berapa jenak menatap ke luar jendela. Ada cowok asing yang berjalan di
belakang guru dan melewati kelasku.
Aku terhenyak.
Bukankah dia cowok yang kutemui kemarin? Dan dia akan bersekolah di
sini?
***
Hei , tunggu!
Aku memutar badan begitu mendengar suara itu.
Jalanmu cepat sekali! Nada itu terdengar seperti sebuah protes. Cowok
itu lalu menghentikan motor maticnya di sampingku.
Naiklah ke boncenganku! Kalau jalan masih jauh dan siang ini cukup
panas. Dia mengangkat alis sambil menggigit bibir bawah. Wajahnya
cukup lucu jika seperti itu. Lantas, disodorkannya helm padaku.
Aku mengangguk dengan ragu. Mengiyakan tawaran cowok yang belum
kuketahui namanya ini. Dan sepertinya aku harus memberitahu mama
agar uang membeli sepeda ditabung saja dulu, mengingat ada yang
memberikan tumpangan gratis seperti saat ini.
Kamu pasti kaget kan aku satu sekolah denganmu?
Tidak, jawabku singkat.
Dia manggut-manggut yang kemudian disusul siulan. Saat ini aku
merasakan angin tengah menerpa wajahku seiring motor yang melaju
tenang.
Kenapa pindah? pertanyaan itu baru muncul setelah kami sama-sama
diam cukup lama.
Ah, itu . Dia tertawa singkat. Sepertinya dia tidak ingin menjawab
pertanyaanku dan malah mengalihkan pembicaraan dengan bertanya,
Oh iya , aku lupa, namamu siapa?
Gendis .
Siapa?
Gendis! ulangku dengan intonasi lebih keras.
Ah, gula? Pantas saja wajahmu terlihat manis.
Dasar! Tanpa sadar aku tersenyum mendengarnya. Senyum yang cukup
lebar.
***
Kita tidak akan terpisahkan. Friends Forever . ^_^
Aku membuka kembali catatan harianku. Buku catatan yang sama persis
karena kubeli bersama Tere. Di buku ini aku menemukan sebentuk ucapan
yang ditulis Tere dalam tulisan yang rapi. Dia memberikan gelang manik di
hari ulang tahunku yang ketiga belas, lalu pada ulang tahun berikutnya
dia menghadiahi kado cukup besar, boneka teddy bear berwarna merah
jambu yang kini berada di sudut ranjang.
Kami mulai mengenal satu sama lain ketika satu kelas pada ajaran baru di
kelas tujuh. Waktu itu dia memperkenalkan diri terlebih dahulu. Tere
Marissa, itu nama lengkapnya. Dia menceritakan banyak hal yang
membuatku nyaman. Membuatku merasakan arti teman yang
sesungguhnya saat itu. Kadang kami dibilang saudara kembar karena
memiliki potongan rambut serta tinggi yang sama. Ada aku pasti ada Tere.
Begitu pula sebaliknya.
Aku masih menebak-nebak kenapa Tere menjadi seperti sekarang. Apakah
karena nilaiku selalu lebih tinggi darinya? Atau mungkin karena salah
seorang yang disukainya pernah mendekatiku? Aku menggeleng cepat.
Aku yakin ada hal lain yang membuatnya memilih meninggalkanku.
Terdengar suara pintu diketuk.
Ada yang mengirimkan ini untukmu, kata mama seraya membuka pintu.
Dari siapa, Ma?
Mama mengangkat bahu. Saat mama pulang tadi, mama menemukan
bungkusan ini di depan pintu.
Mama lalu menyerahkan bungkusan itu padaku. Mama lihat wajahmu
lebih baik dari hari kemarin. Ada penekanan pada kata lebih yang diikuti
belaian di rambutku dan sebuah senyum jahil di bibir mama. Pasti ada
teman baru? Anak gang sebelah? Cowok .
Aku membulatkan mata. Dari mana mama bisa tahu? Mama .
Mama tertawa pendek, lalu mencubit pipiku. Pokoknya mama senang
kalau lihat kamu senang.
Setelah mencium keningku dan mengucapkan selamat malam, mama
pergi dan menutup pintu kembali. Karena rasa penasaran, aku pun
membuka bungkusan kecil yang diikat dengan tali emas itu. Isinya dua
batang cokelat. Tanpa nama pengirim, hanya bertuliskan: untuk Gendis.
***
Dia temanmu?
Baru kali ini aku keluar dari kelas. Ini karena Albizia yang mengajakku.
Katanya dia tadi tidak sempat sarapan dan kantin adalah pilihan yang
tepat menghabiskan satu mangkok soto serta jus jeruk.
Dia cantik .
Aku mengakuinya. Kami dulu berteman.
Albizia langsung menatapku penuh tanda tanya. Sekarang?
Tidak lagi. Aku menarik napas dalam-dalam. Dia sudah punya teman
baru.
Bisa seperti itu ya? katanya seakan tidak percaya. Dia lantas
menegakkan posisi duduknya. Aku pindah ke sini karena sebuah alasan
.
Aku sebenarnya bukan tipikal orang yang tertarik mengetahui kehidupan
orang lain. Namun sepertinya cerita cowok pemilik alis tebal dengan
rambut berantakan ini ingin aku dengar lebih lanjut. Apalagi kemarin, dia
sempat mengalihkan pembicaraan mengenai hal ini.
Alasan?
Di sekolah lama aku termasuk dalam kategori siswa terpinggirkan. Suka
bolos, tidur di kelas, kadang ikut tawuran. Ujung-ujungnya kena hukum,
terus mengulanginya kembali. Tapi bukan berarti kan aku harus tersisih di
antara murid yang lain? Yang lebih pandai misalnya, dan tidak dipandang
sebelah mata karena selalu dapat nilai telor dadar tiap ulangan.
Dia meringis, lalu berkata kembali. Mama dan papa juga kayaknya sudah
frustasi denganku. Padahal aku ingin mereka lebih perhatian sedikit
padaku. Ya, kata temanku dulu kalau kita agak bandel orang tua kita bakal
sedikit lebih perhatian. Dan tidak melulu pulang pergi kerja tanpa
menanyakan kabar anaknya. Al, bagaimana sekolahmu hari ini? Apakah
menyenangkan?
Aku melihat Tere dan temannya sudah meninggalkan kantin. Mataku
terbuka dengan kehadiran orang lain. Aku berharap, setelah ini kita bisa
bersahabat lagi.
Ah anak itu . Aku menggigit bibir. Namanya Albizia, ngomongngomong dua batang cokelat yang kamu kirim kemarin apakah itu juga
berarti persahabatan?
Cokelat? Dahi Tere mengerut. Aku tidak memberikannya. Ah, setahuku
cokelat identik dengan cinta dan kasih sayang. Mungkin persahabatan
yang berakhir jadi cinta?
Aku masih terpaku dengan pandangan beku. Bingung. Dan kalau bukan
kamu yang memberikan cokelat itu, lalu yang mengirimkannya .
Tere tertawa dan menjawab, Albizia?
Aku menatap Tere tanpa berkedip. Entah kenapa dadaku berdebar dengan
pipi menghangat begitu mendengar nama cowok itu disebut. Albizia.
THE END