Anda di halaman 1dari 9

SEBUAH PERSAHABATAN

Skripsi masih terbengkalai, laporan masih terbengkalai,


tugas-tugas kuliah pun masih terbengkalai, dan
sekarang muncul pula masalah yang memusingkan
kepala. Dia datang dengan wajah cemberut yang duh….
Aku tak suka, wajah itu mengingatkan aku pada musuh-
musuh palestina, dia seakan ingin memangsa diriku
sampai tak berdaya.Gayanya, senyum sinisnya,
bicaranya, diamnya, dan aku muak pada semua yang
berhubungan dengannya. Iya, aku tau, dia sahabatku,
sahabat yang selama ini ada di sampingku, berjuang dan
hidup di tempat yang sama, bahkan tak jarang makan
dan tidur bersama. Tapi sedihnya kebersamaan yang
indah itu harus terenggut begitu saja, kami mengalami
perang dingin semenjak kebersamaan itu terekat
semakin indah. Awalnya tidak ada yang salah, kami
tetap seperti dulu akrab dan selalu bersama, di mana-
mana berdua, di mana diri ini berada di situ pun ada dia.
Tapi seketika bencana datang menghadang, ombak
yang besar menghancurkan sendi-sendi persahabatan
kami, yang ada hanya puing-puing tak berarti.Aku
sedih!Iya, aku sangat sedih. Dalam waktu sekejap
persahabatan yang indah itu hancur berkeping-keping.
Wajah manis berubah menakutkan, tak ada kata yang
keluar dari bibirku dan bibirnya. Bibir itu mengatup
tanpa komando. Kebahagiaan berubah menjadi
kesedihan. Kebersamaan berubah menjadi perpisahan.
Meski raga bersatu tapi jiwa terpisah.Sering aku
bertanya di hati, kenapa ini bisa terjadi? Mengapa
kesedihan yang sama harus terulang kembali, mengapa
harus ada kesedihan setelah kesedihan itu pergi.Tapi,
tak ada jawaban!Pertanyaan hanya tinggal tanya. Aku
tetaplah insan lemah yang tak punya daya. Aku tidak
bisa mengelak dari bencana itu."vit, besok kita ngajar
harus pake media, tadi siang buk lila pesan." Aku
beranikan diri menghampirinya. Aku harus bisa
melawan syetan itu. Aku tidak mau di cap sebagai
orang yang suka memutuskan tali silaturrahmi. Seperti
sabda Nabi dalam sebuah hadistnya : "Tidak akan
masuk surga orang yang mendiamkan saudaranya
selama lebih dari 3 hari."Percuma beribadah sepanjang
masa kalau akhirnya tetap masuk neraka. Itulah kenapa
aku mati-matian ungkapkan sepatah dua patah kata
padanya. Aku tidak peduli apakah dia mau dengar atau
tidak, ditanggapi atau tidak aku tidak peduli. Biar saja,
yang penting tugas dan kewajibanku selesai. Dia
mengangguk sambil bergumam pelan, aku tidak sempat
mendengar gumaman itu karena aku terlanjur
mengangkat kaki dari sana, aku tak punya daya untuk
terus menopang kaki di tempat itu.Tak ada ucapan
terima kasih yang aku dengar dari bibirnya. Biarlah!
Aku tidak butuh ucapan terima kasih itu, yang pasti aku
lega karena kewajiban itu berhasil aku tunaikan.
Setidaknya aku tidak akan masuk neraka karenanya. Itu
saja!Lambat laun perang dingin itu tercium juga. Aku
ditemui Soleha setelah shalat magrib berjamaah di
Mushala."uni ada masalah ya sama ni vita?" tanyanya
sambil mengulurkan tangan bersalaman setelah shalat.
mau tidak mau aku harus jujur."iya, uni juga nggak tau
kenapa bisa terjadi." Ujarku."awalnya gimana
kejadiannya uni?" soleha balik bertanya."uni rasa
karena masalah kemaren, dia nanya tapi uni
menanggapinya kurang ramah. Seharusnya dia juga
ngerti uni lagi panik.""uni napa jawabnya kurang
ramah?" protes soleha."uni kesal aja, dia nggak sopan
nanya ma uni. Mang dia anggap uni apa?" aku balik
protes."soleha tau, semuanya terjadi karena uni sama-
sama panik. Itu biasa kok ni, sekarang uni lupakan saja
masalah itu. Kembalilah bersikap biasa, bersahabatlah
seperti dulu. Soleha nggak suka uni seperti itu, uni
teladan bagi kami. Masa seorang kakak memberikan
contoh yang tidak baik pada adik-adiknya.""sebenarnya
uni memang salah, seharusnya seharusnya uni bersikap
bijaksana, tidak boleh membalas keegoan dengan
keegoan yang lain.""nah, tu…. Uni tau sendiri.
Sekarang uni harus seperti dulu lagi, sapa dan bicaralah
dengannya. Jangan takut dicuekin… itu tantangan mulia
bagi uni. Ayo uni-ku… berjuanglah! Sangat mulia
orang yang menghubungkan silaturrahmi." Soleha
menasihatiku. Aku bersyukur punya adik yang
perhatian dan suka mengingatkan. Dia memang soleha
yang solehah."makasih sayang ya… uni akan berjuang
mengembalikan jalinan itu kembali. Mohon doanya
dek…"***Aku menggerakkan bibir sambil
membentuknya menjadi lebih indah, itu senyuman
paling manis yang aku ciptakan. Aku berharap
senyuman itu bisa meluluhkan hatinya. Tapi ternyata
senyum itu hanya tinggal senyum, senyuman manisku
teracuhkan begitu saja, dia melengah tanpa membalas
sedikitpun. Hati menyuruh sabar, sabar dan tetap
sabar.Perjuangan belum usai!Aku tidak boleh
menyerah….Aku harus tetap berjuang sampai
senyuman manisku di balas dengan senyuman yang
paling manis."oya, vit… besok materi ajar kita tentang
khutbah, tabligh dan dakwah." Lagi-lagi senyumku
mengembang sambil menyapanya. Aku bersyukur
punya bahan pembicaraan supaya bisa berbicara
dengannya. Dia diam saja, lagi-lagi tanpa ucapan terima
kasih! Ah, sudah biasa!Hari ini kos-an sepi, sunyi, tak
ada suara-suara yang berarti. Mungkin semua warga
sibuk denga mata kuliah di kampus. Aku tau, di kamar
sebelah ada vita. Aku juga tau, hanya aku dan vita yang
tersisa di kos-an hari ini. Kebetulan sama-sama punya
jadwal libur. ketua pamong bersabda, mahasiswa PPL
diberi tenggang sekali seminggu supaya tidak terlalu
capek, maklumlah baru praktek. Insyaallah kalau nanti
telah resmi jadi buk guru baru lah standby tiap hari di
sekolah.Hari ini ada seminar proposal teman, aku harus
menghadirinya. Tidak adil kalau sempat tidak hadir di
hari perjuangannya, toh… dia pun hadir ketika aku
diseminarkan minggu lalu."vit, ana ke kampus dulu
ya… Rodi seminar jam sembilan ini." Lagi-lagi aku
tabah-tabahkan hati setelah sekali lagi di cuekin. Di hati
aku berdoa semoga Allah melembutkan hatinya dan
bisa menerima aku kembali menjadi sahabatnya.
Sayang, persahabatan indah itu harus pupus di tengah
jalan setelah sekian lama membinanya.***"boleh
bicara, vit?" aku menghampirinya di kamar. Dia cuek,
tanpa menoleh sama sekali, matanya lekat tertuju ke
monitor komputer. "vit, kamu dengar suara aku kan?"
kali ini suaraku terdengar serak. Sedih sekali di cuekin
seperti ini."mau ngomong apa?" itu suara vita.
Alhamdulillah akhirnya suara itu terdengar juga.
Setelah sekian lama aku menantinya."kita tidak boleh
seperti ini terus vit… diam-diaman tanpa kenal dosa.
Sedih hati ini vit, kita bersahabat sejak lama, sayang
hanya karena masalah sepele kita bermusuhan seperti
ini. Mari kita rajut kembali benang-benang itu menjadi
tali ukhuwah yang lebih indah, mari kita bina
persahabatan kita kembali." Airmataku berjatuhan dari
pelupuknya. Airmata itu mengalir mengairi pipi
mulusku lalu merembes ke sela-sela jilbab ungu yang
aku pakai. "Rabb, hati ini sedih sekali." Bathinku
pelan."terserahlah…." Hanya itu jawaban
darinya."terserah apanya vit?""ya… terserah!""kamu
nggak boleh seperti itu vit, kasihlah komentar harus
seperti apa hubungan ita, harus di bawa kemana
persahabatan kita?""up to you!" itu jawaban singkat
yang betul-betul menyinggung perasaanku. Sedikitpun
dia tidak menghargai aku sebagai sahabatnya. Dari
jawaban ketus itu aku bisa mengambil kesimpulan
bahwa vita tak lagi menganggap diriku
sahabatnya."terima kasih vit atas jawabanmu,
setidaknya aku tau apa yang harus aku lakukan setelah
ini. Maaf  kalau selama ini aku tidak bisa menjadi
sahabat yang baik bagimu, maaf  kalau selama ini aku
sering repotkanmu dan maaf  kalau aku harus
mengambil keputusan yang aku sendiri tak sanggup
melakukannya. Tapi sanggup tak sanggup aku harus
tetap menjalankannya." Airmata bertambah deras
membasahi pipi, suaraku gemetar tak terhingga.
Sebelum beranjak aku kuatkan hati untuk mengulurkan
tangan ingin bersalaman, mungkin jabat tangan terakhir.
Alhamdulillah, dia menyambutnya walaupun hanya
sekilas saja.Aku beranjak ke kamar dengan hati pilu.
Keputusanku sudah bulat, aku harus hijrah ke tempat
lain. Aku tidak mau menjadi sumber masalah di sini.
Mengalah bukan berarti kalah bukan??  

Ia tiba-tiba muncul di muka pintu. Tubuhnya kurus, di sampingnya berdiri anak


remaja. Katanya itu anaknya yang bungsu. Kupersilakan duduk sambil bertanya-tanya dalam
hati, siapa mereka berdua?

“Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dari tepi Danau Toba,”
Katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam hati. Itu enam puluh tahun yang lalu.
Ketika itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. “Ketika sekolah SD kau pernah
pulang ke kampung dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku
tersenyum sambil mengangguk-angguk. Belum juga dapat kutebak siapa mereka. Ia
seakan-akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. “Wajahmu masih seperti dulu,”
katanya melanjutkan. “Tidakkah engkau peduli kampung halaman?” tanyanya. “Tidakkah
engkau peduli kampung halamanmu?” tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah
keinginan timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak
pernah dijual. Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku.

“Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. “Kalau begitu, kau si
Tunggul?”
“Ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah.

Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. “Jangan biarkan orang lain
menduduki tanahmu. Suatu saat nanti, keturunanmu akan bertanya-tanya tentang negeri
leluhur mereka,” katanya dengan penuh keyakinan. “Kita sudah sama tua. Mungkin tidak
lama lagi kita akan berlalu. Kalau kau perlu bantuan, aku akan menolongmu.”

“Akan kupikirkan,” kataku. “Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,” jawabku.

Pertemuan singkat itu berlalu dalam tahun. Pembicaraan sesama kakak-beradik tidak tiba
pada kesimpulan. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Dan ketika aku berkunjung
ke kampung halaman, kutemukan dia dengan beberapa kerabat dekat lainnya. Kudapati ia
terbaring di tempat tidur, di ruangan sempit dua kali dua meter. Beberapa slang oksigen di
hidungnya. Ia bernapas dengan bantuan oksigen. Matanya berkaca-kaca sambil mulutnya
berkata, “Kudengar kau datang. Beginilah keadaanku. Sudah berbulan-bulan.” Agak sulit
baginya berbicara. Dadanya tampak sesak bernapas. Aku tidak mungkin berbicara mengenai
tanah itu. Kuserahkan persoalannya kepada keluarga dekat.
Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi kabar. Seorang kerabat dekat, waktu berjumpa
di Jakarta, berbisik padaku, “Tunggul sudah tiada, pada usia yang ke-67.”

“Oh, Tuhan,” kataku kepada diriku sendiri. Kami lahir dalam tahun yang sama. Sebelum
segala sesuatu rencana terwujud, usia telah ditelan waktu! Giliranku? bisikku pada diriku.

***

Rendi selalu datang dalam mimpi. Diam-diam, lalu menghilang. Dahulu ia teman sekantor.
Tetapi, karena mungkin ingin memperbaiki nasib, ia mengirim istrinya ke Amerika, justru
ingin mengadu nasib. Ia menyusul kemudian, dengan meninggalkan pekerjaan tanpa
pemberitahuan. Lewat Bali, Hawaii, ia sampai ke California. Di negeri penuh harapan ini ia
memulai kariernya yang baru, bangun subuh dan mengidari bagian kota, melempar-
lemparkan koran ke rumah-rumah. Entah apalagi yang dilakukannya, demi kehidupan yang
tidak mengenal belas kasihan.

Setahun berada di sana, ia kehilangan istrinya, derita yang membawa duka karena kanker
payudara. Sepi merundung hidupnya, di tengah keramaian kota dan keheningan pagi dan
senja, membuatnya resah. Barangkali hidup tidak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus
dilakukan dengan patuh. Tetapi usia yang di atas enam puluhan itu cukup melelahkan untuk
bertahan hidup. Tiada kawan untuk membantu. Semua bertahan hidup harus berkejaran
dengan waktu. Dari agen koran subuh, sampai rumah jompo dari siang sampai senja, lalu
pulang ke apartemen, merebahkan diri seorang diri, sampai waktu mengantar subuh dan
mengulangi ritual siklus kehidupan.

Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari teman hidup pada usia senja.

Tetapi, dalam kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri, dengan bus dan kereta
api. Seperti seorang turis, suatu senja, entah serangan apa yang mendera dadanya,
barangkali asmanya kumat. Ia terkulai di ruang hajat. Di sebuah stasiun kereta, petugas
mencoba membuka kamar toilet. Menemukan kawan itu dalam keadaan tidak bernyawa.
Identitas diketahui dengan alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menghubungi nama yang
tertera di Los Angeles. Dari Los Angeles datang telepon ke alamat di Bandung. Dari Bandung
berita disampaikan kepada anaknya, tetapi kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke
rumah anaknya, dan dimakamkan kerabat dekat yang ada di kota “Y”.

Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tapi ia berhenti dalam
kesepian, jauh dari kenalan dan kerabat. Beberapa kenalan saja yang menghantarnya ke
tempat istirah.

Terlalu sering ia datang di dalam mimpi yang membuatku galau.

***

Beberapa waktu kemudian, aku mendapat SMS. Aku berhenti di pinggir jalan ramai dan
mencoba membaca berita yang masuk.

Lusiana baru saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun ke-61.
Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah.

Lusiana seorang sekretaris eksekutif yang hidup mati demi kariernya. Ia lupa kapan ia
pernah disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun ditampiknya. Menjelang usia renta, ia
menyaksikan ayah dan ibunya satu demi satu meninggalkan hidup yang fana. Juga
abangnya, pergi mendadak entah menderita penyakit apa. Karier tidak meninggalkan bekas.
Tidak ada ahli waris. Kawan-kawan meratapinya, dan melepasnya dalam kesunyian hati.

Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap dekat pohon yang menaungi
makamnya.

Tidak biasa aku berlibur dengan keluarga. Kepergian ini hanyalah karena anak yang hidup di
tengah keramaian Jakarta, yang berangkat subuh dan pulang menjelang tengah malam dari
kantornya. Ada kejenuhan dalam tugasnya yang rutin, membuat ia mengambil keputusan
libur ke Bali bersama orang tua. Aku yang terbiasa masuk kantor dan pulang kantor selama
puluhan tahun, kerapkali lupa cuti karena tidak tahu apa yang harus dilakukan waktu cuti.
Dan kini, aku duduk di tepi laut Hindia, menyaksikan ombak memukul-mukul pantai, dan
sebelum senja turun ke tepi laut, matahari memerah dan bundar, cahaya keindahan Tuhan,
sangat mengesankan ratusan orang dari pelbagai bangsa terpaku di atas batu-batu.

Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dengan tulisan:

Tan, Ibu Maria baru saja meninggal dunia. Kasihan dia. Di dalam Kitab Sucinya banyak mata
uang asing.

Ibu Maria menyusul suaminya yang sudah bertahun-tahun meninggal dunia, dalam usianya
yang ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya yang dipensiunkan sebelum waktunya.
Suaminya meninggal dalam usia ke-67 saat anaknya berpergian ke luar negeri dan tidak
hadir ketika penguburannya.

Ibu Maria meninggal mendadak.

***

Aku baru saja menerima telepon dari kakakku yang sulung, dalam usianya yang ke-78.
Kudengar suaranya gembira, walaupun aku tahu sakitnya tidak kunjung sembuh. Kalimat
terakhirnya dalam telepon itu berbunyi: Tetaplah tabah, Dik. Kamu dan anak-anakmu,
semua anak cucuku dan buyut, supaya mereka tetap sehat….

Dan tadi pagi, aku teringat. Usia menjelang ke-70, walaupun sebenarnya belum sampai ke
situ, aku bertanya-tanya kepada diriku, jejak mana yang sudah kutoreh dalam hidup ini, dan
jejak-jejak apakah yang bermakna sebelum tiba giliranku?

Aku tepekur.

Hening di ujung senja.

Anda mungkin juga menyukai