Anda di halaman 1dari 22

Cinta Bukan Ilmu Pasti

Karya: Fenny Sugih

Hari yang terasa lelah, karena ia merasa segalanya harus nyata, indah dengan realitas
yang ada. Bak cerita sinetron belaka, kenyataan sungguh berbeda. Hanya ragawi yang
memahami keberadaan diri.
Mahasiswi S2 Universitas terkemuka, bernama Dina. Hanya tugas kuliah dan pekerjaan
lah yang membuat sibuk hari-harinya. Bukan menunggu ia tertawa tapi membuatnya tak
pernah diam, atau sekedar jalan-jalan melepas lelah dari keseharian yang menyibuki harinya.
“Din, ada yang nanyain kamu lho?” celoteh Asri.
“Apa sih Ci!” jawabnya singkat.
“Kamu tuh ya jangan cuek melulu, nanti cowok pada kabur tau.” kata Asri spontan.
“Iya bu iya, sudah berapa kali percakapan kaya gini diulang-ulang! Bosen tau, hahaha.”
jawabnya sambil bercanda.
“Kamu tanya siapa ke gitu, ya udah aku cerita aja sendiri ya namanya Aldi. Dia kayanya udah
lama deh naksir kamu. Lucu kok Din, Suer deh!” ungkap Asri.
“Mau kamu suer tak kewer-kewer juga gak ngaruh hahaha” ejeknya.
Mereka tertawa terbahak, sambil berjalan di depan kantor tempat mereka bekerja.
Mereka bekerja di sebuah perusahaan periklanan sudah 3 bulan lamanya. Sama lamanya
dengan perkuliahan S2 yang sedang dijalani Dina. Berbeda dengan Asri yang sudah menikah
dan memiliki anak yang masih kecil. Sehingga mereka menjalani kehidupan yang berbeda.
Asri yang hampir tak lupa mengingatkan Dina supaya cepat menikah. Sedangkan Dina yang
cuek dan terlihat sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya.
Selengkap apapun kehidupan seseorang, sekuat apapun bertahan dan berdiri tegak di atas
kaki sendiri. Takkan pernah bisa dipungkiri semua orang butuh cinta. Kasih yang nyata dari
bukan jenisnya. Hal lumrah yang banyak orang tanyakan pada kesendirian. Apalagi dalam
kehidupan yang mapan. Kecukupan materi atau kecerdasan butuh kasih temani kehidupan.
“Selamat pagi!” sapa seorang lelaki di balik pintu.
“Iya selamat pagi” jawab Dina sambil menoleh ke arah pintu.
“Permisi ya mbak saya mau meeting sama Pak Asep. Ruangannya sebelah mana ya?” tanya
lelaki itu.
“Kebetulan Pak Asep belum datang. Mari saya antar ke ruang meeting!” jawab Dina dengan
lantang.
Kemudian mereka berdua menunggu Pak Manager di ruang meeting. Kebetulan Pak
Asep mengabari Dina bahwa beliau akan telat sekitar 40 menit karena macet. Keduanya pun
saling berdiskusi mengenai projek kerjasama yang akan didiskusikan nanti.
“Nama saya Aldi.” sambil mengulirkan tangan kanan hendak berjabat tangan.
“Nama saya Dina.” Jawabnya dengan raut sumringah.
“Saya sering ke kantor ini tapi baru kali ini saya melihat mbak. Mbak baru ya?” tanya Aldi.
“Tidak mas, saya sudah tiga bulan kerja di sini. Namun saya sambil kuliah pagi, kalau tidak
ada kelas baru saya sift pagi di kantor.” Jawab Dina perlahan menjelaskan.
“Wah hebat ya sambil kuliah. Mbaknya nggak pusing ya?” kata Aldi
“Pusing kalau banyak tugas dan kerjaan bentrok mas, hehe. Tapi alhamdulillah masih bisa
dijalani.” Jawabnya.
“Iya sih yang penting kita menikmatinya” kata Aldi sambil tersenyum.
Tak lama kemudian Pak Asep dan rekan kerja yang lain datang. Meeting pun dimulai. Aldi
semakin tertarik dengan Dina. Selain paras yang cantik Dina begitu lancar memaparkan
presentasi kerjaannya.
Saat pertemuan datang, ia diam menduduki ruang yang tak pernah mati bermalasan.
Kantor dimana ia bekerja, barangkali ini adalah kesempatan tak ada duanya. Seorang pria
mapan, relasi perusahaan tempat ia bekerja mnghampirinya. Tampan nan berwibawa, cukup
menerangkan sosok lelaki yang berusaha menjajaki wanita cantik serta cerdas ini.
Entah darimana datangnya, turun dari langitkah. Yang jelas ia bahagia. Memiliki hidup
yang lebih bermakna dibandingkan harinya saat sendiri tak ditemani seseorang yang berarti.
Mereka mencoba mengerti satu sama lain. Belum ada keseriusan terlampau istimewa.
Sampai suatu hari Dina dimintai jawaban atas perasaan. Laki-laki itu mulai bertanya
ketegasan, seolah menginginkan sesuatu darinya. Apa itu teman ataukah lebih.
Dina ia tak punya pengalaman banyak tentang cinta. Hingga jawabannya hanya “iya”.
Tak ada yang lain, atau penjabaran sesuatu lain yang ia rasa selama ini. Tak ada perkataan lagi
betapa besarnya perasaan keriangan saat-saat dekat bersamanya. Laki-laki itu pun senang
walau pun merasakan kekurangan dalam jawaban Dina tak seperti pengalaman lain yang ia
temukan bersama angan dan keinginannya.
Laki-laki itu beberapa bulan menemani harinya. Tak ada kekurangan berarti yang Dina
temukan dari sesosok ini. Ia bahagia. Benar-benar sangat bahagia. Bahkian ia seringkali
memimpikan sesuatu menakjubkan akan segera datang, tentu saja bersama Aldi. Laki-laki
yang selama ini ia kenali lebih dekat setiap hari.
Lambat laun persamaan karakter yang membuat pasangan sempurna ini sedikit berbeda
dari pasangan biasanya. Begitu teman dekat mereka seringkali bergumam. Entahlah iri, syirik,
cemburu dengan kesempurnaan pasangan mapan rupawan, atau begitu nyatanya. Tak lama
laki-laki itu menjadi semu di hadapan seorang Dina. Tak ada lagi yang memperhatikan. Dan
ia tak tahu mengapa menjadi begitu jadinya.
Tak lama kemudian sosial media yang jarang dicarinya. Menjadi teman dikala sepi
sendiri menyelimuti. Seketika ia klik mesin pencarian, diketik kata Aldi. Malang menimpa,
raga lemah tak berdaya. Ia melihat sendiri Aldi yang selama ini dekat dengannya telah
tunangan dalam sosial media. Tak hanya status facebook tapi beberapa foto yang diupload
menjadi lebih jelas dalam benak Dina.
Bagaimana tidak sakit hati ia yang selama ini cuek terhadap lelaki. Namun karena rasa
ingin tahu yang tinggi membuatnya stalking pada media sosial Aldi. Foto dua tangan yang
saling bersentuhan dilingkari cincin yang sama persis membuat hati Dina semakin teriris.
Hari yang berjalan tiada henti, memaksa Dina untuk bangkit kembali. Ditemaninya asa
sendiri, dengan atau tanpa Aldi seharusnya hidup ini dinikmati. Gumamnya dalam hati. Tak
peduli orang lain berkata apapun tentang diri. Dina tak ingin bertemu lagi dengan Aldi.
Harapan hilang harus berganti. Yang ia yakini hanya Tuhan akan selalu menemani,
memberikan kebahagiaan pasti yang entah kapan datang tak hanya dinanti.
Cinta itu hitam putih. Ada gelap ada terang. Ada saat ketika kita senang. Ada suatu ketika
untuk bersedih ataupun menangis. Tak selamanya cinta penuh kejelasan. Tak selamanya pula
cinta itu pasti, pasti hitam atau putih.
Kumbang Di Taman Bunga
Karya: Ni 71 Scm

Masa libur panjang hampir usai, pendaftaran untuk memasuki dunia perkuliahan pun
telah dibuka. Semua Universitas maupun Sekolah Tinggi seluruh dunia mengeluarkan amunisi
untuk bersaing menarik calon mahasiswa/i memasuki kampusnya. Hingga salah satu sekolah
tinggi yang ada di Sulawesi terdengar oleh salah satu siswa SMK N 2 Tanjung Selor.
Seleksi pun dimulai dengan cukup cepat dan ketat, semua calon mahasiswa/i berkumpul
untuk menunggu keputusan dari pihak kampus. Semua saling berkenalan satu sama lain,
Sarwana duduk melamun sendiri jauh dari keramaian calon mahasiswa/i lainnya. Salah satu
panitia pun keluar dari ruang rapat dengan membawa selembar kertas pengumuman. 178
Nama-nama yang lulus seleksi, semua pulang dengan rasa senang untuk menyiapkan
keperluan memasuki dunia kampus akan tetapi Sarwana masih tetap di tempatnya hingga Sari
salah satu panitia menghampirinya.
“Kenapa hanya melamun di sini?”, “Tidak ada apa-apa, Kak” menatap paras cantik seniornya
yang duduk tepat di hadapannya, “Sudah lihat pengumuman?”, “Belum”, “Kenapa?”, “Tidak
ada apa-apa kok Kak, cuma takut kecewa saja akan hasilnya!”, “Kenapa, emangnya tadi
soalnya tidak bisa diisi?”, “Bisa Kak”, “Kalau begitu saya temani untuk melihat hasilnya”
berdiri dan menarik tangannya menuju papan informasi.
Sesampainya mereka di papan informasi Sarwana heran ternyata semua lolos seleksi.
Sari bertanya sambil fokus melihat daftar nama tersebut “Oh ya, nama kamu Siapa?”, “Nomor
76 Saya, Kak!”, “Oh, Sarwana” memalingkan wajah ke arahnya calon maba itu, “Iya Kak,
Kenapa terlihat kaget begitu?”, “Tidak, ternyata kamu yang dari sekolah luar”, “Kenapa,
memang di kampus ini ada peraturan tidak menerima dari luar?” menatapnya dengan wajah
kebingungan, “Tidak, Cuma teman-teman panitia penasaran sama kamu”, “Penasaran kenapa,
Kak?”, “Tidak, cuma mau lihat orangnya saja”, “Hmm, saya kira ada apa”. Sari dan Sarwana
pun mengobrol banyak hal mengenai kampus, karena terlalu asik mereka tidak sadar hari
sudah menjelang malam mereka pun mengakhiri pembicaraan dan pulang ke rumah masing-
masing.
Satu minggu berlalu, masa Orientasi Akademik (ORMIK) pun dimulai semua
mahasiswa/i berkumpul di ruangan aula kampus yang telah disiapkan oleh panitia. Sarwana
mulai mencari teman dengan mengajak kenalan orang yang ada di sampingnya, “Hay, sudah
lama dimulai acaranya ini?” sambil menduduki kursi yang kosong, “Belum terlalu lama,
Kenapa kamu telat?”, “Aku sempat nyasar tadi”, “Kenapa bisa, Kamu orang baru di sini?”,
“Iya”, “Kamu tinggal di mana?”, “Di Dadakitan, Kalau kamu?”, “Di Tambun, Oh ya Nama
kamu siapa?” sambil mengulurkan tangan tanda perkenalan, “Namaku Sarwana, kamu?”
membalas uluran tangannya, “Namaku Fajar”, “Senang berkenalan denganmu, semoga kita
bisa berteman bukan hanya di acara ini saja”, “Iya, kamu ke sini naik apa?”, “Naik motor”,
“Sama siapa?”, “Sendiri, memangnya ada apa?”, “Tidak ada apa-apa, bagaimana kalau nanti
sore kita jalan-jalan, agar kamu tidak akan nyasar lagi”, “Oke, boleh juga itu. Tapi saya harus
ke ruang panitia sebentar”, “Iya tidak apa-apa, memang kamu ada urusan apa?”, “Tidak, cuma
mau nepatin janji saja sama Sari” spontan Fajar kaget mendengarkan pernyataan Sarwana
“Apa, Kamu sudah kenal dengan Kak Sari?”, “Iya, kemaren waktu pengumuman dia yang
temani saya melihat pengumuman dan dia bilang teman-teman panitianya mau bertemu
dengan saya”, “Emangnya ada apa, kenapa senior-senior yang lain mau ketemu dengan mu?”,
“Aku juga tidak tahu”.
Acara pembukaan ORMIK pun telah selesai Sarwana bergegas menuju ruangan paniti
mencari Sari. Sesampainya iya di depan pintu tanpa sengaja menabrak teman akrab Sari.
“Kamu ini tidak punya mata ya!”, “Maaf kak saya tidak sengaja!” sambil membantu
memungut barang bawaan seniornya yang berserakan, “Kamu mau ke mana?”, “Saya mau ke
ruang panitia, Kak”, “Ada keperluan apa?”, “Tidak Kak, cuma mau ketemu dengan Kak
Sari”, “Ada apa ini, Nirma?” Sari pun keluar untuk melihat apa yang terjadi, “Ini loh, ada
MABA yang jalan tidak menggunakan matanya, bilang mau ketemu sama kamu”, “Sarwana,
Ada apa?” Sari pun heran melihatnya, “Tidak apa-apa kak” sambil menundukan kepalanya,
“Kamu kenal dia, Sari?”, “Iya, Ini loh orang yang kalian heran kan kemarin-kemarin kenapa
bisa nyasar kemari!”, “Hm, Ya sudah aku ke Aula dulu” Nirma pun pergi meninggalkan
mereka.
Masa ORMIK berlalu begitu saja, tiga hari MABA dikerjain habis-habisan oleh panitia,
pembagian ruangan pun telah ditempelkan di papan informasi “Kamu di kelas apa Sarwana?”,
“Di kelas A, Kalau kamu di mana Fajar?”, “Aku tidak tahu juga, karena saya cek nama di
semua kelas tidak ada namaku!”, “Kenapa bisa?”, “Aku tidak tahu” dengan muka
bingungnya, “Kalau begitu kita tanyakan sama staf BAAK”, “Iya!” mereka berjalan menuju
rungan BAAK,
“Assalamualaikum, Pak!”, “Wa’alaikumsalam, ada yang bisa saya bantu?”, “Begini Pak,
maksud kedatangan kami ingin menanyakan kenapa nama teman saya tidak ada di setiap
kelas?”, “Namanya siapa?” spontan Fajar pun menjawab “Fajar, Pak”, “Hm, Fajaaaarrr” Staf
itu pun mengecek namanya di arsip berkasnya, melihat eksperesi Staf itu yang tidak
menemukan nama Fajar, spontan Sarwana langsung bersuara “Ada Pak, kalau tidak ada
masukkan di kelas A saja dengan saya” Staf itu pun langsung setuju “Oke. Kamu di kelas A
saja Fajar” sambil memeluk namanya di arsipnya tersebut dan kuliah perdana pun dimulai
Sarwana Dan Fajar satu ruangan hingga suatu hari, sehelai kertas menempel di papan
informasi semua mahasiswa/i yang ada binggung dan bertanya-tanya “Ada informasi apa lagi
ini?” semuanya menghampiri untuk mencari tahu informasi apa yang di tempel begitu pula
dengan Sarwana dan Fajar yang kebetulan beru saja keluar dari ruangan, mereka pun pergi
melihatnya, ternyata informasi yang mengharuskan mereka berpisah ruangan karena Fajar dan
beberapa nama lainnya dipindahkan kelas.
Sarwana mengikuti perkuliahan merasa tidak seru lagi karena teman akrabnya tidak lagi satu
kelas dengan dia, hingga sore mata kuliah matematika kelasnya diberikan kuis “Baiklah hari
ini Bapak akan berikan soal barang siapa yang bisa jawab, saya akan beri nilai terbaik tidak
perlu mengikuti ujian final mata kuliah ini”
Dosen pun menuliskan soal di papan tulis, semua mahasiswa/i mencoba untuk
menyelesaikan soal yang diberikan itu, akan tetapi semua cara penyelesaian yang mereka
gunakan salah, “Sarwana kamu tidak mencoba untuk menjawab soal ini?” Resa menghampiri
Sarwana yang sedang duduk santai di kursi paling belakang, “Tidak” jawabnya dengan tidak
semangat, “Kenapa, kan bisa dapat nilai bagus tanpa mengikuti ujian final!” Resa
memberikan semangat padanya, “Iya sih, kalau dipikir-pikir bagus, tapi lagi malas mikir
saya”, “Ya udah!” Resa pun meninggalkannya sendiri.
Setelah Resa pergi Sarwana pun berfikir kalau dia terus begini bisa hancur nilai
kuliahnya, ia pun mulai mangambil alat tulisnya dan mulai mengerjakan soal itu ditengah
penyelesaian beberapa senior memasuki ruangan itu, “Assalamualaikum” sambil mengetuk
pintu dan menghampiri Dosen yang sementara mengawasi mereka mengerjakan soal,
“Wa’alaikumsalam, ada keperluan apa Andhy?”, “Maaf mengganggu Pak, kami ingin
menyampaikan kepada teman-teman mahasiswa/i untuk mengikuti Organisasi HmI”, “Iya
silahkan” setelah mendapatkan ijin dari dosen senior pun memaparkan tentang organisasi
mereka, setelah panjang lebar pemaparan itu Sarwana tidak menghiraukan dia tetap asik
mengerjakan soal. Dengan selesainya pemaparan senior itu selesai pula lah apa yang ia coba
selesaikan, karena usahanya akhirnya Dosen itu memberitahukan kepada semua teman-teman
bahwa cara penyelesaian Sarwana yang paling benar, kerena itu setiap ada tugas Matematika
semua bertanya kepadanya, kerena itu Resa mulai akrab dengan Sarwana.
“Sarwana kamu tidak mau ikut kegiatan pengkaderan HmI?” Resa menunjukkan
selebaran yang dibagikan oleh senior-senior, “Kapan kegiatannya?”, “Minggu depan”, “Hm,
Kamu juga mau ikut?”, “Boleh, asal kan kita ikut sama-sama ajak juga Fajar”, “Oke lah nanti
kita bilang sama dia” setelah mereka semua sepakat untuk memutuskan mengikuti organisasi
itu mereka pun mengambil formulir peserta dan berperoses sampai sekarang mereka sudah
seperti saudara menjalani kehidupan susah senang mereka lewati bersama waktu mereka pun
sering dihabiskan bersama.

Pelangi Yang Sempat Hilang


Karya: Yani Mariyani

Suatu ketika. Aku tengah duduk bersandar di kursi taman. Suara riuh yang kudengar di
kedua sisi telingaku. Sebenarnya ingin aku menatap ke arah mereka. Tapi apalah aku?? Aku
hanya gadis buta yang berharap mimpi yang berwarna.
Kudengar alarm handphone. Ini berarti aku harus segera kembali ke rumah. Mama sudah
menyetel waktu itu untuk aku. Segera kuraih tongkat yang kutaruh di sebelahku. Kutarik
perlahan agar bisa memanjang. Namun belum juga kurasa panjang. Seseorang telah menjerit
di depanku.
“Auchhhh!” begitu ucapnya.
“Maaf…!” aku berusaha merabah posisi orang itu.
Tapi tiba-tiba tangannya meraih tanganku.
“Apa kamu tidak bisa melihat??!” aku segera mengangguk dan melanjut permintaan maafku.
“Sekali lagi maafkan aku!”
“Tidak apa-apa!” sahutnya lembut.
Aku lalu bangkit dari duduk dan segera pergi dari tempat ini. Namun, aku merasa ada
seseorang yang mengikutiku. Aku bisa merasakan itu. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya
mempercepat langkahku.
Satu minggu kemudian…
Aku kembali ke taman. Namun tempat yang biasa kutempati telah diisi barang-barang.
Aku bingung sendiri. Apa aku harus pulang? Tapi sayang jika aku sudah sampai di sini, dan
langsung pulang. Bagaimana dengan kebiasaanku menghirup aroma bunga-bunga di sini.
Bukankah aku rugi.
Tak lama sesorang menegurku. Aku sangat kenal suara itu. “Hai cantik!” begitu ucapnya.
“Kamu?! Aku seperti pernah mendengar suara itu?!”
“Tentu. Aku yang seminggu lalu bertemu kamu di taman ini!”
“Ayo duduk di sini!” dia sungguh baik.
“Terima kasih!” aku memberikan dia senyuman.
“Aku Bayu!” dia meraih tanganku dan mengenggamnya. Dia mengajakku berkenalan.
“Aku Sherly!”
Perkenalan kedua kita kali ini bukanlah akhir. Namun sebuah awal dari persahabatan. Aku
bahagia bisa kenal dengan Bayu. Walau dia bisa melihat, dia tidak minder untuk berteman
dengan aku. Sudah berbulan-bulan kita bersahabat. Ingin sekali aku memandang wajahnya.
Pernah sekali dia menuntun tanganku untuk merabah wajahnya.
Wajahnya bersih. Hidungnya mancung. Alisnya lumayan tebal. Bibirnya juga tipis. Aku
semakin di buat penasaran. Ada banyak hal yang kusuka dari Bayu. Bukan hanya tampannya,
melainkan suara dan ketawanya yang khas membuat aku rindu padanya.
“Aku anak dari seorang dokter mata. Aku sudah menceritakan kamu pada Papa aku. Dia ingin
membantu kamu!” aku sangat bersyukur mendengar itu. Tapi,
“Aku tidak ingin merepotkanmu Bayu. Kamu sudah terlalu baik sama aku!”
“Aku mohon jangan tolak ini. Karena setelah ini berhasil, aku ingin memberikanmu hadiah!”
ucapnya bersemangat.
“Kamu sangat baik Bayu. Terima kasih!” aku memeluknya.
Namun tahukah kalian?. Kali ini ada yang beda. Aku merasakan sesak di dada saat
memeluknya. Bukan karena pelukan kami yang kuat. Melainkan ada rasa yang sangat aneh.
Sebulan kemudian.
Proses pemulihanku memerlukan waktu yang cukup lama. Hari ini perban akan di buka.
Namun Bayu meminta papanya untuk membuka perban ini di satu tempat. Aku sudah
penasaran sedari tadi.
“Bagaimana Pa? Sudah selesai?!” tanya Bayu yang lebih berantusias dibandingkan aku.
“Sudah. Sherly tinggal buka mata pelan-pelan!” ucap Dokter Rian. Papa Bayu.
“Tunggu dulu Pa… Papa sama Tante Santi tunggu kita di mobil saja!”
Aku semakin degdegan dengan hadiah Bayu. Sebenarnya bukan hadiahnya yang aku tunggu.
Melainkan wajah pria yang baik hati ini.
“Baiklah. Nak!!! mama do’a kan yang terbaik!” ujar Mama.
“Iya Ma!”
Kudengar langkah mereka meninggalkan kami. Tak lama Bayu menuntunku berdiri dari
posisi dudukku tadi.
“Buka matamu!”
Dengan pelan kubuka mataku. Sudah 3 tahun aku dalam kegelapan. Dan saat membuka mata,
apa yang kuharapkan selama ini terjawab sudah.
“Rainbow!” ucapku pelan tapi pasti.
“Ini untuk kamu!!”
Aku sampai lupa dengan Bayu. Dan saat ku membalikkan badan. Sosok pria tinggi, putih
bersih dengan senyuman manis menyambutku.
“Bayu!” dia mengangguk.
“Terima kasih untuk semuanya!” aku segera memeluknya lagi.
“Ini karena cinta. Aku mencintaimu sejak hari itu. Saat tongkat itu mempertemukan kita!”
bisiknya di telingaku.
“Aku juga mencintaimu!”
Hubungan kami setelah hari ini sangat bahagia. Bahkan dia juga sudah melamarku.
Keliling Kota
Karya: Arifah Kaifah Yasak

Hari ini adalah hari Sabtu. Tepatnya Sabtu malam. Arin sedang menonton televisi
bersama Ibu dan Kakaknya, Kak Misha. Ayah datang secara tiba-tiba. Tadi sih, bilangnya dari
rumah temannya.
“Ada apa Yah?” tanya Kak Misha. “Kita akan pergi jalan-jalan. Ayo cepat bersiap-siap,”
jelas Ayah dengan wajah sumringah. “Tapi Ayah, ini kan sudah malam” tolak Ibu. “Ini masih
jam delapan Bu, belum terlalu malam kok, Ayo!” ajak Ayah.
Arin segera berlari menuju kamarnya. Arin memakai jaket warna ungu muda dan
kerudung yang senada dengan jaketnya. Arin juga memakai sepatu sandal warna putih yang
terbuat dari karet. Begitu siap, Arin segera berlari menuju ke bawah. “Yuk!, Arin sudah siap!”
ajaknya. Dan kemudian..
Brrrrmmm…
Pertama, Arin dan keluarganya menuju Mall. Setelah Ayah memarkirkan mobil, Mereka
segera masuk ke dalam Mall. “Brr.., dingin banget ya,” ujar Kak Misha. Memang dingin saat
berada di dalam Mall, apalagi saat malam hari.
“Bu, Bu, Aku mau beli komik ini ya Bu!” rengek Arin. “Yang mana sih?” tanya Ibu. “Komik
Minmie ini Bu, yang warna pink itu lho..” ucap Arin seraya menunjuk-nunjuk komik Minmie.
“Jangan Arin, itu mahal sekali” bujuk Ibu. “Ibu, itu komik bagus sekali Bu..” rengek Arin.
“Ibu ganti sama boneka deh, tapi yang lebih murah dari harga komik itu, bagaimana?” tawar
Ibu. “Boleh deh. Kalau begitu, Arin mau beli boneka pikachu ini ya..” Arin mulai ceria. Ibu
mengangguk. Setelah membayar belanjaan, Arin dan keluarganya menuju arena bermain atau
lebih tepatnya timezone yang berada di dalam Mall.
Satu jam kemudian..
“Sudah ya Arin, Ibu sudah capek nih” Ucap Ibu. “Iya bu. Arin juga capek,” tambah Arin. “Ya
sudah. Ayo kita pulang,” ajak Ayah.
Sebelum pulang, Arin dan keluarganya sempat membeli makanan dulu dan jalan-jalan
sebentar.
Mereka membeli bebek bakar di warung tenda yang ada di pinggir jalan. “Mas, pesan bebek
bakar utuh satu, nasinya empat, terus sama jus jeruknya juga empat” pesan Ibu.
Beberapa saat kemudian..
“hm.., yummy!, bebek bakar sudah datang!” kata Arin. “Arin.. Arin..” gumam Ibu dan Kak
Misha.
Setelah menghabiskan makanan dan membayar, Arin dan keluarganya melanjutkan keliling
kota. Mereka melihat-lihat pemandangan kota pada saat malam hari.
Pukul 22.30 mereka baru pulang ke rumah. Sampai di rumah, Arin langsung kelenger alias
ngantuk. Dasar Arin!
Nasi Goreng
Karya: Duryatin Amal
Rima dan Ramli tinggal bertiga dengan ibu mereka. Rima kini baru masuk SMA. Dan
Ramli naik ke kelas VII SMP. Ibu mereka bekerja sebagai pencuci pakaian di beberapa rumah
besar. Walaupun demikian, Rima dan Ramli tetap bercita-cita tinggi. Mereka selalu rajin
belajar dan tidak putus asa.
Tahun ini, Rima sangat bangga, karena ia diterima di salah satu SMA favorit. Rima harus
menjalani MOS (Masa Orientasi Siswa) selama tiga hari pertama. Pada masa itu, ia bisa
berkenalan dengan siswa lainnya. Juga dengan kakak kelas dan dengan program sekolahnya.
Pada hari kedua MOS, Kak Mimi, salah satu kakak OSIS memberi pengumuman, “Adik-
adik kelas sepuluh, besok ada acara tukaran makanan. Jadi kalian semua harus bawa makanan
sendiri-sendiri. Nantinya akan saling ditukarkan!”
“Kak, makanannya misalnya apa, Kak?” tanya salah seorang anak.
“Oh, ya! Harus nasi lengkap dengan lauk dan sayuran. Harganya minimal Rp2.000,00.”
Setelah Kak Mimi pergi, Rima jadi bingung sendiri. Dia akan membawa nasi dan lauk
apa? Di rumahnya tak ada lauk yang enak dan istimewa. Paling hanya tempe dan tahu. Di
rumah biasanya Rima menambahkan kecap di nasi putihnya. Itu sudah terasa nikmat sekali
baginya. Tapi kalau Rima membawa menu seperti itu ke sekolah, ia takut diejek kawan-
kawannya.
Setiba di rumah, Rima menceritakan tugasnya itu kepada ibu.
“Rim, sekarang ibu mau kerja dulu. Kamu saja yang memikirkan menu apa yang akan kamu
bawa. Kalau bisa yang murah-murah saja. Agar ibu sanggup membelinya,” kata ibu.
Namun, sampai ibunya pulang kerja, Rima belum juga menemukan jalan keluarnya.
Untungnya pada saat sedang belajar malam, ia menemukan ide. Rima bergegas menemui
ibunya.
“Bu, bagaimana kalau besok Rima bawa nasi goreng saja? Murah dan mudah kan, Bu?” ujar
Rima.
“Benar juga. Kalau begitu, besok pagi-pagi akan ibu buatkan nasi goreng,” kata ibu sambil
menguap.
Rima iba melihat ibunya. Ibu Rima sebenarnya belum terlalu tua. Namun karena ia
bekerja sangat keras, wajahnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya.
Paginya, Rima membantu ibunya memasak nasi goreng. Nasi goreng itu lalu dibungkus
dengan daun pisang yang diambil dari kebunnya.
“Terima kasih, ya, Bu. Rima berangkat dulu, ya!” pamit Rima pada ibunya.
Dengan gembira ia mengayuh sepeda tuanya menuju ke sekolah. Beberapa saat kemudian,
Rima sudah berada di dalam kelas. Setelah beberapa saat berlalu, akhirnya tibalah acara yang
dinanti-nanti Rima. Acara pertukaran makanan.
“Adik-adik kelas sepuluh, sudah bawa makanan semua, kan?” tanya kakak OSIS.
“Sudah kak!” jawab murid-murid kelas sepuluh serentak.
Makanan yang dibawa murid-murid lalu dikumpulkan di meja guru. Rima mulai tegang.
Bagaimana jika makanannya jatuh pada temannya yang kaya? Apa dia mau memakan nasi
gorengnya yang sederhana? Rima takut kalau-kalau teman-temannya mencemooh masakan
itu.
Akhirnya saat pembagian makanan pun tiba. Rima mendapat makanan dari Rio.
Sedangkan nasi goreng bungkusannya diterima Miranda. Rima tidak langsung membuka
kotak bekal dari Rio. Ia melirik ke arah Miranda yang membuka bungkusan nasi gorengnya
itu.
“Wow, nasi goreng! Aku suka sekali nasi goreng! Wah kelihatannya enak!” sorak
Miranda. Rima melihat Miranda memakan sesendok nasi gorengnya.
“Wow, enak sekali! Punya siapa ini?” tanya Miranda.
“Itu punyaku,” jawab Rima.
“Oh, kamu Rima, ya?”
“Iya,” jawab Rima singkat.
“Rim, siapa yang memasak nasi goreng ini?” tanya Miranda.
“Ibuku,” sahut Rima sedikit lega.
“Kebetulan, lusa ulang tahunku. Aku sedang cari makanan katering. Apa ibumu mau
menerima pesanan nasi goreng seperti ini?” tanya Miranda.
“Bisa! Tentu saja bisa! Nanti akan aku bicarakan dengan ibuku,” sahut Rima senang. Rosa
dan Maya mendekati Miranda dan Rima.
“Oh, ini ya, nasi gorengnya! Boleh kucoba?” kata Rosa sambil menyendok sedikit nasi
goreng. “Wah, enak sekali! Ibuku kan bekerja di kantor. Kebetulan ibu sedang bingung
mencari katering untuk makan siang di kantornya! Ibuku pasti senang kalau bisa memesan
nasi goreng seperti ini,” kata Rosa.
“Oh, tentu saja bisa!” jawab Rima.
Kabar ini cepat menyebar. Sampai pada saat istirahat kedua, saat Rima sedang jalan di kantin,
ibu penjual di kantin bertanya.
“Kamu Rima, ya?” tanyanya.
“Iya, Ada apa, Bu?” tanya Rima heran.
“Begini, ibu mau pesan nasi goreng buatan yang katanya enak itu. Mau ibu jual di kantin ini.
Kalau bisa, lusa ibu pesan lima puluh bungkus dulu. Kalau laris, nanti ibu akan pesan lebih
banyak lagi!”
“Oh, ya? Baiklah, nanti saya tanyakan ke ibu!” jawab Rima senang.
“Oh, ya nanti modalnya ini ada sedikit uang,” ibu kantin menyodorkan sejumlah uang.
Sampai di rumah, Rima berlari-lari mendekati ibunya yang sedang memasak. Ia bercerita
tentang pesanan nasi goreng yang diterimanya tadi.
“Oh, ibu senang sekali!” Ibu memeluk Rima. Mereka sangat bersyukur untuk berkat Tuhan
hari itu.
Sate Nangka
Karya: Yusniar

Nano dan Adi bermain ke rumah Nek Haris. Mereka memang suka ke sana sambil
menemani Nek Haris yang hanya tinggal sendirian. Ketika sampai di situ, Nano melihat ada
buah nangka yang sudah masak.
“Nangkanya tidak dijual saja, Nek?” tanya Nano pada Nek Haris.
“Nenek menunggu Bah A Hong. Dia biasanya datang ke sini dan membayar seribu rupiah
setiap buahnya!” jawab Nenek.
“Buah sebesar itu cuma seharga seribu rupiah, Nek” Adi membelalakkan mata.
“Harga di pasar mungkin bis lebih, Di! Tetapi nenek sudah tidak kuat menurunkan buah itu
dan membawanya ke pasar. Masih ada orang yang mau datang membeli di sini saja sudah
untung!” kata Nenek lagi. Nadanya pasrah dan menerima apa adanya saja.
“Hm … kalau boleh, kami akan menjualnya, Nek! Pokoknya, paling sedikit Nenek dapat tiga
ribu rupiah. Boleh Nek?” tanya Adi.
Nek Haris tampak menimbang-nimbang. “Boleh saja. Asal nanti kalian tidak dimarahi
orang tua kalian. Nenek juga khawatir kalau mereka marah pada nenek. Karena menyangka
nenek menyuruh anak orang berjualan!” sahut Nek Haris sambil menatap kedua bersahabat
itu.
“Beres, Nek! Ini kan, pekerjaan halal. Tak mungkin orang tua kami marah!” kata Adi penuh
bersemangat.
Adi dan Nano lalu membawa buah nangka tersebut dengan karung goni ke rumah Nano.
“Kamu macam-macam saja, Di! Dimana kita akan menjual nangka ini dengan harga tiga ribu
atau lebih?” Nano berkata.
“Tenang, No! aku ada akal. Kita buat sate nangka. Musim kemarau belum habis. Pasti akan
habis tandas bila kita jual di pasar atau terminal!”
Adi dan Nano lalu membelah buah nangka itu. Isinya disayat, lalu bijinya dikeluarkan.
Nano menyiapkan batang-batang lidi. Buah nangka yang bijinya sudah dikeluarkan,
ditusuknya dengan lidi. Satu batang berisi empat atau lima buah nangka.
Satu jam kemudian, Nano dan Adi sudah menjinjing baskom berisi 40 tusuk sate nangka
ditutup plastik bening. Mereka berjalan menuju terminal bis dan angkot yang
menghubungkan kamung mereka dengan kota.
Sekejap saja, sopir-sopir dan kernet mengerumuni dagangan Adi dan Nano itu. Setusuk
dijual dua ratus rupiah. Nangka Nek Haris ini memang manis dan lezat. Di terminal itu saja,
dalam waktu singkat, sudah habis tiga puluh tusuk.
“Enam ribu rupiah sudah di tangan. Kita bawa pulang saja nangka ini!” ajak Adi.
Mata Nek Haris berkaca-kaca menyambut kedua anak itu.
“Nek, ini hasilnya!” Nano menyerahkan hasil dagangan mereka kepada Nek Haris.
“Wah, wah, banyak betul, Adi, Nano!” ucap Nek Haris lirih. “Nenek akan mengambil empat
ribu rupiah saja. Sisanya buat kalian berdua. Nangka yang sisa ini untuk adik-adik kalian!”
lanjut Nek Haris lagi.
Adi dan Nano saling menatap.
“Engg … kami tidak terlalu memerlukan uang, Nek. Nenek pasti lebih perlu. Kami membawa
nangka yang tersisa ini saja!” Nano berkata tergagap. Nek Haris menggeleng.
“Tidak. Empat ribu rupiah sudah lebih dari cukup. Ingat, biasanya nenek cuma dapat seribu
rupiah. Kalian memang hebat. Banyak akalnya. Nah, sepantasnya kalian mendapat juga hasil
dari penggunaan akal kalian ini!” Nenek terus memaksa mereka.
“Baiklah, Nek! Terima kasih banyak kalau begitu!” ujar Adi akhirnya. Ia tak mau
mengecewakan nenek yang berniat baik ini.
“Nanti kalau ada yang matang lagi, boleh kalian jual!” pesan Nek Haris ketika Adi dan Nano
hendak pulang.
Dalam perjalanan pulang Nano berkata, ”Tabungan kita tambah lagi, Di! Ditambah lagi
dengan sate nangka yang manis-manis dan lezat ini!”
“Berbuat kebajikan, memang selalu ada buahnya, No!” tukas Adi.

Sahabat Terbaik

“Persahabatan bukan hanya hanyalah kata,


yang ditulis pada sehelai kertas tak bermakna,
tapi persahabatan merupakan sebuah ikatan suci,
yang ditoreh diatas dua hati,
ditulis bersama dengan tinta kasih sayang,
dan suatu sementara akan dihapus bersama dengan tetesan darah dan barangkali nyawa”..
***
“Key… sini dech cepetan, saya ada sesuatu buat kamu", panggil Nayra suatu sore.
“Iya, sebentar, sabar dikit kenapa sich?, kamu kan tau saya gak sanggup melihat", jawab
seorang gadis yang dipanggil Key dari balik pintu.
Keynaya Wulandari, begitulah nama gadis tadi, walaupun lahir bersama dengan keterbatasan
fisik, dia tidak pernah mengeluh, semangatnya menekuni bahtera motto hidup tak pernah
padam. Lahir bersama dengan kondisi buta, tidak membuatnya berkecil hati, secara fisik
matanya tidak sanggup melihat warna-warni dunia, tapi mata hatinya sanggup melihat jauh ke
dalam kehidupan seseorang. Mempunyai hoby melukis sejak kecil, bersama dengan
keterbatasannya, Key selalu mengasah bakatnya. Tak pernah sedikitpun dia menyerah.
Duduk di bangku kelas XII di sebuah Sekolah Luar Biasa di kotanya, Keynaya tidak
pernah absen capai peringkat dikelas, apalagi guru-gurunya termotivasi bersama dengan
pembawaan pantang menyerah Key.
Sejak baru berusia 3 tahun, Keynaya sudah bersahabat bersama dengan anak tetangganya
yang bernama Nayra Amrita, Nayra anak seorang direktur bank swasta di kota mereka. Nayra
cantik, pinter dan secara fisik Nayra nampak sempurna.
***
Seperti sore ini, Nayra sudah nangkring di tempat tinggal Key. Dia berbincang-bincang
bersama dengan Key, sambil menemani sahabatnya itu melukis.
“Key, lukisan kamu bagus banget, nanti kamu ngadain pameran tunggal ya, biar seluruh
orang tau bakat kamu", kata Nayra terhubung pembicaraan.
“Hah", Key mendesah pelan selanjutnya terasa bicara, “Seandainya saya sanggup Nay, pasti
sudah saya lakukan, tapi apa daya, saya ini gak sempurna, jika saya mendapat donor kornea,
dan saya sanggup melihat, barangkali saya puas dan akan mengadakan pameran lukisan-
lukisanku ini" ucap Keynaya bersama dengan kepedihan.
“Suatu hari nanti Tuhan akan memberi tambahan anugrahnya kepadamu, sahabat, pasti akan
ada yang mendonorkan korneanya untuk seorang anak sebaik kamu," timpal Nayra akhirnya.
Berbeda secara fisik, tidak pernah jadi kendala di dalam hubungan persahabatan antara Nayra
dan Keynaya, kemana pun Nayra pergi, dia selalu mengajak Key, jikalau sekolah tentunya,
sebab sekolah mereka berdua kan berbeda.
Sedang asik-asiknya dua kawan akrab ini bersenda gurau, tiba-tiba saja Nayra mengeluh,
“aduuh, kepala ku"
“Kamu kenapa Nay, sakit??" bertanya Keynaya.
“Oh, ngga saya gak apa-apa Key, Cuma sedikit pusing saja", ucap Nayra sambil tersenyum.
“Minum obat ya Nay, saya gak senang kamu kenapa-napa, nada berkata Key terdengar begitu
khawatir.
“aku ijin pulang pernah ya Key, senang minum obat" ujar Nayra sambil berpamitan pulang.
Di kamarnya yang terkesan terlalu elegan, nuansa coklat mendominasi di tiap-tiap sudut
ruangan, Nayra terduduk lemas di atas ranjangnya,
“Ya Tuhan, berapa lama kembali usiaku di dunia ini?? Berapa lama kembali malaikatmu akan
menjemputku untuk menghadapmu?" erang hati Nayra.
Di vonis menderita leukimia sejak 7 bulan selanjutnya dan tidak akan berumur lama kembali .
PERTANYAAN MISTERIUS AYAH

Hari ini ayah tidak pergi kerja, saya pun sedang libur sekolah. Kulihat ayah sedang sibuk
membenarkan sepeda motornya. Lantas kudekati ayah, “butuh bantuan, Yah?", tanyaku polos.
Saat itu saya masih kecil dan duduk di bangku SD. “eh, tersedia dede’ kecil. Boleh-
boleh", jawab ayah. Kami banyak berbincang selama membenarkan sepeda motor ayah.
Ayah banyak bercerita perihal sepeda motor padaku, saya menikmatinya. “kalo dede’
udah besar nanti sudi jadi apa?’, tanya ayah padaku. “dede’ mengidamkan jadi pembalap yah,
layaknya Valentino Rossi", jawabku secara spontan. “oh ya?, wah hebat.
Tapi pembalap mesti mengerti anggota yang terpenting berasal dari motor, dede’ tahu?",
tanya ayah padaku. Aku pun berfikir, apa ya yang paling penting?.
Keesokan harinya kala sarapan, saya menjawab pertanyan ayah kemarin. Bagian terpenting
berasal dari sepeda motor adalah roda, karena tanpa roda motor tidak mampu berjalan.
Mendengar jawabanku ayah berkata: “wah pintarnya, namun sayangnya bukan itu
sayang", jawab ayah. Aku pun tidak menyerah, tiap-tiap hari saya senantiasa mencoba
menjawabnya.
Mungkin jawabannya adalah kunci, karena tanpa kunci motor tidak bakal mampu
menyala dan diamankan. Tapi ayah senantiasa berkata: “smakin hari dede’ smakin pintar ya,
namun jawabannya masih belum tepat".
Aku belum menyerah. Sampai saya duduk SMP pun, Sesekali ayah bertanya pertanyaan
jaman kecilku itu, dan tiap-tiap ku jawab pasti ayah berkata: “kamu benar-benar cerdas,
namun bukan itu jawaban yang tepat, konsisten mencoba ya". Karena konsisten layaknya itu,
lama-kelamaan saya jadi bosan. Karena jawabanku senantiasa belum tepat.
Sejak kecil sampai sekarang, ayah tak pernah sudi memberikanku jawaban yang
sebenarnya. “jangan anda suntuk mencoba menjawabnya, karena ini pertanyaan yang benar-
benar mudah, teruslah berusaha", kata ayah tiap-tiap kali saya mengeluh.
Sesudah lulus SMP, saya melanjutkan ke SMK dan saya menyita jurusan otomotif.
Kutanyakan pada guruku, anggota terpenting berasal dari sepeda motor itu apa. Jawaban
guruku adalah Accu, karena motor takkan mampu menyala tanpa Accu. Aku percaya jawaban
kali ini pasti benar.
Sepulang sekolah sambil menunggu ayah menjemputku. Ku tanyakan pada teman-
temanku, apa yang paling penting berasal dari sepeda motor. Bermacam-macam jawaban
kudapatkan berasal dari mereka, jadi berasal dari mesin, busi, rem, lampu, sampai bensin dan
oli.
Saat diperjalanan saya menjawab pertanyaan ayah, satu persatu jawaban yang ku dapat,
kuceritakan pada ayah, dan hasilnya senantiasa saja “coba lagi".
Aku jadi berpikir ayah pasti mempermainkan aku. Selama perjalanan saya tak berkata
sepatah katapun padanya. Sampai disebuah lampu merah, kami melihat seorang nenek tua
bersama dengan cucunya sedang mengemis ditepi jalan.
Ayah merogoh kantongnya, mengimbuhkan sejumlah duwit dan berkata: “tolong berikan ini
pada mereka, senyampang kami masih diberi rezeki, kami mesti saling menopang dan
berbagi". Kuberikan duwit itu pada nenek yang sedang memelas dan mengemis itu. Hatiku
tersentuh melihatnya.
Malam harinya diruang tamu, ayah menyuruhku duduk disampingnya. Beliau
menasehatiku sehingga saya jadi anak yang baik dan ramah sepertinya.
Akupun mendengarkan bersama dengan cermat. “jadi kau benar-benar mengidamkan
mengerti jawaban berasal dari pertanyaan ayah?", kata Ayah secara tiba-tiba. Aku yang sedikit
bingung mengangguk, karena saya udah menyerah dan suntuk dihatui pertanyaan misterius
ayah.
“kau tahu, di antara seluruh jawaban yang kau berikan pada ayah, sebenarnya tidak
tersedia satupun yang salah. namun ayah mengidamkan kau studi suatu hal berasal dari
pertanyaan ini. Kau tahu, anggota yang paling penting berasal dari sepeda motor adalah
‘Sadel’ “, jawab ayah. Aku sedikit terkejut. “apa alasannya yah?", tanyaku penasaran.
Ayah tersenyum kearahku dan berkata: “kau mengerti kenapa?, karena bersama dengan
sadel, kami mampu membonceng dan kami mampu sharing kebahagiaan bersama dengan
siapa saja diatas sepeda motor kita. Seperti itu pula harusnya kami hidup, senantiasa sharing
dan berikan selama kami masih diberi kala dan rezeki untuk hidup diatas bumi ini “.

Takdirlah Sutradaranya

Andai kau menyatukan sepasang kasih, ga ada luka menyayat lara, ga ada puitis punya
kandungan dusta ga ada air mata terbuang percuma, ga ada hidup berakhir sia. Tidakkah kau
dengar rengkuhan doa memanggil cinta?
Takdir, kutulis kisahku menyentuh ibamu, menghendaki kau satukanku bersama dengan
kasihku.
Disepertiga malam, jaman seakan berhenti. Seakan semua terkesima mendengar
munajatku yang memohon bakal cinta.
Kasihku berawal berasal dari perjumpaanku bersama dengan Rahman, saat ia jadi guru
ngajiku.
Rahman istimewa. Ia tuli berasal dari konsonan kata tak bermakna, ia bisu berasal dari
ucapan kotor berasal dari bibirnya, ia lumpuh berasal dari jalur mungkar. Ia hafidz. Ia nyaris
sempurna. Namun, penglihatan diambilNya, supaya ia tak terlena oleh kegelimangan dunia
fana.
Aku mencintainya.
Suatu hari, Rahman meminagku. Aku bahagia, sampai aku lelah sendiri supaya semesta
tau tentang bahagiaku.
Namun kenyataan menumbuhkan ego, saat orangtuaku menampik Rahman, bahkan
mencacinya.
“Dasar orang buta! Mau kau kasih makan apa anakku. Hidupmu saja di panti asuhan.
Mau kau ajak ngemis nantinya he…"
Cinta. Aku kalap. Orang tuaku murka sampai menumbuhkan penyakit ginjal didalam diriku.
“Jika kita berjodoh, Insyaallah kita bakal bertemu sebagai pasangan yang hahal La."
Ingin hati memeluknya. Menangis, bercerita bakal hidupku yang rapuh digerogoti asa yang
terlanjur bahagia.
“Aku mencintaimu Mas."
“Aku pun tetap mencintaimu La. Tapi, simpanlah cinta itu untuk pasangan kita kelak."
“Mas…" aku menunduk. Pandanganku kabur. Gelap.
Nyeri menusuk igaku. Tarikan nafas seakan mencekikku. Setelah operasi ginjal tiga hari lalu,
aku siuman.
Sebuah mukena dan tape recorder ada di sebelah daerah tidurku.
“Laila terkasih…
Telah kuterima ketulusanmu bersama dengan cintaku. Jaga ginjalku Lalila. Perkenalan
denganmu adalah bahagiaku, aku pergi bersama dengan tenang, kutunggu kau di surga,
bersama dengan kebahagiaan cinta kita. Insyaallah."
Aku terseok mengejar saat membawa Rahman pergi. Menghampiri hujan duwit serasa
menjahit kulitku.
Kejam!! Takdir… Kemana kau bawa Rahman? Aku mendambakan kebersamaan, bukan
ginjal…
Sebuah truk melaju kencang. Aku mematung di sedang jalan. Biar kuakhiri semua disini.
Aku siap. Rodanya melaju semakin dekat. Aku memejamkan mata dan… trus itu menembus
tubuhku.
Tubuhku terlihat samar. Terasa mudah terangkat ke udara. “Kau tak harus melakukan itu
Ukhti." nada Rahman lembut, selanjutnya menggandeng tanganku menuju titik terang.
Siti menangis tersedu di atas makam putrinya, Laila. Operasi yang dijalani anaknya
gagal. Penyesalannya adalah anaknya meninggal didalam suasana kecewa bakal cinta yang
ditentangnya. Ia hanya sanggup meratap penuh penyesalan.
“Maafkan ibu nak. Semoga kau suka di surga bersama dengan Rahman…" doanya.
Kisah Seorang Penjual Koran

Di ufuk timur, matahari belum tampak. Udara pada pagi hari terasa dingin. Alam pun
masih diselimuti embun pagi. Seorang anak mengayuh sepedanya di tengah jalan yang masih
lengang. Siapakah gerangan anak itu? Ia adalah seorang penjual Koran, yang bernama Ipiin.
Menjelang pukul lima pagi, ia telah sampai di tempat agen koran dari beberapa penerbit.
“Ambil berapa Ipiin?” tanya Bang Ipul. “Biasa saja.”jawab Ipiin. Bang Ipul mengambil
sejumlah koran dan majalah yang biasa dibawa Ipiin untuk langganannya. Setelah selesai, ia
pun berangkat.
Ia mendatangi pelanggan-pelanggan setianya. Dari satu rumah ke rumah lainnya.
Begitulah pekerjaan Ipiin setiap harinya. Menyampaikan koran kepada para pelanggannya.
Semua itu dikerjakannya dengan gembira, ikhlas dan rasa penuh tanggung jawab.
Ketika Ipiin sedang mengacu sepedanya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah benda.
Benda tersebut adalah sebuah bungkusan plastik berwarna hitam. Ipiin jadi gemetaran. Benda
apakah itu? Ia ragu-ragu dan merasa ketakutan karena akhir-akhir ini sering terjadi peledakan
bom dimana-mana. Ipiin khawatir benda itu adalah bungkusan bom. Namun pada akhirnya, ia
mencoba membuka bungkusan tersebut. Tampak di dalam bungkusan itu terdapat sebuah
kardus.
“Wah, apa isinya ini?’’tanyanya dalam hati. Ipiin segera membuka bungkusan dengan
hati-hati. Alangkah terkejutnya ia, karena di dalamnya terdapat kalung emas dan perhiasan
lainnya. “Wah apa ini?”tanyanya dalam hati. “Milik siapa, ya?” Ipiin membolak-balik cincin
dan kalung yang ada di dalam kardus. Ia makin terperanjat lagi karena ada kartu kredit di
dalamnya. “Lho,…ini kan milik Pak Edison. Kasihan sekali Pak Edison , rupanya ia telah
kecurian.”gumamnya dalam hati.
Apa yang diperkirakan Ipiin itu memamg benar. Rumah Pak Edison telah kemasukan
maling tadi malam. Karena pencuri tersebut terburu-buru, bungkusan perhiasan yang telah
dikumpulkannya terjatuh. Ipiin dengan segera memberitahukan Pak Edison. Ia menceritakan
apa yang terjadi dan ia temukan. Betapa senangnya Pak Edison karena perhiasan milik
istrinya telah kembali. Ia sangat bersyukur, perhiasan itu jatuh ke tangan orang yang jujur.
Sebagai ucapan terima kasihnya, Pak Edison memberikan modal kepada Ipiin untuk
membuka kios di rumahnya. Kini Ipiin tidak lagi harus mengayuh sepedanya untuk
menjajakan koran. Ia cukup menunggu pembeli datang untuk berbelanja. Sedangkan untuk
mengirim koran dan majalah kepada pelanggannya, Ipiin digantikan oleh saudaranya yang
kebetulan belum mempunyai pekerjaan. Itulah akhir dari sebuah kejujuran yang akan
mendatangkan kebahagiaan di kehidupan kelak.

RINGKASAN ROBOHNYA SURAU KAMI

Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang
datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga
kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut
sebagai Garin.Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang
paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah
pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan,
kue-kue atau rokok.Kehidupan orang ini hanya mengasah pisau, menerima imbalan,
membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya
sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang
lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu.
Lalu, keduanya terlibat perbincangan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau yang
kerap disapa Kakek itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan
Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.Ajo Sidi bercerita sebuah kisah tentang
Haji saleh. Haji saleh adalah orang yang rajin beribadah menyembah Tuhan. Ia begitu yakin
ia akan masuk ke surga. Namun Tuhan Maha Tau dan Maha Adil, Haji Saleh yang begitu rajin
beribadah di masukan ke dalamma neraka. Kesalahan terbesarnya adalah ia terlalu
mementingkan dirinya sendiri. Ia takut masuk neraka, karena itu ia bersembahyang. Tapi ia
melupakan kehidupan kaumnya, melupakan kehidupan anak isterinya, sehingga mereka
kocar-kacir selamanya. Ia terlalu egoistis. Padahal di dunia ini kita berkaum, bersaudara
semuanya, tapi ia tidak memperdulikan itu sedikit pun. Crita ini yang membuat kakek
tersindir dan merasa dirinya murung.Kakek memang tak pernah mengingat anak dan istrinya
tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau
membuat rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak
berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud,
bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya
semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata
manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke
dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya.
Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk
menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.Kematiannya
sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan
menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo
Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
UNSUR INTRINSIK ROBOHNYA SURAU KAMI:
• Tema : Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
• Amanat : 1) jangan cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.
• Latar
-Latar Tempat
kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya
-Latar Waktu
Beberapa tahun yang lalu.
• Alur (plot)
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah
berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin.
• Penokohan
Tokoh-tokoh penting dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek,
dan Haji Soleh
(a) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
(b) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
(c) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
(d) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
• Sudut Pandang
Di dalam cerpen ini pengarang memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama
atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa
pada bagian awal cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si
kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.
• Gaya bahasa
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata. Gaya bahasanya sulit di
pahami, gaya bahasanya menarik dan pemilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata
siswa dalam hal bidang keagaman.
UNSUR EKSTRINSIK :
· Nilai sosial
Kita harus saling membantu jika orang lain dalam kesusahan seperti dalam cerpen tersebut
karena pada hakekatnya kita adalah makhluk sosial.
· Nilai Moral :
Kita sebagai sesama manusia hendaknya jangan saling mengejek atau menghina orang lain
tetapi harus saling menghormati.
· Nilai Agama :
Kita harus selau malakukan kehendak Allah dan jangan melakukan hal yang dilarang oleh-
Nya seperti bunuh diri, mencemooh dan berbohong.
· Nilai Pendidkan :
Kita tidak boleh putus asa dalam menghadapi kesulitan tetapi harus selalu berusaha dengan
sekuat tenaga dan selalu berdoa.
· Nilai Adat :
Kita harus menjalankan segala perintah Tuhan dan memegang teguh nilai- nilai dalam
masyarakat.
HAL-HAL YANG MENARIK
(1) Surau tidak difungsikan, anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain berbagai
macam kesukaan, dan perempuan sering mencopoti papan atau lantai di malam hari untuk
dijadikan kayu bakar. Bersikap masa bodoh dan tidak memelihara sebagai mana mestinya,
(2) Bualan Ajo Sidi tentang kejadian di neraka membuat si kakek akhirnya muram dan
akhirnya bunuh diri.
(3) Seorang laki-laki menikah dan hanya mengabdikan hidupnya sepanjang hari di surau
tanpa memikirkan hidup duniawi harta ataupun kekayaan, dan melalaikan tugasnya sebagai
seorang suami dan seorang ayah.
(4) Taat beribadah saja, membiarkan negara kacau balau, melarat, hasil bumi dikuasai negara
lain tanpa memikirkan kehidupan anak cucu, pemalas dan tidak mau bekerja,
(5) Melakukan perbuatan sesat dengan cara bunuh diri,
(6) Ajo Sidi tidak ikut melayat orang yang meninggal akibat bualannya, hanya berpesan agar
dibelikan kain kafan 7 lapis sedangkan dai tetap pergi bekerja.
Judul : Sate Nangka
Tema : Makanan
Latar : Latar Waktu :
Satu jam kemudian
Latar Tempat :
Rumah nek haris
“Nano dan adi bemain kerumah nenek haris”
Pasar:
“Pati akan habis tandar jika di jual ke pasar “
Terminal :
“kita jual di pasar atau di terminal saja “
Angkot:
“Bis dan angkot yang menghubungkan kampong”
Penokohan ;
Nenek Haris
Baik : “Ia tidak mau mengecewakan nenek yang berniat baik “
Penuh pertimbangan : “ nek haris sempat menimbang nimbang boleh saja asal nanti kalian
tidak di marai orang tua “
Adi
Suka menolong : “Hhhmmm ,, kalau boleh kami akan menjualnya nekk…?”
Nano
Baik Hati :”kami tidak terlalu memerlukan uang nek ,nenek pasti lebih memerlukan”
Ahmad Syaifudin Setiawan(02 )

Anda mungkin juga menyukai