Anda di halaman 1dari 4

Bidadari Dunia

Oleh : Safna Puspita Sari

“Assholatu khoirum minan naum.”

Aku terperanjat bangun saat mendengar adzan subuh berkumandang , bagaimana bisa
aku melewatkan sholat tahajud. Mungkin karena semalam aku begadang mengerjakan tugas
skripsiku. Aku segera bangun dari tempat tidurku dan mengambil wudhu setelah itu bergegas
ke kamar ibu.

“Tok..Tok..Tok..”

Aku mengetuk pintu kamar ibu, namun tidak ada jawaban dari dalam. Aku segera
membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Ibu masih tertidur pulas di atas ranjangnya.
Kupandangi wajah wanita didepanku yang mulai keriput dan terlihat sangat lelah, itu terjadi
karena dia bekerja begitu keras selama ini. Tiba- tiba ibu terbangun karena mendengar
iqomah yang menggema dari toa masjid. Diapun langsung tahu bahwa aku menghampirinya
untuk mengajak sholat subuh berjama’ah.

Sepuluh menit kemudian aku selesai membaca dzikir rutinanku di pondok, aku segera
bangkit dari sajadah dan melipat mukenaku lalu menuju halaman depan rumah untuk
menyapu dedaunan yang berserakan, ditemani dengan kicauan burung yang saling bersahutan
seakan ingin mengucapkan selamat pagi.

Sedangkan ibu mulai bersiap siap untuk berangkat kerja ke pasar. Sejak ayah tiada,
sekarang ibulah yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Pernah aku menawarkan
kepadanya agar aku saja yang bekerja, namun ibu tak mengizinkanku melakukannya. Dia
bilang aku harus fokus dengan kuliah dan hafalan Qur’anku. Melihatku menjadi wanita
sukses adalah impian yang begitu dinantikannya.

Sudah dua hari aku berada di rumah karena libur pondok, sehingga aku bisa
menemaninya di rumah.

“Zakiya… ibu berangkat kerja dulu ya, nanti kalau mau sarapan, ada telur dan tempe di
dapur. Kamu bisa menggoreng sendiri kan?” Tanya ibu menggodaku.
“Tentu saja bisa bu, kan aku sudah besar” Jawabku sambil terkekeh.

“Alhamdulillah kalau begitu, ibu pergi dulu ya nduk, Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.” Jawabku yang mungkin sudah tak terdengar karena suara


berisik kenalpot motor tua yang memang sudah tidak layak pakai.

Jam menunjukkan pukul 07.00 WIB ketika aku sudah menyelesaikan semua tugas
rumah. Sekarang perutku protes karena dari tadi menahan lapar. Akhirnya aku menyiapkan
sarapan di dapur. Sederhana, ada nasi dan juga tempe goreng ditambah sambal terasi yang
ternyata telah disiapkan ibu sebelum berangkat kerja.

Seharian sudah aku menghabiskan waktuku di depan laptop, ku rebahkan tubuhku ke


ranjang karena terasa sangat lelah.

***

Hari menjelang sore, ibu baru pulang dan bergegas mandi. Ibu menyuruhku bersiap
siap, karena setelah mandi kita akan berziarah ke pusara ayah.

Kini aku sudah berada di boncengannya, kunikmati pemandangan desaku yang masih
sangat asri dan setip embusan angin sore yang yang menerpa wajahku dengan lembut.
Sepengetahuanku, ibu memang sangat tangguh. Ibu tak kenal lelah mengendarai sepeda
motor tua yang susah untuk diajak ngebut, seakan-akan kecepatan maksimalnya hanya
sampai 60 km/jam. Lamunanku buyar karena tiba tiba ibu mengerem motornya.

“Ada apa bu?”

“Itu ada batu di tengah jalan nduk, kita harus menyingkirkannya sebelum menyebabkan
orang lain celaka. Asalkan kamu tahu nduk, bahwa menyingkirkan sesuatu yang mengganggu
di jalan juga merupakan ibadah, dan kamu tidak boleh meremehkan kebaikan sekecil
apapun.”

Ibuku menuturkannya dengan lembut sambil menyingkirkan batu itu dari tengah jalan.
Begitulah ibuku, ibu adalah teladanku. Ibu selalu mengajarkanku kebaikan tanpa henti.

Beberapa menit kemudian kita sudah sampai di pintu gerbang makam. Aku dan ibu
segera mengucapkan salam untuk para ahli kubur dan langsung menuju ke pusara ayah untuk
kirim do’a. Setelah selesai kita langsung bergegas kembali ke rumah karena hari sudah mulai
gelap.

Sesampainya di halaman rumah aku melihat seorang wanita setengah baya duduk di
teras rumah. Aku langsung menghampirinya.

“Assalamu’alaikum bu, ada yang bisa saya bantu?”

“Ibunya ada dek?”

“Owh, itu ibu sedang memarkirkan sepeda motornya bu.” Jawabku sambil menunjuk
ibu. Aku segera memanggilnya dan memberitahu bahwa ada seseorang yang sedang
mencarinya, setelah itu akupun masuk rumah kembali.

Setelah bertemu, mereka berdua bicara serius di ruang tamu lalu ibu masuk ke
kamarnya, sepertinya untuk mengambil sesuatu. Aku yang berada di kamar tidak mendengar
percakapan mereka. Namun, seingatku wanita setengah baya itu pernah kesini sebelumnya.

Kudengar suara orang mengucapkan salam, mungkin wanita itu telah berpamitan.
Akupun segera menghampiri ibu untuk menanyakan perihal siapa wanita itu dan apa
tujuannya datang kemari.

“Dia itu kasihan nduk, terlilit utang karena dulu pernah pinjam rentenir. Sekarang
sertifikat rumah juga sudah tergadaikan, jika ia tak sanggup membayar, ia akan diusir dari
rumah karena rumahnya akan disita oleh Bank.”

“Lalu?”

“Lalu ibu meminjaminya uang.”

“Sebentar, sebentar, bukannya ibu pernah cerita tentang teman ibu yang pernah pinjam
uang ke ibu dan susah sekali kembalinya, bahkan akhirnya hanya dikembalikan setengahnya.
Apakah dia orangnya?.” Tanyaku dengan seksama dan kedua alisku tertaut karena
keseriusanku. Lalu ibu hanya menganggukkan kepalanya. Aku hanya bisa menepuk jidatku.

“Kenapa harus di pinjami lagi sih bu. Kita ini kan juga orang susah bu. Bagaimana
nanti kalau uang ibu tidak dikembalikan?” Protesku.
“Memang apa salahnya membantu orang yang sedang kesusahan nduk, Jikapun nanti
uang yang ibu pinjamkan tidak kembali, ibu yakin pasti Allah akan mengembalikannya lewat
jalan yang lain.”

Ya Allah…aku lupa, bahwa perempuan yang selama ini bersamaku bukan hanya wanita
biasa, namun “Bidadari Dunia”. Wanita yang selalu mengutamakan kepentingan orang lain
daripada diriya sendiri.

Masih terekam jelas dalam memori ingatanku ketika dulu waktu masih kecil. Beberapa
hari ayah bekerja namun tak mendapatkan apapun kecuali rasa lelah, sampai tak mampu
membeli lauk. Namun, Ibu akan tetap pergi ke warung untuk hutang kerupuk. Hanya satu,
hanya untukku. Ketika aku mengajaknya makan maka ibu akan menjawab kalau sudah
kenyang. Padahal aku tahu, belum ada sesuap nasipun yang masuk ke dalam mulutnya.

Semua yang telah kau ajarkan kepadaku tentang perjuangan dan kebaikan akan selalu
ku genggam Ibu. Semoga keinginanmu untuk melihatku menjadi wanita yang sukses akan
segera terwujud dan semoga esok kita akan tetap berkumpul di surga_Nya.

Biodata narasi penulis

Safna Puspita Sari, biasa di sapa Safna. Lahir 21 tahun lalu tepat tanggal 31 Januari di kota
Garam, Rembang. Si penyayang kucing ini sedang menempuh pendidikan di salah satu Universitas
Negeri di Surabaya, dengan Program Studi FKIP. Si Pemberani dan Si murah senyum itu adalah
julukan dari teman temannya, karena ia selalu tersenyum dan terlihat ceria. Si Pemberani ini sering
terjatuh dari sepeda saat masih kecil, karena suka balapan dengan teman teamannya. Jejaknya bisa
dilacak melalui akun instagram @safna_puspitaa.

Anda mungkin juga menyukai