Anda di halaman 1dari 3

Akhir Sebuah Kisah

Setiap masa punya ceritanya masing-masing, namun bagian akhir cerita belum tentu terjadi di
masa itu. Bisa saja terjadi di masa yang berikutnya. Ini salah satu kisah yang bagian akhir-nya terjadi
di luar masa. Kisah cinta di masa kuliah yang bagian akhir-nya ada di masa kerja.
Cintaku mungkin tak bertepuk sebelah tangan, namun aku tak pernah menanyakan padanya
dan tak pernah mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Aku terlalu buta oleh obsesi-obsesiku.
Aku hanya bisa merasakan ia mencintaiku, tapi waktu itu aku mengabaikannya. Tapi kisah cintaku tak
berakhir begitu saja selepas menyandang gelar S1.
Ku pikir, mengenalnya sebagai teman saja sudah lebih dari cukup. Aku bersyukur. Aku masih
bisa berbicara dengannya, meskipun sebatas tulisan komentar di media sosial atau menanyakan kabar
lewat pesan singkat. Aku masih bisa mengenang foto-fotonya bersama teman-teman seangkatan kami.
Aku bahagia, meski hati kecil ini berharap lebih.
Aku percayakan kisah cintaku pada waktu. Biarkan waktu yang akan menguburnya jauh di
dalam hatiku. Berharap takkan merasakan perasaan cinta itu lagi. Yang ku inginkan hanya perasaan
cinta sebagai teman seperjuangan di masa kuliah. Aku tak menyesal pernah mencintainya. Aku hanya
menyesali cinta yang “spesial” itu datang di saat yang tidak tepat.
“Halo. Namaku Dave,” ucapnya dengan senyum lebar.
“Halo juga. Aku Ane. Kamu ambil jurusan apa?”
“Teknik Industri. Kamu?”
“Ohh kita sama dong. Aku juga Teknik Industri,” balasku dengan senyum bahagia.
Itulah momen pertama kami. Sebuah pertemuan di masa orientasi fakultas. Nasib memilih
kami untuk berada di satu kelompok yang sama. Kami lewati masa orientasi dengan penuh semangat
meskipun melelahkan. Kami semakin akrab setelah mengikuti masa orientasi jurusan, melewati masa
sebagai mahasiswa baru. Jumlah mahasiswa yang tak terlampau banyak membuat hubungan
pertemanan dengan teman seangkatan sangat erat. Kompak. Itu kata yang pas untuk menggambarkan
angkatan kami.
“Ehh, Ane sudah selesai ngerjakan tugas Kalkulus tuh. Pinjam yuk!” ujar salah seorang teman
kepada Dave dan teman-teman yang lain.
“Ane, boleh pinjam tugasmu? Kita sudah pasrah ini. Susah banget.,” ujar Dave dengan wajah
memohon.
“Bukuku dipinjam sama Giselle. Kamu pinjam sama dia ya. Aku buru-buru nih, mesti ke
ruang latihan. Daaah…” jawabku sekenanya.
Aku mahasiswi aktif di kampus. Aku ikut dua kegiatan mahasiswa, dance dan jurnalistik.
Aku terlalu fokus sama kegiatan-kegiatanku, jadi kurang peduli sama teman-teman. Kalau diajak
pergi bersama, kebanyakan aku tolak. Mereka sampai hafal alasan klasikku. Kegiatan dan kegiatan.
Aku tak peduli mereka mau komentar apa. Aku terlalu mencintai duniaku.
Ada alasan khusus sebenarnya. Tapi, tak pernah terucapkan oleh mulutku. Aku hanya terlalu
bingung menghadapinya. Aku selalu merasa harus menghadapinya sendirian. Aku punya orang tua
yang possessive dan mereka sangat mengutamakan pendidikan. Orang lain bisa menjalankan
pendidikan sambil bersenang-senang, punya pacar, jalan-jalan. Aku selalu dituntut untuk belajar dan
belajar. Kalaupun mau istirahat ya di rumah, tidak perlu pergi jauh-jauh karena mereka takut ini dan
itu. Akhirnya, masa kuliah jadi masa pelarianku. Mahasiswa diminta untuk aktif di kegiatan non
akademis juga. Itulah alasanku kepada orang tua. Ini benar-benar kesempatan emas buatku.
Aku senang sekali bisa punya banyak teman. Aku jadi merasa lebih bermanfaat daripada dulu
waktu jaman sekolah. Tapi, aku tidak menyadari kehadiran sesuatu yang seharusnya bisa membuatku
jauh lebih bahagia.
“Hai Ane. Boleh duduk di sebelahmu?” tanyanya ragu-ragu.
“Boleh dong. Duduk aja,” aku menoleh padanya lalu fokus pada makananku lagi. Aku
kelaparan karena lelah.
“Heyaaah. Selesai. Aku kenyang. Aku ke dalam kelas dulu ya,” ucapku sambil memasukkan
kotak makanku.
Aku hanya merasa ia memandangiku selama aku makan. Tapi, aku benar-benar tak
mempedulikannya. Mungkin hanya perasaanku saja. Tapi di hari-hari lain, dia menautkan padaku
foto-foto di media sosial. Di foto-foto itu ada aku dari jarak dekat dan dari kejauhan. Aku tertegun.
Aku bahkan tak menyadari ada yang mengambil gambarku. Aku jadi mulai memperhatikannya. Tapi,
takdir berkata lain.
“Dave, ayo temani aku pergi ke mal ya habis kuliah nanti,” ujar Lina.
“Iya. Nanti nonton yuk. Ada film bagus nih,” jawab Dave dengan antusias.
“Oke. Sip!”
Aku berani tampil di mana-mana, aku berani coba apapun, berani hadapi masalah apapun.
Kecuali masalah cinta. Aku pecundang kelas berat kalau menghadapi urusan ini. Lina selalu berada di
dekat Dave. Mungkin Lina lebih cocok daripada aku. Aku jadi merasa hanya khayalan dan mimpi-
mimpi yang ku punya. Aku tak sanggup membuat perasaan cintaku menjadi nyata. Mungkin ia
mencintaiku, tapi aku terlambat menyadarinya. Aku tak sanggup menghadapi ini. Aku menyerah dan
ku pendam saja rasa sakit ini tanpa pernah terucap satu kali pun. Sejak saat itu, aku selalu
menghindari mereka, menghindari perasaanku dan kembali menyibukkan diri dengan duniaku.
Setelah lulus, Lina menikah dengan pacarnya. Bukan Dave. Aku biasa saja. Hati ini sudah tak
bisa merasakan apa-apa meski sebenarnya masih sedikit berharap waktu bisa diputar kembali ke masa
lalu dan perbaiki kesalahan. Aku hanya menyesali, andai Dave dan perasaan cinta itu muncul ketika
aku sudah keluar dari masa pelarianku, ketika aku sudah lulus dan mendapat ijin dari orang tua kalau
aku boleh punya pacar, mungkin aku akan lebih bahagia. Mungkin. Ah, sudahlah! Aku tak ingin
berlarut-larut dalam penyesalan. Aku hanya ingin hidupku bahagia. Cukup sekali melakukan kesalahn
dan merasakan sakit akibat cinta.
Dari: Dave
Ane gimana kabarnya? Kerja di mana sekarang?

Untuk: Dave
Kabarku baik. Aku freelance di sebuah perusahaan minuman. Kamu sibuk apa nih sekarang?

Dari: Dave
Aku kerja di bank, di Jakarta, baru 1 bulan. Kamu di Jakarta kan? Ayo ketemuan.

Aku senang akhirnya akan begini, masih bisa berkirim pesan ke Dave meski sebagai teman
lama. Setidaknya penyesalanku tidak terlalu berat. Akhir kisah tak selalu berada di suatu masa yang
sama. Kita mengetahui ini setelah melewatinya dengan penuh kesabaran dan selalu berpasrah kepada
Tuhan. Inilah akhir dari kisah cinta yang tak tersampaikan, yakni saat ketika aku menuliskan cerita
ini. Aku tak berniat menyampaikan isi hatiku yang dulu meski sering bertemu dengannya. Kisah cinta
itu sudah berakhir, aku sudah membuat awal yang baru sehingga akan ada akhir-akhir yang lain dari
kisah ini.

Anda mungkin juga menyukai