Anda di halaman 1dari 4

Lelaki Tua yang Takzim ke “Lah, kok ya repot-repot, to, Ndhuk.

Makasih, ya,” jawabnya, tersenyum.


Mbah Yai
Aku balas mengangguk, lalu
Cerpen Alfa Anisa (Republika, 11 beranjak pergi. Kulihat dari sudut dapur
Oktober 2020) pondok kerumun mbak-mbak santri saling
menyeka air mata dengan punggung tangan.
Ada juga yang saling berpelukan meminta
dikuatkan. Saat kuamati lebih teliti, tatapan
mereka ke arah Mbah Muh yang sibuk
mencuci piring. Tadi aku sempat mengintip
tangan Mbah Muh sedikit pucat karena
terlalu lama terendam air. Jemarinya yang
telah keriput jadi tampak layu.

Sejak acara 40 hari wafatnya Mbah


Yai, Mbah Muh telah bekerja keras
menunaikan tugasnya mencuci piring. Di
sela-sela bekerja, beliau selalu
Ilustrasi Rendra Purnama/Republika menyempatkan sejenak membaca tahlil di
makam Mbah Yai. Yang membuat kami
Ini masih cerita tentang Mbah mengelus dada takjub, setiap azan shalat
Muh, lelaki tua yang berkumandang, beliau selalu bergegas
membersihkan piring-piring kotor pulang, meninggalkan semua pekerjaannya.
sebagai salah satu cara menghapus Konon katanya, Mbah Muh tak pernah
absen menjadi muazin di mushalanya,
dosa-dosa di masa lalu. Ketika sebagai salah satu cara merawat
pesantren mengadakan acara, sembahyang di awal waktu.
Mbah Muh selalu diminta datang
untuk membantu mencuci piring- Malam ini tugas Mbah Muh telah
piring kotor. usai. Piring-piring kotor dan beragam
peralatan di dapur telah dibersihkannya,
Memakai sepatu bot, Mbah Muh berjajar rapi di paving terbuka dekat tempat
selalu sigap dalam bekerja. Membuang sisa- cuci piring. Esok hari kami tak akan lagi
sia nasi dan lauk ke dalam baskom, melihatnya mencuci piring. Beliau akan
merendam piring-piring kotor, lalu kembali beraktivitas seperti semula,
menyiapkan sabun. Bak besar berisi penuh menjaga mushala dan merawat sepetak
air sebagai tempat bilasan terakhir. sawahnya.

“Mbah Muh, monggo diminum dulu Pada malam yang terakhir Mbah
tehnya,” kataku menghidangkan segelas teh Muh bekerja, Mbak Di diberi amanat Ibu
dan kerupuk dalam stoples di atas meja Nyai untuk memberikan upah mencuci
kecil, dekat tempat cuci piring. piring dan berkat kepada Mbah Muh.

“Mbah Muh, ngapunten. Ini ada


1

Mbah Muh yang masih fokus


Page

membilas piring sontak menatapku kaget. titipan dari Ibu Nyai buat Mbah Muh.
Semoga bisa diterima,” kata Mbak Di penuh “Lah, apalagi ini. Enggak usah,
kelembutan. Beberapa jam sebelumnya dia Ndhuk. Saya melakukan ini semua untuk
telah belajar merangkai kata-kata untuk kebaikan dan ketulusan Mbah Yai menuntun
melakukan hal ini. Mbah Muh mendapatkan jalan yang lebih
baik.” Sorot mata Mbah Muh seperti
Mbak Di menyerahkan satu kantong menerawang jauh. Masa lalu. Terdengar
keresek hitam yang berisi makanan dan suaranya juga sedikit bergetar, barangkali
amplop putih kepada Mbah Muh. Aku dan teringat kebaikan Mbah Yai kepadanya.
teman-teman yang lain mengintip dari jauh,
duduk berkerumun di bawah jendela kantor, “Niki mawon, Mbah, tolong
menguping pembicaraan. Ada yang bilang diterima,” ujar Mbak Di, masih kukuh.
Mbah Muh tak mau dibayar untuk jasanya
mencuci piring. Jika ia dipaksa menerima, “Mbah Muh enggak bisa menerima,
uang itu akan dimasukkan ke kotak amal maaf ya, Ndhuk. Hehe. Maaf, mbah mau
mushala atau diberikan ke anak-anak yatim. pulang dulu,” jawabnya sambil melepas
sepatu bot dan menggantinya dengan sandal
Lusi yang duduk di sebelahku jepit, lalu beranjak pergi.
terdengar terisak pelan. Kami berdebar tak
sabar menunggu reaksi Mbah Muh. “Jika “Loh, Mbah!” Mbak Di mengejar
Mbah Muh tak mau menerima, terus setiap langkah Mbah Muh yang beranjak pergi
hari makan apa?” tanya Lusi dengan suara dengan menenteng sepatu bot. Tiba-tiba
gemetar. Aku juga menyimpan pertanyaan Mbah Muh berhenti sebentar, menatap
yang sama seperti Lusi. Mbak Di yang mengikutinya dari belakang.
Lalu, kulihat tatapan Mbah Muh tertuju ke
“Mboten usah dikasih berkat. Nanti arah makam yang terletak di belakang
enggak ada yang makan, loh,” tolak Mbah masjid. Makam Mbah Yai.
Muh halus saat tangan Mbak Di
menyerahkan kantong keresek hitam, “Ehm, gini saja, Ndhuk. Daripada
menunggu diterima. kamu bingung karena merasa telah diberi
amanah Ibu Nyai. Akadnya begini saja,
Raut wajah Mbak Di sontak anggap uangnya sudah saya terima. Tapi,
linglung. Dia sudah diberi amanah Ibu Nyai, Mbah Muh titip uang itu tolong berikan
jadi harus dilaksanakan, tapi ternyata Mbah kepada Ibu Nyai buat pembangunan makam
Muh menolak pemberian. Mbak Di takut Mbah Yai. Biar bisa buat ziarah santri-santri
amarah Ibu Nyai jatuh kepadanya, yang bisa dan masyarakat sekitar,” ucap Mbah Muh
membuat berkah seorang guru berkurang. tersenyum tulus.

Dengan raut wajah panik, Mbak Di “Eh, inggih Mbah.”


menyerahkan amplop putih yang berisi uang
kepada Mbah Muh, berharap segera diterima “Ya sudah, tak pulang dulu.
dan kewajibannya akan segera usai. “Emm, Makasih, ya, Ndhuk. Assalamualaikum,”
ngapunten, Mbah Muh. Saya sudah pamit Mbah Muh berlalu pergi.
diamanahi Ibu Nyai. Mohon diterima,
nggih,” pinta Mbak Di dengan sedikit “Waalaikumsalam,” jawab Mbak Di
2

terbata-bata. masih terpaku menatap kepergian Mbah


Page

Muh.
Kami yang sedari tadi menguping Jawa ternyata masih sama, beliau kembali
pembicaraan seperti menahan napas, lalu menjadi preman.”
menatap langkah Mbah Muh yang bergerak
menjauh. Tubuhnya sedikit bungkuk ke “Beneran jadi preman?” Lusi kaget
depan, terlihat bergegas pergi keluar dengan cerita Mbak Atul.
gerbang. Beban berat selama ini seperti
dipikul di pundaknya yang semakin terlihat “Iya, cerita Mak Ni yang tinggal
ringkih. Setelah sosok Mbah Muh hilang dekat mushala Mbah Muh begitu,” jawab
dari pandangan, kami saling bertatapan. Mbak Atul sambil menarik napas panjang.
Diam. “Saat itu Mbah Yai sering jalan-jalan ke
terminal, berbincang banyak hal dengan para
*** preman dan orang-orang di sana. Saling
menyapa dan berbasa-basi. Konon katanya
Mbak Di masuk ke kantor pondok semua preman di terminal sungkan dengan
dengan wajah bingung. Antara sedih, kaget, Mbah Yai, termasuk Mbah Muh. Dan, saat
dan bingung bercampur jadi satu. itu Mbah Muh seolah menemukan jalan
hidayah lewat Mbah Yai. Begitulah,
“Mbah Muh enggak mau menerima bertobat adalah pilihan.”
uangnya,” curhat Mbak Di, sambil duduk
bersandar di dinding. “Nazarnya apa?” tanyaku menyela,
tak sabar dengan cerita Mbak Atul.
“Lah jelas. Itu sudah nazarnya Mbah
Muh. Jadi, enggak mungkin mau “Sebentar, to. Tak lanjutin dulu.
menerima,” celetuk Mbak Atul yang tiba- Setelah tobat dan mencari pekerjaan yang
tiba datang dan ikut duduk berkerumun di lebih baik, Mbah Muh kembali ke
kantor. Kalimantan. Ternyata kesetiaan istri tak lagi
berpihak kepadanya. Telah memiliki suami
Mbak Atul adalah santri senior. lagi tanpa pernah bertanya atau meminta
Hampir sepuluh tahun dia nyantri sekaligus pendapat kepadanya karena memang
mengabdi di pesantren ini. Orang-orang puluhan tahun Mbah Muh tak memberi
yang tinggal di sekitar pondok pesantren pun kabar dan lalai dari tanggung jawab
telah dianggap seperti tetangganya sendiri. memberi nafkah lahir batin kepada
keluarganya. Akhirnya Mbah Muh kembali
Kami menatap Mbak Atul, lagi ke Jawa.”
menunggu ceritanya. Sadar dirinya
diperhatikan, Mbak Atul menghela napas “Nazarnya?” tanya Mbak Di
panjang, lalu memulai cerita. penasaran.

“Dulu Mbah Muh adalah preman, “Nazar Mbah Muh sederhana.


lalu merantau ke Kalimantan bersama Membersihkan piring-piring kotor sebagai
keluarganya. Berharap ada pekerjaan, tapi salah satu cara membersihkan dosa-dosa di
ternyata tak ada yang bisa dikerjakannya masa lalu. Kotoran yang menempel seperti
karena tak memiliki keterampilan apa pun. dosa-dosa yang melekat di hatinya, yaitu
Akhirnya beliau memilih pulang ke Jawa, piring. Mbah Muh bernazar tak mau
3

tapi keluarganya menetap di Kalimantan. Di menerima upah hasil mencuci piring. Jika
Page
dipaksa maka dia akan memberikannya Kulihat Mbah Muh tiba-tiba turun
kepada anak-anak yatim.” dari sepeda tepat di jalan depan makam, lalu
menuntunnya pelan. Sesekali menatap
“Subhanallah,” sahut kami makam Mbah Yai dari balik pagar dengan
serempak. binar mata sayu. Sedih.

“Dan kalian tahu, pagi tadi aku lihat “Benar kata Mbak Atul. Mbah Muh
di jalan raya depan makam, Mbah Muh takzim sekali kepada Mbah Yai,” kata Lusi
begitu takzim kepada Mbah Yai.” yang tiba-tiba sudah berdiri di dekatku,
sama-sama saling menatap kepergian Mbah
“Ha?” Muh.

“Coba besok pagi kalian lihat saja Sepeda kembali dinaiki setelah
sendiri.” berada di batas ujung makam, sekitar 20
meter, tepat di garis batas rumah tetangga.
*** Aku mengelus dada, seperti tamparan keras
kepadaku sebagai santri.
Jadwal piketku pagi ini adalah
menyapu paving dekat makam Mbah Yai. “Masyaallah!”
Saat kutengok ke arah jalan raya, kulihat
Mbah Muh naik sepeda dari kejauhan. Aku segera duduk karena teringat
Menyapu kuhentikan sebentar, mengintip masih berdiri di dekat makam Mbah Yai.
Mbah Muh dari balik celah pagar. Teringat Mbah Muh saja yang berada lebih jauh dari
cerita Mbak Atul ke marin malam, aku ingin makam Mbah Yai segera turun dari sepeda
membuktikan kebenarannya. dan menuntunnya, sedangkan aku malah
berdiri.
“Loh!” pekikku lirih, terkejut sambil
menutup mulut, khawatir terlalu kencang “Ngapunten, Mbah Yai.”
yang membuat orang-orang curiga.

Juni 2020

Alfa Anisa,lahir di Blitar, 28 Maret. Mencintai puisi, kereta api, dan sunyi.
Alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Islam Balitar, Blitar, dan santri di
Pondok Pesantren Mabhajatul ‘Ubbad. Sehari-hari berkegiatan di Komunitas
Penulis Blitar. Beberapa karyanya dimuat di media massa dan antologi bersama.
Surat untuk Luka adalah antologi puisi tunggalnya. Bisa dihubungi di Facebook
alfa anisa, Instagram @alfaanisa, dan di rumah karyanya,
anisaalfinurfadila.wordpress.com.
4
Page

Anda mungkin juga menyukai