimana?” tanyaku dengan
penasaran

“Kakak nurut ya sama papa, kakak harus pindah pondok karena kakak harus
mencari jurusan agar bisa di permudah kuliahnya, lagian juga kakak di pondok
itu sering sakit – sakitan jadi papa takut kalau kakak ada apa – apa disana”
jawab papa dengan menatapku

“Mama gak setuju kalau kakak pindah sekolah, kasian kakak udah nyaman di
pondok, sekali – sekali kita ngikutin mau kakak, jangan selalu di atur
sekolahnya” jawab mama dengan cepat.

Akhirnya pun terjadilah perdebatan yang cukup panjang antara papa dan mama
karena mereka berbeda pendapat, mereka sama – sama memiliki pendapat yang
bagus untuk aku kedepannya tapi aku bingung harus bagaimana, aku tidak mau
mengecewakan salah satu dari mereka, akhirnya aku pun pasrah dengan
keputusan di akhir nanti, jika aku harus pindah sekolah ya aku tidak masalah
tapi aku tidak mau mama kecewa dan begitu pun sebaliknya. Rumit bukan jadi
di posisi aku saat itu?
Keesokan harinya aku kembali ke pondok tetapi aku masih belum tahu apa
keputusan orang tuaku, aku hanya bisa menunggu apa keputusannya, aku
menjalani semuanya dengan ikhlas asal orang tuaku bangga kepadaku dan tanpa
ada yang di kecewakan.

- Keputusan yang rumit

Beberapa bulan pun telah aku lewati di pondok dengan perasaan yang tidak
tenang karena masih memikirkan perihal kelanjutan sekolahku. Akhirnya mama
papa datang menjenguk aku di pondok, saat mereka datang perasaanku sangat
senang tetapi kesenangan itu hanya beberapa menit lalu setelah itu papa
menyampaikan jika aku harus tetap pindah sekolah.

“Sebulan lagi papa mama kesini jemput kakak, barang – barang kakak bawak
pulang semua ya” ucap papa

“Maksud papa kakak pindah?” tanyaku dengan perasaan yang sangat sedih

“Iya kak, kakak harus pindah sekolah. Bulan depan mama papa kesini lagi,
kakak harus udah siap ya barang – barangnya, surat pindah kakak, ijazah kakak.
Semua kakak selesain dulu ya di pondok, nanti kalau udh selesai langsung
mama papa jemput” jawab mama dengan senyuman

Disitulah hatiku sangat hancur, aku sangat sedih harus melepas semua
kenyamanan yang aku miliki sekarang, jujur aku belum siap untuk melepas
teman – temanku tapi aku pun harus mengikuti keputusan yang telah di buat
oleh orang tuaku.

Aku berusaha menehan tangis saat pulang ke asramaku, teman – temanku saat
itu telah menungguku di dalam asrama. Saat aku memasuki asrama dan aku
memberi tahu teman – temanku kalau aku jadi pindah sekolah disitulah tangisku
pecah dan teman – temanku ikut menangis sambil memelukku. 3 tahun lebih
kami bersama – sama tapi kami harus berpisah dengan secara tiba – tiba. Aku
sangat tidak siap untuk berpisah dari mereka.

3 tahun lebih kami bersama, kami mmcari ilmu bersama – sama, makan selalu
bersama dan yang tidak bisa di lupakan momen saat makan yaitu makan
menggunakan nampan besar, 3 tahun lebih kami melalui semuanya dengan
senang maupun sedih. Pengalaman di pondok sangatlah banyak.

Keesokan harinya aku bergegas meminta izin dengan ustad untuk mengambil
surat pindah dan ijazah di kantor pusat. Saat aku meminta izin kepada ustad,
ustad pun sangat kaget ketika mengetahui kalau aku jadi pindah sekolah. Ustad
sangat menyayangkan aku pindah tapi apa boleh buat jika orang tua telah
mengambil keputusan.

“Kamu jadi pindah rik? Tanya ustad kepadaku

“Iya ustad erika jadi pindah karena papa mama udah nyuruh pindah” jawabku

“Ya udah kalau gitu ustad gak bisa apa – apa lagi karena papa erika udh bulet
keputusannya” jawab ustad dengan pasrah,

Aku pun langsung ke kantor pusat untuk mengambil surat pindah dan ijazah
SMP ku. Seluruh ustad – ustad yang ada di kantor sangat kaget dengan kabar
jika aku pindah sekolah. Mereka bertanya – bertanya apa alasanku pindah dari
pondok, dan aku pun menjelaskan alasannya.

Bagaimana, cukup rumit bukan kondisi aku saat itu? Aku serba salah. Aku ingin
membuat orang tuaku bangga dengan cara mengikuti kemauan orang tuaku
tetapi aku juga sejujurnya belum siap untuk meninggalkan semua tentang
pondok ini, 3 tahun lebih bukan waktu yang cepat untuk melewatinya bersama –
sama dengan orang – orang yang sangat baik kepadaku,

Ingin rasanya aku menangis di depan oranh tuaku agar mereka tahu apa yang
aku mau dan apa yang aku rasakan saat mereka memberikan keputusan yang
tidak aku inginkan. Hari – hariku sangat hancur karena aku harus berpisah
dengan kenyamananku yang sekarang. Aku takut dengan lingkungan baru jika
kondisinya tidak dapat menerimaku sebagai pendatang baru.

Aku terus berusaha meyakinkan diriku jika aku menjalankan dengan ikhlas
maka aku akan memetik hasil yang baik juga, tetapi ketakutan itu masih sering
menghantuiku, aku bingung harus bercerita dengan siapa, harus meminta
mendapat dengan siapa karena jika aku cerita dengan teman – temanku maka

Mereka akan sangat sedih, aku harus terlihat tetap bahagia di depan teman –
temanku agar mereka juga tidak sedih kalau aku pindah sekolah. Aku takut jika
datang hari dimana kami akan berpisah maka aku tidak bisa menahan air
mataku untuk mereka. Kalau aku nanti nangis maka teman – temanku akan ikut
nangis dan akhirnya susah untuk melepasku.

Entah kenapa hari demi hari makin dekat dengan hari dimana aaku harus
berpisah dengan teman – temanku, makin hari mereka makin aneh sikapnya
denganku, mereka makin sering membahas perpisahan di depanku, tidak ada
lagi senyuman yang tulus dari bibir mereka, tidak ada lagi kebiasaan bermain
permainan sebelum kami tertidur malam.

Aku sangat sedih dengaan perubahan mereka, kenapa di saat detik – detik aku
berpisah dengan mereka malah justru mereka menjauhiku. Aku sangat bingung
apa yang harus aku lakukan. Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya
ke mereka apa yang sebenarnya sedang terjadi,

“Kenapa kalian menjauh dari aku saat aku udah mau pindah sekolah?” tanyaku
dengan tegas

“Kami gak terima kalau kamu harus pindah sekolah dan pisah sama kami”
jawab salah satu temanku
“Tapi aku juga gak ada pilihan, aku serba salah, aku juga gak mau pisah sama
kalian tapi aku juga gak bisa ngapa – ngapain kalau orang tua udh ngasih
keputusan kayak gini” jawabku sambil menhan tangisan

“Kami gak mau kalau anggota kita berkurang satu, kita tetap hsrus bersmaa
sampai lulus SMA bareng – bareng” jawab temanku lagi

“Kalian harus terima ya karena ini udah takdir dari Allah tapi aku janji bakalan
sering – sering main ke pondok kok untuk mengunjungi kalian disini, jangaan
sedih ya pokoknya kita gak akan pernah pisah sampai kapan pun, Cuma
sekolahnya aja yang pisah kok” jawabku sambil menangis.

- Perpisahan

Setelah beberapa minggu kemudian, hari di mana aku harus berpisah dengan
pondokku tercinta. Perasaanku sangat tidak karuan, aku sangat sedih, aku pun
juga takut dengan lingkungan baru nantinya. Sebenarnya aku masih belum siap
untuk melepaskan teman – temanku tetapi ya sudahlah semuanya telah terjadi.

Tadi malah adalah malah terakhirku bersama teman – temanku di asrama,


mereka sangat tidak tega melihat kepergianku keesokan harinya, mereka
menangis dengan sangat kencang sambil memelukku. Mereka memberiku surat
yang isinya adalah pesan – pesan untukku saat aku tidak di pondok. Kelak aku
pasti akan sangat merindukan mereka.

Di dalam hatiku sangatlah takut, bagaimana jika teman – teman baruku tidak
dapat menerima kehadiranku di lingkungan mereka, bagaimana jika mereka
tidak ada yang mau berteman denganku, bagaimana jika mereka tidak sebaik
teman – temanku di pondok. Banyak pertanyaan yabg bermunculan dari otakku
dan ketakutan yang selalu menghantuiku. Tetapi aku di depan teman – temanku
harus tetap kelihatan gembira.
Tak lama kemudian papa mamaku pun datang untuk menjemputku, saat itu
tidak dapat menahan tangisku, aku langsung memeluk teman – temanku dan
tangisku pun pecah di saat itu juga, begitupun dengan teman – temanku yang
ikut menangis karena kepergianku.

“Ka jangan pergi, kamu di sini aja sama kita” ucap temanku

“Aku gak bisa karena ini udah keputusan orang tuaku” jawabku sambil
menangis

“Pokoknya kamu harus sering – sering kesini ya samperin kita” pinta teman –
temanku

“Iya aku janji bakalan sering kesini kalau libur sekolah” jawabku

Akhirnya kamipun melanjutkan pelukan kami yang sangat berat untuk di lepas.

Papa mama akhirnya menuju ke kantor untuk berbicara kepada ustad yang telah
banyak membantuku selama aku di pondok. Aku tidak mengikuti mereka ke
kantor karena aku masih belum bisa lepas dari pelukam teman – temanku. Satu
pondok pada melihat kerumunanku dan teman – temanku. Mungkin mereka
bingung apa yang sedang terjadi dengan kami.

Beberapa waktu kemudian akhirnya papa mama keluar dari kantor bersama
dengan ustad ustadzah yang ada di kantor, akhirnya aku pun terlepas dari
pelukan teman – temanku, dan aku langsung berpamitan dengan ustad ustadzah
yang ada di dekatku saat itu,

“Ustad ustadzah Erika pamit ya, maafin Erika kalau Erika sering nyusahin ustad
ustadzah, sering bandel ga ikut peraturan. Sekali lagi maaf ya dzah” ucapku
sambil menangis

“Iya Erika disana harus tetep jaga hafalannya ya, jangan males – malesan dan
tetap jaga kesehatan” jawan ustadzah Nila
Banyak motivasi dan nasihat yang guru – guruku berikan hingga aku tak kuat
menahan tangisku. Sunggu guru – guruku adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Kebaikan mereka tidak dapat aku balas dengan cara apapun. Aku sangat
menyayangi guru – guruku.

Setelah beberapa menit guru – guruku memberiku nasihat, akhirnya aku harus
pulang ke rumahku. Aku berpamitan untuk kesekian kalinya kepada teman –
temanku tetapi mereka masih tidak terima jika aku pergi saat itu juga. Sunggu
aku tidak kuat menahan tangis,

“Erika pamit ya, sekarang Erika harus pulang” ucapku sambil menundukkan
kepala

“Iya tapi Erika harus janji jangan sombong – sombong sama kita, harus sering
samperin kita di pondok, harus sering – sering nelfon kita kalau kita pulang dari
pondok, pokoknya Erika jangan lupain kita ya” ucap temanku sambil menangis.

“Erika janji gak bakal berubah, Erika bakalan sering kesini ya” jawabku dengan
senyuman palsuku

Bagaimana jika kalian di posisiku? Sedih bukan? Yaps aku pun sangat sedih
karena harus berpisah dengan orang – orang hang berjuang dengaku. Berat
rasanya untuk meninggalkan semua kenyamananku di pondok tapi apa boleh
buat mungkin ini telah menjadi takdir hidupku.

Aku pun mulai menaiki mobil dan akhirnya mobil berjalan dengan sangat pelan
– pelan karena aku masih ingin melihat teman – temanku sebelum aku
melanjutkan pendidikan di sekolah yanh baru dan lingkungan yang baru. Di
sepanjang perjalanan pulang aku hanya bisa terdiam karena aku masih belum
bisa menerima kenyataan kalau aku telah berpisah dari kenyamananku di
pondok.

- Hari pertama
Hari ini adalah hari pertamaku melanjutkan pendidikan di sekolah yang baru
dan lingkungan yang baru, jujur aku awalnya sangat takut karena aku belum
terbiasa dengan lingkungan yang baru. Hari pertama aku masih di antar sampai
ke kelas dengan papaku, seperti anak kecil bukan? Tetapi ya seperti itulah
karena aku masih takut dengan lingkungan baru.

Hari pertama aku sekolah semuanya baik – baik saja, teman – temannya sangat
ramah dan tidak sombong. Tetapi aku belum terlalu hafal nama mereka satu
persatu, tetapi aku yakin dengan berjalannya waktu pasti hafal kok dengan
mereka.

Ternyata semua di luar dugaanku, ternyata ketakutanku itu hanyalah sekedar


khayalan, faktanya teman – teman baruku sangatlah baik dan mereka sangat
menerima kedatanganku sebagai murid baru di kelas itu bahkan awaalnya aku
sangat malu – malu karena seragamku berbeda dengan mereka tetapi mereka
tidak mempermasalahkan itu karena mereka mewajari aku murid baru.

Saat aku pulang sekolah, aku menceritakan semuanya kepada orang tuaku apa
yang telah terjadi di sekolah. Ternyata benar kata orang tuaku bahwa mereka
sama seperti teman – temanku di pondok dulu, mereka baik.

Hari demi hari aku lewati bersama teman – teman baru, lingkungan baru, dan
guru – guru baru yang tidak kalah baiknya dengan guru – guruku di pondok.
Mereka sangat sabar mengajariku karena aku tertinggal pelajaran satu semester
tapi mereka tetap sabar untuk mengajariku bahkan di luar jam belajar pun
mereka masih bersedia mengajariku.

Aku sangat bersyukur bisa mendapatkan lingkungan yang menerima


kehadiranku sebagai siswa baru di sekolah tersebut, teman – teman yang baik
dan tidak sombong, guru – guru yang sangat sabar mendidikku. Akhirnya aku
bisa mendapatkan kenyamanan di sekolah baruku dengan kegiatan yang sangat
berbeda dengan pondokku.
Setelah beberapa bulan aku sekolah di sekolah yang baru, sangat banyak
pengalaman yang aku dapatkan yang tidak bisa aku dapatkan di pondok. Aku
sangat nyaman dengan sekolah baruku. Walaupun awalnya aku takut dengam
lingkungan baru tetapi sekarang aku tidam takut lagi bahkan aku telah nyaman
dengan lingkungan yang sekarang.

Kegiatan di pondok dan di sekolah baruku memanglah sangat berbeda tetapi di


sekolah baruku juga melalukam hal – hal yang biasa di lakukan di pondok
seperti zikir pagi, walaupun waktu yang berbeda tetapi ada bebwrapa kegiatan
yang sama.

Banyak pelajaran yang aku dapat dari semua takdir yang aku dapatkan
sekarang, mulai dari perpisahan, ikhlas menghadapi masalah, sabar, hingga arti
kata bersyukur dan yang tidak kalah penting adalah kita harus menjalankan
semuanya dengan ikhlas karena tidak ada takdir yang tidak ada tujuannya.
Sepertiku saat ini yang awalnya aku menolak tetapi setelah aku jalani semuanya
ya tidak seburuk yang aku bayangkan. Dan tidak seburuk yang aku bayangkan.

Anda mungkin juga menyukai