Anda di halaman 1dari 6

RINDU SAHABAT

Aku tak sengaja bertemu dengannya di ujung jalan menuju komplek


perumahan. Saat ini musim kemarau, aku melihatnya sesekali mengelap
kening dengan punggung tangan. Dia tampak lelah dengan posisi badan
tak lagi tegap sambil memandangi kertas kecil di tangan. Ada satu tas
punggung yang tergeletak di bawah. Lalu, dia melihatku.
Hei, maaf, apa kira-kira kamu tahu alamat ini? Dijulurkannya kertas itu
padaku.
Dengan ragu aku mendekat, memastikan alamat yang ditanyakannya.
Hidungku menangkap aroma kayu manis yang berpadu bau matahari.
Hpku kehabisan baterai dan power bank-ku ketinggalan. Jadi, aku
tidak bisa menghubungi nomer tanteku. Nada suaranya ringan, sedikit
ada penekanan di beberapa bagian.
Setelah cukup yakin aku memundurkan langkah. Ikut denganku! Kita satu
arah.
Oh, demi apa aku harus bersyukur untuk ini! Dia kemudian mengambil
tas punggungnya dan mencangklongnya kembali.
Air mukanya cerah, seperti sinar matahari yang menyengat siang ini. Aku
membingkai matanya yang sipit serta senyum rekahnya dalam ingatan.
Aku mencoba tersenyum melihat dia begitu bersemangat.
Dia tidak berjalan di belakang atau di samping, melainkan mendahuluiku
di depan sambil melihat-lihat sekeliling. Sesekali dia melangkah mundur
melihat ke arahku, seakan memastikan jika aku sedang tidak menipunya.
Sepertinya perumahan ini tidak begitu buruk untukku. Cukup asri. Dia
mengenakan topi yang bagian belakangnya ada di depan. Kemeja kotakkotaknya dibiarkan tak terkancing sehingga saat tertiup angin akan
bergerak-gerak. Oh iya, apa SMA di sini cukup jauh? SMA-mu?
Aku mengibaskan tangan saat ada beberapa daun jatuh di pundak.
Kemudian melihat sekilas ke arah seragam yang masih melekat di tubuh
ini. Eng, tidak jauh, sekitar 1 kilometer.
Aku lalu berhenti. Dia pun ikut menghentikan langkahnya. Kita berpisah
di sini. Rumah tantemu ada di ujung situ. Tiga rumah dari sini.
Ah, terima kasih. Cowok itu melepas topi. Dia nyengir sambil
menggaruk-garuk kepalanya. Aku tidak tahu bagaimana nasibku
seandainya tidak ada kamu tadi.
Mataku mengernyit begitu mendapati beberapa lebam di lengannya. Saat
kuperhatikan dengan jeli, ternyata ujung bibir cowok itu ada bekas luka
yang disertai plester di pelipis.
Aku mengangguk dan memutuskan pergi. Meski di sepanjang perjalanan
aku penasaran siapa nama cowok tinggi kurus itu dan apakah dia akan
tinggal di sini? Saat akan masuk rumah, aku mencoba menengok ke arah
samping. Ternyata cowok itu masih berdiri di sana sambil tersenyum.
Senyum yang membuat matanya semakin menyipit, dan jujur aku merasa
malu karena ketahuan melihatnya.
***

Mama lihat, Tere hampir tidak pernah ke sini lagi .


Aku mengoleskan kuning telur pada kue nastar yang dibuat mama.
Setelah selesai loyang itu akan kembali diambil mama dan digantikan
dengan loyang yang baru.
Kalian sedang tidak ada masalah bukan?
Aku menggeleng.
Syukurlah, kalian selalu bersama-sama sejak SMP bahkan sekarang
bersekolah di SMA yang sama. Mama lega mendengar kalian satu kelas.
Aku mengangguk. Memarut keju yang kemudian diletakkan di atas kue
kastangel. Kata mama kue kering ini pesanan dari kantor papa. Aku lantas
melepaskan celemek. Sudah selesai dan itu artinya aku boleh kembali ke
kamar dan meninggalkan mama.
Kamu baik-baik saja, kan? Mama memandangku dengan khawatir.
Akhir-akhir ini mama perhatikan kamu tidak bersemangat? Apa di sekolah
pelajarannya sulit?
Tidak kok, Ma, mungkin hanya kecapekan saja.
Mama tampak tidak puas mendengar jawabanku. Ya sudah, kamu
istirahat saja di kamar. Mungkin nanti, mama akan bilang sama papa
untuk membelikanmu sepeda baru. Kasihan anak mama jalan kaki kalau
pulang. Oh iya, kalau ada masalah kamu bisa cerita sama mama.
Aku kembali mengangguk dan menuju ke arah kamar tanpa ingin
mengatakan apapun. Sesampainya, aku memutuskan duduk di ranjang
dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Kenangan itu mengikat begitu
erat, pada pigura-pigura yang menempel di dinding dan berisi foto kami.
Kami yang selalu berdua, selalu bersama dengan senyum malu-malu di
hadapan kamera.
Aku masih tidak percaya Tere berubah. Tere yang bukan dulu lagi dan dia
seakan menghindar dariku setelah mendapat banyak teman baru. Di akun
instagram, dia memosting banyak foto bersama temannya yang sedang
jalan-jalan di pusat perbelanjaan. Dia tampak lebih bahagia. Dan kini, dia
seakan melupakan persahabatan yang pernah kami jalin dulu.
Rasanya aku ingin menangis.
***
Gaduh.
Aku melongokan pandangan keluar jendela. Di kelas hanya ada aku
seorang saat jam istirahat dan aku mendengar kata murid baru, cowok,
wajah asing. Tapi memang aku enggan keluar untuk sekadar ingin tahu
siapa murid baru itu. Pandanganku masih tertuju pada buku paket IPA
yang materinya akan diajarkan sebentar lagi seusai jam istirahat.
Bel berbunyi.
Aku benar-benar menunduk begitu Tere dan keempat temannya masuk.
Penampilan Tere saat ini jauh sekali berubah. Dia tampak lebih manis
sekarang dengan rambut panjangnya yang diberi poni dan ada penghias
rambut yang setiap hari berganti. Aku mencoba mengintipnya di balik
buku dan dia pun menatapku dengan raut datar yang tidak kumengerti.
Dia menggeleng dan memandang ke arah muka karena guru yang
mengajar sudah datang.
Saat menoleh ke kanan untuk mengambil buku di tas, yang kemudian
diikuti suara beberapa teman yang berbisik, pandanganku tertarik dalam

berapa jenak menatap ke luar jendela. Ada cowok asing yang berjalan di
belakang guru dan melewati kelasku.
Aku terhenyak.
Bukankah dia cowok yang kutemui kemarin? Dan dia akan bersekolah di
sini?
***
Hei , tunggu!
Aku memutar badan begitu mendengar suara itu.
Jalanmu cepat sekali! Nada itu terdengar seperti sebuah protes. Cowok
itu lalu menghentikan motor maticnya di sampingku.
Naiklah ke boncenganku! Kalau jalan masih jauh dan siang ini cukup
panas. Dia mengangkat alis sambil menggigit bibir bawah. Wajahnya
cukup lucu jika seperti itu. Lantas, disodorkannya helm padaku.
Aku mengangguk dengan ragu. Mengiyakan tawaran cowok yang belum
kuketahui namanya ini. Dan sepertinya aku harus memberitahu mama
agar uang membeli sepeda ditabung saja dulu, mengingat ada yang
memberikan tumpangan gratis seperti saat ini.
Kamu pasti kaget kan aku satu sekolah denganmu?
Tidak, jawabku singkat.
Dia manggut-manggut yang kemudian disusul siulan. Saat ini aku
merasakan angin tengah menerpa wajahku seiring motor yang melaju
tenang.
Kenapa pindah? pertanyaan itu baru muncul setelah kami sama-sama
diam cukup lama.
Ah, itu . Dia tertawa singkat. Sepertinya dia tidak ingin menjawab
pertanyaanku dan malah mengalihkan pembicaraan dengan bertanya,
Oh iya , aku lupa, namamu siapa?
Gendis .
Siapa?
Gendis! ulangku dengan intonasi lebih keras.
Ah, gula? Pantas saja wajahmu terlihat manis.
Dasar! Tanpa sadar aku tersenyum mendengarnya. Senyum yang cukup
lebar.
***
Kita tidak akan terpisahkan. Friends Forever . ^_^
Aku membuka kembali catatan harianku. Buku catatan yang sama persis
karena kubeli bersama Tere. Di buku ini aku menemukan sebentuk ucapan
yang ditulis Tere dalam tulisan yang rapi. Dia memberikan gelang manik di
hari ulang tahunku yang ketiga belas, lalu pada ulang tahun berikutnya
dia menghadiahi kado cukup besar, boneka teddy bear berwarna merah
jambu yang kini berada di sudut ranjang.
Kami mulai mengenal satu sama lain ketika satu kelas pada ajaran baru di
kelas tujuh. Waktu itu dia memperkenalkan diri terlebih dahulu. Tere
Marissa, itu nama lengkapnya. Dia menceritakan banyak hal yang
membuatku nyaman. Membuatku merasakan arti teman yang
sesungguhnya saat itu. Kadang kami dibilang saudara kembar karena
memiliki potongan rambut serta tinggi yang sama. Ada aku pasti ada Tere.
Begitu pula sebaliknya.
Aku masih menebak-nebak kenapa Tere menjadi seperti sekarang. Apakah

karena nilaiku selalu lebih tinggi darinya? Atau mungkin karena salah
seorang yang disukainya pernah mendekatiku? Aku menggeleng cepat.
Aku yakin ada hal lain yang membuatnya memilih meninggalkanku.
Terdengar suara pintu diketuk.
Ada yang mengirimkan ini untukmu, kata mama seraya membuka pintu.
Dari siapa, Ma?
Mama mengangkat bahu. Saat mama pulang tadi, mama menemukan
bungkusan ini di depan pintu.
Mama lalu menyerahkan bungkusan itu padaku. Mama lihat wajahmu
lebih baik dari hari kemarin. Ada penekanan pada kata lebih yang diikuti
belaian di rambutku dan sebuah senyum jahil di bibir mama. Pasti ada
teman baru? Anak gang sebelah? Cowok .
Aku membulatkan mata. Dari mana mama bisa tahu? Mama .
Mama tertawa pendek, lalu mencubit pipiku. Pokoknya mama senang
kalau lihat kamu senang.
Setelah mencium keningku dan mengucapkan selamat malam, mama
pergi dan menutup pintu kembali. Karena rasa penasaran, aku pun
membuka bungkusan kecil yang diikat dengan tali emas itu. Isinya dua
batang cokelat. Tanpa nama pengirim, hanya bertuliskan: untuk Gendis.
***
Dia temanmu?
Baru kali ini aku keluar dari kelas. Ini karena Albizia yang mengajakku.
Katanya dia tadi tidak sempat sarapan dan kantin adalah pilihan yang
tepat menghabiskan satu mangkok soto serta jus jeruk.
Dia cantik .
Aku mengakuinya. Kami dulu berteman.
Albizia langsung menatapku penuh tanda tanya. Sekarang?
Tidak lagi. Aku menarik napas dalam-dalam. Dia sudah punya teman
baru.
Bisa seperti itu ya? katanya seakan tidak percaya. Dia lantas
menegakkan posisi duduknya. Aku pindah ke sini karena sebuah alasan
.
Aku sebenarnya bukan tipikal orang yang tertarik mengetahui kehidupan
orang lain. Namun sepertinya cerita cowok pemilik alis tebal dengan
rambut berantakan ini ingin aku dengar lebih lanjut. Apalagi kemarin, dia
sempat mengalihkan pembicaraan mengenai hal ini.
Alasan?
Di sekolah lama aku termasuk dalam kategori siswa terpinggirkan. Suka
bolos, tidur di kelas, kadang ikut tawuran. Ujung-ujungnya kena hukum,
terus mengulanginya kembali. Tapi bukan berarti kan aku harus tersisih di
antara murid yang lain? Yang lebih pandai misalnya, dan tidak dipandang
sebelah mata karena selalu dapat nilai telor dadar tiap ulangan.
Dia meringis, lalu berkata kembali. Mama dan papa juga kayaknya sudah
frustasi denganku. Padahal aku ingin mereka lebih perhatian sedikit
padaku. Ya, kata temanku dulu kalau kita agak bandel orang tua kita bakal
sedikit lebih perhatian. Dan tidak melulu pulang pergi kerja tanpa
menanyakan kabar anaknya. Al, bagaimana sekolahmu hari ini? Apakah
menyenangkan?
Aku melihat Tere dan temannya sudah meninggalkan kantin. Mataku

kembali fokus menatap Albizia.


Dia menyeruput jus jeruknya hingga habis. Aku pindah karena aku ingin
berubah. Setidaknya tante dan om di sini lebih perhatian padaku. Juga
mungkin aku akan jadi lebih manis seperti waktu SD dulu, sebelum
mengenal pergaulan yang tidak baik itu. Dan terbukti juga, mama dan
papa mulai meneleponku semalam, menanyakan apa aku betah tinggal di
sini.
Aku melihatnya tertawa, meski ada kilatan air di mata yang seolah dia
sembunyikan. Aku mencerna satu persatu kalimat itu. Kemudian aku
teringat pada bunga mawar putih dan dua buah amplop berisi ucapan
selamat pagi serta semoga hari ini indah, yang kutemukan di laci pagi
tadi. Tulisannya diketik, sama seperti bungkusan cokelat kemarin. Juga,
tanpa nama pengirim.
Aku ikut senang mendengarnya. Kalau boleh tahu apa kamu yang
meletakkan mawar putih juga amplop di laci mejaku?
Amplop? Mawar putih? Dia tertawa yang diikuti gelengan kepala. Aku
tidak mengirimkannya. Eh, eh, tapi yang kutahu mawar putih berarti
tanda persahabatan. Atau mungkin temanmu tadi yang .
Maksudmu , Tere?
Albizia mengangguk.
***
Tere!
Sungguh, aku begitu gugup saat ini. Tere yang akan masuk mobil segera
berbalik. Dia berjalan dan menatapku dengan bingung. Untunglah sekolah
sudah sepi.
Ada apa?
Aku mengangkat bunga mawar putih, ada tali yang mengikat dua amplop
berwarna merah dan biru.
Maafkan aku . Aku memegang ujung rok kuat-kuat. Semalam aku
mencoba membuka buku harianku kembali sewaktu SMP. Ternyata selama
ini aku egois tentang persahabatan kita. Aku bahkan sering lupa hari
ulang tahunmu. Aku minta maaf.
Tere menggeleng. Aku yang minta maaf. Aku juga membuka kembali
buku harianku dua hari lalu. Aku sadar, aku ingin melakukan perubahan
besar di SMA dan berharap kamu juga begitu. Aku hanya kesal ketika
kamu tidak mau bergaul dengan yang lain dan malah membuat status di
facebook: sahabatku meninggalkanku.
Tere menghapus air matanya dan dengan canggung aku mencoba
memeluknya.
Kemarin aku melihatmu mengintipku dari balik buku. Saat itu aku
menyadari, aku rindu persahabatan kita. Aku sengaja memosting fotoku
bersama yang lain agar kamu sadar, sebenarnya aku ingin kamu juga ikut
ada di dalamnya. Aku selalu bertanya-tanya, kenapa kamu tidak mencoba
bergabung dan malah memilih sendiri di kelas? Kadang aku ingin marah
pada diriku sendiri. Kenapa aku bisa sejahat ini membiarkan sahabat
sejatiku sendirian?!
Maafkan aku , aku terlalu naif selama ini.
Tere menggeleng. Dia meregangkan pelukanku. Aku senang waktu
melihatmu bersama anak baru itu. Dari sana aku sadar, kamu sudah mulai

terbuka dengan kehadiran orang lain. Aku berharap, setelah ini kita bisa
bersahabat lagi.
Ah anak itu . Aku menggigit bibir. Namanya Albizia, ngomongngomong dua batang cokelat yang kamu kirim kemarin apakah itu juga
berarti persahabatan?
Cokelat? Dahi Tere mengerut. Aku tidak memberikannya. Ah, setahuku
cokelat identik dengan cinta dan kasih sayang. Mungkin persahabatan
yang berakhir jadi cinta?
Aku masih terpaku dengan pandangan beku. Bingung. Dan kalau bukan
kamu yang memberikan cokelat itu, lalu yang mengirimkannya .
Tere tertawa dan menjawab, Albizia?
Aku menatap Tere tanpa berkedip. Entah kenapa dadaku berdebar dengan
pipi menghangat begitu mendengar nama cowok itu disebut. Albizia.

THE END

Anda mungkin juga menyukai