Anda di halaman 1dari 3

LUPA DIRI MEMBAWA MALAPETAKA

Suara anak-anak mengaji masih terdengar hingga larut malam. Keyakinan


mereka terhadap agama mereka sangat kuat. Mengaji memang sudah menjadi
rutinitas anak-anak Kampung Durian. Meskipun gelapnya malam membuat
mereka sedikit takut untuk pulang ke rumah. Alif merupakan salah satu di antara
anak-anak itu. Umurnya sudah beranjak 11 tahun. Alif sangat berbakti kepada
kedua orang tuanya dan suka berbuat baik pada teman-temannya. Senyum
imutnya masih tetap tinggal di wajahnya sehingga banyak orang yang senang pada
Alif. Dia saat ini masih duduk di bangku kelas 5. Walaupun masih anak-anak, dia
suka membaca buku tentang karya ilmiah sehingga dia terlihat lebih cerdas
daripada teman seumurannya.
Suara azan subuh terdengar di telinga membangunkan hati manusia untuk
menyembah Tuhan. Meskipun jeratan kemalasan masih membelenggu seluruh
iman dan raga Alif, namun dia berusaha bangun dari tempat tidurnya dan pergi ke
masjid. Langkah demi langkah Alif berjalan menuju masjid dengan membaca
takbir. Sesampainya di masjid, dia segera berwudu dan menunaikan salat subuh
berjamaah. Selesai beribadah, Alif membaca Al-Qur’an di tepi masjid. Nada yang
halus dengan suara terbata-bata, Alif dengan khusyuk membaca Al-Qur’an dan
memahami arti bacaan tersebut. Selang beberapa menit, Alif selesai membaca Al-
Qur’an dan pulang ke rumah.
Senyuman matahari masih belum muncul sepenuhnya. Cahaya jingga
masih berkumpul di sebelah timur. Alif mengambil sapu yang berada di pojok
dapur. Dia membantu membersihkan rumah dengan menyapu beberapa ruang saja
namun itu cukup mengukir kesenangan di hati kedua orang tuanya. Jarum jam
nenunjukkan pukul 6 pagi, Alif hendak pergi ke sekolah dengan berjalan kaki.
Jarak rumah Alif menuju sekolah memang cukup jauh, namun dia tidak pernah
mengeluh. Sebelum berangkat dia mencium tangan dan memeluk tubuh kedua
orang tuanya. Semangat pagi menyertainya pergi menuju sekolah. Dia pergi
menuju sekolah bersama teman-temannya.
Gedung 2 lantai dan sebuah lapangan mulai tampak sedikit demi sedikit.
Akhirnya Alif dan teman-temannya sampai di sekolah. Tak terasa jarum jam
menunjukkan pukul 7 pagi. Bel sekolah berbunyi di ikuti murid masuk ke dalam
kelas masing-masing. Sebelum kegiatan belajar dan mengajar, guru dan para
murid membaca doa terlebih dahulu. Di sekolah itu anak-anak di didik bahwa doa
itu sangat penting bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat. Pendidikan sejak
dini tersebut membentuk karakter para murid yang sopan dan berakhlak yang
baik. Alif adalah satu dari banyak murid yang mempunyai watak yang baik. Alif
senang belajar dan mendengarkan penjelasan guru. Jika ada teman yang kesulitan
dalam memahami materi pelajaran, Alif dengan rendah hati menawarkan bantuan
dengan mengajarinya. Itu sebabnya dia banyak disukai oleh kalangan guru
maupun teman-temannya.
Bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu. Semakin hari, Alif
semakin tekun belajar untuk meraih cita-citanya dan tidak pernah lupa beribadah
serta bersyukur kepada Tuhan Yang Mahaesa. Prestasi sudah banyak yang dia
telah raih. Ketekunan dalam melakukan sesuatu rupanya membuahkan sebuah
hasil yang baik seperti tanaman yang selalu di rawat agar tumbuh dan berkembang
dengan baik. Pikiran Alif semakin tajam dalam menatap masa depan. Seakan-akan
cita-citanya sedang berdiri di depannya. Tidak ada kata keburukan yang pantas
baginya. Sudah pintar, ahli mengaji juga. Masih anak-anak namun sudah bersikap
dewasa itu merupakan sesuatu yang luar biasa.
20 tahun sudah berlalu. Harapan dan kenyataan semakin berbanding
terbalik. Kejahatan merajalela seperti virus menular yang tidak dapat
disembuhkan. Cita-cita Alif telah tercapai dengan kesungguhannya dalam
meraihnya. Namun buah tak selalu manis, air tak selalu jernih, dan keimanan tak
selalu konsisten. Itulah yang saat ini terjadi pada Alif. Kesuksesan
menghampirinya namun kemalasan, kesombonga, dan rasa tidak hormat mulai
muncul di dalam dirinya. Sejak dia bekerja, dia sering melupakan salat, jarang
berdoa, dan tidak pernah mengaji. Rasa duniawi telah merasuki jiwanya sehingga
dia lupa bagaimana dia bisa menjadi sesukses ini.
Hukum alam tetap berlaku. Ada aksi maka ada reaksi. Setelah beberapa
tahun, Alif mendapatkan peringatan berwujud sakit kanker usus. Kesakitan
menggerogoti perutnya hingga dia melepaskan suara jeritan yang nyaring. Berobat
ke dokter maupun ahli bidang kesehatan tidak dapat menyembuhkan lukanya.
Hingga suatu saat dia sedang berada di rumah. Tiba-tiba dia tidak bisa berjalan.
Kakinya seperti terbebani oleh sebuah benda yang sangat berat. Tak lama, Alif
terjatuh ke lantai dan kepalanya membentur lantai cukup keras. Penglihatannya
tidak cukup jelas, namun dia melihat sebuah buku yang terbuka. Dilihatnya buku
itu dengan kepala terasa melayang kesana kemari. Tampak jelas buku itu adalah
Al-Qur’an. Alif pun menangis mengingat apa yang dia perbuat saat ini. Dia lalu
mencoba untuk membaca Al-Qur’an meskipun kaki dan kepala tak sehati dengan
jiwa dan raganya. Tiba-tiba tanganya bergemetar, napasnya mulai sesak, dan
bercucuran keringat dingin dari seluruh tubuhnya.

Anda mungkin juga menyukai