Anda di halaman 1dari 5

GELANG PERSAHABATAN

Putri memakai sepatunya dengan malas. Kalau bisa, selama seminggu ini ia bolos sekolah
saja. Namun, Bunda pasti akan marah. Ulangan tengah semester telah selesai. Minggu ini, di
sekolah sedang beriangsung pekan olahraga.

“Sudah siang, Putri. Ayo lekas, nanti terlambat,”tegur Bunda.

“Enggak belajar kok, Bunda. Lagi pekan olahraga.”

“O iya, kamu ikut olahraga apa, Putri?”tanya Bunda.

“Aku dimasukkan ke tim lari estafet oleh Pak Guru. Satu tim dengan Tikah,”suara Putri
terdengar pelan.

“Bagus, dong! Lari kalian, kan, memang cepat. Tapi, kenapa kamu seperti tidak semangat?
Ada apa?” Bunda menyelidik,

 Putri menunduk. Menggeleng

. “Putri?” Bunda tidak suka dengan gelengan kepala Putri.

“Putri tidak mau satu tim dengan Tikah,”ucap Putri.

“Putri mau satu tim dengan Sabil saja.Tapi, Pak guru bilang tidak bisa ditukar.

” “Bukankah seharusnya kamu senang. Kalian, kan, bersahabat.

” Tidak lagi, jawab Putri dalam hati.

 Merekabertengkar gara-gara Putri tidak mau memberikan contekan Matematika saat ujian
tengah semester kemarin. Sampai hari ini mereka belum bicara dan bercanda lagi. Kalau
berpapasan di koridor sekolah, Putri dan Tikah pura-pura tidak melihat. Di dalam kelas pun
mereka seperti tidak saling mengenal.

Putri tidak mau minta maaf duluan. Seperti kejadian waktu buku PR Tikah tersiram air. Doni
yang menumpahkan langsung melarikan diri. Karena memang hanya Putri yang duduk di
sana, Tikah langsung menyalahkannya. Sementara ia tidak sempat membela diri.

 Sebagai tanda permintaan maaf, Putri membuat gelang yang ia buat sendiri. Warnanya biru.
Satu untuknya dan satu untuk Tikah. Waktu memakai gelang itu, mereka berjanji untuk tidak
musuhan lagi. Putri melirik pergelangan tangannya. Gelang biru tanda persahabatan itu sudah
ia lepas dari kemarin. Putri juga melihat Tikah tidak memakainya lagi. Mereka benar-benar
tidak lagi sahabatan sekarang.

“Ayo Bunda, berangkat,” ujar Putri selesai memakai sepatu. la tidak ingin Bunda bertanya
ada apa dengannya dan Tikah.

Lina memanggil Putri untuk mendekat karena nama mereka sudah dipanggil untuk masuk ke
lapangan. Lomba lari estafet putri akan segera dimulai. Dengan malas, Putri mendekat juga.
“Yang semangat, dong!”tepuk Ratih di pundak Putri.Tadi Ratih sedang mengobrol dengan
Tikah yang langsung membuang pandangnya ke pinggir lapangan, setelah Putri mendekat.

Putri menguatkan diri. Perasaan kesal dan sebal pada Tikah masih ada di hatinya, karena
Tikah marah-marah tidak diberi contekan.

Demi pertandingan lari estafet ini, aku akan berjuang, ucap Putri dalam hati. Untungnya,
Putri menjadi pelari yang pertama membawa tongkat. Dilanjutkan oleh Tikah, pelari yang
menerima tongkat terakhir. Maka, Putri tidak perlu menatap dan bersentuhan tangan dengan
Tikah.

Ternyata, tim Putri kalah oleh tim Sabil. Tikah marah-marah dan menyalahkan Putri atas
kekalahan itu.

 “Seharusnya Putri tidak satu tim dengan kita. Larinya lambatsekali tadi. Semua gara , gara
dia,” Tikah mengomel.

 Putri ingin menangis tadi. Selalu saja, tikah menyalahkan dirinya. Untunglah teman yang
lain tidak ikutan menyalahkannya. Lari tim mereka memang kalah cepat dari teman-teman di
tim Sabil.

“Bunda baru tahu kalau kamu bertengkar sama Tikah,”Bunda meletakkan secangkir cokelat
panas di meja belajar.

 Putri berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Kepalanya masih terasa pusing. Hari ini Putri
tidak sekolah. Tadi pagi dia sudah mau berangkat ke sekolah, tetapi ketika Putri berpamitan,
Bunda merasakan tangan Putri panas sekali dan melarang Putri pergi ke sekolah

. “Bunda tahu dari mana? Ada yang ngadu ke Bunda, ya?”

 “Enggak baik bertengkar lama-lama. Selama ini, kan, kalian memang sering bertengkar, tapi
tidak lama sudah baikan lagi.”

 Putri melengos tak suka mendengar ucapan Bunda. Mereka memang selalu berbaikan.
Namun, selama ini Putri yang selalu mengalah dan meminta maaf duluan.

 “Mengalah, tidak apa-apa, kok,” bujuk Bunda seperti tahu apa yangPutri pikirkan.

“Tikah mau menang sendiri Bunda. Putri capek ngalah terus-terusan.”

Bunda tersenyum.

“Mengalah bukan berarti kalah,” Bunda membantu Putri untuk duduk dan meminum
cokelatnya.

“Itu malah menandakan, kalau kamu anak Bunda yang punya jiwa besar,” Bunda menekan
hidung Putri.

“Lagi pula, kamu adalah anak Bunda yang paling baik.” Putri menunduk.

 “Nah, sekarang, Bunda suruh Tikah masuk ke kamarmu, ya?”

“Tikah datang ke sini, Bunda?” tanya Putri tidak percaya mendengarnya.


 “Iya. Dia mau minta maaf, katanya.Tikah datang membawa puding, lo. Nanti Bunda iris dan
bawa ke kamar, ya. Biar bisa kalian makan berdua.” Bunda tersenyum.

 Saat itu, Putri melihat gelang tanda persahabatan yang pernah dibuatnya. Ah, meski tanpa
gelang persahabatan itu, mereka akan tetap menjadi sahabat.

JELI

Ruang latihan balet sudah sepi. Rani meneliti setiap sudut dengan tergesa. Jam tangannya
hilang! Padahal, itu jam tangan pemberian Oma. Harganya cukup mahal.

Mang Deden, sopir Rani membantu mencarinya. “Coba Non ingat-ingat lagi, mungkin di
ruangan lain. Tadi Non ke mana saja?”

“Rani enggak kemana-mana kok, Mang! Rani datang, ganti baju, langsung latihan. Selesai,
terus keluar. Jalan ke parkiran, terus ketemu Mamang. Rani sadar jam tangan hilang waktu di
parkiran,” jelas Rani.

“Berarti mungkin juga di ruang ganti baju kan, Non?”

 “Seingat Rani, semua barang sudah disimpan di tas:’

“Coba dicari lagi di tas, Non!” saran Mang Deden. Rani mengaduk-aduk isi tasnya.
Mengeluarkan semua isinya. Mang Deden ikut mengamati.Tapi jam tangan yang dicari tidak
juga ketemu.

“Hai, Rani! Ini jam tanganmu, ya?” seorang gadis sebaya Rani datang sambil menyodorkan
sebuah jam tangan. Benar, itu milik Rani.

“Iya, itu jamku!” Rani berseru senang.

“Terima kasih. Di mana kamu menemukan jam inir

“Tadi kamu menjatuhkannya di rak sepatu. Kebetulan jatuh di sepatuku,”kata gadis itu
ramah.

Rani tertegun. Sifat cerobohnya belum juga hilang.

“Ya sudah, aku pulang dulu, ya!” gadis itu berlari sambi1 melambaikan tangan. Rani
membalas tangannya. la menarik napas lega. Jam tangannya tidak  jadi hilang.

 “Syukurlah, Non. Sudah ketemu. Ayo kita pulang!” ajak Mang Deden.

Rani mengangguk dan mengikuti langkah Mang Deden.

“Anak yang tadi menemukan jam tangan Non Rani itu siapa namanya, Non?”tanya Mang
Deden ketika mobil sudah melaju.

 “Mmm.. Rani nggak tahu, Mang.”

 “Lo, kok bisa? Bukannya dia teman latihan balet?”


 “Iya sih, tapi Rani enggak pernah kenalan,” jawab Rani sedikit kikuk.

“Kok, dia tahu nama Non Rani?”

“Iya. Besok, deh, Rani tanya namanya.” Rani menutup pembicaraan. la mencoba mengingat
sosok anak itu.

Seingat Rani, ia anak yang berbeda. Hampir semua anak di les balet diantar jemput mobil,
sementara anak itu naik sepeda. Baju, tas, dan apa pun yang dipakainya tampak sederhana. la
tidak pernah ikut bergabung kalau Rani dan teman-temannya makan es krim bersama selesai
latihan, atau asyik bercerita tentang liburan di tempat-tempat terkenal. Ah, siapa namanya ya?
Rani tidak berhasil mengingatnya.

“Jeli.”Anak itu menyebutkan namanya.

 “Apa? Jeli?”Rani meyakinkan. Aneh sekali namanya.

“Iya. Namaku Jeli,” jawabnya sambil menunjukkan barisan giginya yang putih. Rani ikut
meringis. la baru ingat, temannya Alea pernah menyinggung soal anak balet yang punya
nama aneh.

“Senang berkenalan denganmu, Jeli. Aku ganti baju dulu, ya. Kalau enggak keberatan, kamu
tunggu, ya! Kita masuk sama-sama,”kata Rani.

Jeli tersenyum.”Oke!”

Tak lama kemudian, Rani selesai berganti baju. la memakai kaos panjang berwarna merah
muda dan bandana yang senada.

“Hmm…kamu pakai kaos dan bandana merek Lilabella, ya?”tanya Jeli.

 “Kok, kamu tahu?”

 lya. Ibuku jualan baju.

” Wah, Jeli memang jeli, ya? la bisa mengenali merek baju hanya dengan sekali melihat. Rani
tersenyum.

 “O iya, kamu sudah lihat pengumuman duet balet belum? Kamu berpasangan sama siapa?”
tanya Rani.

“Belum. Kita lihat, yuk!” Mereka berjalan menuju papan pengumuman di depan ruang
latihan.

“Maharani Wijaya – Mutiara Jelita.” Rani membaca nama pasangan duet baletnya. la merasa
belum pernah kenal temannya yang bernama Mutiara Jelita.

“Wah, Rani. Kita berpasangan!” seru Jeli.

 “Oh, jadi Mutiara Jelita itu kamu?

Kok..?” “Kok, panggilanku Jeli?”Jeli menebak pertanyaan Rani.


 “Iya. Kok enggak dipanggil Tiara atau Lita saja, gitu?”

 “Aku ceritakan nanti, deh! Latihannya sudah mau mulai, tuh!”Jeli menunjuk ke dalam ruang
latihan. Semua anak peserta les balet terlihat sudah berkumpul.

 “Baiklah. Nanti kita makan es krim sama-sama, ya! Aku yang traktir, deh! Hitung-hitung
sebagai tanda terima kasihku karena kamu menemukan jam tanganku,” kata Rani sambil
masuk ke ruang latihan. “oke”Jeli tersenyum senang.

“Dulu aku biasa dipanggil Ara,”Jeli memulai ceritanya sambil menyendok es krim rasa
cokelatnya. “Aku dulu ceroboh sekali. Sering menghilangkan barang-barang penting. Sering
meninggalkan barang di toilet, sering kelupaan membawa peralatan sekolah,” lanjutnya.

Rani memandang penuh rasa ingin tahu. la jadi ingat sifatnya sendiri.

“Kata ibuku, nama adalah doa. Jadi, ibuku memanggil aku dengan nama ‘Jeli’, diambil dari
kata ‘Jelita’. Katanya biar aku jadi anak yang jeli. Percaya atau enggak. Sejak aku dipanggil
Jeli’aku jadi lebih teliti. Setiap keluar dari toilet, aku melihat seisi ruangan, apa ada barangku
yang tertinggal. Setiap mau berangkat sekolah, aku memastikan buku dan peralatanku sudah
lengkap. Pokoknya, setiap mau bepergian, aku selalu meneliti bawaanku. Juga saat mau
pulang. Jadi, aku tidak pernah kehilangan barang lagi.”

 Rani melongo. “Jadi begitu?”

 “Iya. Aku sering membantu teman yang kehilangan barangnya, karena aku teliti mencari
barang-barang yang hilang. Aku juga membantu ibuku berjualan baju dan mencatat
keuangan. Kata ibuku, aku sangat teliti,”Jeli tersenyum Iebar.

Rani tertawa. la senang Derteman dengan Jeli. Meskipun idak perlu berganti nama, Rani bisa
mencontoh ketelitian Jeli. la harus mulai cermat dengan barang-barangnya. Lagi pula, ia juga
sudah bosan selalu kehilangan barang.

Anda mungkin juga menyukai